Apa Yang Dimaksud Dengan Ulama?

Ulama

Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

Apa yang dimaksud dengan ulama ?

Ulama secara etimologi adalah bentuk plural dari kata ‘Alim yang artinya orang yang berpengetahuan atau ahli ilmu. Disebutkan dalam kamus bahasa Indonesia bahwa ulama adalah ahli pengetahuan dalam agama Islam; orang pandai-pandai (dalam hal agama Islam).

Sedangkan secara terminologi, belum ditemukan definisi ulama yang Jāmi’ (mencakup semua unsur-unsur yang menjadi bagiannya) dan māni’ (mengeluarkan semua unsur-unsur yang bukan menjadi bagiannya). Beberapa pandangan ulama terkait tentang istilah ulama adalah sebagai berikut :

  • al-Jurjānī menyebutkan dalam kitabnya at-Ta’rīfāt bahwa al-‘Alim secara bahasa adalah “Sebuah ungkapan bagi orang yang mengetahui sesuatu, karena orang tersebut mengetahui Allah , nama-nama dan sifat-sifat-Nya”.

  • Ibn al-Qayyim mengatakan “Setiap kali al-Qur’an memuji seorang hamba maka itu berdasarkan buah daripada ilmu yang dimilkinya. Sebaliknya setiap kali al-Qur’an mencela seorang hamba maka itu berdasarkan buah kebodohannya” 1

  • Ibnu ‘Abbas menyebutkan tentang istilah ulama- sebagaimana di nukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya:

    “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan hakikat orang yang mengetahui Allah adalah siapa saja yang tidak menyekutukan Allah , menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menjaga pesan-pesan ketuhanan- Nya, dan dia yakin akan bertemu Allah dan semua amal perbuatannya akan dievaluasi”.

  • Ibnu Mas’ud mengatakan:

    “Ilmu itu bukanlah terletak pada banyaknya periwayatan hadits. Tetapi hakikat ilmu adalah terletak pada kualitas dan kuantitas rasa takut kepada Allah.

  • Imam Ibnu Katsir menukil dalam kitab tafsirnya pernyataan Sufyan ats-Tsauri dari Abu Hayyan at-Tamimi dari seorang laki-laki dia mengatakan:

    “Ulama itu ada tiga macam tingkatan; pertama : orang yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui perintah-Nya. Kedua : orang yang mengetahui tentang Allah tetapi tidak mengetahui tentang perintah Allah . Ketiga: orang yang mengetahui perintah Allah tetapi tidak mengetahui tentang Allah . maka yang dimaksud dengan orang yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui perintahnya adalah orang yang takut kepada Allah dan mengetahui aturan-aturan Allah dan kewajiban-kewajiban-Nya. dan yang dimaksud dengan orang yang mengetahui tentang Allah tetapi tidak mengetahui tentang perintah Allah adalah orang yang takut kepada Allah tetapi tidak mengetahui tentang aturan-aturan Allah dan kewajiban-kewajiban-Nya. Dan yang dimaksud dengan orang yang mengetahui perintah Allah tetapi tidak mengetahui tentang Allah adalah orang yang mengetahui aturan-aturan Allah dan kewajiban-kewajiban-Nya tetapi tidak takut kepada Allah ”.

Konsep Ulama dalam al-Qur’an

Konsep Ulama dalam al-Qur’an tertuang didalam Surat Fathir Ayat 28. Didalam kandungan surat Fathir ayat 28, terdapat satu karakteristik yang harus dimiliki oleh ulama sejati, dimana karakteristik tersebut menjadi item utama dalam konsep ulama pada ayat tersebut yaitu rasa takut kepada Allah. Hal ini berdasarkan beberapa alasan di antaranya adalah:

  • Pertama Dalam ayat tersebut, diawali dengan kata innamā (sesungguhnya) yang berfungsi al-ẖashr (pembatasan), maka predikat ulama hanya berhak disandang oleh orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah .

  • Kedua : Perkataan para ulama ketika menyebutkan tentang hakikat ilmu maka jawabannya adalah al-khasyyah (rasa takut kepada Allah ) seperti yang diungkapkan oleh tabiin mulia Hasan al-Bashri tersebut.

Oleh karena itu, hakikat orang-orang yang berilmu (Ulama) adalah orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah sebagaimana hakikat ilmu adalah rasa takut kepada Allah itu sendiri.

