Apa Yang Dimaksud Dengan Wahyu?

Apa yang dimaksud dengan wahyu Allah swt?

Wahyu menurut bahasa ialah memberikan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat sedangkan menurut pengertian agama, wahyu adalah pemberitahuan tuhan kepada nabinya tentang hukum-hukum tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada nabi / rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah dari Allah sendiri. Sesuai dengan ayat 51 dari surat Al-Surra.

Berdasarkan atas ayat tersebut maka wahyu itu ada tiga macam:

  1. Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan termasuk mimpi yang tepat dan benar, misalnya habi Ibrahim diperintah melalui mimpi menyembelih puteranya (Ismail). Peristiwa ini diungkapkan oleh Allah dalam surat Al-Shofat ayat 102.

  2. Mendengar firman Allah dibalik ta’bir, seperti yang dialami nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabianya. Peristiwa ini disebutkan dalam surat Thaha ayat 11-13. Demikian pula peristiwa mi’raj nabi Muhammad, dimana nabi menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk mendirikan shalat lima waktu

  3. Penyampaian wahyu (amanat) Tuhan dengan perantaraan Jibril As .Ini ada dua macam :

    • Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s.
    • Nabi tidak melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar suaranya seperti suara lebah atau gemrincing bel.

Asal kata wahyu berasal dari kata bahasa Arab al-wahy yang berarti suara, api dan kecepatan, serta dapat juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Tetapi pengertian wahyu yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada para utusan-Nya (Nasution, 1986).

Semua agama samawi bedasarkan wahyu. Para nabi adalah seoarang manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah. Wahyu diturunkan kepada nabi Muhammad dinamakan al-Qur’an. Adapun definisi alQur’an adalah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepad nabi Muhammad, dan merupakan petunjuk bagi kehidupan. Penamaan wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan alQur’an memiliki bahwa wahyu tersimpan dalam dada manusia karena nama al-Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan dalam arti kata qira’ah terkandung makna agar selalu diingat (Ya’qub, 1991).

Selain dinamakan al-Qur’an, wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad memiliki nama-nama lain, yaitu diantaranya:

  • al-Kitab berarti tulisan (al-Baqarah; 2);
  • al-Risalah berarti surat atau warta (al-Ahzab: 39);
  • suhuf berarti lembaran-lembaran (A’abasa: 39);
  • al-Furqan berarti pembeda karena membadakan antara yang hak dan batil, antara yang baik dan yang buruk (alBaqarah: 185);
  • al-Dzikr berarti peringatan (Shad: 1);
  • al-Huda berarti petunjuk karena memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar (al-Baqarah: 185);
  • al-Nur berarti cahaya karena mengeluarkan manusia dari kegelapan pikiran kepada kebenaran (al-An’am: 91);
  • al-Syifa’ berarti penawaran atau obat karena berisi penawaran penyakit rohani seperti keresahan, kegelisahan kecemasan dan sebagainya (al-Fushilat: 44).

Wahyu Allah diturunkan kepada utusan-Nya khususnya kepada Nabi Muhammad pada garis besarnya berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan yang perlu diyakini oleh setiap mukmin: hukum-hukum syari’at yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya: akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu pengetahuan; sejarah umat-umat terdahulu, sebagai pelajaran; informasi hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

Sementara mengenai turunya wahyu terjadi dengan tiga cara, yakni, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, dari belakang tabir sebagi yang terjadi dengan nabi Musa, dan melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa konsep wahyu mengandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi dan hal inipun diakui oleh falsafat dan mistisisme dalam Islam (Nasution, 1986).

Pandangan para Filsuf tentang Wahyu.


Hampir setiap filsuf Islam berbicara mengenai akal dan wahyu, terutama al-Kindi yang pertama kali berpendapat bahwa antara akal dan wahyu atau filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Dasar pemikiranya ialah bahwa keduanya mengandung kebenaran yang sama. Dalam pandangan al-Kindi filsafat ialah pembahasan tentang kebenaran tidak hanya di ketahui tetapi diamalkan. Dengan demikian antara agama dan filsafat ada penyesuaian, yang mana keduanya membahas kebenaran dan kebaikan dengan membawa argumen-argumen yang kuat. Agama dan filsafat membahas subyek yang sama dan memakai metode yang sama, sehingga yang menjadi perbedaan hanya cara memperoleh kebenaran yakni filsafat dengan cara menggunakan akal sedangkan agama dengan wahyu (Dahlan, 2007).

