Apa yang dimaksud dengan trias politika ?

Trias Politika

Trias Politica adalah teori yang membagi kekuasaan pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Apa yang dimaksud dengan trias politika ?

Trias Politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Dalam Trias Politika, kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan:

  1. Kekuasaan Legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rulemaking function);

  2. Kekuasaan Eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule application function);

  3. Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function).

Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu:
Kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang; kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili (Locke memandang mengadili itu sebagai uitvoering, yaitu termasuk pelaksanaan undang-undang), dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).

Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf Prancis Montesquieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat despotis dari raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Dalam uraiannya ia membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurut ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlangkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang (tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Sumber: Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Trias Politika merupakan pemhaman terkait dengan pemisahan dan pembagian kekuasaan didalam sistem pemerintahan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya Sedangkan pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkingkan adanya kerjasama.

Teori pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politica Montesquieu. Dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des lois (The Spirit of Laws) Montesquieu mengembangkan apa yang lebih dahulu di ungkapkan oleh John Locke (1632-1755) dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” dan praktek ketatanegaraan Inggris.

Locke membedakan tiga macam kekuasaan, yaitu:

  1. kekuasaan perundang-undangan (legislative) ;

  2. kekuasaan melaksanakan hal sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan Pengadilan; dan

  3. kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh Locke dinamakan federative power.

Montesquieu membuat analisis atas pemerintahan Inggris yaitu :

  1. ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang yang sama, atau pada lembaga tinggi yang sama, maka tidak ada kebebasan;

  2. tidak akan ada kebebasan, jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif;

  3. dan pada akhirnya akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang yang sama atau lembaga yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu menetapkan hukum, menjalankan keputusan-keputusan publik dan mengadili kejahatan atau perselisihan para individu.

Kondisi ini menyebabkan raja atau badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya dengan cara yang tiran sehingga kebebasan oleh masyarakat atau rakyat tidak akan terasakan. Namun, menurut Montesquieu bila mana kekuasaan eksekutif dan legislatif digabungkan, maka kita masih memiliki pemerintahan yang moderat, asalkan sekurang-kurangya kekuasaan kehakiman dipisah.

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven, Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja , yaitu :

  • fungsi regeling (pengaturan);
  • fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);
  • fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan
  • fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.

Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut van Vollenhoven tidak hanya melaksanakan undang-undang saja tugasnya, karena dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg) , mengadili (menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).

Sedangkan Donner dan Goodnow mempunyai pandangan yang hampir sama dalam melihat pembagian kekuasaan negara. Menurut Donner, semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu;

  • bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan dilakukan;
  • bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari tujuan atau tugas yang ditetapkan itu.

Sementara Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa di istilahkan dengan dwipraja , yaitu :

  • policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan
  • policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan).

Namun pandangan yang paling berpengaruh didunia mengenai soal ini adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Negara yang konsekuen melaksanakan teori Montesquieu ini adalah Amerika Serikat, tetapi inipun tidak murni, karena antara ketiga badan kenegaraan yang masing-masing mempunyai pekerjaan sendiri-sendiri, dalam menyelesaikan sesuatu pekerjaan tertentu diawasi oleh badan kenegaraan lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebagai sistem “check and balance” atau “sistem pengawasan”33. Menurut Kusnardi dan Bintan R. Saragih menguraikan bahwa untuk mencegah jangan sampai suatu parlemen mempunyai kekuasaan yang melebihi badan-badan lainnya, bisa diadakan suatu sistem kerjasama dalam suatu tugas yang sama, yaitu membuat undang-undang antara parlemen dengan pemerintah, atau dalam parlemen di bentuk dua kamar yang saling mengimbangi kekuatan dan untuk mencegah kekuasaan eksekutif melebihi daripada kekuasaan lainnya, maka perlu dibatasi kekuasaannya untuk tunduk kepada badan legislatif34.

Trias Politica di Indonesia


Pemisahan ataukah Pembagian Kekuasaan yang dianut Indonesia dalam UUD 1945? Untuk melihat itu semua tidaklah bisa lepas dari sejarah pembentukan dan perubahan UUD 1945 yang dipahami menganut pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan. UUD 1945 memang secara tegas tidak menyebutkan mengenai trias politica tapi secara implisit bisa ditelaah bahwa Indonesia menghendaki pembagian kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian bab dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman.

Pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia merupakan sebuah konsekuensi dasar dari pemberlakuan sistem demokrasi. Dengan sistem pemerintahannya adalah Presidensiil. Maka kabinet tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa jabatannya. Sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, pada garis besarnya, ciri-ciri azas Trias Politica dalam arti pembagian kekuasaan terlihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi pada masa Demokrasi Terpimpin adausaha untuk meninggalkan gagasan Trias Politica . Hal tersebut diutarakan Presiden Soekarno dikarenakan Presiden Soekarno menganggap sistem Trias Politica bersumber dari liberalisme . Sehingga pada masa tersebut terjadi kepincangan sistem Trias Politica.

Jimly Assiddiqie berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances).

Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang mana lembaga pemegang kedaulatan rakyat inilah yang dulu dikenal sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Referensi
  • Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.
  • Prodjodikoro Wirjono, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia , Jakarta Timur: Dian Rakjat.
  • Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik , diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam, Bandung: Nusamedia
  • Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi , Jakarta: Konstitusi Press.
  • Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara , Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
  • Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945 , Jakarta : PT Gramedia.

Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politica=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.

Konsep Trias Politika


Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Trias Politika menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws) . Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

Referensi :

  • Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta : Gramedia, 2006.
  • Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat . Jakarta : Gramedia, 2007.