Apa yang dimaksud dengan Terapi Perilaku Kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy ?

Cognitive Behavioural Theraphy

Cognitive Behavioural Theraphy (CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif adalah suatu terapi yang menekankan kepada klien untuk melihat diri sendiri dengan cara yang berbeda, yang nantinya akan berguna bagi kehidupannya sehari-hari. Terapi ini dapat digunakan untuk masalah kesehatan mental yang luas, seperti depresi, fobia, hingga Obsessive-Compusive Disorder (OCD).

Apa yang dimaksud dengan Terapi Perilaku Kognitif atau Cognitive Behavioral Therapy ?

Terapi Kognitif-Perilaku atau Cognitive Bahvioral Theraphy merupakan intervensi psikologis yang mengkombinasikan terapi kognitif serta terapi perilaku untuk menangani masalah psikologis. Terapi Kognitif-Perilaku mengajarkan individu untuk mengenali pengaruh pola pikir tertentu dalam memunculkan penilaian yang salah mengenai pengalaman-pengalaman yang ia temui, hingga memunculkan masalah pada perasaan dan tingkah laku yang tidak adaptif (Rosenvald, Oei & Schmidt, 2007; Westbrook, Kennerley & Kirk, 2007).

Prinsip dasar dari Terapi Kognitif-Perilaku antara lain (Westbrook, Kennerley & Kirk, 2007):

  • Prinsip kognitif: masalah psikologis merupakan hasil interpretasi dari sebuah kejadian, bukan kejadian itu sendiri.

  • Prinsip perilaku: perilaku individu dapat sangat mempengaruhi pikiran dan emosinya.

  • Prinsip kontinum: gangguan bukanlah suatu proses mental yang berbeda dengan proses mental normal, melainkan proses mental normal yang berlebihan hingga menjadi masalah.

  • Prinsip here-and-now : lebih baik berfokus pada proses masa kini daripada masa lalu.

  • Prinsip sistem yang saling berinteraksi: melihat masalah sebagai interaksi dari pikiran, emosi, perilaku, fisiologi, dan lingkungan yang dimiliki individu.

  • Prinsip empiris: penting untuk mengevaluasi teori dan terapi secara empiris.

Komponen-komponen dalam Terapi Kognitif-Perilaku untuk Depresi


Terapi Kognitif-Perilaku untuk depresi memiliki berbagai komponen berupa teknik-teknik di dalamnya yang mengkombinasikan pendekatan kognitif dan perilaku. Berikut adalah pembagiannya berdasarkan jenis teknik perilaku dan kognitif (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003):

  • Psikoedukasi

    Psikoedukasi merupakan program terapi yang berfokus pada penyampaian informasi sebagai bagian dari pendekatan kognitif-perilaku. Informasi yang diberikan akan tergantung pada jenis masalah yang ingin ditangani oleh terapis. Dalam menangani depresi, maka psikoedukasi yang diberikan adalah seputar depresi. Melalui pemberian psikoedukasi, individu yang menjadi klien didorong untuk memahami masalahnya dengan baik (Bäuml, Froböse, Kraemer, Rentrop & Pitschel-Walz, 2006).

    Dalam psikoedukasi juga penting untuk menyampakan esensi Terapi Kognitif- Perilaku itu sendiri agar klien memahami prinsip-prinsip terapi yang akan ia jalani (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003). Selain itu, psikoedukasi juga berfungsi mengembangkan pemahaman mengenai pentingnya terapi yang dilakukan kepada klien, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan klien dalam menjalankan terapi yang diberikan (Gebretsadik, Jayaprabhu & Grossberg, 2006).

  • Monitor Perasaan

    Monitor perasaan dilakukan untuk membantu klien mengenali hubungan antara kegiatan yang ia lakukan dengan perasaan yang muncul ketika melakukannya. Dengan cara ini, klien akan dapat mengetahui kegiatan- kegiatan yang bisa membuat perasaannya menjadi positif dan negatif atau depresif. Kegiatan yang meningkatkan perasaan positif dapat dipertahankan, sementara yang menghasilkan perasaan negatif dan depresif dapat dihindarkan (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003).

  • Pembuatan Rencana Kegiatan Harian

    Pembuatan rencana kegiatan harian merupakan salah satu teknik Terapi Kognitif-Perilaku yang didasarkan pada ide pentingnya memperbaiki lingkaran masalah dari kegiatan yang dilakukan individu sehari-hari. Pembuatan rencana kegiatan harian ini dapat berfungsi sebagai sarana merancang kegiatan yang lebih sehat secara psikologis, dalam arti meminimalkan kemungkinan munculnya perasaan yang depresif. Kegiatan yang dimasukkan dalam rancangan kegiatan adalah kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan perasaan positif dalam kehidupan klien sehari-hari (Westbrook, Kennerley &Kirk, 2007).

  • Relaksasi

    Ketegangan fisik merupakan salah satu faktor yang dapat berkontribusi membuat masalah psikologis tetap bertahan dalam diri individu, termasuk depresi. Ketegangan fisik ini misalnya bisa ditandai dengan peningkatan detak jantung, pusing pada kepala, dan lain-lain. Gejala-gejala ketegangan fisik ini dapat diredakan dengan menggunakan teknik relaksasi (Westbrook, Kennerley & Kirk, 2007).

    Terdapat beberapa pendekatan relaksasi yang berkembang untuk diberikan pada kasus-kasus depresi, misalnya relaksasi progresif dan relaksasi pernapasan perut dengan penjelasan sebagai berikut (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003):

    • Relaksasi progresif
      Relaksasi progresif merupakan teknik relaksasi yang memanfaatkan kumpulan otot tubuh untuk ditegangkan dan dilemaskan. Perbedaan antara otot yang tegang dan lemas menjadi esensi dari relaksasi yang dilakukan.

    • Relaksasi pernapasan perut
      Relaksasi pernapasan perut dapat membantu klien menyadari perubahan dalam pernapasan ketika merasakan ketegangan tertentu. Oleh karena itu, mengatur pernapasan saat sedang mengalami gejala psikologis tertentu penting untuk dilakukan agar klien dapat menenangkan dirinya dengan sesegera mungkin.

    Pemilihan pendekatan relaksasi yang digunakan dalam terapi didasarkan pada kecocokan dengan klien. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pendekatan relaksasi apapun adalah (Westbrook, Kennerley & Kirk, 2007):

    • Menjelaskan kepada klien bahwa belajar menjadi rileks sama seperti belajar keahlian baru, sehingga membutuhkan latihan

    • Belajar relaksasi sebaiknya dimulai saat klien sedang merasa tenang atau tidak terlalu tegang

    • Lebih baik mulai mengajari klien relaksasi dengan kondisi yang dekat dengan kondisi sehari-hari, misalnya dengan duduk di kursi daripada berbaring.

