Apa yang dimaksud dengan Unggah-ungguh dalam budaya Jawa ?

Unggah-ungguh mempunyai arti tata sopan santun dalam sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam budaya Jawa. Apa yang dimaksud dengan Unggah-ungguh dalam budaya Jawa secara lebih mendalam ?

Unggah-ungguh menurut bahasa adalah gabungan dari dua kata yaitu kata unggah da n kata ungguh. Kata unggah dalam kamus bahasa Jawa disama-artikan dengan kata munggah yang artinya naik, mendaki, memanjat.[1] Maka kecenderungan orang Jawa dalam menghormati orang lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi. Sedangkan ungguh dengan tingkat bahasa Jawa ngoko yang artinya berada, bertempat, pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya.[2]

Dalam hal ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati dalam membawa diri. Sikap berhati-hati dan waspada bermaksud agar tingkah lakunya sesuai, pantas dan tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam masyarakat. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh artinya sopan santun, basa basi atau tata krama.[3] Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam bergaul dalam masyarakat selalu memperhatikan aturan sopan santun dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, damai dan sentausa tanpa ada konflik.

Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan unggah-ungguh secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh tersebut diantaranya adalah Frans Magnis Suseno, S. Soemiati Soetjipto, Clifford Geertz dan Maryono Dwiraharjo.

Menurut Franz Magnis Suseno, unggah-ungguh identik dengan prinsip hormat yaitu suatu sikap dimana orang Jawa dalam cara bicara dan membawa diri selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.[4]

Menurutnya masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu diakui oleh semua manusia dengan menempatkan diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus dihormati dan mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah memakai sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tangung jawab. Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan bahasa keluarga dan menggunakan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, dan krama inggil sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi.

Tatanan dalam tingkat bahasa krama inilah merupakan suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik, sehingga tatanan ngoko-krama mempunyai fungsi yaitu untuk mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan.
Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan F.M. Suseno merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan prinsip hormat.

Begitu juga S. Soemiati Soetjipto mengartikan unggah-ungguh sebagai pola tingkah laku manusia yang beradab, dan menyamaartikannya dengan istilah sopan santun, yaitu suatu peradaban lahiriah yang mencakup semua tindakan manusia yang keluar dari kesadaran dan selera baik.[5] Dalam hal ini sama dengan pemahaman dalam pandangan Islam, konsep ini merupakan sikap tawadhu’.

Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul abangan santri dan priyayi, istilah unggah-ungguh disebut juga dengan andap-asor yaitu suatu sikap merendahkan diri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat atau lebih tinggi.[6]

Maryono Dwiraharjo mendefinisikan unggah-ungguh sebagai berikut: unggah-ungguh adalah tingkah laku berbahasa menurut adat sopan santun masyarakat yang menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain.[7]

Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, diantaranya ialah menunjukkan sikap dalam masyarakat. Sikap yang ditunjukkan biasanya hanya sebatas basa-basi terkadang mereka saling menawari untuk singgah, tetapi hal itu bukan tawaran yang serius. Hal ini ditunjukkan orang Jawa untuk memupuk rasa kerukunan dan keakraban.
Ada beberapa literatur yang menyebutkan kepada siapa saja orang harus melaksanakan unggah-ungguh (berprilaku dan berbicara) halus, biasa dan kasar. Di mana dari keseluruhan hal tersebut terbagi dalam beberapa kriteria atau kelompok yaitu, berunggah-ungguh kepada orang yang mempunyai kedudukan, kepada orang yang lebih tua, kepada orang asing, kepada orang yang setara, kepada orang yang lebih muda atau bawahan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai sikap berbicara maupun sikap berperilaku.
Sebelum pembahasan diperdalam, tidak ada salahnya apabila disinggung lebih dahulu sedikit mengenai unggah-ungguh dalam berbagai aspek yaitu aspek berbahasa dan aspek tindakan atau tingkah laku.

