Apa yang dimaksud dengan wali dalam islam?

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama di antara para nabi adalah para rasul, yang paling utama di antara para rasul adalah Ulul 'azmi.

apa wali itu?

A post was merged into an existing topic: Apa yang dimaksud dengan Wali Allah ?

wali

Kata wali berasal dari akar kata waw, lam, dan ya’ yang berarti dekat. Bentuk jama’ dari wali adalah auliyā’. Dari akar kata inilah kata-kata seperti (walā yalī ) yang berarti dekat dengan, mengikuti, (walla) memiliki arti menguasai, menolong, mencintai, (aulā) memiliki arti yang menguasakan, mempercayakan, berbuat, (walan) berarti menolong, membantu, bersahabat, (tawalla) berarti menetapi, mengurus, menguasai, (istaulā ‘alaih) berarti memiliki, menguasai, (al-aulā) berarti yang paling berhak dan paling layak, (wallā’an) memiliki arti berpaling dari, meninggalkan, dan (aulaa) berarti menunjukkan ancaman dan ultimatum, seperti pada (aula lak) berarti kecelakaan bagimu atau kecelakaan akan mendekatimu maka berhati-hatilah.

Semua kata turunan dari wali menunjukkan makna kedekatan kecuali bila diiringi kata depan secara tersurat dan tersirat seperti walla ‘an dan tawalla ‘an maka makna yang ditunjukkan adalah menjauhi atau berpaling.

Wali memiliki arti ganda (musytarak), yaitu :

  • Pertama, sebagai subyek : orang yang dengan penuh kesadaran dengan sendirinya melakukan taat tanpa melakukan hal-hal yang dibenci atau hal-hal yang penuh kemaksiatan.
  • Kedua, sebagai obyek : orang yang memperoleh karunia atau anugerah Allah. Orang khusus yang dipilih oleh Allah.

Wali dalam al-Qur’an memiliki banyak arti tergantung konteks kata tersebut digunakan. Namun, makna dasar kata tersebut selalu terbawa di mana makna relasional berkembang. Berikut beberapa makna Wali dan Auliyā’ dalam al-Qur’an:

1. Wali dan auliyā’ memiliki arti pelindung

Kata wali yang memiliki arti pelindung seperti terdapat di dalam beberapa ayat, yaitu QS. Al-Baqarah: 107, 120, 257; QS. ‘Ali Imrān: 68; QS. Al-Nisā’: 45, 75, 119, 123, 173; QS. Al-An’ām: 14, 51, 70, 127; QS. Al-A’rāf: 30, 196; QS. Al-Anfāl: 72, 73; QS. At-Taubah: 23, 74, 116; QS. Yūsuf: 101; QS. Ar-Ra’d: 16, 37; QS. Al-Kahfi: 26; QS. Al-Ankabūt: 22, 41; QS. Al-Furqān: 18; QS. Al-Ahzāb: 17, 65; QS.Saba’: 41; QS. Az-Zumar: 3; QS. Fushshilat: 31; QS. Al-Syūrā: 6, 8, 9, 28, 31, 44, 46;QS. Al-Jātsiyah: 10, 19; QS. Al-Ahqāf: 32; QS. Al-fath: 22.

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. QS. al-Baqarah (2): 257

Ayat di atas menjelaskan bahwa kewalian Allah kepada orang-orang mukmin antara lain berupa petunjuk dan anugerah-Nya kepada akal dan jiwa mereka, sehingga tidak ada kekuasaan bagi seseorang atas orang lain menyangkut kepercayaannya, karena Allah telah menganugerahkan kepada setiap manusia potensi untuk percaya, dan berkat pertolongan Allahlah orang-orang mukmin meraih keimanan, bahkan meningkatkan keimanannya. Kata Wali pada ayat di atas bersanding dengan kata Allah, dengan begitu kata Wali dimaknai dengan pelindung yang berkonotasi positif dan memiliki dampak yang baik.

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu). QS. Ali Imrān (3): 28

Kata auliyā’ pada ayat di atas bersanding dengan kata dūni al-mu’minīn yang memiliki makna selain Allah, ketika kedua kata tersebut berdampingan, maka kata auliyā’ mengandung arti yang negative, yaitu mengambil pelindung selain Allah.
Ayat tersebut menerangkan larangan Allah untuk menjadikan kaum kafir sebagai wali dari orang mukmin, sementara orang mukmin sendiri mereka abaikan. Kecuali orang yang berada pada suatu daerah dalam suatu waktu, sedang dia merasa takut terhadap kejahatan kaum kafir, maka dia boleh berlindung kepada mereka melalui sikap lahir, namun tidak boleh dengan sikap batin dan niat, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Darda’, dia berkata: “sesungguhnya kami memasang wajah cerah kepada kaum kafir, padahal hati kami mengutuk mereka.”

2. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai Penolong

Kata wali memiliki arti penolong terdapat pada beberapa ayat, yaitu QS. ‘Ali Imrān: 122 ; QS. Al-Mā’idah : 55 ; QS. al-Taubah: 23, 71; QS. Hūd: 20, 113; QS. Al-Isrā’: 97, 111; QS. Al-Kahfi: 17, 102; QS. Al-Sajdah: 4.

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). QS. al-Mā’idah (5): 55

Pada ayat di atas, kata Allah bersanding dengan kata wali, makna yang muncul ketika kedua kata tersebut bersanding adalah penolong dalam arti yang positif dan memiliki dampak yang positif. Ayat ini menguraikan tentang siapa yang seharusnya dijadikan wali bagi orang-orang beriman. Kata wali dalam ayat tersebut disebutkan dalam bentuk mufrod, sedangkan yang dimaksud adalah Allah, Rasul, dan orang- orang yang beriman.

Hal ini menunjukkan bahwa yang pokok sebagai sumber dari segala perwalian hanya satu, yaitu Allah. Selanjutnya baru disebutkan Rasul dan orang-orang yang beriman. Seandainya ayat ini menggunakan kata wali dalam bentuk jama’ yaitu auliyā’, maka tidak jelas perbedaan antara Allah sebagai wali mutlak, serta sumber dan pokok perwalian dengan perwalian yang lain.

“Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa”. QS. al-Jātsiyah (45): 19

Di dalam ayat ini terdapat dua kata wali, yang pertama dalam bentuk jama’ dan yang kedua dalam bentuk mufrod. Kata wali dalam bentuk jama’ yaitu auliyā’ bersanding dengan kata al-zhalimīna, hal ini menunjukkan makna penolong yang negatif. Sedangkan makna wali pada kata selanjutnya dalam bentuk mufrod adalah menyatakan bahwa wali atau penolong orang-orang yang bertakwa adalah Allah.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS al-Taubah (9): 71

Firman Allah (sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain), berbeda redakasinya dengan apa yang dilukiskan menyangkut orang munafik pada QS. al-Taubah (9) ayat 67. Perbedaan ini menurut al-Biqa’i mengisyaratkan bahwa kaum mukminin tidak saling menyempurnakan dalam keimanannya, karena setiap orang di antara mereka telah mantap imannya atas dasar dalil-dalil yang kuat, bukan sekedar taklid. Pendapat serupa dikemukakan oleh Thahir Ibnu ‘Asyur yang menyatakan bahwa yang menghimpun orang-orang mukmin adalah keimanan mantap yang melahirkan tolong menolong yang diajarkan Islam.

3. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai anak

Kata wali diartikan sebagai anak, seperti dalam QS. Maryam (19): 5

“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari disi-Mu”.

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan permohonan nabi Zakaria kepada Allah agar istrinya yang mandul dikaruniai seorang anak dan penerus risalahnya. Pada ayat di atas, sebelum kata wali terdapat kata mawālī (kerabat), warā’ī (sepeninggal), dan imro’ah (istri) ketiga kata tersebut memiliki hubungan makna dengan keluarga, maka dari itu kata wali pada ayat ini diartikan sebagai anak.

4. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai ahli waris

Kata wali diartikan sebagai ahli waris seperti dalam QS. al-Isrā’ (17): 33, QS. al- Naml (27): 49,

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Wali dalam ayat ini diartikan ahli waris perihal kekuasaannya untuk melakukan apapun terhadap yang menjadi perwaliannya, dalam ayat ini menjelaskan tentang kekuasaan ahli waris untuk menuntut qishāsh atau membayar diyat kepada pembunuh perwaliannya. Hal ini bisa dilihat ketika kata wali bersanding dengan kata sulthān.

5. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai kawan/ teman

Kata wali memiliki arti sebagai kawan/ teman sebagaimana terdapat dalam
QS. Ali Imrān:175; QS. Al-Māidah: 51, 81; QS. Al-An’ām: 121, 128; QS. Al-Nisā’: 89, 76; QS. Maryam: 45; QS. Fushshilat: 34.

