Apa yang dimaksud dengan Terapi Modifikasi Perilaku Kognitif atau Cognitive Behaviour Modification ?

Terapi Modifikasi Perilaku Kognitif

Terapi Modifikasi Perilaku Kognitif atau Cognitive Behaviour Modification merupakan teknik menggabungkan terapi kognitif dan bentuk modifikasi perilaku (Meichenbaum dalam Kanfer dan Goldstein, 1986). Individu yang akan bertindak, sebelumnya didahului adanya proses berpikir, sehingga bila ingin mengubah suatu perilaku yang tidak adaptif, terlebih dahulu harus memahami aspek-aspek yang berada dalam pengalaman kognitif dan usaha untuk membangun perilaku adaptif melalui mempelajari ketrampilan-ketrampilan yang terdapat pada terapi perilaku.

Apa yang dimaksud dengan Terapi Modifikasi Perilaku Kognitif atau Cognitive Behaviour Modification ?

Teori Modifikasi Perilaku Kognitif atau Cognitive Behaviour Modification (CBM) dikembangkan oleh Donald Michenbaum yang menggunakan terapi self instructional, yang pada dasarnya adalah proses merestrukturisasi sistem kognisi klien, namun terpusat pada perubahan pola verbalisasinya.

Menurut Michenbaum, pernyataan diri akan mempengaruhi tingkah laku seseorang sebagaimana pernyataan diberikan oleh orang lain. Sebagai langkah awal dalam CBM, sebagai prasyarat untuk perubahan perilaku, klien harus mengenali cara mereka berpikir, merasadan bertindak, serta bagaimana akibatnya terhadap orang lain. Sedikit berbeda dengan terapi Cognitive Beck yang lebih terstruktur pada pencarian pola pikir otomatis, CBM lebih memusatkan perhatian kepada menyadarkan klien dalam melakukan komunikasi dengan diri sendiri. Proses terapi terdiri dari kegiatan melatih klien untuk mengubah instruksi yang diberikan kepada diri mereka sendiri agar mereka mau mengatasi masalah secara lebih efektif.

Meichenbaum (1977), mengajukan bahwa perubahan tingkah laku terjadi dalam beberapa tahap melalui interaksi dengan diri sendiri, perubahan struktur kognitif, perubahan tingkah laku dan bukti dampak terapi terhadap gangguan. Ia menggambarkan proses 3 tahap CBM sebagai berikut :

  • Observasi diri.

    Di awal terapi, klien diminta untuk mendengarkan dialog internal dalam diri mereka dan mengenali karakteristik pernyataan negatif yang ada. Proses ini melibatkan kegiatan meningkatkan sensitivitas terhadap kognitif, perasaan, perbuatan, reaksi fisiologis dan pola reaksi terhadap orang lain.

  • Membuat dialog internal baru.

    Setelah klien belajar untuk mengenali tingkah laku menyimpangnya, mereka mulai mencari kesempatan untuk mengembangkan alternatif tingkah laku adaptif (tingkah laku yang tidak menyimpang), dengan cara mengubah dialog internal dalam diri mereka, dialog internal yang baru diharapkan dapat menghasilkan tingkah laku baru, yang sebaliknya akan memberikan dampak terhadap struktur kognisi klien.

  • Belajar keterampilan baru.

    Klien kemudian belajar tekhnik mengatasi masalah yang secara praktis dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, klien diharapkan untuk tetap memusatkan perhatian kepada tugas membuat pernyataan baru dan mengamati perbedaan hasilnya.

Dengan menggunakan tekhnik kognitif, Meichenbaum mengembangkan prosedur ‘stress inoculation’ yang menganalogikan kondisi psikologis dan tingkah laku dengan proses imunisasi terhadap status biologis. Klien diberikan kesempatan untuk berhasil mengatasi stimulus stress ringan untuk kemudian secara bertahap dikembangkan menjadi toleransi yang lebih besar terhadap stimulus yang lebih besar lagi. Pelatihan ini didasarkan kepada dugaan bahwa manusia dapat meningkatkan kapasitas diri dalam mengatasi stress dengan cara mengubah keyakinan dan pernyataan diri tentang keberhasilan menghadapi stress. Pelatihan stress inoculation terdiri dari kombinasi antara pemberian informasi, diskusi, restrukturisasi kognitif, problem solving, relaksasi, pengulangan tingkah laku, monitor diri, instruksi diri, penguatan diri dan kemampuan mengubah lingkungan (Oemarjoedi, 2003).

