Apa yang dimaksud dengan tunanetra?

Tunanetra

Tunanetra merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutk seseorang dengan kondisi yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya.

Menurut buku Petunjuk Praktis Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Bagian A/Tunanetra, istilah “tunanetra” didefinisikan sebagai berikut :

Jika kata “tuna” berarti luka atau rusak, maka dapatlah kita simpulkan bahwa istilah “tunanetra” pada pokoknya berarti “rusak penglihatannya”.

Di dalam hal itu tidak jelas apakah kerusakan tersebut berakibat tidak dapat melihat sama sekali, ataupun rusak tetapi masih mempunyai kemampuan melihat, meskipun sudah berkurang dari penglihatan normal.

Berdasarkan ini maka istilah “Tunanetra” dapat kita gunakan untuk menyatakan penglihatan yang rusak tanpa memperdulikan tingkat ketajaman
penglihatan yang ada. Jadi, “tunanetra” berarti “rusak mata”, atau “penglihatan”-nya.

Seterusnya istilah “buta” dapat dipergunakan untuk menunjukkan keadaan “rusak mata”, yang jelas berakibat “tidak dapat melihat”.

Berdasarkan ini semua, maka:

  • Tunanetra, rusak penglihatannya, suatu istilah yang mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan.

  • Buta, adalah keadaan tidak dapat melihat ataupun suatu tingkat tertentu dari ketunanetraan.

Klasifikasi Tunanetra


Beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya tentang klasifikasi tunanetra. Beberapa klasifikasi tunanetra yang berkaitan dengan pendidikan secara garis besar dibagi dalam dua bagian, yakni berdasarkan gradasi ketunanetraan atau tingkatan-tingkatan ketajaman penglihatan dan berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan.

Berdasarkan Gradasi Ketajaman Penglihatan

Menurut WHO, mengkasifikasikan prosentase efisiensi dan kekurangan ketajaman penglihatan sebagai berikut,

image

Catatan,

6/60 artinya seseorang dapat melihat sesuatu dengan dengan jelas dalam jarak 6 meter dimana orang normal dapat melihatnya dalam jarak 60 meter

Berdasarkan Atas Waktu Terjadinya Ketunanetraan

Klasifikasi ini didasarkan atas semenjak kapan orang tersebut menjadi buta. Pengetahuan tentang waktu terjadinya kebutaan penting guna pengembangan belajar para tunanetra itu sendiri.

Dalam kaitan ini Lowenfeld (1979) mengklasifikasikan tunanetra berdasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu:

  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yaitu mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman melihat.

  2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; yaitu mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

  3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesankesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

  4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran
    mampu melakukan latihanlatihan penyesuaian diri.

  5. Tunanetra pada usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

  6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)

Referensi :

Lowenfeld, Berthold. (1979). Anak Tunanetra di Sekolah, Terjemahan Frans Harsana Sasraningrat. Bandung: BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah mata atau alat penglihatan, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan. Sedangkan orang yang buta adalah orang yang rusak penglihatannya secara total. Jadi, orang yang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan total tetapi orang yang buta sudah pasti tunanetra.

Scholl dalam Hidayat dan Suwandi (2013) mengemukakan bahwa orang memiliki kebutaan menurut hukum legal blindness apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.

Secara umum para medis mendefinisikan tunanetra sebagai orang yang memiliki ketajaman sentral 20/200 feet atau ketajaman penglihatannya hanya pada jarak 6 meter atau kurang, walaupun dengan menggunakan kacamata, atau daerah penglihatannya sempit sehingga jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat. Sedangkan orang dengan penglihatan normal akan mampu melihat dengan jelas sampai pada jarak 60 meter atau 200 kaki (Hidayat & Suwandi, 2013).