    • Belajar relaksasi sambil menutup mata akan lebih mudah karena dapat mengurangi kemungkinan klien mengalami distraksi

    • Memonitor munculnya tanda-tanda masalah psikologis penting untuk dilakukan agar relaksasi dapat digunakan melawan tanda- tanda tersebut sebelum berkembang terlalu kuat

    • Pilih tempat yang tenang untuk melakukan relaksasi

    • Relaksasi sebaiknya tidak dilakukan saat lapar karena dapat menyebabkan munculnya ketegangan, juga tidak segera setelah makan karena dapat mendatangkan kantuk.

  • Latihan Memecahkan Masalah

    Dalam teknik pemecahan masalah, klien yang mengalami depresi dibantu untuk belajar mengatasi masalah yang dapat menjadi penyebab depresinya secara lebih objektif dan produktif (Rosenvald, Oei & Schmidt, 2007). Secara umum, langkah-langkah dasar yang perlu dilakukan dalam latihan pemecahan masalah antara lain (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003; Spiegler & Guevremont, 2010; Westbrook, Kennerley & Kirk, 2007):

    • Mengadaptasi pendekatan latihan pemecahan masalah, yaitu memahami bahwa mengidentifikasi masalah perlu dilakukan dengan baik agar solusi yang tepat dapat ditemukan, masalah merupakan bagian dari kehidupan dan individu bisa belajar dari masalah yang ia alami, serta pentingnya memikirkan alternatif solusi untuk menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.

    • Mengidentifikasi masalah, yaitu menentukan masalah secara jelas dan spesifik, sehingga individu dapat mencari solusi yang sifatnya spesifik pula.

    • Menyusun tujuan, yaitu tujuan yang spesifik untuk mengubah situasi yang bermasalah itu sendiri, serta untu mengibah reaksi individu terhadap masalah yang dialaminya.

    • Membuat berbagai solusi, yaitu memikirkan sebanyak mungkin alternatif solusi yang mungkin dilakukan guna memperbesar kemungkinan keberhasilan usaha pemecahan masalah.

    • Memilih solusi yang paling baik, yaitu menentukan solusi terbaik dari seluruh alternatif solusi yang ada. Kemudian, memikirkan sisi positif dan negatif dari solusi yang dipilih, serta rintangan yang mungkin muncul saat mencoba mengimplementasikannya.

    • Mengimplementasikan solusi yang dianggap paling baik, yaitu mencoba mempraktekkan solusi yang sudah dipilih. Hal ini perlu didukung dengan kemampuan, kesempatan, dan motivasi individu untuk mempraktekkannya.

    • Mengevaluasi efek dari solusi yang diambil, yaitu menilai kesuksesan dari implementasi solusi yang sudah dilakukan. Jika masalah belum terpecahkan, individu perlu melakukan upaya lain, misalnya mencoba solusi lain. Jika masalah berhasil dipecahkan, maka proses pemecahan masalah sudah selesai dilakukan.

  • Mengenali Pikiran-pikiran Negatif

    Pikiran-pikiran negatif muncul secara otomatis dan dapat mempengaruhi perasaan serta perilaku klien yang mengalaminya. Pikiran-pikiran negatif yang biasanya dimiliki oleh klien depresi antara lain (Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003):

    • Arbitrary inference (Berprasangka buruk)

      Membuat kesimpulan yang spesifik berdasarkan ketiadaan bukti. Contoh: Saat tidak disapa oleh seorang teman di jalan, klien berpikir bahwa temannya sengaja tidak menyapanya.

    • Selective abstraction (Pikiran selektif)

      Memfokuskan diri pada detail di luar konteks dan mengabaikan informasi yang lebih positif. Contoh: Klien memberi apresiasi hanya pada pekerjaan yang sangat positif menurut dirinya. Ia mengabaikan pujian kecil yang ia terima, dan hanya fokus kepada kritik.

    • Dichotomous reasoning (Berpikir hitam-putih)

      Kecenderungan untuk mengkategorikan seluruh pengalaman ke dalam satu atau dua kategori saja. Contoh: Klien berpikir dirinya benar-benar gagal ketika tidak mendapat hasil yang memuaskan bagi dirinya.

    • Overgeneralization (Overgeneralisasi)

      Membuat kesimpulan berdasarkan tidak munculnya bukti tertentu. Contoh: Klien menganggap seluruh temannya tidak menyukainya karena salah seorang temannya mengatakan tidak suka kepadanya.

    • Catastrophizing (Katastropisasi)

      Kecenderungan untuk berpikir mengenai kemungkinan terburuk yang dapat muncul dari situasi tertentu. Contoh: Klien mengatakan dirinya terkena serangan jantung dan akan meninggal karena merasakan debaran agak keras pada jantungnya.

    • Negative imperatives (Keharusan)

      Ide yang tegas mengenai keharusan akan segala sesuatu yang ditemui dalam kehidupan. Contoh: Klien memecahkan barang di rumah dan menyalahkan dirinya bahwa ia seharusnya berhati-hati, seharunya tidak beraktivitas di dekat barang tersebut, dan lain-lain.

  • Restrukturisasi Kognitif atau Pikiran

    Dalam restrukturisasi kognitif atau pikiran, individu diajak memikirkan kembali pikiran-pikiran negatif yang ada dalam dirinya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berupa Socratic questioning yang ditanyakan oleh terapis. Setelah itu, individu diajarkan untuk berlatih mencari bukti-bukti yang dapat digunakan untuk melawan pikiran negatif tersebut, serta mencari alternatif pemikiran lain yang lebih sesuai (Westbrook, Kennerley & Kirk, 2007). Restrukturisasi kognitif atau pikiran biasanya dilakukan dengan strategi A-B-C-D-E, yaitu (Beck, 1995 dalam Oei, 2011; Laidlaw, Thompson, Gallagher-Thompson & Dick-Siskin, 2003):

    • A (Antecedent) merupakan peristiwa aktual yang mendasari munculnya perasaan dan atau pikiran tertentu.

    • B (Beliefs) merupakan keyakinan yang muncul sebagai hasil dari pikiran, biasanya berupa pikiran negatif.

    • C (Consequences) merupakan konsekuensi berupa perasaan yang muncul dari suatu pikiran tertentu.

    • D (Dispute) merupakan usaha menantang pikiran yang sudah muncul sebelumnya dengan menggunakan pikiran alternatif tertentu.