“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". QS. Maryam (19): 45

Ayat ini menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim yang mengingatkan ayahnya untuk tidak menyekutukan Allah. Kata wali pada ayat ini bersanding dengan kata syaithan, kata ini mempunyai makna teman namun teman yang negatif, teman yang harus dihindari yaitu syetan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. QS. al-Māidah (5): 51

Barangsiapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Ath-Thabathaba’i sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengartikan auliya’ dalam ayat ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaan-perbedaan dalam satu wadah, menyatukan jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitnya akhlak dan miripnya tingkah laku, sehingga kita akan melihat dua orang yang saling mencintai bagaikan seorang yang memiliki satu jiwa, satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan. Quraish Shihab menambahkan keterangan dengan mengutip sebuah peribahasa “Siapa yang mencintai satu kelompok, maka ia termasuk kelompok itu.” maka dari itu, ayat ini menegaskan “Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka auliya’ (teman setia), maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka”

6. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai Pemimpin

Kata wali memiliki makna Pemimpin sebagaimana yang terdapat dalam QS. Ali Imrān: 28; QS. An-Nisā’: 139, 144; QS. Al-Māidah: 51; QS. Al-A’rāf: 3, 27, 155; QS. Al-Nahl: 63; QS. Al-Kahfi: 50.

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. QS. al-A’rāf (7): 3

Quraish Shihab mengartikan auliya’ dalam konteks ayat ini adalah tuhan- tuhan atau siapapun yang ditaati ketentuan dan bimbingannya. Kata auliyā’ memiliki arti demikian karena kata tersebut bersanding dengan kata dūnihī yang mengandung makna negatif.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di
antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang- orang yang beriman". QS. al-Māidah (5): 57

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak diperbolehkannya mengangkat seorang wali (pemimpin) selain umat Islam, baik orang-orang musyrik, Yahudi, Nashrani, maupun orang-orang munafik. Kata auliyā’ bersanding dengan kata kuffār, maka dari itu kata auliyā’ menunjukkan makna pemimpin namun yang mengandung unsur negatif.

7. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai Penguasa

Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil haram, dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. QS. Al-Anfal : 34

Kata auliyā’ disebutkan setelah kata masjid al-harām, diartikan penguasaan terhadap masjid al-harām karena perihal mereka orang-orang kafir menghalangi orang-orang yang beriman untuk melakukan shalat dan thawaf di Masjid al-harām, padahal orang-orang mukmin adalah orang yang berhak menguasai dengan melakukan ibadah di masjid al-harām.

8. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai orang yang dekat yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa. QS Yunus : 62

Auliyā’ menurut ayat ini adalah orang-orang yang telah beriman yaitu yang percaya secara berkesinambungan tanpa diselingi oleh keraguan dan mereka yang sejak dahulu hingga kini selalu bertakwa yakni yang berbuah keimanan mereka dengan amal-amal shaleh sehingga mereka terhindar dari ancaman siksa Allah Swt.

Kedekatan Allah kepada makhluk-Nya memiliki dua arti, yaitu pengetahuan- Nya yang menyeluruh tentang mereka dan memiliki arti cinta, perlindungan, dan bantuan-Nya. Arti yang pertama berlaku terhadap segala sesuatu, sedangkan arti yang kedua adalah kepada hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepada-Nya. Menurut Ar-Razi, kedekatan yang berarti cinta, perlindungan, dan bantuan Allah adalah kedekatan yang tidak terbayangkan. Seorang wali Allah yang dekat dan mendekat kepada-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kebenaran akan mendapatkan hal-hal yang sulit. Pada ayat ini terlihat kata wali dimaknai dengan kecenderungan sufi atau tasawuf.

Ayat ini menggunakan bentuk kata kerja masa lampau ketika menggambarkan keimanan para auliyā’ yaitu āmanū dan bentuk kata kerja masa kini yang mengandung makna kesinambungan untuk melukiskan ketakwaan mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa keimanan mereka demikian mantap sehingga walau telah berlalu sedemikian lama keimanan itu masih terus menghiasi jiwa mereka. Adapun penggunaan bentuk kata kerja pada kata yattaqūn mengisyaratkan kesinambungan takwa dan amal-amal kebajikan mereka.

9. Wali dan auliyā’ diartikan sebagai kekasih

Kata auliyā’ diartikan sebagai kekasih dijelaskan dalam QS. al-Jumu’ah (62): 6;

Katakanlah: “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, Maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar”.

Ayat di atas menceritakan tentang orang-orang Yahudi, mereka mengira bahwa mereka adalah kekasih Allah padahal mereka menganggap Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya sesat. Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang orang-orang yahudi yang tidak mengamalkan ajaran kitabnya.

10. Wali dan auliyā’ diartikan saudara seagama

Kata auliyā’ memiliki arti saudara seagama disebutkan dalam QS. al-Ahzāb (33): 6

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).

Diceritakan dalam ayat di atas adalah tentang hak waris antara saudara angkat telah dihapus, yang ada hanyalah saling tolong menolong, saling membantu, saling berbuat baik, dan saling mewasiatkan kebaikan kepada saudara seagama kalian.