Klasifikasi Ketunanetraan

Orang yang mengalami cacat netra telah diklasifikasikan menurut beberapa sudut pandang. Pradopo (1977) mengklasifikasikan ketunanetraan menjadi 2, yaitu:

Terjadinya kecacatan, yakni sejak seseorang menderita tunanetra yang dapat digolongkan sebagai berikut:

  1. Penderita tunanetra sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman melihat.

  2. Penderita tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang sudah memiliki kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

  3. Penderita tunanetra pada usia sekolah atau usia remaja, kesan-kesan pengalaman visual meninggalkan pegaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

  4. Penderita tunanetra pada usia dewasa, merupakan mereka yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

  5. Penderita tunanetra pada usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah sulit mengalami latihan-latihan diri.

Berdasarkan kemampuan daya lihat, yaitu:

  1. Penderita tunanetra ringan, yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan.

  2. Penderita tunanetra setengah berat, yaitu mereka yang mengalami sebagian daya penglihatan.

  3. Penderita tunanetra berat, yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat atau yang sering disebut buta.

Faktor Penyebab Tunanetra

Faktor penyebab ketunanetraan dapat terjadi berdasarkan waktu kecacatan, ketunanetraan bisa terjadi pada saat kandungan. Keadaan ini terjadi dengan penyebab utama faktor keturunan, semisal terjadi perkawinan antar keluarga dekat atau sedarah dan perkawinan antar tunanetra. Selain itu, ketunanetraan didalam kandungan bisa juga terjadi karena penyakit seperti vitrus rubella/campak jerman, glaucoma, retinopati diabetes, retinoblastoma dan kekurangan vitamin A (Hidayat & Suwandi, 2013).

Sedangkan Pradopo (1977) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan seseorang menderita tunanetra, antara lain:

  1. Faktor endogen, merupakan faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan atau yang disebut juga dengan faktor genetik.

  2. Faktor eksogen atau faktor luar, seperti:

  • Penyakit yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami campak pada tingkat akut.

  • Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang berakibat langsung yang merusak saraf netra atau akibat rusaknya saraf tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang berkaitan erat dengan fungsi saraf netra.

Menurut (T. Sutjihati Somantri, 2006) penyandang tunanetra adalah orang yang indra penglihatannya mengalami gangguan atau kerusakan sehingga indra penglihatannya tidak dapat berfungsi secara normal. Anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:

  1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas
  2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
  3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
  4. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.

Kondisi-kondisi di atas pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajamannya. Anak tunanetra adalah anak yang karena sesuatu hal dria penglihatannya mengalami luka atau kerusakan, baik struktural dan atau fungsional, sehingga penglihatannya mengalamai kondisi tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Sari Rudiyati, 2002).

Istilah tunanetra lebih menunjukkan adanya gradasi atau tingkatan kebutaan seseorang. WHO sendiri menggunakan istilah tunanetra ke dalam dua kategori, ialah blind atau buta dan low vision atau penglihatan kurang. Istilah buta, menggambarkan kondisi dimana penglihatan tidak dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu sehingga tergantung pada fungsi indra-indra yang lain.

Sedangkan penglihatan kurang menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya tahan rendah mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas utama yang menuntut fungsi penglihatan tetapi dapat berfungsi dengan alat bantu khusus namun tetap terbatas (Munawir Yusuf, 1996).

Menururt Djadja Rahardja (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tunanetra adalah individu yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0,3 (60/200) atau individu yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu individu yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar.

Sedangkan menurut White Confrence (Anastasia Widdjajantin, 1996) tunanetra adalah sebagai berikut:

  1. Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision) dari ke dua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.

  2. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajamaan penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat.

Tunanetra adalah kerugian yang disebabkan oleh kerusakan atau terganggunya baik struktural dan atau fungsional organ mata sehingga tidak dapat berfungsi secara normal.

Penyebab Tunanetra

Rusaknya indra penglihatan seseorang hingga membuat buta atau penglihatan kurang tidaklah mungkin tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebabnya. Setiap orang tidak menginginkan dalam hidupnya mengalami suatu cacat, apalagi menjadi tunanetra. Karena orang yang mengalami ketunanetraan dalam mengerjakan sesuatu akan terbatas dan mengalami kesulitan sehingga harus memerlukan bantuan.