Unggah-Ungguh

Unggah-Ungguh Dalam Beberapa Aspek


1. Unggah-Ungguh dalam Aspek Berbahasa

Dalam unggah-ungguh atau sopan santun berbahasa orang Jawa menggunakan bahasa yang dipilih secara tepat. Pemilihan kata-kata yang tepat dan sesuai, dipergunakan untuk berbicara dan berhadapan dengan orang lain. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian bahasa tersebut. Tingkatan itu adalah bahasa Jawa ngoko, madya dan krama.[8]

Ngoko merupakan tingkat kesopanan berbahasa rendah yang biasa digunakan oleh raja terhadap rakyat biasa atau priyayi kepada wong cilik (orang kecil), maupun orang tua kepada anak yang lebih muda. Tingkatan yang lebih tinggi dari ngoko adalah madya, yakni menyatakan kesopanan berbahasa tingkat menengah. Tingkatan madya biasanya digunakan oleh orang yang memiliki kedudukan atau usia yang setara. Tingkat selanjutnya adalah krama, yaitu menyatakan tingkat kesopanan berbahasa paling tinggi. Kesopanan berbahasa tingkat tinggi ini biasanya digunakan oleh rakyat biasa kepada sang raja maupun pejabat-pejabat kerajaan atau oleh anak muda terhadap orang yang lebih tua dan sebagai bahasa pengungkapan sikap hormat.

Kemudian ditambah lagi sesuai dengan tingkatannya yaitu krama inggil, yang mengenai pribadi, tindakan-tindakan dan beberapa benda yang amat erat hubungannya dengan pribadi manusia serta mengungkapkan sikap hormat yang amat tinggi, dan yang dikombinasikan baik dengan bahasa krama maupun dengan bahasa ngoko. Oleh karena itu penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing.[9]

Kedudukan (status) oleh banyak hal ; kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan dan kebangsaan. Tetapi yang penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya; yaitu gaya bicara dalam semua hal ditentukan untuk sebagian oleh status relatif (atau keakraban) para pembicara. Untuk menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau seorang yang dikenal dekat) orang mengatakan ’apa pada slamet’? Tetapi orang menyapa mereka yang lebih tinggi (atau seseorang yang dikenal tapi tak begitu dekat) dengan bentuk ’menapa sami sugeng ? kedua-duanya berarti ”apakah anda sehat?”.

Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah bahwa pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar, di sekitar mana pada umumnya mereka mengorganisasi tingkah laku sosial mereka.

2. Unggah-Ungguh dalam Aspek Pergaulan

Sikap halus lainnya yang diwujudkan oleh orang Jawa adalah kehalusan dalam pergaulan. Selain kemampuan dalam bertutur sapa dan pemakaian bahasa yang tepat, orang Jawa juga harus bersifat hormat atau andap-asor (rendah hati) yang berperan sangat penting dalam pergaulan masyarakat Jawa. Pola andap-asor terdiri dari segala macam perbuatan seperti berkhidmat, karena orang Jawa mengartikan metafora dengan sungguh-sungguh, mengasosiasikan ketinggian dengan kedudukan yang tinggi. Seperti para nelayan tua yang datang mengunjungi nyonya besarnya, seorang istri priyayi tinggi.

Nelayan tua itu menyajikan makanan di tengah-tengah keluarga dengan berlutut. hal itu suatu penghormatan yang benar dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi ini adalah dengan berlutut, dan menunjukkan isyarat dengan menunduk (dua telapak tangan bersama dengan ibu jari di depan hidung dan ”anggukan horisontal” kepala) ke arah lutut orang yang lebih tinggi atau malahan ke arah kakinya. Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi yang rendah ke arah samping belakang tamu. Mempersilahkan yang lain untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan memperkecil arti kemampuan, kekayaan dan keberhasilan sendiri, adalah bagian dari pola yang sama. Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu melakukan sikap yang utama tersebut.

Maka bagi orang Jawa pengembangan sikap moral yang benar adalah masalah pengertian yang tepat. Orang Jawa akan selalu tahu diri dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya. Seandainya hal ini terjadi pada orang Jawa, tidak berarti ia melanggar moral, akan tetapi dianggap bersikap kasar, semacam ini patut disayangkan. Karena masyarakat Jawa menganggap orang yang demikian disebut durung Jawa (belum menjawa), durung ngerti (belum mengerti) atau durung dadi wong (belum jadi orang).[10]

Demikian juga sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga tidak kaku dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menempati tempat yang tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang tulen.

Referensi
  1. S. Prawiroatmodjo, Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989), h. 296.
  2. P.S. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 1334.
  3. S.A. Mangunsuwito, Kamus Lengkap Bahasa Jawa (Bandung: CV. Yrama Widya, 2002), h. 570.
  4. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h. 60
  5. S. Soemiati Soetjipto, Sikap Kita dalam Pergaulan I (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h.
  6. Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: PT. Dunia
    Pustaka Jaya, 1983), h. 326.
  7. Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2001), h 67
  8. Maryono Dwiraharjo, Bahasa Jawa Krama, h. 67.
  9. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 63.
  10. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, h. 158.