Apa Yang Dimaksud Dengan Wali Allah?

wali Allah

Kata wali berasal dari akar kata waw, lam, dan ya’ yang berarti dekat. Bentuk jama’ dari wali adalah auliyā’.

Apa yang dimaksud dengan Wali Allah ?

Secara etimologi, kata al-wali menurut Fairuz Abadi berarti al-qurb atau al-danuw (kedekatan), dan hujan yang turun setelah adanya hujan. Al-Wali adalah suatu nama yang berarti yang mencinta, selalu membenarkan, dan penolong.

Sedangkan al-Razi mengatakan al-wali adalah antonim dari kata al-’aduw (musuh). Dalam Maqayis Lughah disebutkan al-wali berarti al-qurbu (kedekatan) dan hujan yang datang di awal musim semi.

Al- Syaukani dalam Fath al-Qadir menyebutkan bahwa al-wali berarti yang dekat.7 Sehingga jika kita sebut wali Allah maknanya orang atau hamba yang dekat dengan Allah. Bentuk pluralnya adalah awliyah dan awliya’. Untuk bentuk plural yang pertama berarti hujan yang turun sesudah hujan, sedangkan bentuk plural yang kedua berarti orang yang mencinta, dekat, atau kawan.

Dari pemaparan di atas, wali berarti hamba atau orang yang dekat atau mencinta, jika disebut wali Allah, maka secara bahasa adalah hamba yang dekat atau mencinta Allah.

Secara terminologi, disebutkan oleh al-Jurjani dalam al- Ta’rifat, bahwa wali Allah adalah orang yang mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya (al-’Arif bi Allah wa sifatih), yang berjalan dalam ketaatan yang konstan, menghindari kekerasan, dan membebaskan pikirannya dari belenggu/kungkungan kesenangan materi dan nafsu seksual.

Adapun kewalian menurut al-Hakim al-Tirmidzi adalah ke- dekatan hubungan dengan Allah dan merasakan kehadiran-Nya oleh dirinya. Maka, wali Allah menurut beliau adalah seseorang yang dekat kepada Allah dalam petunjuk, pertolongan, jiwanya, dan mengangkat-Nya di tempat yang tinggi dengan penuh kesungguhan, kemudian Allah memperkokoh kesungguhannya sehingga ketika seluruh upaya tercurahkan, Allah posisikan dirinya di hadapan-Nya dengan penuh tunduk, patuh, dan berserah diri.

Definisi Hakim terkait dengan ketundukan dan penyerahan diri seorang wali terhadap Allah berdasar pada hadis qudsi, Rasulullah SAW:

“Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada- Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah Aku sebagai pendengarannya, penglihatannya, lisannya, tangannya, kakinya, dan hatinya. Maka dengan-Ku dia mendengar, melihat, berbicara, berjalan, dan meraba.”

Al-Hakim menyatakan bahwa inilah gambaran hamba yang menenangkan akal (jiwanya) kepada Yang Maha Besar, sehingga hawa nafsunya menjadi terkendalikan oleh genggaman-Nya. Setelah itu Allah akan mengangkat derajat hamba tersebut, dengan berdasar pada firman-Nya,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” QS.Yunus [10]: 62

Yaitu karena Allah menjadi wali dalam urusan mereka, sehingga Allah menolong mereka dalam mengendalikan jiwa- jiwanya.Dan pada puncaknya wali tersebut akan mencapai pada derajat tidak ada sesuatu pun yang menyibukkan dirinya selain Allah, sebagaimana firman-Nya,

“(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” QS. al-Ra’d [13]: 28.

Sedangkan dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, wali Allah adalah orang yang menepati dan mengikuti apa yang dicintai dan diridai Allah, membenci dan murka terhadap apa yang dibenci dan dimurka Allah; serta senantiasa memerintahkan apa yang dicintai dan diridai Allah dan melarang apa yang dibenci dan dimurkai Allah.