Selanjutnya menurut Heather Mason (Purwaka Hadi, 2005) menyebutkan beberapa penyebab ketunanetraan adalah:

  1. Faktor genetik atau herediter: beberapa kelaianan penglihatan bisa di dapat akibat diturunkan dari orang tua misalnya buta warna, albinism, retinitis pigmentosa. Seorang wanita yang kelihatannya normal, tetapi secara genetis dapat membawa sifat (carriers) suatu kelainan penglihatan.

  2. Perkawinan sedarah: banyak ditemukan ketunanetraan pada anak hasil perkawinan dekat, misalnya keluarga dekat (in-cest). Pola ini menyebabkan secara genetis rentan untuk menurunkan sifat, termasuk penyakit atau kelainan.

  3. Proses kelahiran: mengalami trauma pada saat proses kelahiran, lahir prematur, berat lahir kurang dari 1.300 gram, kekurangan oksigen akibat lamanya proses kelahiran, anak dilahirkan dengan menggunakan alat bantu.

  4. Penyakit anak-anak yang akut sehingga berkomplikasi pada organ mata, infeksi virus yang menyerang syaraf dan anatomi mata, tumor otak yang menyerang pusat syaraf organ penglihatan.

  5. Kecelakaan: tabrakan yang mengenai organ mata, benturan terjatuh, dan trauma lain secara langsung atau tidak langsung mengenai organ mata; tersetrum aliran listrik, terkena zat kimia, terkena cahaya tajam.

  6. Perlakuan kontinyu dengan obat-obatan: beberapa obat untuk penyembuh suatu penyakit tertentu ada yang berefek negatif terhadap kesehatan atau demikian juga penggunaan obat yang over dosis sangat berbahaya terhada organ-organ lunak seperti mata.

  7. Infeksi oleh binatang juga dapat merusak organ-organ selaput mata yang tipis, bahkan dapat mengakibatkan penyakit bergulma atau borok (ulkus) infeksi pada selaput mata akhirnya berkembang ke mata bagian dalam.

  8. Beberapa kondisi kota dengan suhu panas, menyebabkan udara mudah bergerak dan membawa bibit penyakit kering yang masuk ke mata, pada daerah kering biasa ditemukan penyakit mata jenis trachoma.

Menurut Anastasia Widdjajantin (1996) juga menjelaskan penyebab ketunanetraan ditinjau dari sudut intern dan ekstern, yaitu:

  1. Faktor intern
    Faktor intern merupakan penyebab kecacatan yang timbul dari dalam diri orang tersebut
  • Perkawinan keluarga.
  • Perkawinan antar tunanetra.
  1. Faktor ekstern
  • Penyakit sifilis atau raja singa atau rubella.
  • Malnutrisi berat.
  • Kekurangan vitamin A.
  • Diabetes mellitus.
  • Tekanan darah tinggi.
  • Stroke.
  • Radang kantung air mata.
  • Radang kelenjar kelompak mata.
  • Hemangioma.
  • Retinoblastoma.
  • Cellutis orbita.
  • Glaucoma.
  • Fibroplasi retrolensa.
  • Efek obat atau zat kimiawi.

Klasifikasi Tunanetra

Menurut C. Fitriyah, dan S.A. Rahayu (2013) dalam jurnal penelitian psikologi konsep diri pada remaja tunanetra di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Surabaya dikatakan bahwa jumlah penderita tunanetra di Indonesia tertinggi di kawasan ASEAN. Pederita tunanetra diperkirakan berjumlah 3 juta, jumlah tersebut merepresentasikan 1,5 persen dari jumlah penduduk 200 juta manusia.

