Apa yang dimaksud dengan zakat ma'adin atau Zakat hasil tambang?

Zakat hasil tambang

Apa yang dimaksud dengan zakat ma’adin atau Zakat hasil tambang?

1 Like

Ma’din (barang tambang) adalah segala benda berharga yang ditemukan dari perut bumi. Seperti emas, perak, permata, besi, timah, tembaga, dan lain-lain. Sedangkan rikaz (harta terpendam) adalah harta pendaman kafir jahiliah (orang yang sebelum datangnya islam). Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, ma’din dan rikaz yang wajib dizakati hanya jenis emas dan perak. Selain emas dan perak tidak wajib dizakati.

Dalam hadits riwayat Bukhori disebutkan :

“Sesungguhnya Rosulullah SAW telah mengambil (zakat) dari hasil tambang di negri Qobaliyyah.” (HR. Bukhori)

Ulama fiqh sepakat bahwa barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya, namun ulama berbeda pendapat tentang jenis barang tambang yang wajib dizakati dan kadar zakat yang harus dikeluarkan.

Menurut pendapat yang masyur dikalangan Syafi’i dan Maliki, nishobnya ma’din dan rikaz sama dengan nishobnya emas dan perak (emas 77,58 gr. Dan perak 543,06 gr). Sedangkan zakat yang harus dikeluarkan adalah 1/40 atau 2,5% (rubu’ul ‘usyur) untuk ma’din dan ½ atau 20% (al khumus) untuk rikaz.

Seseorang yang memperoleh barang tambang atau menemukan harta terpendam (yang berupa emas atau perak) wajib mengeluarkan zakatnya apabila telah menetapi syarat sebagai berikut :

  • Islam
  • Merdeka (bukan budak atau hamba sahaya)
  • Harta milik sempurna
  • Mencapai nishob

Zakatnya ma’din dan rikaz tidak disyaratkan haul atau genap setahun. Artinya, apabila menemukan ma’din atau rikaz dan telah menetapi syarat-syarat di atas, maka setelah dibersihkan dari kotoran (tanah dan lain-lain) wajib segera mengeluarkan zakatnya tanpa harus menunggu masa setahun.

Selain itu, harta terpendam dinamakan rikaz yang note bene setelah dizakati bisa dimiliki, apabila menetapu persyaratan sebagai berikut :

  • Harta pendaman orang jahiliah
    Maksudnya, pada harta terpendam tersebut terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa harta tersebut milik dari orang-orang yang hidup sebelum datangnya agama Islam, atau setelah datangnya Islam, namun da’wah Islamiyah belum sampai di daerah tersebut. Misalnya, dalam harta terpendam tersebut terdapat nama, tahun pembuatan, atau simbol raja yang hidup pada masa sebelum Islam. Oleh sebab itu, harta terpendam yang di dalamnya terdapat tanda-tanda zaman Islam, tidak disebut rikaz tetapi masuk kategori luqothoh atau harta temuan. Hukumnya harta liqothoh adalah sebagai berikut :

    1. Apabila pemiliknya atau ahli warisnya masih ada (hidup) dan bisa ditemukan, maka harta harus dikembalikan pada pemilik atau ahli warisnya.

    2. Apabila pemiliknya atau ahli warisnya sudah tidak ada, atau tidak bisa ditemukan, maka harta tersebut diumumkan selama satu tahun. Jika setelah diumumkan selama satu tahun pemiliknya tetap tidak bisa ditemukan, maka harta temuan bisa dimiliki (untuk sementara). Artinya, apabila suatu saat pemilik aslinya bisa ditemukan, maka wajib dikembalikan/diganti.

    Sedangkan harta terpendam yang didalamnya tidak terdapat tanda-tanda zaman Islam maupun zaman jahiliah, maka hukumnya sama dengan luqothoh atau harta temuan. Yaitu, setelah diumumkan selama satu tahun tersebut bisa dimiliki (untuk sementara)

  • Ditemukan di tempat yang dimiliki
    Maksudnya, harta terpendam ditemukan di tempat yang (sekarang) dia milik dan bumi tersebut sebelumnya belum pernah dimiliki oleh orang lain, atau ditemukan di tempat/ di lahan kosong yang belum pernah dimiliki/dibuka oleh orang lain.

