Apa yang dimaksud dengan Teori Kontrol (Control Theory) dalam ilmu sosial?

image

Teori Kontrol (Control Theory) adalah teori yang mempelajari teknik dan strategi untuk mengatur tingkah laku manusia, bagaimana menurut pandangan kalian ?

Teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat. Seseorang mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan seseorang. Seseorang menjadi kriminal ketika kekuatan-kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang.

Konsep kontrol sosial lahir pada peralihan abad dua puluh dalam satu volume buku dari E.A. Ross, salah seorang Bapak Sosiologi Amerika. Menurut Ross, sistem keyakinanlah (dibanding hukum-hukum tertentu) yang membimbing apa yang dilakukan orang-orang dan yang secara universal mengontrol tingkah laku, tidak peduli apa pun bentuk keyakinan yang dipilih. Sejak saat itu, konsep ini diambil dalam arti yang semakin meluas.

Kontrol sosial dapat dikaji dari dua perspektif yaitu perspektif macrosociological studies maupun microsociological studies.

1. Macrosociological studies

memfokuskan pada sistem formal untuk mengontrol sosial masyarakat, sistem formal tersebut antara lain:

  • Sistem hukum, UU, dan penegak hukum
  • Kelompok-kelompok kekuatan di masyarakat.
  • Arahan-arahan sosial dan ekonomi dari pemerintah/ kelompok swasta adapun jenis kontrol ini bisa menjadi positif atau negatif. Positif apabila dapat merintangi orang dari melakukan tingkah laku yang melanggar hukum, dan negatif apabila mendorong penindasan membatasi atau melahirkan korupsi dari mereka yang memiliki kekuasaan.

2. Microsociological studies

Memfokuskan perhatiannya pada sistem kontrol secara informal. Adapun tokoh penting dalam pespektif ini adalah Travis Hirschi dengan bukunya yang berjudul Causes of Delingvency dan Jackson Toby yang memperkenalkan tentang “Individual Commitment” sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kontrol sosial tingkah laku.

Salah satu teori kontrol sosial yang paling luar biasa dan sangat populer dikemukakan oleh Travis Hirschi pada tahun 1969. Hirschi, memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social bond. Hirschi sependapat dengan Durkheim, bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan berbagai ragam pandangan tentang kesusilaan (morality) di sosial masyarakat.

Ide utama di belakang teori kontrol sosial adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum.

Oleh sebab itu, para ahli teori kontrol menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hukum.

Hirschi mengajukan beberapa proposisi teoritisnya, antara lain :

  1. Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan dalam mensosialisasi individu untuk bertindak konform terhadap aturan atau tata tertib yang ada.

    Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Misalnya menunggu giliran dengan cara mengantri.

  2. Penyimpangan sosial dan kriminalitas, merupakan bukti kegagalan kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap konform, seperti: keluarga, sekolah atau institusi pendidikan dan kelompok dominan lainnya.

  3. Setiap individu seharusnya belajar untuk konform dan tidak melakukan tindakan menyimpang atau kriminal.

  4. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal.

Teori-teori kontrol sosial membahas isu-isu tentang bagaimana masyarakat memelihara atau menumbuhkan kontrol sosial dan cara memperoleh konformitas atau kegagalan meraihnya dalam bentuk penyimpangan.

Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama untuk menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik baik kalau masyarakat membuatnya baik.

Travis Hirschi (1969) dalam Causes of Delinquency menampilkan teori ikatan sosial yang menyatakan bahwa delinkuensi terjadi ketika ikatan seseorang dengan masyarakat melemah atau putus, dengan demikian mengurangi resiko personal dalam konformitas.

Delinkuensi/de·lin·ku·en·si/ /délinkuénsi/ adalah tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat

Individu mempertahankan konformitas karena khawatir pelanggaran yang mereka lakukan akan merusak hubungan mereka (menyebabkan mereka “kehilangan muka”) dengan sosial masyarakat disekitarnya, seperti keluarga, teman, tetangga, pekerjaan, sekolah, dan lain sebagainya.

Intinya adalah, individu akan menyesuaikan diri bukan karena takut pada hukuman yang ditetapkan dalam hukum pidana, tetapi lebih karena khawatir melanggar tata kelakuan kelompok mereka dan citra personal mereka di mata kelompok.

Ikatan-ikatan ini terdiri atas empat komponen: keterikatan, komitmen, keterlibatkan, dan kepercayaan.

  • Keterikatan menunjuk pada ikatan pada pihak lain (seperti keluarga dan teman sebaya) dan lembaga-lembaga penting (seperti masjid, gereja, dan sekolah). Kaitan keterikatan (attachment) dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan.

    Keterikatan yang lemah dengan orang tua dan keluarga bisa saja mengganggu perkembangan kepribadian seseorang, sedangkan keterikatan yang buruk dengan sekolah dipandang sangat penting dalam delinkuensi.

  • Komitmen berhubungan dengan sejauh mana seseorang mempertahankan kepentingan dalam sistem sosial masyarakatnya. Jika seorang individu beresiko kehilangan banyak hal yang berhubungan dengan status, pekerjaan, dan kedudukan dalam masyarakat, kecil kemungkinannya dia akan melanggar hukum.

  • Keterlibatan berhubungan dengan keikutsertaan dalam aktivitas soaial dan rekreasional.

  • Kepercayaan dalam norma-norma, sistem nilai dan hukum akan berfungsi sebagai pengikat dalam sosial masyarakat. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran.

Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk kepada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia, pengertian teori kontrol sosial atau social control theory merujuk kepada pembahasan delinkuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis; antara lain struktur keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Dengan demikian, pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.

Pemunculan teori kontrol sosial ini diakibatkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi, yakni :

  1. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku kriminal.

  2. Kedua, munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self report survey. Perkembangan awal dari teori ini dipelopori Durkheim (1895). Perkembangan berikutnya selama tahun 1950-an beberapa teorietis telah mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan anak remaja.

Reiss mengemukakan bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan anak/remaja.

  1. Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak.

  2. Hilangnya kontrol tersebut

  3. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud (di sekolah, orang tua, atau lingkungan dekat).

Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu:

  1. Personal control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan dri untuk tidak mencapai kebutuhanannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.

  2. Social control atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.

Ivan F. telah mengemukakan teori social control tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan tetapi merupakan penjelasan bersifat kasuistis.

Konsep kontrol eksternal/ social control, kemudian menjadi dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Sykes dan Matza kemudian mengemukakan konsep atau teori tentang technique of neutralization . Sykes dan Matza merinci lima teknik netralisasi sebagai berikut :

  1. Denial of responsibility

  2. Denial of injury

  3. Denial of the victim

  4. Condemnation of the condemners

  5. Appeal to higher loyalties.

Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu” , Artinya “individu dilihat tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum ; namun menganut segi pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana” . argumentasi ini , didasarkan pada bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial, memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”

Manusia dalam teori kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki moral murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu.

Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 2957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “comitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan.

Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen, hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).

Asumsi teori kontrol dikemukakan F.Ivan Nye terdiri dari :

  1. Harus ada kontrol internal maupun eksternal ;

  2. Manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran;

  3. Pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi adequat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah

  4. Dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang; dan

  5. Diharapkan remaja menaati hukum (law abiding).

Menurut F. Ivan Nye terdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu :

  1. Direct control imposedfrom without by means of restriction and punisment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum);

  2. Internalized control exercised from within through conscience (kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar);

  3. Indirect control related to affectional identification with parent and other non-criminal persons (kontrol tidak langsung yang berhubungan dengan pengenalan [identifikasi] yang berpengaruh dengan orangtua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya);

  4. Availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).

Dalam teori kontrol sosial, ada elemen yang harus diperhatikan, yaitu Attachment (kasih sayang). Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, jika attachment sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Berbeda dengan psikopat, kalau psikopat lahir dari pribadi yang cacat, yang disebabkan karena keturunan dari biologis atau sosialisasi.