Menuju Kompetensi Ulama

Untuk menjadi seorang ulama tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dengan asumsi rasa takut kepada Alloh sebagai subtansi utamanya, maka dalam tulisan sederhana ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang apa saja langkah-langkah atau meminjam istilah pendidikannya adalah apa saja kurikulum yang harus ditempuh untuk meraih rasa takut kepada Alloh, sehingga pada gilirannya legalisasi sebagai ulama akan didapatkan sebagaimana dalam perspektif al-Qur’an surat Fathir ayat 28, yang menjadikan rasa al-khasyyah sebagai karakteristik utama seorang ulama yang ideal.

Al-khasyyah secara bahasa bentuk mashdar (kata yang datang pada urutan ketiga dalam ilmu sharaf) dari kata khasyia-yakhsya-khsyyan dan khasyatan yang artinya takut.

Adapun secara istilah al-khasyyah adalah rasa takut yang didasari oleh ilmu pengetahuan tentang keagungan dzat yang ditakutinya dan kesempurnaan kesultanannya. Allah berfirman:

" Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk ". (Q.S. al- Baqarah[2]: 150)

Berikut poin-poin yang menjadi kurikulum atau langkah-langkah bagi siapa saja yang ingin menjadi ulama yang memiliki rasa takut kepada Allah :

  • Mentauhidkan Allah dengan tiga macamnya, yaitu dalam Rubūbiyah-Nya (perbuatan-perbuatan Allah , seperti mengatur alam semesta), Ulūhiyah-Nya (perbuatan-perbuatan seorang hamba, seperti melaksanakan shalat hendaknya ditujukan kepada Allah semata) dan Nama dan sifat-Nya.

    Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Katsir :

    “Sesungguhnya orang yang benar-benar takut kepada Allah adalah para ulama yang mengetahui tentang Allah , karena setiap kali ilmu pengetahuan tentang Allah -yang Maha Agung, Kuasa dan Mengetahui yang memeiliki Nama dan Sifat yang agung lagi sempurna- itu paripurna maka rasa takut kepada-Nyapun lebih kuat dan sempurna”.

    Di samping itu as-Sa’di juga menyatakan hal serupa:

    ”Maka siapa saja yang banyak mengetahui tentang Allah maka dia akan lebih takut kepada-Nya, dan rasa takut tersebut menuntunnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Rasa takut tersebut membuatnya bersiap-siap untuk menghadapi pertemuan dengan Allah”.

  • Tafakkur al-Āyāt al-Kauniah, menghayati gejala-gejala yang terjadi di alam semesta. Dimana terdapat variasi kehidupan, warna, bentuk, corak dan lain sebagainya. Padahal semuanya berasal dari materi dan bahan yang satu yaitu air.

    Sehingga dengan menghayati alam semesta dapat membuat seorang hamba memahami keagungan Allah dan kekuasaan-Nya yang pada gilirannya dapat menumbuhkan rasa takut kepada Allah dalam jiwanya.

    Berkaitan dengan hal ini, Syeikh Sayyid Quthb mengatakan: “Sesungguhnya para Ulama yang membaca ayat-ayat kauniahnya (fenomena-fenomena alam semesta), memahaminya dan menghayatinya mereka adalah yang takut kepada Allah “.

  • Tadabbur al-Āyāt al-Qauliah yaitu menghayati ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan pedihnya adzab Allah dan dahsyatnya api neraka.

  • Murāqabatullāh yaitu merasa diawasi oleh Allah, maksudnya menghadirkan pengawasan Allah dalam setiap gerak-gerik seorang hamba. Karena dengan muraqabah seorang hamba akan merasa takut untuk melanggar batasan-batasan Allah . Demikianlah salah satu yang disebut dengan takut kepada Allah , sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Imam Sa’ied bin Jubair :

    “Hakiat rasa takut kepada Allah adalah yang dapat menghalangi jiwamu untuk bermaksiat kepada-Nya.

Demikianlah empat perkara yang menjadi langkah-langkah atau kurikulum penting bagi seseorang untuk mendapatkan rasa takut kepada Allah . Di mana rasa takut adalah karakteristik utama dari pada ulama sejati yang tertuang dalam Surat Fathir ayat 28.