    Jika harta ditemukan di tempat yang bukan miliknya/tempat yang pernah dimiliki orang lain, maka harus diklasifikasi dan dikembalikan kepada pemiliknya. Namun apabila pemiliknya tidak bisa ditemukan, maka status harta tersebut adalah harta luqothoh.

Zakat hasil tambang menurut jamhur ulama’ adalah ma’din yaitu segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT dalam perut bumi, baik padat maupun cair, seperti emas, perak, tembaga, batu bara, minyak, gas, besi, dan sulfur. Menurut Ibnu Athir dalam an-Nihayah seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardawi al-Ma’din berarti tempat pengambilan kekayaan bumi seperti emas, perak, dan tembaga.

Menurut M. Ali Hasan mengutip dari pendapatnya Ibnu Qudamah menyatakan barang tambang itu antara lain emas, perak, timah, besi, intan, batu permata, dan batu bara. sedangkan barang tambang yang cair diantaranya seperti aspal, minyak bumi, belerang, dan gas.

Wahbah Az-Zuhaili mengutip pendapat beberapa ulama mengenai zakat hasil tambang di antaranya:

  1. Menurut mazhab Hanafiyah barang tambang, barang peninggalan kuno, atau harta karun mempunyai pengertian sama, yaitu semua harta yang tertimbun di bawah bumi. Hanya saja, barang tambang adalah barang yang diciptakan Allah SWT di dalam bumi ketika bumi diciptakan.

    Adapun mengenai barang-barang tambang menurut Hanafiyah ada tiga macam yaitu:

    • Beku yang bisa meleleh dan terbentuk dengan api seperti emas dan perak, besi, tembaga, timah, dan merkuri.

    • Beku yang tidak bisa meleleh dan tidak bisa dibentuk dengan api seperti plaster dan kapur (batu kapur) alkohol, arsenic, dan batu-batuan lain seperti runi dan garam.

    • Mencair tidak beku, seperti aspal dan minyak bumi.

  2. Madzhab Malikiyah mengatakan bahwa barang tambang bukanlah barang peninggalan kuno. Menurut mazhab Malikiyah barang tambang yaitu barang yang diciptakan Allah SWT di bumi yang berupa emas, perak, atau lainnya seperti tembaga, timah, belerang, dan perlu dikeluarkan untuk diolah atau dibersihkan.

  3. Menurut madzhab Syafi’iyah barang tambang yaitu bukan barang peninggalan kuno, melainkan barang yang dikeluarkan dari tempat yang diciptakan Allah SWT yang dikhususkan pada emas dan perak sebagaimana pendapat Malikiyah.

  4. Madzhab Hanbilah mengartikan barang tambang yaitu barang yang diambil dari tanah yang diciptakan oleh Allah SWT baik benda tersebut padat maupun cair.

Dasar Hukum Zakat Hasil Tambang


Dari pengertian yang ada, barang tambang merupakan sesuatu yang Allah SWT turunkan kepada makhluk-Nya sebagai rizki yang terdapat tidak hanya di atas permukaan tanah, tetapi juga yang terdapat di dalam permukaan tanah seperti emas, perak, intan, batu bara, besi, dan minyak bumi. Dari semua itu dapat dilihat bahwa hukum mengeluarkan zakat atas hasil tambang itu merupakan sebuah kewajiban apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ada.

Adapun dasar hukum zakat hasil tambang dalam Al-Qur’an tidak ada yang menerangkan secara jelas. Namun demikian, dalam berbagai macam refrensi ditulis bahwa dasar hukum mengenai zakat hasil tambang adalah firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 267:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu. Jaganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji” (QS. Al-Baqarah: 267)

Ayat tersebut memiliki makna perintah “infakkanlah” menurut para ulama perintah ini ditunjukkan untuk seluruh umat Nabi Muhammad SAW.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sedekah yang disebutkan pada ayat di atas. Menurut Ali bin Abi Thalib, Ubaidah As-Samani, dan Ibnu Sirrin, yang dimaksud dengan sedekah pada ayat ini adalah sedekah wajib (zakat). Sedangkan Ibnu Athiyah mengatakan bahwa yang diutamakan dari pendapat Al-Barra’ bin Aziz, Hasan, dan Qatadah adalah bahwa sedekah yang dimaksud pada ayat di atas adalah sedekah sunah.