Sedangkan untuk jenis klasifikasinya bermacam-macam. Menurut Faye (Rogow, 1988) mengklasifikasikan tunanetra atas dasar fungsi penglihatan ke dalam lima kategori:

  1. Kelompok yang memiliki penglihatan agak normal tetapi membutuhkan koreksi lensa dan alat bantu membaca.
  2. Kelompok yang ketajaman penglihatannya kurang atau sedang yang memerlukan pencahayaan dan alat bantu penglihatan khusus.
  3. Kelompok yang memiliki penglihatan pusat rendah, lantang penglihatan sedang, ketidakmampuan memperoleh pengalaman akibat kerusakan penglihatan.
  4. Kelompok yang memiliki fungsi penglihatan buruk, kemampuan lantang pandang rendah, penglihatan pusat buruk, dan perlu alat bantu untuk membaca yang kuat.
  5. Kelompok yang tergolong buta total.

Sedangkan menurut Anastasia Widdjajantin (1996) pengkalsifikasian tunanetra di kelompokkan berdasarkan:

  1. Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan (Snellen Tes)
  • 6/6 m – 6/16 m atau 20/20 feet – 20/50 feet.
  • 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet 20/200 feet.
  • 6/60 lebih atau 20/200 lebih.
  • Individu yang memiliki visus 0 sering disebut buta.
  1. Berdasarka saat terjadinya kebutaan
  • Tunanetra sebelum dan sejak lahir.
  • Tunanetra batita.
  • Tunanetra balita.
  • Tunanetra pada usia sekolah.
  • Tunanetra remaja.
  • Tunanetra dewasa.
  1. Berdasarkan tingkat kelemahan visual
  • Tidak ada kelemahan visual (normal).
  • Kelemahan visual ringan.
  • Kelemahan visual sedang.
  • Kelamahan visual parah.
  • Kelemahan visual sangat parah.
  • Kelemahan visual yang mendekati buta total.
  • Kelemahan visual total.
  1. Berdasarkan ketidakmampuan dalam melihat
  • Ketidakmampuan melihat taraf ringan.
  • Ketidakmampuan penglihatan taraf sedang.
  • Ketidakmampuan penglihatan pada taraf parah.

Karakteristik Tunanetra

Kekurangan dalam penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatan akan mempunyai akibat. Akibat tersebut berupa masalah yang secara sadar maupun tidak sadar dilakukan. Masalah tersebut berupa kegiatan yang dilakukan tunanetra. Itulah karakteristik atau ciri khas tunanetra.

Karakter dan karakteristik mempunyai perbedaan arti. Karakter adalah sifat seseorang, sedangkan karakteristik adalah kegiatan yang dilakukan oleh semua orang atau tunanetra. Berikut adalah karakteristik tunanetra kategori total dan kurang penglihatan menurut (Anastasia Widdjanjantin, 1996):

  1. Karakteristik tunanetra total:
  • Rasa curiga pada orang lain.
  • Perasaan mudah tersinggung.
  • Ketergantungan yang berlebihan.
  • Blindism.
  • Rasa rendah diri.
  • Tangan ke depan dan badan agak membungkuk.
  • Suka melamun.
  • Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek.
  • Kritis.
  • Pemberani.
  • Perhatian terpusat (terkonsentrasi).
  1. Karakteristik tunanetra penglihatan kurang:
  • Selalu mencoba mengadakan fixation atau melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda.
  • Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama pada benda yang kena sinar.
  • Bergerak dengan penuh percaya diri baik di rumah maupun di sekolah.
  • Merespon warna.
  • Dapat menghindari rintangan-rintangan yang berbentuk besar dengan sisa penglihatan.
  • Memiringkan kepala bila akan memulai dan melakukan sesuatu pekerjaan.
  • Mampu mengikuti gerak benda sisa penglihatan.
  • Tertarik pada benda yang bergerak.
  • Mencari benda jatuh selalu menggunakan penglihatannya.
  • Menjadi penuntun bagi temannya yang buta.
  • Jika berjalan sering membentur atau menginjak-ijak benda tanpa disengaja.
  • Berjalan dengan menyeretkan atau menggeserkan kaki atau salah langkah.
  • Kesulitan dalam menunjuk benda atau mencari benda kecuali warnanya kontras.
  • Kesulitan melakukan gerakan-gerakan yang halus dan lembut.
  • Selalu melihat benda dengan global atau menyeluruh.
  • Koordinasi atau kerja sama antara mata dan anggota badan yang lemah.