Dasar dari definisi yang ia utarakan adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” QS. Yunus [10]: 62-63

Dari ayat ini beliau menyatakan bahwa ciri utama dari wali Allah adalah iman dan takwa.
Selanjutnya beliau sebutkan bahwa Allah Ta’ala akan murka kepada mereka yang memusuhi wali-Nya, sebagaimana termaktub dalam hadis qudsi, Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya”.HR. al-Bukhari, hadis no. 6137 dan Ahmad 206.

Lebih lanjut lagi beliau jelaskan bahwa keimanan dan ketakwaan wali Allah tersebut akan sempurna dengan mencintai apa yang diridai dan dicintai Allah, dan berlaku juga sebaliknya terhadap apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala. Beliau sebutkan sabda Rasulullah SAW.,

“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai dan membenci karena Allah”. Abu Dawud, No: 783 dan Ahmad, No: 18547

Disebutkan juga dalam hadis yang lain,

“Barang siapa yang mencintai, membenci, memberi, dan melarang karena Allah, maka telah sempurnalah keimanannya”. Abu Dawud, No: 4681.

Dari definisi terminologi ini, dapat kita pahami bahwa definisi wali Allah menurut kedua tokoh tersebut tidaklah jauh berbeda. Hanya saja jika dilihat dari ungkapan keduanya, al-Hakim al- Tirmidzi menggunakan bahasa yang lebih umum daripada Ibnu Taimiyyah. Namun, keduanya menunjukkan bahwa wali Allah adalah seorang hamba yang tunduk dan patuh kepada Allah.

Karakteristik Wali Allah

Menurut al-Hakim ada beberapa karakteristik bagi seorang wali.

  • Pertama, dengan melihatnya akan mengingatkan kepada Allah.
  • Kedua, mereka memiliki argumentasi yang hak, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menundukkannya.
  • Ketiga, memiliki firasat.
  • Keempat, memiliki ilham.
  • Kelima, barang siapa yang menyakitinya maka diazab dengan su’ al-khatimah.
  • Keenam, mendapat pujian kecuali mereka yang disiksa.
  • Ketujuh, doanya mustajab dan tampaknya beberapa tanda, seperti masuk ke dalam bumi, berjalan di atas air, dan berbicara dengan Khidir.

Beliau juga menambahkan beberapa karakteristik yang termaktub dalam al- Qur’an, yaitu tidak takut terhadap berbagai cercaan, bersifat loyal terhadap Allah, mengasihi kaum Muslim, memusuhi orang- orang kafir, dan tertancap keimanan dalam hati mereka.

Di antara tanda yang paling nyata adalah ilmu yang mereka dapatkan langsung dari sumber aslinya, yaitu Allah Ta’ala. Semua ilmu yang didapat adalah hikmah yang tertinggi, tercakup di dalamnya tentang niat, petunjuk, rasa malu, nasehat, kasih sayang sesama manusia, dan lainnya. Ilmu ini dimiliki para pembesar wali dan ditularkan kepada wali yang lain.

Sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah ada beberapa karakter yang harus dipenuhi seorang wali, di antaranya adalah:

  • Pertama, beriman dan bertakwa, sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta’ala,

    “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. QS. Yunus [10]: 62-63

  • Kedua, membenci dan mencintai karena Allah. Rasulullah SAW telah bersabda, “Ikatan iman yang paling kokoh adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”

  • Ketiga, penuh loyalitas dalam ketaatan (memihak kepada sesama Mukmin dan memusuhi orang kafir), sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”.

Dari karakteristik yang mereka sebutkan, al-Hakim al- Tirmidzi memberi penekanan pada karakteristik wali dari sisi zahir, sedangkan dalam perspektif Ibnu Taimiyyah, karakteristik yang lebih ditonjolkan adalah dari sisi batinnya.

Cara Mendapatkan Kewalian dan Klasifikasinya

Derajat kewalian, dalam pandangan al-Hakim al-Tirmidzi diraih melalui 2 jalur, pertama jalur kedermawanan (al-kud) atau anugerah (al-minnah/al-minhah). Sedangkan yang kedua adalah jalur kesungguhan, upaya atau usaha (al-juhdu, al-sa’yu, al-iktisab).