Penerapan Terapi Modifikasi Perilaku Kognitif pada Anak


Penerapan terapi kognitif perilaku ini pada anak khususnya untuk anak usia sekolah dapat dilakukan melalui modifikasi kognitif perilaku dengan menambahkan penekanan pada berpikir dan self talk.

Self talk ini disarankan karena tahapan dalam perkembangan kognitif anak usia sekolah memungkinkan hal tersebut. Anak usia sekolah sering membimbing dirinya dalam menyelesaikan tugas dengan menggunakan private speech (bicara sendiri). Mereka bicara dengan dirinya sendiri, seringkali dengan mengulangi kata-kata orangtua atau guru. Dalam modifikasi kognitif perilaku, anak sekolah diajari secara langsung tentang cara menggunakan self instruction. Meichenbaum (1977, dalam Woolfolk, 2009) mengikhtisarkan langkah-langkah berikut ini :

  • Terapis mengerjakan sebuah tugas sambil berbicara dengan dirinya dengan suara keras (cognitive modeling).

  • Anak mengerjakan tugas yang sama di bawah pengarahan terapis (bimbingan eksternal dan terang-terangan dengan suara yang jelas terdengar).

  • Anak mengerjakan tugas sambil memberikan instruksi kepada dirinya sendiri dengan suara keras (membimbing dirinya secara terang- terangan dengan suara yang jelas terdengar.

  • Anak membisikkan instruksi kepada dirinya sendiri selama ia mengerjakan tugasnya (membimbing dirinya secara terbuka, tetapi dengan cara yang tidak begitu terang-terangan dengan suara yang tidak begitu jelas terdengar).

  • Anak mengerjakan tugas sambil mengarahkan perbuatannya melalui private speech (memberi instruksi kepada diri sendiri secara sembunyi- sembunyi dengan suara yang tidak dapat didengar oleh orang lain).

Sebenarnya, modifikasi kognitif perilaku ini memiliki lebih banyak komponen karena memasukkan modeling, guide discovery , penyelarasan tugas dengan tingkat perkembangan anak, strategi motivasi dan umpan balik. Strategi motivasi dan umpan balik dapat berupa reinforcement. Reinforcement dalam tahap usia sekolah memainkan beberapa peran. Bila anak mengantisipasi bahwa anak akan diperkuat untuk meniru tindakan- tindakan positif, anak mungkin akan lebih termotivasi untuk memperhatikan, mengingat dan mereproduksi perilaku itu. Di samping itu reinforcement juga penting dalam mempertahankan pembelajaran.

Seseorang yang mencoba perilaku baru kurang berkemungkinan untuk mempertahankan perilaku itu tanpa adanya reinforcement (Ollendick, Dailey & Shapiro, 1983).

Modifikasi kognitif perilaku adalah salah satu pendekatan terapi yang bertujuan mengubah perilaku overt (tampak jelas) dan covert (tersembunyi) dengan mengaplikasikan metode kognitif dan metode perilaku (Dobson & Block).

Maag (2004) menjelaskan bahwa rasionalisasi penggunaan modifikasi kognitif perilaku adalah kognisi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pandangan mengenai modifikasi ini adalah bahwa respon perasaan dan perilaku terhadap situasi sehari-hari dipengaruhi oleh; bagaimana situasi tersebut diterima, ingatan terhadap situasi yang mirip di masa lalu, atribusi yang dibuat berdasarkan penyebab situasi, dan bagaimana situasi mempengaruhi persepsi individu dan tujuannya.

Secara spesifik, Dobson dan Block, mengungkapkan modifikasi kognitif perilaku berdasarkan pada tiga hal.

  • Pertama adalah aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku seseorang sehingga pandangan seseorang mengenai situasi akan mempengaruhi perilaku yang dipilih serta tampilan perilaku pada situasi tertentu.

  • Kedua, aktivitas kognitif dapat dipantau atau diubah, hal ini karena kognisi seseorang dapat diakses dan diidentifikasi sebagai prasyarat untuk mengubah proses kognisi seoseorang.