Menurut Sari Rudiyati (2002) karakteristik penyandang tunanetra adalah:

  1. Cenderung mengembangkan rasa curiga terhadap orang lain.
  2. Perasaan mudah tersinggung.
  3. Mengembangkan verbalisme.
  4. Mengembangkan perasaan rendah diri.
  5. Mengembangkan adatan “blindism/mannerism”
  6. Suka berfantasi.
  7. Berpikir kritis.
  8. Pemberani.

Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra penglihatannya. Berdasarkan tingkat gangguannya Tunanetra dibagi dua yaitu buta total (total blind) dan yang masih mempunyai sisa penglihatan (Low Visioan). Alat bantu untuk mobilitasnya bagi tuna netra dengan menggunakan tongkat khusus, yaitu berwarna putih dengan ada garis merah horisontal. Akibat hilang/berkurangnya fungsi indra penglihatannya maka tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indra-indra yang lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya di bidang musik atau ilmu pengetahuan.

Klasifikasi tunanetra :
• Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:

  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir
  2. Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
  3. Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja
  4. Tunanetra pada usia dewasa
  5. Tunanetra dalam usia lajut.

• Berdasarkan kemampuan daya penglihatan:

  1. Tunanetra ringan
  2. Tunanetra setengah berat.
  3. Tunanetra berat.

• Berdasarkan pemeriksaan klinik.

• Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:

  1. Myopia;adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina.
  2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina.
  3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidak beresan pada kornea mata.

Penyebab tunanetra :
• Pre-natal: Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal Sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
• Post-natal: Faktor penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir, antara lain: kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan hamil ibu menderita penyakit gonorrhoe, penyakit mata lain yang menyebabkan ketunanetraan, seperti trachoma,dan akibat kecelakaan.

Karakteristik tunanetra :
• Tunanetra

  1. Fisik: Keadan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.perbedaan nyata diantaranya mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara lain: mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, gerakan mata tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan sebagainya.

  2. Perilaku: Beberapa gejala tingkah laku pada anak yang mengalami gangguan penglihatan dini antara lain; berkedip lebih banyak dari biasanya. menyipitkan mata, tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.Adanya keluhan-keluhan antara lain : mata gatal, panas, pusing, kabur atau penglihatan ganda.

  3. Psikis: Tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pda batas atas sampai batas bawah. Kadangkala ada keluarga yang belum siap menerima anggota keluarga yang tuna netra sehingga menimbulkan ketegangan/gelisah di antara keluarga. Seorang tunanetra biasanya mengalami hambatan kepribadian seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan ketergantungan yang berlebihan.

• Penurunan penglihatan (Low vision)

  1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat
  2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar
  3. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.

Istilah tunanetra dalam KBBI edisi kelima (2016) memiliki arti tidak dapat melihat atau buta. Istilah tunanetra dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas termasuk ke dalam penyandang disabilitas sensorik. Penyandang disabilitas sensorik adalah orang yang mengalami gangguan pada fungsi panca indera. Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) mendefinisikan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata. Nakata (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau berkesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar. Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya tunanetra adalah ketidakmampuan sesorang untuk melihat, baik secara total maupun sebagian dengan alat bantu pengelihatan.

Tunanetra menurut Soedjadi S. (tth:23): Berdasarkan pandangan paedagogis, mereka ini kurang atau sama sekali tidak dapat menggunakan penglihatannya dalam melaksanakan tugas yang diberikan dalam pendidikan.