Untuk jalur yang pertama muncul dari kedermawanan Ilahi dan karya-Nya yang menakjubkan. Sedangkan yang kedua terwujud atas dasar amalan manusia dan jerih payah usaha yang dilakukannya. Perbedaan jalur dalam menggapai derajat kewalian ini, tidak hanya menunjukkan perbedaan antara karunia Ilahi murni dan hasil jerih payah manusia saja. Namun, hal ini menunjukkan adanya 2 klasifikasi wali.

Al-Hakim mengklasifikasikan kewalian menjadi dua bagian, yaitu al-Walayah al-’Ammah (Kewalian Umum) dan al-Walayah al-Khas (Kewalian Khusus). Kewalian umum mencakup semua orang yang beriman, beramal saleh, dan membenarkan para rasul. Sedangkan Kewalian Khusus terbatas cakupannya kepada para kekasih Allah asfiya‘ Allah (manusia pilihan Allah), yaitu mereka yang dipilih oleh Allah untuk diri-Nya dan Allah pun membimbing mereka dengan karunia-Nya agar mereka lebih dekat kepada-Nya.

Termasuk dalam kelompok yang pertama adalah Wali Hak Allah (Wali Haqq Allah), seseorang yang tersadar dari keterlenaan, kemudian bertaubat kepada Allah dan komitmen dengan janji taubatnya. Komitmen tersebut dilakukan dengan upaya menjaga ketujuh anggota tubuh, yaitu lisan, pendengaran, penglihatan, tangan, kaki, perut, dan kemaluan. Keinginan dirinya ditepis dan fokus pada proses “penjagaan”, sehingga dirinya menjadi seseorang yang menunaikan kewajiban dan menjaga batasan-batasan-Nya, lahir dan batinnya menjadi tenang.

Dari sini ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik Awliya Haqq Allah, yaitu: (1) bertaubat secara benar dan memelihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.

Kelompok yang kedua adalah Wali Allah, yaitu seseorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabatih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap sidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan Allah, mempertahankan posisi kedekatannya kepada Allah, sehingga menjadi lurus, murni, bening, terdidik, suci baik mampu atau kuat, suci, berani, dan terlindungi.

Dalam keadaan ini, menurut al-Hakim, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah. Kedua jenis wali tersebut termasuk dalam kategori wali-wali Allah.
Sedangkan dalam perspektif Ibnu Taimiyyah derajat kewalian ini didapat dengan ketakwaan dan keimanan, di antaranya didasarkan pada firman Allah,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” QS.Yunus [10]: 62-63.

Di dalam ayat ini, Allah Ta’ala menegaskan bahwa untuk menjadi wali Allah yang tidak pernah merasa takut dan cemas hanya memerlukan dua syarat: iman dan takwa. Jika para wali Allah itu adalah mereka yang bertakwa dan beriman, maka derajat kewalian mereka akan didapat berdasarkan keimanan dan ketakwaannya. Derajat mereka berbeda-beda berdasarkan tingkat ketakwaan dan keimanannya.

Wali-wali Allah itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Ashab Yamin Muqtasidun dan Sabiqun Muqarrabun. Yang dimaksud dengan Ashab Yamin Muqtasidun adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardu. Mereka melakukan apa yang diwajibkan Allah dan meninggalkan apa yang diharamkan. Mereka tidak membebani diri dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah.

Sedangkan Sabiqun Muqarrabun adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah nafilah setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang wajib dan juga yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan juga yang makruh. Sehingga ketika mereka mendekatkan diri (pada Allah) dengan semua yang mampu mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun mencintai mereka dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang disebutkan dalam firman-Nya dalam Surah al-Nisa [4]: 69.

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Surah al-Nisa [4]: 69.

Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang mubah pun dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah. Sehingga semua amal mereka pun menjelma menjadi ibadah dan penghambaan.

Amalan nafilah dikerjakan setelah terpenuhinya Kewajiban, Ibnu Taimiyyah menyitir wasiat Abu bakar terhadap Umar,

“Ketahuilah bahwasanya Allah memiliki hak darimu pada malam hari yang tidak diterima jika dilakukan pada siang hari, dan Allah juga memiliki hak darimu pada siang hari yang tidak diterima jika dilakukan pada malam hari. Ketahuilah bahwasanya amalan nafilah tidak akan diterima sebelum terlaksana amalan- amalan yang wajib”.

