Apa yang dimaksud dengan yakin menurut ajaran Islam ?

Yakin

Yakin, menurut KBBI, mempunyai arti percaya (tahu, mengerti) sungguh-sungguh; (merasa) pasti (tentu, tidak salah lagi), atu juga dapat diartikan dengan sungguh-sungguh. Apa yang dimaksud dengan yakin menurut ajaran Islam ?

Yakin atau al-yaqin dalam bahasa berarti tidak memiliki keraguan dalam suatu perkara dan terjadinya perkara tersebut secara nyata.

Dalam Logika dan Filsafat, yakin memiliki dua istilah, yaitu :

  • Pertama, yakin dengan artian umum, yakni yakin (tidak ragu) akan sesuatu,

  • Kedua yakin dengan makna khusus: “pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan” atau “pengetahuan akan sesuatu dengan yakin dan yakin bahwa yang bertentangan dengan pengetahuan itu adalah salah”

Di hadapan yakin dengan artian umum itu, ada sangkaan di atas 50% dan di bawah 50% serta keraguan, yang mana semua itu ada kemungkinan salahnya. Dalam sangkaan di atas 50% kemungkinan salah sedikit, dan sangkaan di bawah 50% sebaliknya, banyak kemungkinan salahnya, sedangkan dalam keraguan kemungkinan benar dan salah adalah 50-50. Yakin dengan artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki dua kriteria itu bisa dikatakan dengan “yakin”. Dua kriteria itu adalah:

  • Pertama yakin dengan sesuatu yang diketahui itu,
  • Kedua adalah yakin bahwa segala yang bertentangan dengan keyakinan tersebut adalah salah.

Jadi, yakin dengan artian khusus tersusun dari dua pengetahuan: pengetahuan terhadap sesuatu dan pengetahuan akan kebenaran pengetahuan itu (atau salahnya segala yang bertentangan dengan pengetahuan itu).

Cara untuk mendapatkan yakin seperti itu dalam Logika adalah menggunakan Burhan (demonstrasi dan argumen). Burhan adalah Qiyas (silogisme) yang premis-permisnya adalah proposisi-proposisi yang meyakinkan (yaqini), atau istilahnya Yaqiniyat. Yaqiniyat adalah dalil dan pengetahuan-pengetahuan yang selain hal itu meyakinkan, tidak ada juga kemungkinan salahnya sedikitpun. Mereka adalah: Awwâliyât, Musyahadât, Mujarrabat, Mutawatirât, Hadsiyât dan Fitriyât.

Karena itu, yaqiniyat dalam istilah ilmu Logika dan Filsafat memiliki bagian-bagian dan tingkatan yang tidak sama. Karena Badihiyât Awwâli bagi ahli Logika memiliki tingkatan yakin (meyakinkan) yang tertinggi; karena ilmu Logika adalah ilmu cara berfikir dengan benar, maka ilmu tersebut berusaha untuk mengkategorikan dalil-dalil sedemikian rupa sehingga manusia dengan merujuk padanya bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang benar dan meyakinkan. Karena Yaqiniyât Nazhari kembalinya adalah kepada awwâliyât dan semua awwâliyât bisa dikata kembalinya kepada “berkumpulnya dua hal yang bertentangan” (ijtimâ’ al-naqidhain), maka para ahli Logika meletakkannya di tingkatan paling atas.

Adapun berdasarkan menurut pendapat para ahli Irfan tentang yakin, yakin memiliki tiga tingkatan, yang mana yakin tingkat terendah tidak mempunyai kriteria-kriteria yakin tingkat yang paling tinggi. Tiga tingkatan tersebut adalah ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.