  • Ketiga, perubahan perilaku yang dikehendaki dapat dilakukan melalui perubahan kognisi karena kegiatan dalam kognisi mendahului perilaku serta menjadi perantara perilaku.

Gambaran Modifikasi Kognitif Perilaku


Menurut Maag (2004) dalam memaknai modifikasi kognitif perilaku, individu perlu mengetahui mengenai rumusan model kognitif A-B-C, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel Model kognitif A-B-C
Model kognitif A-B-C

Rumusan diatas merupakan pengembangan dari modifikasi perilaku dimana dalam modifikasi perilaku, B adalah perilaku sedangkan di dalam model kognitif ini, B merupakan keyakinan atau pikiran seseorang. Model A-B-C ini menjelaskan bahwa :

  • Pertama, situasi pendahulu (A) dapat menimbulkan suatu keyakinan seseorang yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk memilih dan menunjukkan kemampuannya pada situasi sedang yang dihadapi.

  • Kedua, keyakinan (B) diasumsikan menjadi mediator perilaku dimana keyakinan tersebut dapat bersifat kaku ataupun fleksibel. Keyakinan yang bersifat kaku menyebabkan seseorang akan berpikir irasional dan cenderung memiliki kesimpulan yang irasional.

  • Ketiga, konsekuensi dari perasaan dan perilaku (C) berasal dari keyakinan yang telah diinterpretasikan maknanya serta dari keyakinan atas situasi sebelumnya.

Dari ketiga hal tersebut, Maag (2004) menyimpulkan bahwa keyakinan merupakan titik utama untuk mengubah perilaku. Seseorang berperilaku tidak berdasarkan pada situasi yang dihadapi melainkan pada interpretasi dari situasi tersebut.

Maag (2004) menyatakan tujuan modifikasi kognitif perilaku adalah mengubah kesalahan berpikir berupa pikiran negatif/irasional menjadi lebih konstruktif, sehingga menimbulkan pola berpikir yang adaptif serta menyadari individu mengenai pentingnya peranan kognisi.

Modifikasi kognitif perilaku umum digunakan untuk menangani permasalahan psikologis antara lain seperti gangguan kecemasan, masalah interpersonal dan sosial, depresi, penolakan sekolah, fobia, self esteem rendah, kenakalan remaja, gangguan makan, post-traumatic stress , dan sebagainya (Sarafino, 1996; Stallard, 2004).

Stallard (2004) mengungkapkan dalam melakukan modifikasi kognitif perilaku terdapat berbagai teknik yang dapat disesuaikan atau dimodifikasi berdasarkan kebutuhan individu. Teknik yang digunakan dalam modifikasi kognitif perilaku sebaiknya perlu dilihat dari jenis permasalahan dan kebutuhan individu agar dapat meningkatkan efektivitasnya.

Adapun teknik-teknik dalam modifikasi kognitif yang dapat digunakan antara lain self instruction training, attribution retraining, thought stopping , pemecahan masalah, dan restrukturisasi kognitif (Maag, 2004). Sementara itu, teknik-teknik dalam modifikasi perilaku yang dapat digunakan adalah pelatihan keterampilan sosial, pengawasan diri, percobaan perilaku, pemberian token (Menutti, dalam Arlinkasari, 2011), meningkatkan body esteem , meditasi, weight management program (Guindon, 2010), visualisasi, hipnosis, dan goal setting (McKay & Fanning, 2000).

Modifikasi Kognitif: Teknik Restrukturisasi Kognitif


Kata kognisi merujuk kepada cara orang memproses informasi, seperti melalui keyakinan, pikiran, ekspektasi, persepsi, interpretasi, dan pengetahuan. Restrukturisasi kognitif merupakan teknik yang sering digunakan untuk mengubah pola pikir yang kurang adaptif pada individu (Maag, 2004). Dalam restrukturisasi kognitif, seseorang diajarkan untuk mengubah kesalahan pikiran sehingga menjadi pikiran yang realistis.

Menurut McKay dan Fanning (2000), proses restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan berpikir yang berupa kritik diri. Kemudian dilanjutkan dengan menata ulang pikiran seseorang dengan menyangkal kritik diri tersebut.

Yahav dan Cohen (2008) mengungkapkan bahwa perilaku atau emosi seseorang yang maladaptif dipengaruhi oleh proses berpikir yang salah. Pikiran ini yang membuat individu kesulitan menghadapi situasi tertentu sehingga perilakunya menjadi mudah menyerah, ragu-ragu dan tidak berdaya untuk menghadapi masalah seorang diri.