    • E (Evaluation) merupakan evaluasi yang dilakukan terhadap perasaan setelah menantang pikiran negatif.

Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda-dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008).

Menurut Epigee (2009) CBT merupakan terapi yang didasari dari gabungan beberapa intervensi yang dirancang untuk merubah cara berpikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang mengganggu.

Menurut Martin (2010) CBT adalah suatu terapi psikososial yang mengintegrasikan modifikasi perilaku melalui pendekatan restrukturisasi kognitif.

Menurut Center for CBT (2006) CBT adalah terapi yang berfokus pada masalah, bersifat aktif dan secara langsung membantu klien untuk melihat apa sebenarnya penyebab mereka tertekan.

Menurut FIK-UI (2009) Cognitive behaviour therapy merupakan psikoterapi jangka pendek, yang menjadi dasar bagaimana seseorang berfikir dan bertingkah laku positif dalam setiap interaksi. Cognitive behaviour therapy berfokus pada masalah, berorientasi pada tujuan dan kesuksesan dengan masalah disini dan sekarang.

Cognitive Behavior Therapy

Tujuan Cognitive Behavior Therapy


Tujuan dari Cognitive behaviour therapy adalah untuk memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi positif (Oemarjoedi, 2003). CBT pada klien PTSD bertujuan untuk memutuskan hubungan negatif yang tercipta antara pikiran dan perilaku (Parsons, 2009). Diharapkan akhirnya dengan putusnya hubungan antara pikiran dan perilaku yang negatif, maka secara keseluruhan cara berpikir dan berperilaku individu tersebut tidak mengarah pada maladaptif.

CBT bertujuan agar klien memiliki pola pikir yang positif sehingga perilaku yang terlihat juga positif atau adaptif. Dengan pemberian CBT, klien diharapkan mampu mengatasi masalah yang timbul dengan cara yang konstruktif.

Indikasi CBT


Cognitive behaviour therapy diberikan kepada individu dengan indikasi gangguan klinis khusus seperti : depresi, ansietas, panik, agoraphobia, sosial phobia, bulemia, obsessive compulsive disorder , PTSD, psikosis, marah, distress HIV, masalah keluarga, kelainan fungsi seksual, kerusakan personality ( Royal College of Psychiatris , 2005 & FIK-UI, 2009).

Karakteristik CBT


Beberapa karakteristik dari Cognitive Behaviour therapy (Stuart & Laraia, 2005; NACBT, 2007) , yaitu :

  • Empirically based (berdasarkan pada pembuktian atau hasil penelitian)
    Metode psikoterapi ini perlu didukung pembuktian yang luas untuk mengatasi banyaknya masalah klinis.

  • Goal oriented (berorientasi pada tujuan)
    Pasien dan terapis mengidentifikasi tujuan yang jelas dengan menggunakan evaluasi perkembangan pasien dan hasil yang telah dicapai.

  • Practical (lebih merupakan praktek)
    Pasien dan terapis berfokus pada penjelasan dan pemecahan masalah kehidupan, mendiskusikan masalah saat ini dan sekarang bukan riwayat pasien.

  • Collaborative (kerjasama)
    Kerjasama dan partisipasi aktif pasien dalam proses terapi sangat diperlukan karena dapat membantu pasien untuk berubah.

  • Open (terbuka)
    Proses dalam terapi ini adalah terbuka dan fleksibel dimana antara pasien dan terapis dapat berdiskusi didalam proses terapi.

  • Homework (tugas pekerjaan rumah)
    Pasien diberikan tugas rumah untuk mengumpulkan data terkait dengan keterampilan yang dimiliki, dan memberikan penguatan terhadap respons tersebut.

  • Measurements (ada pengukuran)
    Data dasar penilaian masalah perilaku di buat selama proses pengkajian Penilaian tersebut di ulang selama interval yang teratur dan sampai pada penyelesaian tindakan. Proses tindakan tersebut diawasi secara ketat.

  • Active (aktif)
    Perubahan dan kemajuan yang bermakna dalam perawatan pasien dapat memberikan dampak pada kualitas hidup pasien. Baik pasien ataupun therapis aktif dalam therapy. Therapis adalah sebagai pembimbing dan pelatih dan pasien mempraktekkan strategi pembelajaran dalam therapy.

  • Short term (jangka pendek)
    CBT biasanya digunakan dalam jangka waktu yang pendek yang terdiri dari 6 sampai 20 sesi.

Model terapi perilaku kognitif

Pendekatan dalam CBT


Menurut NIMH (2008) ada tiga beberapa pendekatan dalam melakukan CBT, yaitu :

Exposure therapy.

Terapi ini digunakan untuk mengontrol ketakutan yang dirasakan. Dalam terapi ini terapis membantu klien untuk menghadapi situasi tertentu, orang, objek, memori atau emosi yang akan mengingatkan klien terhadap trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistis dalam kehidupan klien sehari-hari.

Menurut Ross (1999), terapi ini bisa dilakukan dalam dua pendekatan, yaitu :

  • Exposure in imagination , dimana terapis akan meminta klien untuk mengulangi menceritakan kembali tentang memori peristiwa traumatis sampai pada suatu ketika klien tidak lagi menimbulkan derajat distress yang tinggi.

  • Exposure in reality, terapis akan membantu klien untuk menghadapi situasi pada kondisi aman, tapi yang ingin dihindari oleh klien karena akan memicu timbulnya ketakutan yang kuat. Ketakutan klien secara berangsur-angsur akan berubah jika klien berusaha untuk meninggalkan situasi tersebut dari pada melarikan diri. Jika kegiatan ini dilakukan secara berulang-ulang akan membantu klien menyadari bahwa situasi tersebut tidak berbahaya dan bisa ditanggulangi.

Terapi ini biasanya memakan waktu 60 – 90 menit, dan terapi harus selalu memantau kondisi klien setelah melakukan exposure . Biasanya klien juga diberikan tugas untuk mengulangi kegiatan yang telah dilakukan sebagai homework . (Yulle, 1999)

Cognitive restructuring.

Teknik ini membantu individu mengatasi masalah kenangan yang jelek akibat trauma yang dirasakan. Konsep kognitif pada PTSD menekankan pada pentingnya proses berpikir yang akan mempengaruhi sebagian atau seluruh psikopatologi dari reaksi abnormal dari post-trauma. Sehingga intervensi diperlukan untuk mengidentifikasi pikiran dan kepercayaan yang tidak tepat dan membantu klien dalam memunculkan kembali pikiran dan kepercayaan yang lebih membantu dalam melihat kejadian traumatis, diri sendiri dan lingkungan (Yulle, 1999).