Ibnu Taimiyyah dalam hal ini lebih menyandarkan pencapaian derajat kewalian dari usaha hamba yang bersangkutan atau dari amalnya. Derajat tersebut akan diraih dengan upaya iman takwa yang dia usahakan. Sementara dalam perspektif al-Hakim al-Tirmidzi, di samping derajat kewalian tersebut dapat diraih dengan upaya yang dilakukan oleh hamba, dapat juga diraih karena murni kehendak dan anugerah dari Allah Ta’ala.

Karamah Wali

Terkait dengan masalah karamah, menurut al-Hakim karamah merupakan bukti yang paling penting bagi seorang wali, sebagaimana mukjizat bagi seorang nabi. Ada perbedaan antara karamah dan mukjizat. Disebut dengan mukjizat karena ketidakmampuan bagi yang lain untuk melakukan yang semisalnya. Mukjizat sifatnya permanen, dapat dilakukan kapan saja ketika ada orang yang menentang kenabian seorang nabi. Sehingga mukjizat itu ada untuk orang lain, bukan untuk diri nabi sendiri. Dalam arti bahwa mukjizat itu ada karena ada sebab dari luar yaitu orang lain selain diri nabi. Sedangkan karamah diperuntukkan bagi seorang wali, dan sifatnya tidak permanen. Dia diperuntukkan bagi wali untuk memperkuat keyakinan dalam hatinya.

Selanjutnya dalam masalah karamah, Ibnu Taimiyyah membahasnya secara panjang lebar. Pada intinya, ia mengakui dan menyepakati adanya karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Karamah ini diberikan oleh Allah kepada hamba yang dipilih-Nya. Karamah ini selalu berwujud perkara-perkara yang khariq li al-’adah atau di luar kebiasaan umum makhluk. Karena itu, Ibnu Taimiyyah kemudian membagi perkara-perkara yang khariq li al-’adah ini menjadi 2, yaitu mukjizat yang diperuntukkan bagi nabi, dan karamah yang diperuntukkan bagi awliya.

Adapun yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, maka ia dikenal dengan istilah mukjizat. Ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang disertai dengan unsur tantangan (al-tahaddi) kepada yang ingkar. Perkara-perkara luar biasa semacam ini jelas tidak memiliki tujuan apa-apa selain untuk kebaikan manusia itu sendiri, sebab ini akan menguatkan kebenaran wahyu petunjuk yang dibawa oleh para nabi dan rasul.

Sedangkan perkara-perkara luar biasa yang terjadi pada selain para nabi dan rasul, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi 3 jenis berdasarkan tinjauan dan pandangan syariat padanya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa perkara luar biasa itu, jika menghasilkan manfaat keagamaan, maka ia termasuk amal saleh yang diperintahkan secara agama dan syar’i. Jika ia menghasilkan perkara yang mubah, maka ia termasuk salah satu kenikmatan Allah yang bersifat duniawi yang mengharuskan bersyukur. Namun jika ia mengandung perkara yang terlarang, maka ia diharamkan dan dapat menjadi sebab (datangnya) azab atau kemurkaan (Allah).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia membagi perkara dan peristiwa luar biasa itu –sebagaimana telah disebutkan- menjadi 3 jenis berdasarkan pandangan agama padanya,

  1. yang terpuji dalam agama (mahmud fi al-din),
  2. yang tercela dalam agama (madzmum fi al-din) dan
  3. yang mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela. Jika ia mengandung manfaat, maka ia adalah nikmat. Sementara jika tidak mengandung manfaat apapun, ia tidak lebih dari perkara yang sia-sia.