McKay dan Fanning (2000) menjelaskan adanya pikiran negatif berupa kritik dalam diri membuat individu mudah mengingat kegagalannya daripada keberhasilan atau kelebihan yang dimilikinya. Individu juga mudah menyalahkan diri atas sebuah kesalahan yang terjadi serta membandingkan kemampuan atau prestasi diri dengan orang lain. Pikiran negatif sulit diketahui karena pikiran tersebut erat dengan cara seseorang memandang suatu realitas. Bila individu terus berpikir negatif maka pikiran tersebut dapat mengontrol pikiran individu sehingga konsekuensinya individu akan merasa cemas, takut, tidak aman, dan sulit menghadapi permasalahannya.

Bila individu yang sudah mengetahui kesalahan yang ada dalam pikirannya, maka individu perlu melawan pikiran tersebut agar tidak muncul kembali. Kunci utama dari teknik restrukturisasi kognitif adalah seseorang mencari bukti-bukti obyektif yang menantang pikiran negatif, lalu secara aktif dilakukan serangan dan tantangan terhadap pikiran negatif yang diyakininya. Seseorang diajarkan untuk menyerang dan menantang pikiran-pikirannya yang negatif, supaya kemudian dapat diganti dengan pikiran yang positif. Oleh karena itu, saat pikiran negatif muncul, individu perlu diajak untuk mencari alternatif pikiran.

Modifikasi Perilaku: Visualisasi dan Memperbaiki Penampilan Diri


1. Visualisasi

Relaksasi memiliki beraneka ragam teknik dan sudah sering digunakan sejak dulu. Salah satu teknik relaksasi yang memiliki keunggulan sebagai teknik yang efektivitasnya dapat diperoleh dalam waktu singkat adalah visualisasi atau guided imagery (Roger, 2010).

Menurut McKay dan Fanning (2000), visualisasi dapat diasosiasikan seperti saat seseorang menonton televisi. Individu tidak mengalami pengalaman nyata dari apa yang ia lihat di televisi. Namun demikian, individu dapat merasakan adanya reaksi emosi dan fisik ketika membayangkan adegan di televisi tersebut menjadi suatu kejadian nyata. Contohnya ketika individu memprediksi bahwa dirinya akan merasa sedih dan kesepian, prediksi ini akan menjadi kenyataan karena pikiran negatif tersebut akan terefleksi ke dalam perilakunya yang menarik diri.

Visualisasi merupakan teknik yang dipercaya dapat memperbaiki self image dan membuat perubahan pada kehidupan seseorang. Visualisasi dapat memprogram kembali pikiran individu sehingga ia dapat mengenali pikiran yang muncul serta memilih pilihan pikiran yang positif.

McKay dan Fanning (2000) menjelaskan teknik ini dapat dilakukan dengan cara membuat rileks seluruh tubuh, mengalihkan dari pikiran yang mengganggu, dan membayangkan suasana yang positif. Bila seseorang memiliki self esteem rendah, maka seseorang dapat membayangkan dirinya dengan positif seperti memiliki perasaan optimis atau berani menghadapi tantangan. Saat melakukan proses visualisasi, individu juga dapat melakukan afirmasi dengan memberikan komentar positif serta mengoreksi pikiran negatif dalam dirinya.

2. Memperbaiki Penampilan Diri

Guindon (2010) menjelaskan bahwa adanya perubahan yang terjadi pada remaja membuat banyak remaja perempuan maupun laki-laki menghabiskan waktu berdiri di depan cermin, menyibukkan diri dengan persepsi orang lain mengenai tubuh mereka dan menginginkan tubuh yang sesuai dengan harapan mereka. Secara umum, persepsi mengenai bentuk tubuh tergantung dengan jender. Remaja perempuan melakukan berbagai usaha agar mendapatkan gambaran tubuh yang ideal sehingga terlihat menarik seperti berpakaian sesuai dengan bentuk tubuh, menggunakan alat kecantikan, namun usaha tersebut belum sepenuhnya dapat memuaskan penampilan mereka (Choirunisa, 2011). Persepsi mengenai bentuk tubuh pada perempuan dapat berakibat negatif daripada laki-laki. Hal ini menyebabkan remaja tidak puas dengan tubuhnya serta mengalami gangguan makan.