Untuk menjelaskan tiga tingkatan yakin ini perlu dijelaskan bahwa: Terkadang seorang manusia menyaksikan tanda-tanda atau indikasi-indikasi tertentu atau dengan menggunakan argumentasi ia menemukan suatu hakikat yang tetap; terkadang selain hanya menggunakan argumentasi, ia juga mendapatkan hakikat itu dengan ruh dan jiwanya; dan kadang tak hanya begitu saja, ia merasa fana dan menyatu dengan hakikat tersebut. Misalnya, tentang wujud Tuhan Swt, manusia awal mulanya membuktikan keberadaan Tuhan dengan argumentasi dan pemikirannya, lalu menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya, yang mana dalam tahap ini dikatakan ia telah mendapatkan ‘Ilm al-Yaqin.

Lalu dalam tahapan kedua, dengan pensucian jiwa ia dapat menggapai hakikat wujud-Nya dengan batin dan jiwanya. Ia bisa menyaksikan Tuhan dengan mata batinnya. Dalam tahap ini disebut ‘Ain al-Yaqin.

Kemudian di tahapan yang paling tertinggi, ia mencapai hakikat Tuhannya dengan seluruh wujudnya, yang istilahnya ia telah fana dan menyatu dengan wujud Tuhan. Di tingkatan inilah ia mencapai Haqq al-Yaqin.

Dalam teks-teks agama kita sering disinggung hal tersebut. Misalnya dalam berdoa kita berkata:

“Ya Tuhan, cahayai lahirku dengan taat-Mu, batinku dengan kecintaan-Mu, hatiku dengan ma’rifat-Mu, ruhku dengan penyaksian terhadap-Mu dan seluruh wujudku dengan bersatu dengan-Mu.”

Kalimat pertama mengisyarahkan amal ibadah dan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya, yang istilahnya adalah Tajliyah; kalimat kedua mengisyarahkan tingkatan awal dalam suluk; kalimat ketiga mengisyarahkan ‘Ilm al-Yaqin; kalimat keempat mengisyarahkan ‘Ainul Yaqin dan kalimat terakhir mengisyarahkan Haqq al-Yaqin, yakni fana secara total dalam wujud-Nya yang Maha Tinggi.

Perlu diketahui pula bahwa setiap dari tiga tingkatan tersebut juga memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri di dalamnya yang mana di berbagai tingkatan yang berbeda-beda itulah para nabi dan wali-wali Allah melakukan sair wa suluk, yang dengan demikian setiap satu dari mereka memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda dengan yang lainnya. Mengenai hal ini disebutkan dalam riwayat:

Ali bin abi thalib berkata:

“Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka.”

Pada suatu hari Rasulullah saw bertemu dengan Haritsah bin Malik bin Nu’man Anshari dan berkata kepadanya:

“Bagaimana keadaanmu?”

Ia berkata:

“Wahai Rasulullah, aku adalah mu’min hakiki yang telah mencapai tingkat yaqin.”

Rasulullah Saw bertanya:

“Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat perkataanmu?”

Ia menjawab:

“Wahai Rasulullah, aku telah kehilangan selera terhadap dunia. Aku bangun di malam hari untuk ibadah dan aku kehausan di siang hari karena berpuasa. Seakan-akan aku melihat lebarnya ‘Arsy Ilahi, seakan aku menyaksikan hisab, seakan aku melihat penduduk surga yang saling bertemu di antara taman-tamannya, seakan aku melihat penduduk neraka tersiksa di dalamnya.”

Rasulullah Saw bersabda:

“Haritsah adalah hamba yang telah Allah Swt terangi hatinya.”

Lalu beliau berkata kepada Haritsah:

“Engkau telah mendapatkan bashirah (suatu keistimewaan dalam pemahaman)” maka tetaplah dalam keadaan itu.”

Lalu ia berkata:

“Wahai Rasulullah Saw, doakan untukku agar aku bisa syahid di bawah benderamu.”

Beliau menjawab:

“Ya Allah, karuniakan ia kesyahidan.”

Tak lama kemudian Rasulullah mengirimkan pasukan untuk berperang dan Haritsah ada di antara pasukan-pasukan itu lalu ia mati setelah membunuh beberapa musuh Allah dalam peperangan.”