Kata wali dan auliyā’ dalam al-Qur’an memiliki berbagai makna tergantung konteks kata tersebut diletakkan, seperti penolong, pelindung, teman setia, pemimpin, penguasa, anak, ahli waris, dan saudara satu agama, yang ke semuanya tidak lepas dari makna dasarnya yaitu dekat. Itu sebabnya ayah adalah orang paling utama yang menjadi wali anak perempuannya, karena dia adalah yang terdekat kepadanya. Orang yang amat taat dan tekun beribadah dinamai wali karena dia dekat kepada Allah. Seorang yang bersahabat dengan orang lain sehingga mereka selalu bersama dan saling menyampaikan rahasia karena kedekatan mereka, juga dapat dinamai wali. Demikian juga pemimpin, karena dia seharusnya dekat kepada yang dipimpinnya, karena kedekatannya itu sehingga dialah yang pertama datang membantunya.

Wali dalam Sufi

Dalam Tasawuf, Kata wali dan auliyā’ sering diartikan dengan orang kudus, orang yang berada di bawah perlindungan khusus. Dalam literatur orientalis disebut sebagai saint. Teori perwalian dalam kalangan sufi baru muncul pada akhir abad kesembilan, ketika sufi-sufi ahli tasawuf yakni al-Kharraj, Sahl al-Tustari, dan Hakim al-Turmudzi menulis tentang teori tersebut dalam karya-karyanya.

Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mengartikan wali dengan pengertian aktif dan pasif, dalam pengertian aktif, beliau mengartikan sebagai orang yang melakukan kepatuhan kepada Allah (wali dan auliyā’), sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Yunus (10) ayat 62-63. Dan wali dalam artian pasif diartikan sebagai seseorang yang diurutkan urusannya (tuwulliya).

Fudhayl bin ‘Iyadh dan Ma’ruf al-Karkhī menyatakan bahwa walāyah merupakan karunia Allah Swt. yang diberikan kepada sebagian hamba-Nya. Menurut dua sufi generasi awal itu, karunia kewalian diberikan oleh Allah kepada seorang hamba yang beriman berdasarkan pilihan mutlak-Nya secara murni. Tidak ada seorang pun di antara hamba-hamba Allah yang dapat mempengaruhi kehendak mutlak Allah dalam memberikan derajat kewalian. Namun, menurut keduanya seorang hamba yang beriman berusaha dengan beramal secara sungguh-sungguh untuk meraih derajat kewalian.

Pengertian wali dalam dunia sufi sering menekankan dimensi mistiknya, hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah maqām dan ahwāl seperti taubat, sabar, wara’, tawakkal, ridlo, dan lainnya. Dalam dunia sufi dikenal pula hirarki kekuasaan kerohanian. Tingkatan-tingkatan itu ditempati oleh para wali sesuai dengan tingkat kesempurnaan kewalian yang dicapainya. Tingkatan kekuasaan rohani tertinggi disebut qutub (poros, kutub) atau gauts (pertolongan), qutub atau gauts dikelilingi oleh tiga nuqab (pengganti), empat autād (tiang), tujuh abrār (saleh), empat puluh abdāl (para pengganti), tiga ratus akhyār (yang terpilih), dan empat ribu wali tersembunyi.

Kewalian dalam ilmu tasawuf juga mengenal istilah karamah. Karamah adalah kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada para wali. Karamah bisa terjadi tanpa sebab dan tanpa ada tantangan dari orang lain. Karamah dalam hal ini tidak dituntut untuk diperlihatkan kepada orang lain, lain halnya dengan mukjizat. Sebagaimana kita ketahui mukjizat seorang Nabi adalah satu hal yang harus diketahui umatnya sebagai bukti kenabian dan kerasulan mereka.

Seorang wali tidak memiliki sifat ma’shūm, karena yang mempunyai sifat ma’shūm adalah para Nabi, tetapi para wali adalah seorang yang mahfuzh dari melakukan dosa dan kesalahan, dalam arti seandainya ia melakukan maksiat segera ia menyesal, bertaubat dengan sempurna, menyadari kelemahan dirinya, sehingga disucikan kembali.

Menurut ibnu Taimiyah, al-walāyah merupakan lawan dari al-‘adāwah (permusuhan). Adapun yang menjadi pangkal terjadinya al-walāyah adalah al- mahabbah (cinta) dan al-qarb (hubungan yang dekat), sedangkan yang menjadi pangkal terciptanya al-‘adāwah adalah al-bughdhu (kebencian) dan al-bu’du (hubungan yang jauh). Sedangkan menurut Hakim al-Tirmidzi, walāyah melahirkan relasi antara Allah dengan hamba dalam bentuk al-ri’āyah (pemeliharaan), al- mawaddah (cinta kasih), dan al-‘ināyah (pertolongan).

Sumber : Ismatilah, Ahmad Faqih Hasyim, M. Maimun, Makna Wali dan Auliya Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian dengan Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu, Diya al-Afkar Vol. 4 No.02 Desember 2016