Sejatinya argumen-argumen yang dibawa al-Qur’an memang lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang diajukan filsafat, tetapi hal ini bukan menjadi salah satu masalah dalam mencapai pengetahuan sebab diantara keduanya memiliki tujuan yang sama yakni kebenaran. Kebenaran yang diberitakan wahyu tidak berlawanan dengan kebenaran dibawa filsafat, sehingga mempelajari filsafat bukanlah hal yang dilarang Tuhan, sebab teologi merupakan bagian dari filsafat serta umat Islam diharuskan belajar tauhid (Nasution, 1987).

Al-Kindi juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia atau tertinggi martabatnya, agama juga mengenai ilmu tentang kebenaran daripada kebenaran itu sendiri, orang yang mengingkari kebenaran, dan oleh karenanya ia menjadi kafir. Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada Al-Muktasin ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditunjukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggap sebagai ilmu kafir dan menyiakan jalan kepada kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof Islam (Sudarsono, 2010).

Mengungkapkan istilah wahyu akan terkait dengan apa saja yang bersumber dari Allah SWT. dan memahami wahyu dimulai dari arti kata wahyu itu sendiri. Secara etimologis, kata wahyu berasal dari kata Arab al-wahy , dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api, dan kecepatan.4 Sementara pendapat lain mengatakan bahwa kata wahyu memang berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya berarti memberi sugesti, memasukkan sesuatu ke dalam pikiran.5 Ada juga yang berpendapat bahwa arti wahyu sama dengan inspirasi.

Selanjutnya, M. Quraish Shihab dkk, juga memberi penjelasan bahwa secara semantik wahyu berarti isyarat yang cepat (termasuk bisikan di dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui. Selanjutnya, H.Hamzah Ya’qub mendefinisikan kata wahyu sebagai pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nya yang berisi penjelasan dan petunjuk kepada jalan-Nya yang lurus dan benar.

Lebih lanjut Muhammad ‘Abduh menjelaskan bahwa, wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan.9 Uraian di atas, memberikan pengertian bahwa wahyu itu hanya yang berasal dari Allah SWT terutama yang diberikan kepada utusannya yaitu para Nabi dan Rasul-Nya serta makhluk atau ciptaan- Nya yang lain baik secara langsung maupun melalui perantara Malaikat-Nya.

Penjelasan tentang wahyu dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surat al- Syu’ara (42) ayat 51, yang artinya: “ Dan tiada manusia yang Allah berfirman kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tirai, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin- Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” Berdasarkan ayat tersebut dapat diketahui bahwa wahyu yang dikaruniakan kepada manusia ada tiga macam, yaitu

  • pewahyuan (menurunkan wahyu),

  • mendengarkan suara dari belakang tirai/hijab,

  • dengan perantaraan malaikat (Jibril).

Lebih lanjut diuraikan bahwa pewahyuan cara pertama pada ayat di atas adalah wahyu dalam pengertian bahasanya yang asli, yaitu isyarat yang cepat. Dalam hal ini, wahyu adalah suatu kebenaran yang disampaikan ke dalam kalbu atau jiwa seseorang, tanpa terlebih dahulu timbul pikiran atau mukadimah- mukadimah, dan kebenaran itu menjadi terang bagi yang bersangkutan. Wahyu dalam pengertian ini tidak sama dengan ilham , dan juga berbeda dengan hasil meditasi, karena merupakan kebenaran yang tidak mengandung keraguan.

Inilah yang dimaksud dengan wahyu dalam kaitannya dengan para Nabi. Sesudah menerima wahyu itu, para nabi mempunyai kepercayaan yang penuh, bahwa yang diterimanya berasal dari Allah. Wahyu semacam itu, seperti yang diterima oleh Nabi Ibrahim mengenai perintah penyembelihan putranya Ismail.

Berikutnya, pewahyuan cara kedua, yakni wahyu yang disampaikan “dari belakang tirai”, adalah kalam Allah yang disampaikan kepada seorang nabi dari belakang hijab , sebagaimana Allah memanggil Nabi Musa dari belakang sebuah pohon dan ia mendengar panggilan itu. Termasuk dalam kategori ini adalah wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw ketika memperoleh penjelasan tentang isra’.

Pewahyuan cara ketiga ialah pekabaran dari Allah yang disampaikan kepada seseorang melalui utusan (yaitu malaikat yang mengemban risalah/Jibril) dan disampaikan dengan kata-kata yang “diucapkan”. Cara ini adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. Pemberian wahyu dengan cara ini hanya terbatas bagi para rasul, yaitu orang yang ditugaskan mengemban risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia. Berbeda dengan bentuk yang pertama, wahyu bentuk yang ketiga tidak hanya sekedar berbentuk konsep, tetapi dibungkus dengan kata-kata. Inilah yang diebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibaca).