Ia juga memandang bahwa perkara yang luar biasa itu, sebagaimana dapat terjadi di tangan siddiqun yang saleh, ia juga dapat terjadi melalui tangan manusia lain yang tidak seperti mereka; baik itu dari kalangan manusia biasa, bahkan dari kalangan manusia durjana sekalipun. Tetapi di luar itu semua, Ibnu Taimiyyah juga memandang bahwa kara>mah itu sendiri tidak serta merta dapat menyimbolkan keutamaan seseorang. Seseorang yang dikaruniai keteguhan dan konsistensi (istikamah) dalam agama jauh lebih baik daripada orang yang hanya mendapatkan karamah. Itulah sebabnya, ia menukil sebuah ungkapan bijak Abu ‘Ali al-Jurjani (salah seorang syekh sufi besar di Khurasan),

“Jadilah orang yang mencari keistikamahan, bukan pencari karamah. Sebab jiwamu memang tertarik untuk mencari karamah, tapi Tuhanmu menuntut dan memintamu untuk selalu istikamah.”

Dalam kajiannya tentang kara>mah dan wali, Ibnu Taimiyyah pada akhirnya menyimpulkan bahwa hubungan kewalian (al- Walayah) seorang hamba dengan Allah tidaklah harus menyebabkan ia mendapatkan atau mengalami peristiwa yang luar biasa (khariq li al-’adah). Bahkan bisa saja seorang wali sama sekali tidak mengalami atau memiliki hal tersebut. Sebagaimana juga sebalik- nya, bisa saja Allah membuat seorang yang durhaka dan pendosa mengalami dan memiliki kemampuan melakukan hal-hal yang luar biasa (seperti berjalan di air atau di udara). Hal-hal luar biasa itu tidak kemudian membuatnya menjadi wali Allah.

Demikianlah, maka perkara-perkara luar biasa itu tidak dapat dijadikan sebagai parameter kebenaran, sebab mereka yang mengalaminya memiliki kemungkinan untuk salah dan benar. Mereka tidak selamanya berada di atas kebenaran. Karena itu, Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Orang-orang yang mengalami ‘mukhatabah’ dan ‘mukasyafah’ terkadang benar dan terkadang pula salah. Persis seperti mereka yang melakukan penelitian dan penyimpulan dalil saat melakukan ijtihad. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban mereka semua untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta menimbang semua persaksian, pendapat, dan rasio mereka dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”

Sumber : Lilik Mursito, Wali Allah menurut al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibnu Taimiyyah, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo

Referensi
  • Muhammad Bin Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1991).
  • Ibnu Taimiyyah, Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T. Th.).
  • Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhit} (Beirut-Libanon: Muassasah Risalah li al-Tiba’ah
  • wa al- Tauzi’, Cet-8, 1426 H- 2005 M).
  • Al-Razi, Mukhtar al-Sahah, (Beirut: Dar al-Kutub ‘Arabi T. Th.).
  • Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis Lughah, (Iran: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T. Th.).
  • Al-Saukani, Fath al-Qa>dir, Vol. 2, (Beirut: Dar al-Ma’rifah).
  • S. Askar, Kamus al-Azhar, (Jakarta: Senayan Publishing, Cet-1, 2009).
  • Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H).
  • Al-Hakim al-Tirmidzi, Khatm al-Awliya, Tahqiq: Utsman Ismail Yahya, (Beirut: al- Matba’ah al-Katulikiyyah, 1965).

Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Yunus: 62 – 64)

Dari ayat tersebut, wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur’an dan terucap melalui lisan Rosul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah (terawasi oleh Allah), kontinyu dengan sifat ketaqwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharomkan (Lihat Muqoddimah Karomatul Auliya’, Al-Lalika’i, Dr. Ahmad bin Sa’d Al-Ghomidi, 5/8).

Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).

Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh juga menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin no.96, bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan kebaikan lahir dengan ketaqwaan, merekalah wali Allah.