Ayat di atas pada dasarnya memang berbentuk umum, sedekah tersebut dapat berarti wajib dan dapat pula berarti sunah. Namun, jika yang mengeluarkan hartanya bermaksud untuk berzakat, maka perintah yang ada pada ayat tersebut menjadi wajib. Sedengkan jika mengeluarkan harta yang ada bermaksud untuk sedekah sunah, maka perintah yang ada pada ayat tersebut juga menjadi sunah. Jadi, perintah tersebut dapat bermakna sedekah wajib sebagai zakat dan sedekah sunah semuanya tergantung dari niat orang yang mengeluarkan harta.

Penjelasan pengenai pertambangan dalam ayat di atas dijelaskan dalam lafadz “Dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu” adapun yang dikeluarkan dari bumi yakni tumbuh-tumbuhan, hasil bumi (minyak, besi, batu bara, tembaga, dan lain- lain), dan harta yang terpendam (harta karun).

Pada lafatdz tersebut sebenarnya mengacu pada seluruh jenis penghasilan yang dikeluarkan oleh bumi, entah itu sedikit ataupun banyak dan pada hakikatnya seluruh hasil bumi itu wajib dikeluarkan zakatnya termasuk barang hasil tambang.

Selain firman Allah di atas dapat pula dipahami sebagai dasar dari zakat hasil tambang, yaitu hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda:

“Binatang ternak yang merusak maka tidak ada denda, sumur yang mencelakai (jatuh ke dalamnya) tidak ada denda, galian barang tambang yang mencelakai (jatuh kedalamnya) tidak ada denda, dan pada harta yang terpendam (harta karun) zakatnya adalah seperlima. ”(HR Muslim).

Dalam hadits lain diterangkan pula tentang dasar hukum zakat hasil tambang yaitu:

“Dari Rubai’ah bin Abdurrahman dari lebih dari satu orang, bahwasannya Rasulullah SAW menyerahkan kepada Bilal bin Al Harits Al Mazni barang tambang hasil qabaliah, yaitu suatu tempat di pinggiran Madinah. Hasil barang tambang tersebut tidak diambil darinya kecuali berupa zakat hingga hari ini.” (HR. Abu Daud dan Malik di dalam Al Muwatha)

Khilafiyah Zakat Hasil Tambang


Perihal mengenai zakat hasil tambang, banyak di kalangan ulama yang berbeda pendapat tentang jenis-jenis tambang apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya. Adapun pendapat para ulama yang mengemukakan barang tambang apa saja yang wajib dizakati antara lain:

  • Menurut Imam Abu Hanifah dan sahabatnya berpendapat bahwa barang tambang yang wajib dizakati adalah barang tambang yang pengolahannya menggunakan api. Akan tetapi untuk barang-barang tambang cair atau padat yang tidak diolah dengan api tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

  • Imam Syafi’i berpendapat barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dibatasi hanya pada emas dan perak saja, sedangkan yang lainnya seperti besi, tembaga, timah, kristal, batu bara, firuz zamrud dan lainnya tidak wajib untuk dikeluarkan zakatnya.

  • Menurut Imam Hambali tidak ada perbedaan antara barang tambang yang diolah dengan api atau tidak dengan api semuanya wajib dizakati. Menurut pendapat beliau semua yang dihasilkan dari perut bumi berupa barang tambang wajib dizakati. Pendapat ini juga dikemukakan oleh mazhab Zaid Ibnu Ali, Baqir dan Shadiq serta seluruh ahli fiqih golongan syi’ah selain Mu’ayyid Billah yang mengecualikan garam, minyak bumi dan ter

Dari beberapa pendapat di atas menurut pendapat M. Ali Hasan, pendapat Imam Hambali dan orang-orang yang sependapat dengan beliaulah yang paling kuat, hal ini didasarkan atas ihtiyath (kehati-hatian) dalam soal kebersihan harta yang dikhawatirkan masih terdapat hak orang lain dari kekayaan yang diperoleh.

Selain itu, bila dilihat tidak ada bedanya antara barang tambang padat dengan barang tambang cair, serta tidak ada pula bedanya antara barang tambang yang diolah dengan barang tambang yang tidak diolah. Karena, semua barang tambang merupakan barang berharga.

Nishab dan Kadar Zakat Hasil Tambang


Mengenai nishab hasil tambang di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Menurut pendapat mayoritas imam mazhab (Syafi’i, Maliki, dan Hambali) nisab hasil tambang sama seperti nisab emas dan perak yaitu 85 gram emas atau 200 dirham.