Burns (1988 dalam Wulandari, 2002) mengungkapkan bahwa perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif juga disebut dengan distorsi kognitif. Reaksi emosional tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional, untuk selanjutnya individu belajar membangun pikiran yang objektif dan rasional terhadap peristiwa yang dialami.

Distorsi kognitif yang dapat dialami oleh individu terdiri dari penyimpangan pemikiran-pemikiran dapat dipaparkan sebagai berikut (Stuart & Laraia, 2005: Townsend, 2009):

  • Pemikiran ― Segalanya atau Tidak Sama Sekali (All or nothing thinking).
    Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori ‗hitam atau putih‘ secara ekstrim. Pemikiran ‗bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa sama sekali‖ merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempurnaan. Pemikiran ini menyebabkan individu takut terhadap kesalahan atau ketidaksempurnaan apapun, sehingga untuk selanjutnya individu akan memandang dirinya sebagai pribadi yang kalah total, dan individu akan merasa tidak berdaya. Contoh ―Jika suamiku meninggalkanku maka saya juga akan meninggal‖.

  • Terlalu Menggeneralisasi (overgeneralization).
    Individu yang melakukan pemikiran terlalu menggeneralisasi terhadap peristiwa yang dihadapinya maka individu tersebut menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi berulang kali. Karena apa yang pernah terjadi sangat tidak menyenangkan, maka individu selalu senantiasa merasa terganggu dan sedih.

    Contoh pada seorang siswa yang gagal dalam satu ujian berpikir, “Saya tidak akan pernah lulus dalam ujian-ujian yang lain dalam semester ini dan saya akan gagal dan dikeluarkan dari sekolah”.

  • Filter Mental (mental filter).
    Pemikiran ini menunjuk kecenderungan individu untuk mengambil suatu hal negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya, dan dengan demikian individu tersebut mempersepsikan seluruh situasi sebagai hal yang negatif. Dalam hal ini individu yang bersangkutan tidak menyadari adanya “proses penyaringan”, maka individu lalu menyimpulkan bahwa segalanya selalu negatif. Istilah teknis untuk proses ini ialah “abstraksi selektif”.

    Contoh seorang istri meyakini bahwa suaminya tidak lagi mencintai dirinya karena suaminya sering pulang larut malam, tapi si istri tidak mengabaikan perhatian dari suaminya, hadiah yang diberikan oleh suaminya, dan liburan special yang sudah mereka rencanakan bersama

  • Mendiskualifikasikan yang Positif (disqualifiying the positive).
    Suatu pemikiran yang dilakukan oleh individu yang tidak hanya sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif, tetapi juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang negatif.

    Contoh, “Saya tidak akan mengikuti promosi jabatan di kantor karena saya pasti tidak akan mendapatkannya dan saya akan merasa tidak enak”.

  • Loncatan ke Kesimpulan (jumping to conclusions).
    Individu melakukan pemikiran meloncat ke suatu kesimpulan negatif yang tidak didukung oleh fakta dari situasi yang ada. Dua jenis distorsi kognitif ini adalah “membaca pikiran” dan “kesalahan peramal”.

    • Membaca pikiran yaitu individu berasumsi bahwa orang lain sedang memandang rendah dirinya, dan individu tersebut yakin akan hal ini sehingga dirinya sama sekali tidak berminat untuk mengecek kembali kebenarannya.

    • Kesalahan peramal yaitu kecenderungan individu untuk membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi, dan individu tersebut menganggap pemikirannya sebagai suatu fakta walaupun sama sekali tidak realistis.

    Contoh, “Mereka pasti berpikir saya ini orang gemuk yang bodoh”.

  • Pembesaran dan Pengecilan (magnification and minimization).
    Individu memiliki kecenderungan untuk memperbesar atau memperkecil hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya. Pembesaran yaitu individu akan melebih- lebihkan kesalahan, ketakutan, atau ketidaksempurnaan dirinya. Pengecilan yaitu individu akan mengecilkan nilai dari kemampuan dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil dan tidak berarti. Jika individu membesar-besarkan ketidaksempurnaan dirinya serta memperkecil kemampuannya, maka individu akan merasa dirinya rendah dan tidak berarti.

    Contoh seorang membuat masakan hangus, dia mengatakan, “Saya sudah membuat makan malam kita hangus, ini membuktikan bahwa saya benar-benar tidak memiliki kemampuan”.

  • Penalaran Emosional (emotional reasoning).
    Individu menggunakan emosinya sebagai bukti untuk kebenaran yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab perasaan individulah yang menjadi cermin pemikiran serta keyakinannya, bukan kondisi yang sebenarnya.

    Contoh seorang wanita muda menyimpulkan, “Teman-temanku tidak lagi menyukaiku karena dia tidak menerima undangan ulang tahun.”

  • Pernyataan ―Harus (should statements).
    Individu mencoba memotivasi diri sendiri dengan mengatakan, “Saya harus melakukan pekerjaan ini”. Pernyataan tersebut menyebabkan individu merasa tertekan, sehingga menjadi tidak termotivasi. Bila individu menunjukkan “pernyataan-harus” kepada orang lain, maka individu akan mudah frustasi ketika mengalami kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.

    Contoh, “Saya akan gagal dan tidak lulus jika saya tidak mendapatkan nilai A untuk semua ujian saya”.

  • Memberi Cap dan Salah Memberi Cap (labeling and mislabeling).
    Memberi cap pribadi berarti menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada kesalahan individu. Ini merupakan bentuk ekstrim dari terlalu menggeneralisasi. Pemikiran dibalik distorsi kognitif ini adalah nilai individu terletak pada kesalahan yang dibuatnya, bukan pada kelebihan potensi dirinya. Salah memberi cap berarti menciptakan gambaran negatif didasarkan emosi yang dialami saat itu.

    Contoh, “Saya harus terlihat sempurna pada setiap waktu, jika tidak maka teman-teman tidak akan mengizinkan saya untuk ikut bergabung dengan mereka”.

  • Personalisasi (personalization).
    Individu merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan dirinya. Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan individu yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.

Contoh, “Bos mengatakan bahwa produktivitas perusahaan menurun pada tahun ini, saya tahun sebenarnya dia membicarakan saya”.

Menurut Tull (2008), dalam terapi ini klien diminta untuk menuliskan kejadian traumatis yang dialaminya secara detil, lalu klien harus membaca kembali secara berulang-ulang. Terapis membantu klien untuk menemukan entry point dimana terjadi kesalahan dalam berpikir. Kemudian bersama klien mengumpulkan bukti-bukti akibat dari kesalahan berpikir dan mencari jalan untuk mengatasi kesalahan berpikir tersebut.