Wali itu banyak sekali artinya, bisa pemimpin, teman dekat, wakil dan sebagainya… Tapi disini kita hanya bahas tentang wali Allah saja…

  1. waw و : huruf ini memiliki makna bahwa sesuatu itu sedang berproses untuk menuju suatu tujuan. Proses dari waw و akan menjadi ==> fa ف lalu proses lanjutannya akan menjadi qof ق (saya tdk jelaskan lebih lanjut)

  2. lam ل : huruf ini berarti sebuah persembahan atau penyerahan

  3. ya ي : huruf ini adalah huruf tambahan, memiliki makna bahwa sesuatu itu memiliki tujuan tertentu

Dari huruf-huruf penyusunnya, kata “wali” memiliki makna seseorang yang sedang mengalami sebuah proses untuk menuju penyerahan dirinya (kepada Tuhan), bagi sebuah tujuan tertentu.

Wali Allah banyak istilah ragamnya:

  • Qutub = pemimpin puncak para wali. Dia yang memiliki pencerahan dan kebijaksanaan tertinggi.
  • Autad = yang memiliki pasak (kekuatan kegaiban), memiliki banyak ilmu-ilmu gaib dan karomah.
  • Nuqaba’ = pimpinan kaum/suatu umat, umumnya adalah juga seorang pemimpin banyak orang
  • Nujaba = yang selalu disukai orang, yang sangat disukai dan dicintai orang banyak.
  • Akhyar/Abrar = yang baik hati, berbudi luhur dan ramah tamah, terhadap sesama makhluk.
  • Badal = abdi dalem/cantrik, yang menjadi pendukung bagi urusan aktifitas wali-wali Allah yang lain.

Tiap golongan thoriqoh umumnya menganggap pucuk pimpinannya sebagai wali qutub bagi masing-masing thoriqohnya sendiri.

Wali Allah dan majdzub itu berbeda…

Wali itu wakil, maksudnya orang-orang yang “mewakili” kepentingan Allah dimuka bumi ini, yaitu tugasnya utk menuntut orang-orang menuju hadrah Allah… untuk membimbing ruhani-ruhani yang masih di bawah agar meningkat menuju ke atas…

Majdzub itu adalah orang yang tergila-gila dengan Allah…
seorang majdzub itu keilmuannya bisa di bawah, bisa pula jauh diatas seorang wali Allah… Majdzub, ada yang kemudian kembali normal dan menjadi wali Allah…

bahluul al majenuun

Wali itu wakil sebagai representasi dari Allah…

Begini… Allah itu menciptakan suatu panggung sandiwara besar didunia ini, banyak cerita-cerita kehidupan di dalamnya, nah tokoh-tokoh sentral (pemeran utama) dalam setiap bidang itulah yang disebut sebagai wali…

Ada banyak sekali bidang, hal demikian menjadikan banyak sekali wali… Mulai wali bisnis, wali musik, wali fiqih, wali mazhab, wali dalil, wali Tauhid, wali tasawuf, wali thoriqoh… dan sebagainya.

Lah terus yang mana yang disebut sebagai wali Allah, yang disebut didalam Qur’an bahwa mereka tiada ketakutan dan sedih hati???..

Itu adalah wali yang khusus sudah menjadi wakil representasi dari Allah sendiri… sudah manunggaling kawulo gusti… karena sdh mencitrakan keilahiyahan bukan kemanusiaan…

Letak kewalian wali Allah itu bukan terletak pada “karomahnya” tetapi pada kesufiannya. Letak kesufian itu pada “kosong”. Karenanya jangan suka heran atau terkagum-kagum dengan orang yang memiliki karomah atau kesaktian apapun, itu semua hanya hal lumrah saja.

Kosong itu seperti apa?..

Kosong kuibaratkan seperti segelas kopi yang dihidangkan dihadapanku. Awalnya gelas itu penuh berisi kopi, lalu aku meminumnya sedikit demi sedikit, gelas itupun menjadi kosong sedikit demi sedikit, sampai akhirnya benar-benar kosong sama sekali, seperti itulah bahwasanya “kosong” itu bertingkat-tingkat.

Tetapi itupun masih bukan kosong mutlak, masih ada kosong diatas kosong, yaitu ketika aku menyingkirkan gelasnya sama sekali. pada saat gelasnya kosong, seperti itulah kedekatan puncak antara hamba-Tuhan, pada saat gelasnya disingkirkan sama sekali, seperti itulah leburnya hamba

Mursyid Syech Muhammad Zuhri