Referensi :

  • Sayyid Quthb, Fī Dzilāl al-Qur’an , Kairo: Dār asy-Syurūq,2008 M, Juz: 5
  • A.W Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap , Surabaya: Pustaka Progressif 1997
  • W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka 2007
  • ‘Ali bin Muhammad al-Jurjānī, at-Ta’rīfāt, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi 1405, Juz: 1.
  • ‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadẖan, Ma’ālim fī Tharīq Thalab al-‘Ilm, Riyadh:Dār al-‘Āshimah, 1999
  • Asy-Syeikh Ahmad Syâkir, ‘Umdatu at-Tafsîr ‘An al-Hafidz Ibn Katsîr , Kairo: Dâr al-Wafa, 2005 M, Juz: 3.
  • Sekumpulan Ulama, Ushūl al-Īmān Fī Dhau al-Kitāb wa as-Sunnah, KSA 1421, Juz: 1
  • ‘Abdurrahman as-Sa’di, Taisīr al-Karīm ar-Rahmān Fī Tafsr Kalām al-Mannān , Beirut: Muassasah ar-Rislah, 1996
  • Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an , Jakarta: Raja Grafindo Persada 2012

Menurut Ensiklopedia dalam Islam, Ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama dan pengetahuan, keulamaan yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah Swt. Sebagai orang yang mempunyai pengetahuan luas, maka Ulama telah mengukir berbagai peran di masyarakat, salah satu peran Ulama sebagai tokoh Islam, yang patut dicatat adalah mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya.

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para Mufassir salaf (Sahabat dan Tabiin) yang memiliki ilmu dalam keislaman merumuskan apa yang dimaksud dengan Ulama, diantaranya:

  1. Imam Mujahid berpendapat bahwa Ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah Swt. Malik bin Abbas pun menegaskan orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah Ulama.

  2. Hasan Basri berpendapat bahwa Ulama adalah orang yang takut kepada Allah disebabkan perkara gaib, suka kepada setiap sesuatu yang disukai Allah, dan menolak segala sesuatu yang dimurkai-Nya.

  3. Ali Ash-Shabuni berpendapat bahwa ulama adalah orang yang rasa takutnya kepada Allah sangat mendalam disebabkan makrifatnya.

  4. Ibnu Katsir berpendapat bahwa Ulama adalah yang benar-benar makrifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepada-Nya. Jika makrifatnya sudah sangat dalam, maka sempurnalah takut kepada Allah.

  5. Sayyid Quthub berpendapat bahwa Ulama adalah orang yang senantiasa berpikir kritis akan kitab Al-Qur’an (yang mendalami maknanya) sehingga mereka akan makrifat secara hakiki kepada Allah. Mereka makrifat karena memperhatikan tanda bukti ciptaan-Nya. Mereka yang merasakan pula hakikat keagungan-Nya melalui segala ciptaan-Nya. Karena itu mereka takwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya.

  6. Syekh Nawawi Al-Bantani berpendapat bahwa Ulama adalah orang-orang yang menguasai segala hukum syara’ untuk menetapkan sah itikad maupun amal syariah lainnya. Sedangkan Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata “secara naluri, Ulama adalah orang-orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk kepentingan hidup dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah jika terjerumus kedalam kenistaan. Orang yang maksiat hakikatnya bukan Ulama.

Peran Ulama merupakan pewaris para nabi, sumber peta bagi manusia. Barang siapa mengikuti petunjuk mereka, maka ia termasuk orang yang selamat. Barang siapa yang dengan kesombongan dan kebodohan menentang mereka, ia termasuk orang yang sesat. Para ulama adalah wali dan kekasih Allah, dialah manusia yang pengetahuannya tentang Allah bertambah, mengetahui keagungan-Nya, dan kekuasaan-Nya, maka dalam dirinya akan timbul rasa takut dan takzim akan keagungan dan ketinggian kekuasaan-Nya. Rasulullah menerangkan kemuliaan Ulama di atas manusia lainnya karena Allah telah memberikan tempat yang istimewa baginya.

Ulama pewaris para Nabi yang harus kita hormati bukanlah sembarang Ulama, yang dimaksud dengan Ulama adalah orang yang berilmu, dan dengan ilmunya itu ia menjadi amat takut kepada Allah SWT. Sehingga, ia bukanlah orang yang durhaka.

Referensi :

  • Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
  • Badaruddin Hsukby, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
  • Adnan Hasan Shalih Bajharits, Mendidik Anak Laki-Laki, terj. Mas’uruliyatul Abilmuslimi Fi Tarbiyatil Waladi Marhalati Aththufurulah, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani, 2008).