Stress inoculation training (SIT)

Terapi ini digunakan untuk mengurangi tanda dan gejala PTSD. Menurut Tull (2008) SIT bertujuan untuk membantu klien meraih kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk mengatasi kecemasan dan ketakutan yang bersumber dari pengalaman traumatis. Dalam SIT terapis juga membantu klien untuk lebih waspada terhadap hal-hal yang mengingatkan klien terhadap hal-hal yang menimbulkan ketakutan. Sebagai tambahan, klien juga diajarkan beberapa kemampuan strategi koping untuk mengatasi kecemasan seperti muscle relaxation dan deep breathing.

Muscle relaxation dan deep breathing digunakan untuk mengatasi manifestasi klinis seperti hiperventilasi, ketegangan otot, dan jantung berdebar. Sedangkan untuk mengatasi pikiran yang mengganggu dan kecemasan, menurut Epigee (2009) SIT mengajarkan klien untuk memutuskan pola pikirannya dan membayangkan hal- hal yang positif. Pada akhirnya klien diharapkan mampu menerapkan kemampuan strategi koping yang sudah dipelajari pada saat muncul suatu situasi yang menimbulkan stressor sehingga klien bisa mengatasi masalah sebelum masalah tersebut tidak bisa dikendalikan.

Mills, Reiss, dan Dombeck (2008) menjelaskan bahwa SIT memiliki tiga fase dalam pelaksanaannya, yaitu :

  • Fase pertama adalah initial conceptualization , yaitu pada fase ini terapis memberikan pendidikan kepada klien tentang proses terjadinya stress, dan bagaimana klien memahami bagaimana hubungan antara aspek stressor yang dialami dan reaksi yang timbul akibat stress, dimana reaksi adalah sesuatu yang biasa diubah, sehingga klien bisa menerapkan koping yang tepat sesuai untuk masalah yang dihadapi.

  • Fase kedua adalah skill aquisation and rehearsal, yaitu klien diajarkan tentang kemampuan yang penting, memenuhi kebutuhan klien dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien. Berbagai macam teknik pengaturan emosi, penilaian kognitif, penyelesaian masalah, relaksasi, kemampuan komunikasi dan kemampuan sosialisasi yang akan memenuhi kebutuhan klien.

  • Fase ketiga adalah application and follow through , pada fase ini terapis memberikan kesempatan pada klien untuk mempraktekkan semua yang sudah dipelajari. Klien akan didorong untuk mempraktekkan berbagai kemampuan meliputi latihan visualisasi, modeling dan belajar mandiri, role play untuk situasi yang menimbulkan ketakutan dan pengulangan perilaku koping sehingga klien pada akhirnya mampu menggunakan kemampuan yang diajarkan secara otomatis.

Sesi dalam Terapi Perilaku Kognitif

Jumlah Sesi dalam CBT


Tiap penelitian yang dilakukan untuk mengukur apakah CBT terbukti efektif untuk mengatasi PTSD dilaksanakan dengan berbagai sesi, tergantung dari kebutuhan dari peneliti itu sendiri. Menurut Scheeringa, dkk (2007), CBT yang dilakukan secara individual sebanyak 12 sesi, dimana masing-masing sesi berlangsung 60-90 menit yang dilaksanakan satu atau dua kali setiap minggu. Sesi 1-4 menjelaskan tentang tanda dan gejala PTSD, bagaimana menilai perasaan dan mengidentifikasi tanda tersebut pada diri sendiri, dan mempelajari beberapa teknik relaksasi. Pada sesi 5 adalah sesi bercerita, dimana individu menceritakan pengalamannya terhadap pengalaman traumatis yang dialaminya. Sesi 6-10 menetapkan resiko yang akan ditemui di lingkungan kerja atau diluar lingkungan kerja. Sesi 11 berfokus pada pencegahan kekambuhan dan sesi 12 adalah sesi evaluasi dan akhir dari terapi.

Pada setiap sesi akan dilakukan intervensi yang berbeda-beda, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel Outline sesi-sesi pada CBT individu

Sesi Intervensi
1 Review diagnosa, tanda dan gejala PTSD
Psikoedukasi tentang PTSD
Latihan Progressive muscle relaxation (PMR)
2 Membaca (dengan keras) deskripsi pengalaman yang dituliskan oleh individu
Diskusi tentang perilaku menghindar
PMR
3 Coping self-statements
Menyusun tingkatan perilaku menghindar— exposure instruction (in vivo and imaginal)
Berkumpul dengan orang yang terdekat
PMR (versi menggunakan 8 otot)
4 Penilaian kognitif
Diskusi tentang tingkatan perilaku menghindar— exposure continued
PMR (versi menggunakan 4 otot)
5 Diskusi tentang tingkatan perilaku menghindar — exposure continued
6 Diskusi tentang tingkatan perilaku menghindar — exposure continued
Cue-controlled relaxation
7-9 Membahas masalah eksistensial (terutama yang menyangkut kematian)
Intervensi untuk mengatasi menarik diri dan isolasi sosial
Intervensi untuk mengontrol marah
Diskusi tentang tingkatan perilaku menghindar— exposure continued
10 Evaluasi semua prosedur yang dilakukan

Sumber : Beck & Coffeey, 2005)

Sumber lain menyebutkan bahwa CBT dilakukan sebanyak 4 sesi, yang dilakukan selama 2 jam dalam satu minggu (Lubit, 2008; Shoostary, Panaghi & Moghadam, 2008).

  • Pada sesi 1 adalah psychological debriefing, pada sesi ini akan membahas tujuan dari terapi, pengalaman individu terkait kejadian traumatis, pikiran tentang kejadian, serta reaksi yang timbul akibat pengalaman traumatis tersebut.

  • Pada sesi 2 akan membahas tentang intrusion. Sesi 2 ini akan membahas tentang stress akibat pengalaman traumatik, membuat daftar tentang kejadian traumatis dan ingatan traumatis, menetapkan tempat aman dalam imanjinasi individu, teknik imanjinasi, teknik kinestetik, EMDR, rehearsal relief, dan tugas rumah.

  • Pada sesi 3 adalah avoidance dan hyperarousal. Untuk mengatasi avoidance akan dilakukan kegiatan seperti diskusi tentang perilaku avoidance , menilai ingatan traumatis, imanginal exposure , menggambar, bercerita dan menulis. Untuk mengatasi hyperarousal , tindakan yang dilakukan adalah hubungan antara perasaan takut dengan reaksi tubuh, relaksasi otot, napas dalam, pernyataan positif, pengaturan tidur yang baik dan terakhir ada tugas di rumah.