Guindon (2010) menjelaskan selain masalah persepsi bentuk tubuh, penampilan diri juga berpengaruh pada self esteem individu. Penampilan yang tidak sesuai akan membawa masalah pada remaja sehingga akan menjadi hambatan dalam pembentukan kepercayaan dirinya (Choirunisa, 2011). Individu dapat diberikan strategi untuk meningkatkan kepercayaan dirinya terhadap tubuh seperti flattering clothes. Selama masa remaja, penampilan (yang salah satunya dapat dilihat dari baju) berperan besar dalam mencerminkan dan memperkuat kepercayaan diri seseorang pada tubuhnya.

Metode self-instruction merupakan salah satu metode dari pendekatan cognitive- behavior , yang melibatkan identifikasi keyakinan-keyakinan disfungsional yang dimiliki seseorang dan mengubahnya menjadi lebih realistis, serta melibatkan teknik-teknik modifikasi perilaku (Bos dkk, 2006). Pada metode self-instruction ini, terdapat strategi- strategi kognitif yang bisa digunakan, seperti self-verbalization atau self-talk yang bertujuan untuk menuntun seseorang mengatasi masalah yang dihadapinya (dalam Escamillia, 2000). Sementara itu, teknik self-instruction sendiri merupakan suatu teknik modifikasi perilaku yang memiliki dua kegunaan, yaitu untuk mengganti pemikiran negatif terhadap diri sendiri menjadi pemikiran yang positif serta dapat diguanakan untuk mengarahkan perilaku (Meichenbaum dalam Martin & Pear, 2003).

Kegunaan metode self-instruction untuk mengganti pemikiran negatif menjadi positif, didasari oleh pemikiran bahwa pandangan seseorang mengenai dirinya dapat diarahkan (Friedenberg & Gillis dalam Lange dkk, 1998). Sementara itu, keguanaan teknik ini untuk mengarahkan perilaku didasari oleh pemikiran bahwa pemeberian instruksi merupakan bagian penting pada perkembangan manusia dalam mengarahkan perilaku (dalam Rock, 1977). Sejak kecil, manusia menggunakan instruksi untuk mengarahkan perilakunya. Pada masa anak-anak awal, anak-anak mengarahkan perilakunya berdasarkan instruksi yang diberikan orang tua, kemudian anak mulai mengembangkan instruksi lisan secara overt untuk mengarahkan perilakunya. Semakin besar, anak mulai belajar mengatur perilakunya menggunakan covert speech (Bem, 1967; Kohlberg, Yaeger, Hjertholm, 1968; dalam Rock, 1977).

Intervensi menggunakan self-instruction ini bisa melibatkan berbagai strategi seperti; modeling, rehearsal, verbal cueing, visual cueing, role-playing, dan sub-vocalization (Freeman & Dattilio dalam Escamillia, 2000). Salah satu strategi lain pada teknik self- instruction adalah thought stopping . Langkah ini dilakukan untuk membantu individu untuk menghentikan pemikiran self-defeating yang dilakukan secara berlebihan. Misalnya, seseorang yang sedang diliputi pemikiran negatif tentang dirinya, perlu diajarkan untuk mengatakan “stop” kepada dirinya untuk mengentikan pikiran negatif, lalu mengarahkan pemikiran yang lebih produktif.

Tahap-tahap Self-instruction

Melalui metode self-instruction , pandangan negatif seseorang mengenai dirinya dapat diarahkan menjadi lebih positif sehingga dapat meningkatkan self-esteem (Friedenberg & Gillis, dalam Lange dkk, 1998). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pernyataan positif tentang diri sendiri ( positive self-statement) dapat meningkatkan self- esteem (dalam Teaster, 2004). Teori ini didukung oleh beberapa penelitian yang menggunakan metode self-instruction dalam meningkatkan remaja dengan self-esteem yang rendah. Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lange dkk (1998) yang menunjukkan bahwa metode self-instruction berhasil meningkatkan self-esteem pada remaja dengan cara meminta para partisipan yang merupakan remaja dengan self-esteem rendah untuk membaca berulang kali positive self-statement mengenai diri mereka sebanyak dua kali sehari selama tiga minggu. Selain itu, penelitian Babson (2007) juga menunjukkan keberhasilan dalam menggunakan positive self-talk untuk meningkatkan self-esteem remaja.