Menurut pendapat Abu Hanifah dan kawan-kawannya mengenai nishab barang tambang adalah wajib dizakati banyak maupun sedikit.

Adapun mengenai besar jumlah zakat yang harus dikeluarkan dalam zakat hasil tambang para ulama fiqih berbeda pendapat.

  • Menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya berpendapat bahwa zakat yang dikeluarkan harus 1/5 (20%). Beliau menyamakan barang tambang yang diciptakan oleh Allah dengan “rikaz” (barang terpendam, harta karun) yang disimpan atau ditanam oleh manusia. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid, Zaid bin Ali, Baqir, Sadiq, dan sebagian terbesar ulama mazhab Syi’ah baik zaidiyah maupun imamiyah.

  • Imam Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa besar zakatnya adalah 1/40 (2,5%) berdasarkan qiyas dengan zakat uang. Syafi’i dan Maliki juga sependapat demikian.

  • Sebagian ulama fiqih yang lain di antaranya Malik dan Syafi’i mengungkapkan pendapat bahwa zakat yang dikeluarkan dari hasil tambang itu dapat dilihat dari tingkat kesusahannya. Jadi apabila jumlah produksinya lebih banyak dari usaha dan biaya yang dikeluarkan untuk produksinya maka, zakatnya adalah 1/5 (20%). Namun, apabila sebaliknya hasilnya lebih sedikit dibandingkan dengan usaha dan biaya maka zakatnya adalah 1/40 (2,5%).

Cara Penghitungan Zakat Hasil Tambang


Terdapat banyak perusahaan tambang yang berkembang saat ini khususnya di bidang ekspedisi barang tambang. Hal ini dalam artian perusahaan tersebut hanya mencari sumber tambang, mengambilnya, kemudian menjualnya dalam kondisi masih mentah tanpa adanya aktifitas industri. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian berpendapat zakatnya berupa zakat rikaz dan sebagian ulama lagi mengatakan zakatnya ditetapkan sebagai zakat industri atau pertambangan.

Di sisi lain, perbedaan pendapat yang lebih terlihat dari penghitungan zakat hasil tambang ini adalah terletak pada kadar zakat yang ada yang sebagian ulama ada yang berpendapat zakatnya 20% dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa zakatnya adalah 25%. Dengan adanya perbedaan yang signifikan berikut contoh dari dua perbedaan penghitungan zakat hasil tambang:

Contoh penghitungan zakat barang tambang dengan kadar zakat 20%

Barang tambang

Hasil produksi barang tambang : Rp 500.000.000,-

Pengeluaran

Pengeluaran
Biaya penggalian : Rp 30.000.000,-
Biaya pengangkutan : Rp 25.000.000,-
Biaya pembersihan dan penjagaan : Rp 32.000.000,-
Administrasi : Rp 10.000.000,-
Pajak 5% harga produksi : Rp 25.000.000,- -

Jumlah total : Rp 378.000.000,-

Zakat 2,5% : Rp 378.000.000,- x 20%

Besar zakat yang harus dikeluarkan : Rp 75.600.000,-

Contoh penghitungan zakat barang tambang dengan kadar zakat 2,5%

Barang tambang

Hasil produksi barang tambang : Rp 500.000.000,-

Pengeluaran
Biaya penggalian : Rp 30.000.000,-
Biaya pengangkutan : Rp 25.000.000,-
Biaya pembersihan dan penjagaan : Rp 32.000.000,-
Administrasi : Rp 10.000.000,-
Pajak 5% harga produksi : Rp 25.000.000,- -

Jumlah total : Rp 378.000.000,-

Zakat 2,5% : Rp 378.000.000,- x 2,5%

Besar zakat yang harus dikeluarkan : Rp 9.450.000.-

Referensi :

  • Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wâ Adillatuhu, Juz III (Bairut: Daar al-Fikr, 2007)
  • M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq: Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008)
  • Syaikh Imam Al Qurtubi, “Al Jami’ Al Ahkâm Al Qur’an” diterjemahkan Muhammad Ibrahim Al Hifnawi dan Muhammad Hamid Utsman, Tafsir al-Qurthubi Jilid III (Jakarta: Pustaka Azam, 2008).
  • Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2008).