Tanda orang yang yakinnya kuat adalah ia tidak lagi mempedulikan selain kekuasaan Allah dan kekuatan-Nya, teguh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan setia menjadi hambanya baik secara dhahir maupun batin. Ada dan tidak ada, sedikit atau banyak, pujian atau celaan, penghormatan atau penghinaan, semuanya adalah sama baginya. Namun orang yang yakinnya lemah, selalu berusaha mencari solusi dari makhluk-makhluk Allah (tanpa mengingat pencipta-Nya).

Dalam dunia, kita selalu mempedulikan komentar dan perkataan orang lain tanpa melihat apa hakikat sejati dari hidup ini. Selalu berusaha keras mengumpulkan harta duniawi dan menjaganya meski dengan lidahnya berkata bahwa tiada yang memberi rizki selain Allah, dan hamba-hamba-Nya mendapatkan rizki sesuai pengaturan-Nya serta usaha dan jerih payah hamba tidak mempengaruhi banyak dan sedikitnya rizki; namun secara praktek ia tidak meyakininya.

Tolak ukur menentukan yakin (dalam pengertian irfani dan riwayat) dapat dikatakan bahwa setiap tingkatan yakin memiliki kriteria dan tanda-tandanya tersendiri. Beberapa tanda yakin seperti tidak peduli dengan kesenangan-kesenangan dunia, tidak terikat dengan harta benda, perhatian dengan alam akherat, berada dalam tingkat tawakal dan pasrah kepada Allah Swt, menyerahkan segala perkara kepada-Nya dan lain sebagainya.

Di dalam al-Quran terdapat beberapa kosa kata yang mengacu pada kata yakin. Lafaz yang mengacu kepada makna yakin yaitu al-yaqin dan itmaanna. Lafaz al-yaqin adalah lawan dari kata al-syakku asal katanya terdiri dari huruf ya’, qaf dan nun yakni yaqina – yayqanu- yaqinan artinya jelas, pasti, meyakini, mengetahui dengan pasti. Kata tersebut Terulang sebanyak 28 kali dalam al-Quran. Menurut Quraish Shihab al-yaqin adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu disertai dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan, baik berupa keraguan atau dalih-dalih lawan, condongnya hati terhadap pembenaran presentasinya adalah 100%. Orang yang yakin tidak terpengaruh oleh alasan apa pun yang bertujuan untuk mengurangi keyakinannya, dan tidak perlu pula ia meninjau ulang keyakinannya itu. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-‘Anam ayat 75:

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.

Ada beberapa pendapat yang menjelasakn ayat tersebut, salah satunya riwayat yang menjelaskan bahwasanya nabi Ibrahim dibukakan langit hingga tampak kerajaan Allah dan tempatnya di surga, kemudian bumi terbelah hingga dasar bumi terlihat. Begitulah nabi Ibrahim diperlihatkan tanda-tanda keagungan Allah, agar nabi Ibrahim yakin bahwa yang menciptakan langit dan bumi hanyalah Allah.

Adapun lafaz itmaanna berasal dari kata tamana atau ta’mana, yang kemudian mendapat huruf tambahan hamzah menjadi itma’anna , yang mempunyai makna aman, damai, tenang atau tentram. Lafaz ini banyak dipasangkan dengan qalbun seperti tatmainna al-qulub yang artinya “menentramkan hati”, terulang sebanyak 13 kali dalam al-Quran. Menurut al-Ragib al-asfihani kata al-tuma’ninah bermakana ketenangan setelah kegelisahan. Sebagimana ketenangan nabi Ibrahim setelah diperlihatkan oleh Allah bukti nyata dalam surat al-Baqarah : 260

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)

Ayat tersebut menceritakan bahwasanya Nabi Ibrahim ingin diperlihatkan bagaimana menghidupkan orang yang mati agar menjadi orang yang yakin, Hal ini tidak berarti sebelumnya nabi Ibrahim adalah orang yang ragu, akan tetapi ingin meningkatkan keyakinan dari Ilm al-yaqin ke Ainu al-yaqin.

