Apa yang dimaksud dengan tersangka?

tersangka

Dalam istilah hukum apa yang dimaksud dengan tersangka?

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Seseorang dinyatakan menjadi tersangka jika ada bukti permulaan bahwa ia patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pada hakikatnya, istilah tersangka merupakan terminologi dalam KUHAP yang dibedakan dengan terdakwa. Berbeda halnya dalamsistem hukum Belanda yang termaktub dalam Wetboekvan Strafvordering, ternyata istilah tersangka atau Beklaagde dan terdakwa atau erdachte tidak dibedakan pengertiannya dan dipergunaan dengan satu istilah saja yaitu Verdachte (Kansil, 1984).

Pengertian tersangka dalam KUHAP dapat ditemukan pada BAB I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 14, yang menentukan bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dalam definisi tersebut, terdapat frasa “karena perbuatannya atau keadaannya” seolah-olah makna kalimat tersebut menunjukkan bahwa penyidik telah mengetahui perbuatan tersangka sebelumnya terlebh dahulu padahal sebenarnya aspek ini yang akan diungkap oleh penyidik. Secara teoritis, pengertian demikian hanya dapat diungkapkan terhadap tersangka yang telah tertangkap tangan.

Pengertian tersangka tersebut akan lebih tepat bila mengacu pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Nederland van Strafvordering (Ned.Sv).Istilah dan pengertian tersangka dalam Ned.Sv ditafsirkan secara lebih luas dan lugas yaitu yang dipandang sebagai tersangka ialah orang karena fakta-fakta atau keadaankeadaan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Penetapan Tersangka


Pasal 1 angka 14 KUHAP mensyaratkan adanya bukti permulaan sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Namun KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan bukti permulaan, khususnya definisi bukti permulaan yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka. Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan hanya disinggung secara tanggung dan tidak menyelesaikan masalah oleh KUHAP dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP, yaitu “yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.” Karena KUHAP tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai apa itu bukti permulaan yang cukup, khususnya yang dapat digunakan sebagai dasar menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka mengenai apa yang dimaksud bukti permulaan, harus dicari dari sumber lain (Aziezie, 2017).

Beberapa undang-undang di Indonesia merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan Pasal 1 angka 26 Undang -Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjelaskan bahwa:

“Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keteragan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara.”

Kemudian, Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa :

“Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”

Kedua rumusan Pasal di atas, tidak dapat digunakan dalam penetapan tersangka pada tindak pidana pada umumnya, baik yang diatur dalam KUHP, maupun tindak pidana dalam undang-undang khusus yang hukum acaranya tidak mengatur mengenai bukti permulaan, melainkan hanya untuk tindak pidana yang menggunakan hukum acara menurut undang-undang di atas saja.

Definisi bukti permulaan yang dapat diterapkan untuk tindak pidana umumnya adalah mengacu pada Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu

“bukti permulaan adalah alat bukti berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”

Namun definisi bukti permulaan ini pun adalah dasar untuk melakukan penangkapan, bukan untuk menetapkan tersangka. Sehingga untuk menetapkan status tersangka kepada seseorang dalam tindak pidana umum, tidak ada definisi atau ukuran yang dapat digunakan sebagai dasar hukum. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ditemukan definisi yang dapat digunakan sebagai ukuran objektif untuk menetapkan telah terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menentukan seseorang sebagai tersangka.