  • Pada sesi 4 adalah segala hal tentang komponen kognitif, yaitu menormalkan kembali reaksi dan ingatan terhadap trauma.

Parsons (2009) menyebutkan bahwa CBT berlangsung selama 12 sesi. Menurut Parsons (2009) CBT untuk PTSD terdiri dari empat tahapan, yaitu pre-contemplative, contemplative, action dan relaps . Keempat tahapan tersebut akan ditampilkan secara terstruktur pada jumlah sesi yang ada di CBT yaitu sebanyak 12 sesi. Setiap sesi dilakukan seminggu sekali dan lama terapi diperkirakan 1 – 3 bulan, maksimal 12 bulan, kemudian 3-6 bulan adalah follow-up , dan 6-12 bulan adalah recovery untuk membudidayakan kemampuan dan teknik pembelajaran. Walaupun secara umum CBT sudah memiliki sesi-sesi yang terstruktur, tapi pada pelaksanaannya bisa saja berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan individu yang membutuhkannya.

Pelaksanaan CBT yang merupakan modifikasi dari beberapa penelitian sebelumnya bahwa CBT bisa dilakukan sebanyak 4 sesi (Susanti, Wardani, Khotimah, Natalia & Nurillah, 2009). Empat sesi yang dilakukan meliputi sesi 1 yaitu pengkajian pikiran negatif, sesi 2 adalah sesi terapi kognitif, sesi 3 adalah terapi perilaku dan sesi 4 merupakan evaluasi dari terapi kognitif dan terapi perilaku.

Sumber dari FIK-UI (2009), menyebutkan bahwa CBT dapat dilaksanakan dalam 5 sesi.

  • Sesi 1 adalah pengkajian dan latihan untuk mengatasi pikiran negatif pada diri sendiri.

  • Sesi 2 akan mendiskusikan tentang terapi kognitif, dimana pada sesi ini akan mengatasi semua hal yang terkait dengan kognitif (pikiran) negatif individu.

  • Sesi 3 adalah terapi perilaku, akan mengubah perilaku negative menjadi perilaku positif.

  • Sesi 4 adalah evaluasi terapi kognitif dan terapi perilaku,

  • Sesi 5 adalah pencegahan kekambuhan.

Kelima sesi ini merupakan kompilasi dari berbagai sumber-sumber tentang CBT. Kelima sesi ini mencakup semua kegiatan yang terdapat dari berbagai penelitian yang berkaitan dengan CBT, dimana ada sesi yang akan membahas tentang pikiran otomatis negatif yang timbul, dan ada juga sesi untuk melatih perilaku positif untuk mengubah perilaku negatif

Terapi kognitif perilaku, menurut Reber (1995), adalah modifikasi dari terapi kognitif dan terapi perilaku, sehingga ide-ide behavioral masih melekat pada terapi ini yaitu ada elaborasi besar terhadap sifat reinforcement (penguatan), waktu dan variabilitas reward atau konsekuensinya, efek reinforcer negatifnya dan efek hukumannya.

Adanya korelasi antara kognitif perilaku dengan struktur otak manusia (neurotransmitter) dijabarkan oleh Oemarjoedi (2003) dalam bukunya. Dia mengatakan proses pembentukan motivasi memperoleh hadiah dalam diri manusia ternyata menstimulasi transmisi neurotransmitter jenis dopamine dalam kandungan nucleus. Efek ini berpengaruh terhadap proses belajar yang berhubungan dengan pembentukan assosiasi terhadap bentuk-bentuk penghargaan (reward). Penghargaan yang sama mungkin akan mengandung nilai yang berbeda pada individu yang berbeda karena proses belajar assosiasi reward ini.

Bandura (1969) memperluas bidang modifikasi perilaku dengan memberi perhatian pada modelling, imitation dan obsevational learning (belajar melalui observasi). Ia, bersama dengan Kanfer dan Goldstein (1975) memfokuskan pada tiga langkah :

  • Mengadopsi sebuah standart, misalnya mencapai sebuah ide yang jelas tentang tujuan yang akan dicapai.

  • Membandingkan fungsi saat ini dengan standart, misalnya dengan membantu klien untuk memberikan lebih banyak perhatian pada situasi- situasi beresiko tinggi dan memfokuskan pada konsekuensi bila terjadi kekambuhan.

  • Mengubah perilaku bila perilaku saat ini tidak dapat mencapai standart yang telah diadopsi, misalnya dengan menggunakan metode-metode koping yang bersifat kognitof atau behavioral guna menangkal berbagai dorongan atau untuk kembali ke standart yang diadopsi.

Di lain pihak, ide-ide Ellis dan Beck lebih tepat disebut terapi kognitif perilaku daripada kognitif saja. Pendekatan ini membutuhkan restrukturisasi kognitif, tetapi terapinya sendiri jarang yang berakhir dengan berpikir saja melainkan berakhir dengan melakukan perubahan dalam perilakunya. Akhir 1970-an dan 1980-an berisi berbagai upaya untuk menggabungkan pendekatan behavioral dan kognitif kedalam terapi yang disebut terapi kognitif perilaku.

Teori Kognitif perilaku pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, yang saling berkait dan membentuk semacam jaringan dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.

Dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku, maka terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status kognitif dan perasaannya, klien diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Bagaimana seseorang menilai situasi dan bagaimana cara mereka menginterpretasikan suatu kejadian akan sangat berpengaruh terhadap kondisi reaksi emosional yang kemudian akan mempengaruhi tindakan yang dilakukan (Oemarjoedi, 2003).

Model Terapi Perlikau Kognitif
Gambar Model Terapi Perlikau Kognitif

Dobson (1988) merangkum terapi-terapi kognitif perilaku berdasarkan tiga proposisi fundamental, yaitu :

  1. Aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku.
    Ada banyak bukti bahwa penilaian kognitif tentang berbagai kejadian dapat mempengaruhi respons terhadap kejadian-kejadian tersebut (misalnya, Lazarus dan Folkman, 1984).

  2. Aktivitas kognitif dapat dimonitor dan diubah.
    Diasumsikan bahwa para peneliti dan klinisi dapat memperoleh akses ke dan mengubah berbagai proses.

  3. Perubahan perilaku yang diinginkan dapat dipengaruhi melalui perubahan kognitif.
    Perubahan perilaku tetap menjadi tujuan, tetapi mekanisme-mekanisme kognitif dapat digunakan dan bukan dengan menggunakan classical conditioning atau operant conditioning untuk mewujudkan perubahan.

