Apa yang Dimaksud dengan Vitalitas Bahasa?

Pemertahanan suatu bahasa bisa diukur dengan vitalitas bahasa.

Apa yang dimaksud dengan vitalitas bahasa?

Vitalitas bahasa merujuk pada kemampuan suatu bahasa menampung dan melakukan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi. Bahasa tertentu bias dikatakan memiliki vitalitas tinggi, sedang atau rendah. Namun pada umumnya bahasa daerah memiliki vitalitas yang rendah karena ketidakmampuannya dalam memasuki berbagai ranah pengetahuan. Vitalitas suatu bahasa terlihat dari keunggulan eksternal (jumlah penutur bahasa) dan internalnya (jumlah word entry yang dimilikinya). Sebagai contoh, tahun 1983 bahasa Inggris diperkirakan memiliki 450 ribu kata, bahasa Perancis 150 ribu kata dan bahasa Rusia 130 ribu kata. Menjadi sebuah tantangan besar bagi bahasa daerah untuk menuju ke arah vitalitas tersebut.

Istilah Vitalitas diperkenalkan pertama ke area Ethnolinguistik adalah oleh Giles dkk (1977). Vitalitas suatu kelompok ethnolinguistik akan mempengaruhi suatu kelompok tutur berperilaku sebagai suatu kesatuan yang khas. Semakin suatu masyarakat tutur memiliki level vitalitas yang tinggi, lebih memiliki potensi untuk bertahan, sebaliknya jika mempunyai vitalitas yang rendah atau tidak mempunyai, bahasa tersebut diprediksi tidak akan bertahan. Dengan kata lain Vitalitas bahasa menjadi tolok ukur pemertahanan sebuah bahasa dengan mengukur penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari dalam berbagai konteks social untuk berbagai keperluan (Giles, 1977). Dalam konteks pengembangan bahasa, penelitian vitalitas bahasa adalah penting karena dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan sebuah bahasa akan berlanjut (sustainable) di masa depan, dan juga karena bisa digunakan untuk melihat kemungkinan usaha-usaha pengembangan bahasa yang berkelanjutan.

Pembicaraan mengenai vitalitas bahasa (Language Vitality) tentu sangat erat berkaitan dengan kepunahan bahasa. Dan kajian mengenai kepunahan bahasa bukanlah merupakan hal baru dalam penelitian, dan sebagain besar penelitian tentang kepunahan bahasa menunjukkan bahwa bahasa-bahasa yang terancan punah sebagian terjadi pada negara berkembang atau daerah yang tergolong miskin sumber daya manusianya. Sebagian besar penelitian juga menyimpulkan keterancaman bahasa terhadap kepunahan disebabkan sebagian besar adalah karena orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya untuk menggunakannya sebagai media komunikasi.

Disisi lain, penelitian terhadap vitalitas bahasa terhadap bahasa daerah (indigenous language) masih belum banyak dilakukan, sementara informasi tentang hal tersebut mutlak diperlukan dalam perencanaan bahasa yang tentu akan menemui kesulitan perancangannya tanpa adanya keakuratan informasi mengenai vitalitas bahasa. Bahkan pihak Unesco yang dimulai sejak 2 dekade ini (1980- an) sangat aktif terlibat dalam pemeliharaan diversitas bahasa-bahasa dunia, khususnya bahasa-bahasa daerah, melalui berbagai program dan pertemuan membahas masalah ini.

Program yang pernah diluncurkan adalah The Red Book of Language in Danger of Disappearing (1980), Proclamation of Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity (1997), Unesco Endangered Language Program (2001), dan juga konferensi yang menghasilkan Universal Declaration of Cultural University (2001), dan juga ada pertemuan para ahli bahasa Internasional dengan program Safeguarding of Endangered Languages. Pertemuan yang terakhir ini bertujuan mendefinisikan dan menguatkan peran Unesco dalam mendukung pelestarian bahasa-bahasa di dunia. Pertemuan tersebut juga bertujuan:

  1. memformulasikan definisi dari bahasa yang terancam punah serta menetapkan kriteria kepunahan bahasa dan berhasil dirumuskan dokumen Language Vitality and Endangerment;
  2. mereview status bahasa-bahasa di berbagai belahan dunia;
  3. mendefinisikan peran Unesco;
  4. mengajukan proposal kepada Dirjen Unesco mekanisme dan strategi untuk mengawal kepunahan bahasaserta menjaga dan nenpromosikan cultural diversity diseluruh dunia.

Berawal dari amanat Unesco banyak ahli, penggiat dan pencinta bahasa, para pengambil kebijakan bahasa, bahkan NGO telah melakukan kegiatan yang termaktub dalam keputusan pertemuan tersebut di atas. Untuk kegiatan di tanah air masih belum banyak dilakukan secara terstruktur dan terkomando secara terpusat. Penelitian terhadap vitalitas Bahasa masih dilakukan secara sporadis dengan tujuan yang berbeda-beda sehingga hasil penelitian tidak terdokumentasi dan terlaporkan ke Unesco dengan baik. Bahkan peneliti luar banyak yang sudah melakukan di beberapa tempat di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur.