Apa yang dimaksud dengan Universalilsasi Hubungan dalam Ilmu Sosiologi?


Dalam ilmu sosiologi terdapat istilah universalisasi hubungan.

Apa yang dimaksud dengan universialisasi hubungan?

Universalisasi hubungan adalah ketika kita memaksimalkan interaksi kita dengan banyak orang, dengan ruang dan alam yang lebih luas, hubungan yang membuat kita menjadi “manusia tanpa batas” karena pada dasarnya dunia ini tiada batas.

Jika kita dibatasi, dipasung, dan ditindas, bukankah kita harus menghilangkan hambatan-hambatan itu? Namun, waspadalah! Penindasan dan belenggu terhadap tubuh dan jiwa kita juga akan menghasilkan mekanisme psikologis yang membuat kita seakan mendapatkan kebebasan, tetapi pada kenyataannya sama sekali tidak—ilusi kebebasan!

Masyarakat yang diwarnai dengan penindasan, ketika sedikit orang mencari keuntungan dan mendapatkan kenikmatan hidup, akan memasung tiap-tiap individu hingga hubungan dengan dunia dan orang-orang lainnya terbatas. Bahkan, secara jelas diciptakan hukum dan aturan yang membatasi interaksi hubungan, terutama dari kalangan bangsawan yang melarang anak-anaknya untuk berdekatan dengan orang-orang bawahan. Seorang ibu dari keluarga bangsawan bilang pada anak-anaknya, “Jangan dekatdekat dengan orang miskin, nanti ketularan miskin. Kamu tidak boleh berhubungan dengan anak-anak keluarga biasa, kamu harus mendapatkan pasangan yang sepadan dengan status kebangsawanan kita!”

Maka, terciptalah batas-batas. Keluarga bangsawan dan kerajaan tinggal di rumah-rumah mewah yang dibatasi benteng tinggi dan dijaga prajurit. Di dalam istana itu ada kenikmatan hidup yang tiada tara: berpakaian dan berdandan mewah dengan hiasan-hiasan mahal, makan-makanan yang enak, punya tempat bermain sendiri, mendapatkan fasilitas pendidikan yang bagus dan memadai, apa saja kebutuhannya seakan dapat terpenuhi. Kesenangan dan pemenuhan yang mudah terhadap nafsu dan keinginan itulah yang membuat mereka bebas melakukan apa saja, tetapi tetap saja mereka terpenjara dalam kebodohan dan ketidakrasionalan pikiran atau subjektivitas pemahaman.

Lihatlah betapa bertambah bodohnya orang-orang kaya yang mengurung diri itu: menganggap bahwa kekayaan dan kondisi keenakan hidupnya sebagai akibat dari anugerah Tuhan, dan bukan disebabkan oleh adanya eksploitasi dan pengisapan terhadap rakyat jelata dan tani hamba yang diharuskan membayar pajak dan upeti, yang dipaksa berperang untuk merampok kekayaan wilayah kerajaan lainnya. Keagungan dan kebesaran raja-raja kian membuat kebodohan semakin menguat. Keagungan dan kebesaran raja-raja diabadikan dengan simbol-simbol kebesaran yang, lagi-lagi, mengorbankan rakyatnya. Piramida, candi, dan proyek mercusuar lainnya dibangun, orang-orang diperbudak dan disuruh bekerja, sebagian mati dan terluka—atas nama kebodohan itulah penindasan dan kesombongan tumbuh.

Hubungan sosial diikat dalam relasi yang menunjukkan adanya dua kelas yang terisap dan diisap. Kedua kelas ini terkungkung dalam kebodohan dan keterbatasan berpikir. Kelas pengisap yang kian kaya terlena dengan kekayaannya sehingga pikirannya terpasung dalam belenggu subjektivitas. Sedangkan, kelas miskin yang terisap juga tak memiliki kesempatan sedikit pun untuk berpikir. Hariharinya dihabiskan untuk bekerja, tapi hasilnya diisap sehingga tak punya kesempatan untuk mendapatkan kondisi hidup yang baik. Otaknya jelek karena kurang makan dan kekurangan gizi, pada saat keluarga-keluarga kaya foya-foya dengan makanan yang enak-enak sehingga sulit diajak untuk berpikir; tetap bodoh karena sekolah dan pendidikan (pengetahuan) hanya diberikan pada kelas bangsawan—rakyat biasa adalah abdi dalam kehidupannya.

Namun biasanya, ada sedikit orang-orang yang sadar akan kebodohan dan penindasan itu. Sebagian mereka melakukan perlawanan terhadap penindas, dengan cara melakukan pemberontakan bersenjata. Kadang kalah dan kadang menang. Kadang perlawanan juga hanya terekspresikan dalam bentuk munculnya pengetahuan dan pikiran yang menggugat cara berpikir yang dipegang dan dilindungi kekuasaan.

Pemikiran baru itu kadang menyebar luas, tetapi kadang langsung dihambat oleh kekuasaan dan penemu/penggagasnya dibunuh: Copernicus dipancung, Syekh Siti Jenar juga, hanya karena melontarkan gagasan alternatif di luar lingkaran kekuasaan. Di Yunani, kaum Pebleian (kelas budak) melakukan pemberontakan terhadap kaum Partisan karena menghendaki hubungan baru yang lebih demokratis. Budak adalah orang yang kerjanya sepenuh-penuhnya milik tuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum Chartist di Inggris abad 19 untuk menentang penguasa ekonomi politik yang menindas kerja rakyat; Pemberontakan Petani di Jerman (1524—1525); cerita-cerita rakyat pun mengisahkan para pahlawan yang “merampok orang kaya dan membagikan hasil rampasannya pada kaum miskin” semacam kisah Robin Hood di Inggris, Ken Arok dan Brandal Lokajaya di Jawa. Pemberontakan tani di Inggris bisa dikatakan yang paling berhasil. Mereka mampu memaksa para penguasa feodal yang dipimpin “Raja John Tak Bertanah” (John ‘the Landless’) untuk menandatangani Magna Charta. Hal inilah yang membuat feodalisme di Inggris berbeda dengan feodalisme di Eropa pada umumnya.

Cita-cita universal kebebasan kadang juga ditangkap oleh orangtua yang tanggap terhadap situasi, orangtua yang telah menemukan makna baru terhadap hubungan. Di zaman dulu perasaan akan perlunya kebebasan kadang juga dimiliki oleh orangtua-orangtua yang berjiwa besar, yang selalu berpesan pada anaknya, “Nak, kamu harus jadi orang besar! Kamu harus belajar dan berguru untuk mencari ilmu yang tinggi, nanti kalau kamu besar, harus mengubah gonjang-ganjing sejarah ini menjadi zaman yang gemilang yang terbebas dari kala bebendu (prahara)!”

Itu adalah pesan orangtua yang bijak. Mengapa bijak? Meskipun ia hidup di zaman kerajaan yang kolot dan feodal, dia berpikir maju karena anak baginya bukanlah suatu makhluk yang harus diatur dan diperintah-perintah dalam keluarga, yang harus tinggal di rumah hanya untuk menunjukkan bahwa keberadaan sang anak sebagai simbol kesuksesannya dalam perkawinan. Orangtua bijak ini tampaknya tuntas dalam memahami konsepsi hubungan anak dan orangtua, yaitu anak kita bukanlah anak kita, tetapi adalah anak dunia dan anak alam.

Anak alam? Lihatlah, orangtua bijak itu juga mengusulkan agar anaknya pergi ke gunung, belajar dari alam, dan belajar kearifan seorang “guru kebajikan” yang tinggal di gunung, yang menyatukan keberadaannya dengan keagungan alam. Dari gunung dan dari alamlah, anak itu belajar mendapat kebaikan. Memang kebaikanlah yang didapat karena ia diuji dengan pengembaraan untuk menguji “ilmu”-nya ketika dirasa sudah harus “turun gunung”. Kali ini, alamnya adalah situasi masyarakat yang riuh, ia sampai di sebuah kota tempat perampok yang semena-mena. Maka, kepedulian dan kearifan pemuda yang lahir dari orangtua bijak itu ditunjukkan dengan kemauannya memimpin orang-orang untuk memberantas perampok itu.

Alam bukan hanya gunung, tetapi juga manusia dengan berbagai persoalannya. Maka, manusia yang peduli pada alam akan kembali pada alam tempat manusia lain dibela dari kenistaan dan dari penindasan. Makna alam di sini adalah dunia yang luas, yang terus dilaluinya dalam posisinya sebagai pengembara yang berkeliling untuk mengabdikan diri dalam upaya memberantas kejahatan dan membela kemanusiaan.

Maka, didiklah anak-anak Anda dan sadarkan bahwa dia hanyalah bagian dari alam, dia bertanggung jawab pada kehidupannya. Dengan mengetahui alam yang luas dan manusia hanyalah sebagian kecil di dalamnya, yang sebagian kecil dari manusia itu melakukan penindasan terhadap kebanyakan dari manusia, anak-anak Anda akan punya basis pengetahuan untuk menjadi peduli.

Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya sejarah akan berusaha mencari-cari situasi ketika hubungan manusia mencapai suatu kualitas yang baik. Hubungan universal selalu berlawanan dengan hubungan eksklusif seiring dengan epos keseimbangan antara mereka yang berjuang mencari kebebasan dan menginginkan keadilan dengan mereka yang menginginkan agar orang-orang terkungkung dalam hubungan sempit dan memasung.

Hubungan eksklusif adalah hubungan yang dilakukan oleh sedikit orang, terutama dua orang, seperti dalam hubungan “pacaran” dan “pernikahan”. Hubungan ini relatif tertutup jika dilihat dari luar. Dinamika hubungan hanya dapat dirasakan secara mendalam oleh orang-orang yang membangun hubungan itu. Sedangkan, hubungan universal adalah hubungan sesama manusia yang lebih luas. Hubungan ini tak dibatasi oleh kepentingan-kepentingan sempit, tetapi kepentingankepentingan yang lebih luas atau universal.

Dalam hubungan eksklusif, kedua orang dibangun oleh kepentingan yang bersifat sempit dan mendesak (pragmatis), misalnya kepentingan seks, kepentingan untuk membangun rumah tangga, untuk melahirkan keturunan, atau kebutuhan psikologis. Ikatannya sangat individual, terbatas pada kepuasan fisik dan psikis. Seorang remaja perempuan atau perempuan muda butuh dekat dan bersama pacarnya karena ia merasa tenang—artinya kepentingannya agar tenang. Jika ia terbiasa tenang, nyaman, dan nikmat saat berhubungan fisik, kebutuhannya juga tidak jauh-jauh dari—atau didukung oleh ikatan—itu. Seorang suami harus bersama dengan istri dalam satu kamar dan satu rumah karena kebutuhannya adalah untuk seksualitas, melahirkan, dan merawat anak, melanjutkan keturunan (regenerasi), atau kebutuhan yang disusun dan dikerjakan antara dua orang itu.