Attachment , dibagi menjadi dua bentuk :

  • Attachment total : suatu keadaan di mana seseorang individu melepaskan rasa ego yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk menaati peraturan, larena melanggar peraturan berarti menyakiti perasaan orang lain. Tujuan akhir dari attachment ini adalah, akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi.

  • Attachment Partial ; suatu hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan kepada peleburan ego yang lain, akan tetapi karena hadirnya orang lain yang sedang mengawasi perilaku individu. Dengan kata lain, attachment ini, hanya akan menimbulkan kepatuhan pada individu, bila sedang diawasi perilakunya oleh orang lain.

Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi.

  • Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kucang menyukai “kriminologi baru” atau “ new criminology ” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat ( criminal ).

  • Kedua, munculnya studi tentang “ criminal justice ” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.

  • Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagitingkah laku anak/remaja, yakni self report survey .

Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an beberapa teorisi mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan remaja. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkanteori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu:

  • A lack of proper internal controls developed during childhood (kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anakanak).

  • A breakdown of those internal control (hilangnya kontrol internal).

  • An absence of or conflict in social rules provided by important social group (the family, close other, the school ) (tidak adanya normanormasosial atau konflik antara norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah).

Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atauperaturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “ Commitment ” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi atau penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan lain digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz.

Walter Walter Reckless menyampaikan Contaiment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal (inner) dan eksternal (outer). Menurut Walter Reckless, contaiment internal dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan sosial ( social pull ) lingkungan dan dorongan dari dalam individu. F.Ivan Nyedalam tulisannya yang berjudul Family Relationsipand Delinquent Behavior (1958), mengemukakan teori kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yangbersifat kasuistis. F. Ivan Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur sub kultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.

Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F.Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan ( impulse ). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum ( law abiding ). Asumsi teori kontrol yang dikemukakan F. Ivan Nye terdiri dari:

  • Harus ada kontrol internal maupun eksternal;
  • Manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran;
  • Pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang adequat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang; dan
  • Diharapkan remaja mentaati hukum ( law abiding ).

Menurut F. Ivan Nyeterdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu:

  • Direct control imposed from without by means of restriction and punishment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum);

  • Internalized control exercised from within through conscience (kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar);

  • Indirect control related to affectional identification with parent andother non-criminal person (kontrol tidak langunsung yang berhubungan dengan pengenalan (identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya); dan

  • Availability of alternative to goal and values (ketersediaan saranasarana dan nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).

Control Theory

Control theory merujuk kepada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia, pengertian teori kontrol sosial atau social control theory merujuk kepada pembahasan delinkuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis; antara lain struktur keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Dengan demikian, pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya.

Pemunculan teori kontrolsosial ini diakibatkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku kriminal. Kedua, munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self report survey. Perkembangan awal dari teori ini dipelopori Durkheim (1895).Perkembangan berikutnya selama tahun 1950-an beberapa teorietis telah mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan anak remaja. Reiss mengemukakan bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan anak/remaja.

(1) kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak.

(2) Hilangnya kontrol tersebut.

(3) Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud (di sekolah, orang tua, atau lingkungan dekat). Reiss membedakan dua macam kontrol, yaitu: personal control dan social control. Yang dimaksud dengan personal control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan dri untuk tidak mencapai kebutuhanannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang dimaksud dengan social control atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif. Ivan F. telah mengemukakan teori social control tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan tetapi merupakan penjelasan bersifat kasuistis.