Selanjutnya ditegaskan bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga seperti tertera dalam Al-Qur’an surah al-Syu’ara’ ayat 51 diatas. Artinya, al-Qur’an tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa al-Qur’an adalah bentuk wahyu yang paling tinggi.

Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada prinsipnya wahyu adalah firman Allah, sedangkan isi wahyu berupa pengetahuan yang diturunkan oleh allah kepada manusia yang telah ditunjuk atau telah dipilih sendiri oleh Allah, dalam hal ini Nabi dan Rasul.15 Diuraikan juga bahwa wahyu yang diterima oleh para Nabi dan Rasul Allah berbentuk risalah (ajaran) menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk masalah keimanan. Wahyu yang menyangkut masalah risalah, diturunkan hanya kepada Nabi atau Rasul.

Khusus mengenai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, diturunkan melalui empat cara.

  • Pertama ; Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw tidak melihat sesuatu apa pun, hanya merasa bahwa sesuatu sudah berada dalam qalbunya. Mengenai hal ini Nabi menyatakan: “Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku”.

  • Kedua ; Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki dan belum hapal benar kata-katanya.

  • Ketiga ; Wahyu yang datangnya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat.

  • Keempat; Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki, tetapi benar-benar seperti rupa asli.

Terkait dengan esensi wahyu, Miska Muhammad Amin menjelaskan, bahwa:

  • Pertama , perbedaan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh para Nabi sebelum beliau, bahwa wahyu yang diterima oleh Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw hanya ditujukan kepada segolongan umat; umat yang berada di satu tempat tertentu, dibatasi oleh ruang dan waktu tetentu. Sedangkan wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw diperuntukkan bagi semua umat di muka bumi ini, tidak dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Wahyu ini bersifat universal.

  • Kedua ; Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan rasul bentuknya berupa risalah (ajaran keagamaan), karena itu sudah tidak pernah diturunkan oleh Allah kepada siapa pun.

  • Ketiga ; Wahyu yang diturunkan kepada perseorangan (bukan Nabi dan Rasul) atau kepada hewan-hewan bukan berbentuk ajaran keagamaan tetapi menyangkut kebutuhan bagi penerimanya. Umpamanya, wahyu yang diberikan kepada Ibu Nabi Musa agar menyelamatkan bayinya (Nabi Musa) dengan cara menghanyutkan ke sungai Nil.

Takwil kata wahyu

  1. waw و : sesuatu yang diturunkan
  2. ha ح : Tuhan yang maha merahmati
  3. ya ي : huruf tambahan yang menyiratkan sebuah tujuan

Makna takwil dari wahyu adalah sesuatu yang diturunkan oleh Allah yang maha merahmati, untuk tujuan tertentu.

Sekarang saya akan bahas perluas lagi tentang wahyu dulu… Wahyu ini banyak macam ragamnya, diantaranya:

Wahyu nubbuwah/wahyu kenabian dan wahyu ghoiru nubbuwah/non kenabian… wahyu nubbuwah adalah wahyu yang diterima para nabi, sedang yang non-nubbuwah adalah yang diterima manusia/makhluk selain para nabi… Demikian juga ilham, ada ilham nubbuwah (kenabian) ada yang non-nubbuwah… Seperti firman Allah

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, An Nahl Ayat 68

Itu jelas menunjukkan, bahwa lebah saja mendapatkan wahyu Allah, bukan cuman manusia… gamblang kan??.. ini jenis wahyu non-nubbuwah… Adapun wahyu, bisa muncul dari dalam hati (berupa bisikan dalam hati dari ruh qudus), bisa juga tidak (berupa pengutusan malaikat yang menjelma) dan sebagainya. Prosesnya melibatkan pengutusan malaikat atau disebalik hijab (hijab bisa berupa wujud manifestasi Tuhan).

Apakah masih ada wahyu pada masa sekarang ini ???

Wahyu dan ilham akan selalu ada… Hanya wahyu nubbuwah dan ilham nubbuwah (kenabian) sudah selesai… Tinggal yang non-nubbuwah saja… Sampai sekarang Allah masih memberi wahyu lebah untuk membuat sarangnya (lihat An Nahl Ayat 68)… Wahyu dan ilham walyah (kewalian) masih ada… tapi non-nubbuwah… sifatnya ibarat potongan-potongan yang tidak utuh/tidak lengkap… tidak seperti wahyu dan ilham kenabian yang utuh lengkap… Itulah sebabnya auliya/ wali-wali Allah, kadang masih perlu rapat/musyawarah… Karena yang diterima satu dengan lainnya cuma dapat sepenggal-sepenggal, harus disatukan dahulu, untuk mendapatkan gambaran yang utuh/lebih sempurna…

Musryid : syech Muhammad