Selain itu, di dalam al-Quran juga ada beberapa lafad yang berhubungan dengan yakin yakni, al-iman, yang mempunyai arti meyakini dan membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan perbuatan. Jadi yakin hanya bagian kecil dari iman.

dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Q.S Al-Baqarah ayat 4

Jadi yakin adalah hanya sebagian kecil dari iman, karena iman tidak hanya meyakini dalam hati tetapi juga menuntut pelaksanaanya, oleh karena itu yakin disandingkan dengan akhirat, karena kehidupan akhirat hanya bisa diyakini. Kemudian lafad yang mendekati yakin yaitu I’tiqad, yakni condongnya hati kepada pembenaran sesuatu dan tidak ada keraguan didalamnya, dan hati menolak terhadap sebaliknya persentasenya 90%:10%. I’tiqad dalam hal ini sudah mendekati pada tingkat yakin, akan tetapi yang membedakan adalah I’tiqad tidak disertai dengan pengetahuan yang hakiki.

Adapun lafaz selanjutnya yaitu, azama atau al-a’zmu memiliki makna yaitu teguh atau pasti, sedangkan menurut menurut al-Dahhak mengartikanya agung dan sabar. Hal ini karena orang yang agung dan sabar akan mampu memutuskan sesuatu dengan keteguhan hati.

Konteks ayat dari yakin dalam al-Quran mayoritas adalah konteks keimanan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan subjek dan objek yakin dalam al-Quran. Di antara subjek yakin yaitu Nabi Ibrahim, umat Nabi Musa, orang beriman, orang kafir, Ahl kitab, orang yang yakin, orang yang mendustakan agama, orang yang tidak percaya pertemuan dengan tuhan, sahabat yang turut perang dalam perang Uhud dll. Objek dari yakin yaitu pertemuan dengan tuhan, akhirat, tanda-tanda kekuasaan allah, orang kafir, mukjizat nabi Musa, siksa, neraka jahanam, pembunuhan nabi isa, hidangan yang turun dari langit, Allah menghidupkan orang yang mati, keimanan dll. Akan tetapi ada beberapa konteks ayat di luar konteks keimanan seperti berita dari burung hud yang diyakini oleh Nabi Ibrahim kebenarannya, dan juga terdapat lafaz itmaanna yang bermakna damai atau mendiami seperti perumpaan malaikat yang mendiami bumi, kemudian penggambaran negeri yang tentram dll.

Keyakinan mempunyai konotasi yang positif. Allah menciptakan setiap manusia dalam keadaan fitrah dengan hati yang sucu. Di saat itu pula Allah menciptakan perasaan di dalam hati manusia keinginan akan surga dan ketakutan terhadap neraka. Akan tetapi setan menggoyahkan hati manusia sehingga keyakinan yang sudah tertanam di dalam hati manusia berubah menjadi keraguan. Kini keyakinan telah berubah menjadi keraguan, kehidupan dunia menjadi prioritas utama dan kehidupan akhirat terlupakan begitu saja. Ucapan lisan tanpa keyakinan hati adalah ucapan orang-orang munafik. Al-Quran hanya menjadi bacaan atau hiasan bibir saja, tetapi isinya tidak sampai ke dalam hati manusia dan tidak diterapkan dalam kehidupan dan prilakunya.

Referensi :

  • Sayyid Mujtaba Musayi Lari, Psikologi Islam: Membangun Kembali Moral Generasi Muda, terj. Satrio Pinandito (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995).
  • Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
  • M. Quraish Shihab, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al- Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2006).
  • Abu< Ja’far al-Tabari, jami’u al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, juz 11 (TK: Muassasatu al-Risa<lah, 2000).
  • Khalid Abu Syadzi, Yakin: Agar Hati Selalu Yakin dengan Allah, terj. Muhammad Misbah. (Jakarta: Amzah, 2012)
  • Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali al-Abdul Lathif, Keyakinan, Ucapan dan Perbuatan Pembatal Islam (Jakarta: Darul Haq, 2012).