Konsep kontrol eksternal/ social control , kemudian menjadi dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Sykes dan Matza kemudian mengemukakan konsep atau teori tentang technique of neutralization . Sykes dan Matza merinci lima teknik netralisasi sebagai berikut :

  1. Denial of responsibility .

  2. Denial of injury.

  3. Denial of the victim.

  4. Condemnation of the condemners .

  5. Appeal to higher loyalties.

Versi teori kontrol sosial yang paling andal dan sangat popular telah dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). Hirschi dengan keahliannya merevisi teori-teori sebelumnya mengenai kontrol sosial telah memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai konsep social bonds . Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang memcerminkan berbagai ragam pandangan tentang kesusilaan.

Perkembangan awal teori “kontrol sosial” dipelopori oleh Durkheim pada tahun 1895. Teori ini dapat dikaji dari 2 perspektif yaitu :

  1. Perspektif makro, atau Macrosociological Studies menjelajah sistem-sistem format untuk mengontrol kelompok-kelompok, sistem formal tersebut antara lain :

a. Sistem hukum, UU, dan penegak hukum

b. Kelompok-kelompok kekuatan di masyarakat.

c. Arahan-arahan sosial dan ekonomi dari pemerintah/kelompok swasta adapun jenis kontrol ini bisa menjadi positif atau negatif. Positif apabila dapat merintangi orang dari melakukan tingkah laku yang melanggar hukum, dan negatif apabila mendorong penindasan membatasi atau melahirkan korupsi dari mereka yang memiliki kekuasaan.

  1. Perspektif mikro atau microsociological studies memfokuskan perhatian pada sistem kontrol secara informal. Adapun tokoh penting dalam pespektif ini adalah Travis Hirschi dengan bukunya yang berjudul Causes of Delingvency , Jackson Toby yang memperkenalkan tentang “Individual Commitment” sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam kontrol sosial tingkah laku.

Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan/morality,dan seseorang bebas untuk melakukankejahatan/penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat.

Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik baik kalau masyarakat membuatnya begitu.

Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk kepada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia, pengertian teori kontrol sosial atau social control theory merujuk kepada pembahasan delinkuensi dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis; antara lain struktur keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Dalam konteks ini, teori kontrol sosial sejajar dengan teori konformitas. Salah satu ahli yang mengembangkan teori ini adalah Travis Hirschi, proposisi teoretisnya adalah :

  1. Segala bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak teratur terhadap aturan atau tata tertib yang ada.

  2. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal, merupakan bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap teratur, seperti: keluarga, sekolah atau departemen pendidikan dan kelompok- kelompok dominan lainnya.

  3. Setiap individu seharusnya belajar untuk teratur dan tidak melakukan tindakan penyimpangan atau kriminal.

  4. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal.

Lebih lanjut Travis Hirschi memetakan empat unsur utama di dalam kontrol sosial internal yang terkandung di dalam proposisinya, yaitu attachment (kasih sayang), commitment (tanggung jawab), involvement (keterlibatan atau partisipasi), dan believe (kepercayaan atau keyakinan). Empat unsur utama itu di dalam peta pemikiran Trischi dinamakan social bonds yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu. Keempat unsur utama itu dijelaskan sebagai berikut:

  1. Attachment atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari hasil sosialisasi di dalam kelompok primernya (misalnya: keluarga), sehingga individu memiliki komitmen yang kuat untuk patuh terhadap aturan.

  2. Commitment atau tanggung jawab yang kuat terhadap aturan dapat memberikan kerangka kesadaran mengenai masa depan. Bentuk komitmen ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang.Lingkungan dimana kita bisa membuat kita berkomitmen.

  3. Involvement atau keterlibatan akan mendorong individu untuk berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Intensitas keterlibatan seseorang terhadap aktivitas-aktivitas normatif konvensional dengan sendirinya akan mengurangi peluang seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum.

  4. Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan terhadap norma-normasosial atau aturan masyarakat akhirnya akan tertanam kuat di dalam diri seseorang dan itu berarti aturan sosial telah elf-enforcing dan eksistensinya (bagi setiap individu) juga semakin kokoh.

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/5912/5/Bab%202.pdf