Tiga bentuk terapi kognitif perilaku utama yang dikenal orang adalah :

  • Cognitive restructuring therapies (restrukturisasi kognitif) yang dilustrasikan oleh Ellis dan Beck.

    Restrukturisasi kognitif merupakan metode yang diarahkan langsung untuk menciptakan persepsi yang baru terhadap dunia sekitar anak dan mengubah konsepsi yang salah yang selama ini dialami oleh anak. Melalui restrukturisasi kognitif anak akan diajarkan bagaimana berpikir secara realistis, bagaimana menilai secara tepat suatu situasi, bagaimana anak mampu meyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu melakukan suatu pekerjaan secara tepat. Dengan mengganti pemikiran yang tidak logis, irrasional, anak akan lebih mampu menilai situasi yang dihadapinya secara lebih objektif.

  • Coping skill therapies
    Coping skill therapies menekankan pada cara-cara mempelajari strategi koping yang efektif dan elaboratif atau meningkatkan keterampilan-keterampilan adaptif dan asertif untuk memperluas kemampuan mengatasi masalah.

  • Problem Solving therapies (Keterampilan pemecahan masalah)
    Keterampilan pemecahan masalah merupakan salah satu keterampilan yang sangat dibutuhkan oleh anak. Dengan keterampilan ini anak akan lebih mampu mengatasi konflik interpersonal yang sedang dihadapinya, anak akan mampu mengatur strategi ketika dia kesulitan dalam menyelesaikan suatu tugas. Menurut Spivack dan Shure (Ronen, 1993) menegaskan bahwa keterampilan pemecahan masalah ini akan menetukan keberhasilan anak dalam interaksi sosial sehari-hari. Jika anak memiliki keterampilan pemecahan masalah yang baik, anak akan lebih sensitif terhadap masalah interpersonal, berpikir sebab akibat, kesiapan dalam memprediksi perilakunya pada masa depan, kemampuan anak dalam memunculkan berbagai alternatif solusi terhadap suatu permasalahan.

Cognitive Behavior Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Beck tahun 1976, yang konsep dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian StimulusKognisi-Respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk semacam jaringan dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.

Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pendekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu.

Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.

Pendekatan CBT memusatkan perhatian pada proses berpikir klien yang berhubungan dengan kesulitan emosional dan psikologi klien. Pendekatan ini akan berupaya membantu klien mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif, keyakinan-keyakinan dan sikap klien yang tidak rasional. Jadi fokus teori ini adalah mengganti cara-cara berfikir dan sikap yang tidak logis menjadi logis (Cormier, 1991). Meichenbaun (1979) menyatakan pendekatan CBT ialah terapeutik yang memodifikasi pikiran, asumsi, dan sikap yang ada pada individu.

Terapi perilaku kognitif (CBT-Cognitive Behavior Therapy) merupakan gabungan dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu Cognitive Therapy dan Behavior Therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, persepsi, penilaian, dan pernyataan diri. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking.

Sedangkan terapi behavior atau terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.

Pikiran negatif, perilaku negatif, dan emosi negatif dapat membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau emosi negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam konseling CBT ini, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfumgsi secara normal.

Berdasarkan pemaparan definisi CBT diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan terapi kognitif perilaku atau (CBT-Cognitive Behavior Therapy) ialah pendekatan konseling yang menitikberatkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis.

CBT merupakan konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permesalahan.

Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan bertindak.

Hakikat Manusia Menurut Cognitive Behavior Therapy

Teori Cognitive Behavior Therapy pada dasarnya meyakini bahwa manusia memiliki pola pemikiran yang terbentuk melalui proses rangkaian Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk semacam jaringan dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa dan bertindak.

Oemarjoedi mengungkapkan pandangan tentang manusia menurut Cognitive Behavior Therapy, diantaranya yakni:

  1. Manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku

  2. Manusia menginterpretasikan setiap kejadian yang dilaluinya, dimana nantinya akan berpengaruh terhadap kondisi reaksi emosional dan tingkah laku yang diperbuatnya

  3. Manusia melakukan dialog internal atau Self Talking dalam dirinya untuk menghasilkan persepsi, penilaian terhadap- setiap sederetan peristiwa yang dilaluinya dalam dunia ini. Sehingga apapun tanggapan dari pikiran tersebut tergantung dari seberapa baik individu tersebut menilai sederetan peristiwa yang dialaminya, baik penilaian positif ataupun negatif.

Perilaku Bermasalah dalam Cognitive Behavior Therapy

Penilaian-penilaian yang terjadi dalam pikiran individu, akan diolah dan sangat ditentukan oleh seberapa baik pengamatan individu tersebut pada suatu situasi. Tidak jarang penilaian tersebut mengalami kekacauan kognitif atau disebut disorsi kognitif. Beck meyakinkan bahwa konseli dengan gangguan emosi cenderung memiliki kesulitan berfikir logis yang menimbulkan gangguan pada kapasitas pemahamannya. Yang pada akhirnya akan mengalami disorsi kognitif, antara lain:

  1. Mudah membuat kesimpulan tanpa data yang mendukung, cenderung berfikir secara ‘catastrophic’ atau berfikir seburukburuknya. Contoh: seorang pria yang mengalami keagalan dalam hubungan perkawinannya menjadi enggan untuk membangun hubungan baru karena yakin akan gagal lagi

  2. Memiliki pemahaman yang selektif, membatasi kesimpulan berdasarkan hal-hal yang terbatas. Contoh: seorang wanita menentukan kriteria yang terlalu tinggi untuk memilih calon suami, berakibat kepada sulitnya kriteria tersebut terpenuhi, lalu menyimpulkan bahwa ia tidak layak untuk bersuami

  3. Mudah melakukan generalisasi, sebagai proses meyakini sebuah kejadian untu diterapkan secara tidak tepat pada situasi lain. Contoh: pengalaman anak yang memiliki ayah berselingkuh menumbuhkan keyakinan bahwa semua laki-laki suka berselingkuh dan tidak setia

  4. Kecenderungan memperbesar dan memperkecil masalah, membuat konseli tidak mampu menilai masalah secara objektif. Contoh: kegagalan kecil dianggap sebagai akhir dari segalanya.

  5. Personalisasi, memuat konseli cenderung menghubungkan antara kejadian eksternal dengan diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri. Contoh: ketika konseli tidak datang kembali untuk sesi konselingnya, konselor meyakini bahwa hal itu disebabkan karena kegagalan dalam memberikan konseling

  6. Pemberian label atau kesalahan memberi label, menentukan identitas diri berdasarkan kegagalan atau kesalahan. Contoh: kegagalan untuk diterima bekerja membuat seseorang dengan distorsi kognitif menilai bahwa dirinya tidak berharga

  7. Pola pemikiran yang terpolarisasi, kecenderungan untuk berfikir dan menginterpretasikan segala sesuatu dalam bentuk ‘all or nothing’ (semua atau tidak sama sekali).