Hingga saat ini, metode self-instruction masih terus berkembang. Langkah-langkah serta jumlah sesi yang digunakan dalam intervensi menggunakan metode self-instruction pada dasarnya dapat disesuaikan sesuai dengan tujuan dan permasalahan yang dihadapi (dalam Rock, 1977). Teknik self-instruction yang pernah dilakukan oleh Meichenbaum dan Goodman terdiri dari lima sesi dengan masing-masing sesi berdurasi satu setengah jam (dalam Rock, 1977). Langkah-langkah intervensi yang dilakukan oleh Meichenbaum (dalam Martin & Pear, 2003) menggunakan teknik self-instruction adalah:

1. Identifikasi keyakinan diri yang negatif

Pengalaman negatif seseorang di masa lalu berkaitan erat dengan cara seseorang mengatasi situasi tersebut dengan melibatkan pikiran, perasaan, dan perilakunya. Ketika pikiran negatif mendominasi dalam menghadapi sebuah situasi maka akan muncul perasaan yang tidak menyenangkan dan perilaku yang tidak tepat (Stallard, 2004). Akibat dari interaksi semacam itu adalah kegagalan dalam mengatasi sebuah situasi yang berujung pada menguatnya evaluasi negatif diri individu, seperti “aku tidak menarik” atau “aku tidak mampu”.

Dalam pendekatan cognitive-behavior al, identifikasi keyakinan diri dapat membantu individu untuk memahami mengapa ia selalu memiliki cara berpikir yang sama dan terjebak dalam perangkap negatifnya sendiri dan mengapa masalah yang sama terus terjadi (Stallard, 2004). Meichenbaum (dalam Martin dan Pear, 2003) menambahkan bahwa keyakinan diri negatif ini kerap dipicu oleh pernyataan-pernyataan negatif ( negative self-statement ) diri yang kerap digunakan individu untuk menggambarkan dirinya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki evaluasi negatif diri, perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu terhadap keyakinan diri yang dimiliki oleh individu.

2. Pembelajaran positive self-talk untuk melawan negative self-statement

Salah satu cara untuk mengontrol pikiran-pikiran negatif atau kesalahan berpikir yang sering dilakukan oleh individu adalah dengan mengajarkannya strategi kognitif berupa positive self-talk. Positive self-talk membantu individu untuk menemukan dan mengenali kualitas-kualitas positif yang ia miliki dan bukan memfokuskan diri pada apa yang telah gagal ia raih. Daripada mencari apa yang belum berhasil dicapai, subjek didorong untuk mencari dan memuji keberhasilannya (Stallard, 2004). Dengan
demikian, evaluasi diri individu akan berkembang lebih positif sehingga mampu berdampak pada self-esteem nya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Babson (2007) yang membuktikan bahwa positive self-talk berhasil dalam meningkatkan self-esteem remaja.

3. Pembelajaran teknik self-instruction untuk melakukan langkah-langkah perilaku yang akan dilakukan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketika pikiran negatif mendominasi dalam menghadapi sebuah situasi maka akan muncul perasaan yang tidak menyenangkan dan perilaku yang tidak tepat (Stallard, 2004). Perilaku yang kurang tepat dapat mendatangkan respon dari lingkungan yang kurang positif sehingga memperkuat pikiran negatif yang dimiliki subjek. Oleh karena itu, selain memperbaiki keyakinan negatif, perubahan perilaku menjadi lebih efektif juga diperlukan dalam usaha untuk membentuk keyakinan positif yang baru. Salah satu teknik yang dapat dilakukan dalam mengarahkan perilaku adalah self-instruction . Teknik self-instruction digunakan oleh individu sepanjang perkembangan hidupnya untuk mengarahkan perilaku (dalam Rock, 1977). Dengan demikian, penggunaan self-instruction ini menjadi penting bagi individu dalam mengarahkan perilakunya, terutama dalam mempraktekkan perilaku baru yang hendak dipelajari.

4. Menentukan self-reinforcement apabila berhasil mengatasi situasi

Self-reinfoncment perlu dilakukan begitu individu berhasil mengatasi situasi yang dihadapinya dengan mengarahkan perilakunya (Meichenbaum dalam Martin & Pear, 2003).