Menurut Beck, yang menjadi dasar pemikiran dari konseling CBT atau Cognitive Behavior Therapy bahwa:

  1. Apabila individu sedang mengalami depresi, kecemasan atau emosi negatif lainnya, maka individu tersebut akan berfikir secara tidak logis atau negatif dan secara tidak sadar akan melakukan tindakan yang menyalahkan diri sendiri.

  2. Apabila individu dapat melakukan sesuatu dengan sedikit usaha, individu akan dapat melatih diri untuk meluruskan pola pikiran individu tersebut yang terputar terbalik

  3. Apabila individu dapat menghilangkan gejala rasa sakit, individu akan bahagia dan produktif kembali serta mulai menghargai diri sendiri

  4. Sasaran untuk menghilangkan gangguan emosi dapat dicapai dalam waktu relatif singkat dengan menggunakan metode-metode yang langsung pada tujuan.

Tujuan Cognitive Behavior Therapy

Tujuan Cognitive Behavior Therapy adalah untuk mengajak konseli menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Prinsip dasar terapi ini menekankan kepada konseli dalam menemukan diri sendiri dan merubah pola pikirnya demi memperoleh cara pandang yang berbeda terhadap diri dan sekelilingnya.

Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaannya lebih menekankan kepada masa sekarang daripada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu.

CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa sekarang untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi positif.

Cognitive behavioral therapy yaitu teknik modifikasi perilaku dan mengubah keyakinan maladaptif. Ahli terapi membantu individu mengganti interpretasi yang irasional terhadap suatu peristiwa dengan interpretasi yang lebih realistik. Atau, membantu pengendalian reaksi emosional yang terganggu, seperti kecemasan dan depresi dengan mengajarkan mereka cara yang lebih efektif untuk menginterpretasikan pengalaman mereka.

Cognitive behavioral therapy (Terapi Perilaku Kognitif) terdiri atas sebuah kombinasi antara terapi kognitif, dengan penekanan pada pengurangan pikiran-pikiran yang menaklukan diri sendiri, dan terapi perilaku, dengan penekanan pada perubahan perilaku. Sebuah aspek penting dalam terapi kognitif-perilaku adalah self-efficacy , sebuah aspek Albert Bandura bahwa seseorang dapat mengendalikan situasi dan menghasilkan hal-hal yang positif.

Konsep Dasar Cognitive Behavior Therapy

Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian Stimulus- Kognisi- Respon (SKR), yang saling berkait dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak.

Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku, maka Terapi Cognitive Behavio r diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa, dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan memutuskan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat merubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif.

Tujuan Cognitive Behavior Therapy

Tujuan terapi Cognitive Behavior adalah untuk mengajak klien untuk menentang pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Terapis diharapkan mampu menolong klien untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri klien dan secara kuat mencoba menguranginya.

Terapis harus waspada terhadap munculnya pemikiran-pemikiran yang tiba- tiba mungkin dapat dipergunakan untuk merubah mereka. Dalam proses ini, beberapa ahli Cognitive Behavior memiliki pendapat bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam terapi, karenanya Cognitive Behavior lebih banyak bekerja pada status kognitif masa kini untuk dirubah dari negatif menjadi positif.

Teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT)

CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk membantu individu ke arah yang positif. Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, emosi dan tingkah laku menjadi bagian yang terpenting dalam Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang sesuai dengan kebutuhan konseli, di mana konselor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli.

Konselor atau terapis Cognitive Behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam Cognitive Behavior Therapy (CBT) yaitu :

  1. Menata keyakinan irasional.

  2. Bibliotherapy , menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.

  3. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor.

  4. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.

  5. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.

  6. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.

  7. Desensitization systematic . Digantinya respons takut dan cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.

  8. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.

  9. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas.

  10. Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi konseling.

  11. In vivo exposure . Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut.

  12. Covert conditioning , upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

Asas Cognitive Behavioral Therapy

Asas ini berdasarkan atas asas teori kognitif behavior orang dewasa yang dikonseptualisasikan oleh Aaron Beck. Asas-asas berikut dapat diaplikasikan terhadap CBPT bersama anak-anak :

  1. CT berlandaskan pada model kognitif dari gangguan emosional.

Model ini didasarkan para kognisi, emosi, perilaku, fisiologi yang saling mempengaruhi, menyatakan bahwa perilaku dimediasi melalui proses verbal. Perilaku maladaptive atau yang mengganggu dianggap sebagai ekspresi pemikiran irasional.

  1. CT berlangsung singkat dan memiliki waktu terbatas. Menjaga treatment dengan singkat dan dengan waktu yang terbatad seringkali menjdi treatment pilihan untuk anak.

  2. Hubungan terapeutik yang dalam adalah kondisi yang perlu ada dalam cognitive therapy yang efektif. CT bersandar pada membangun hubungan terapeutik yang hangat yang didasarkan pada kepercayaan dan penerimaan.

  3. CT terstruktur dan mengarahkan. CT menyediakan format yang terstruktur dan mengarahkan yang memungkinkan pengaturan agenda dan fokus pada tujuan yang spesifik. Dengan anak, struktur seperti itu selalu diseimbangkan dengan permainan spontan dan tidak terstruktur.

  4. CT berlandaskan model edukasi. Model CT berpendapat bahwa gejala berkembang karena seorang individu telah belajar cara yang tidak pantas untuk menghadapi permasalahan.

  5. CT berorientasi pada masalah. Anak sering dibawa untuk melakukan treatment dengan permasalahan yang spesifik yang membuat orangtuanya mencari bantuan.

  6. CT menggunakan metode Socrates. CT menggunakan pertanyaan sebagai penuntun dan menghindari saran dan penjelasan secara langsung.

  7. Teori dan teknik CT bersandar pada metode induktif. Orang dewasa dapat diajarkan pendekatan ilmiah terhadap masalahnya, dengan kepercayaan yang dilihat sebagai hipotesis yang harus diperbaiki berdasarkan data baru.

  8. Terapi adalah usaha kolaboratif antara terapis dan pasien. Meskipun sangat penting dilakukan dengan anak, namun kolaborasi dapat sangat berbeda, terapis menemukan keseimbangan antara memaksakan arah pada anak dan menerima anak apa adanya.

  9. Homework sebagai fitur utama dalam terapi kognitif tidak dapat diterapkan terhadap CBPT dengan anak-anak.