Apa yang dimaksud dengan Terapi kejang listrik atau Electroconvulsive Therapy (ECT)?

Terapi kejang listrik atau Electroconvulsive Therapy (ECT) adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall.

Apa yang dimaksud dengan Terapi kejang listrik atau Electroconvulsive Therapy (ECT) ?

Terapi kejang listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan pada pasien gangguan jiwa, menggunakan aliran listrik untuk menimbulkan bangkitan kejang umum, berlangsung sekitar 25–150 detik dengan menggunakan alat khusus yang dirancang aman untuk pasien.

Pada prosedur tradisional, aliran listrik diberikan pada otak melalui dua elektroda dan ditempatkan pada bagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan) dengan kekuatan aliran terapeutik untuk menimbulkan kejang. Kejang yang timbul mirip dengan kejang epileptik tonik-klonik umum. Namun, sebetulnya yang memegang peran penting bukanlah kejang yang ditampilkan secara motorik, melainkan respons bangkitan listriknya di otak yang menyebabkan terjadinya perubahan faali dan biokimia otak.
Indikasi pemberian terapi ini adalah sebagai berikut.

  1. Depresi berat dengan retardasi motorik, waham (somatik dan bersalah, tidak ada perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, ada ide bunuh diri yang menetap, serta kehilangan berat badan yang berlebihan).
  2. Skizofrenia terutama yang akut, katatonik, atau mempunyai gejala afektif yang menonjol.
  3. Mania.

Kontraindikasi pemberian terapi ini antara lain sebagai berikut.

  1. Tumor intrakranial, hematoma intrakranial.
  2. Infark miokardiak akut.
  3. Hipertensi berat.

Efek samping pemberian terapi ini meliputi hal berikut.

  1. Aritmia jantung.
  2. Apnea berkepanjangan.
  3. Reaksi toksik atau alergi terhadap obat-obatan yang digunakan untuk ECT.

Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum pelaksanaan ECT adalah sebagai berikut.

  1. Persiapan

    • Kelengkapan surat informed consent.

    • Alat-alat yang diperlukan.

      1. Tempat tidur beralas papan
      2. Alat ECT lengkap
      3. Kasa basah untuk lapisan elekroda
      4. Alat untuk mengganjal gigi
      5. Tabung oksigen dan perlengkapannya
      6. Alat pengisap lendir
      7. Alat suntik dan obat-obat untuk persiapan kondisi gawat darurat
    • Tindakan petugas medis pada tahap persiapan sesuai dengan peran sebagai pelaksanan dan pendidik.

      1. Melakukan pemeriksaan fisik pasien secara menyeluruh sebelum diputuskan untuk melakukan ECT (walaupun tidak ada kontraindikasi).

        • Fungsi vital
        • EKG
        • Rontgen kepala dan rontgen toraks serta rontgen tulang belakang
        • EEG
        • CT scan
        • Pemeriksaan darah dan urine
      2. Menjelaskan kepada pasien untuk berpuasa (tidak makan dan minum) minimal 6 jam sebelum ECT.

      3. Menjelaskan kepada pasien akan diberikan premedikasi.

      4. Mengobservasi keadaan pasien dan menjelaskan tentang ECT agar pasien tidak cemas.

      5. Menanyakan dan menjelaskan kepada pasien untuk tidak memakai gigi palsu, perhiasan, ikat rambut, ikat pinggang.

    • Tenaga perawat yang akan membantu sebanyak 3–4 orang.

  2. Pelaksanaan

    • Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang tanpa bantal dan pakaian longgar.

    • Bantalan gigi dipasang dan ditahan oleh seorang perawat pada rahang bawah. Perawat yang lain menahan bagian bahu, pinggul, dan lutut secara fleksibel agar tidak terjadi gerakan yang mungkin menimbulkan dislokasi atau fraktur akibat terjadinya kejang-kejang.

    • Aliran listrik diberikan melalui elektroda di pelipis kiri dan kanan yang telah dilapisi dengan kasa basah. Sebelumnya dokter/psikiater telah mengatur waktu dan besarnya aliran listrik yang diberikan.

    • Sesaat setelah aliran listrik diberikan, maka akan terjadi kejang-kejang yang didahului oleh fase kejang tonik-klonik, serta timbul apnea beberapa saat dan baru terjadi kembali pernapasan spontan.

    • Saat menunggu pernapasan kembali merupakan saat yang penting. Bila apnea berlangsung terlalu lama, maka perlu dibantu dengan pemberian oksigen dan pernapasan buatan atau tindakan lain yang diperlukan.

  3. Observasi pasca-ECT
    Pada fase ini perawat harus mengobservasi dan mengantisipasi tindakan yang harus dilakukan karena kesadaran pasien belum pulih walaupun kondisi vital telah berfungsi normal kembali (tetap monitor kondisi vital). Selain itu, harus tetap berada didamping pasien agar pasien menjadi aman dan nyaman.

ECT biasanya diberikan dalam satu seri yang terdiri atas 6–12 kali (kadang-kadang diperlukan sampai 20 kali) pemberian dengan dosis 2–3 kali per minggu.

Sumber :

Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati, Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Penerbit Salemba Medika, 2015.

ECT adalah suatu bentuk terapi fisik yang masih sering digunakan oleh psikiater dengan menggunakan suatu alat yang menghantarkan arus listrik pada elektroda dan dipasang pada kepala sehingga menyebabkan konvulsi.

Semakin banyak ditemukan bukti tentang efektivitas ECT dalam membantu mengatasi gejala skizofrenia yang tidak respon terhadap psikoterapi atau antidepresan, namun ECT juga mengundang banyak kontroversi karena efek samping yang ditimbulkannya. Efek samping yang sering berhubungan dengan ECT adalah konvusi, delirium, gangguan daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Kehilangan daya ingat adalah masalahan utama yang berhubungan dengan ECT.

Daya ingat (memori) adalah proses penyimpanan semua jenis material selama berbagai periode waktu dan melibatkan bentuk respon yang berlainan. Daya ingat dibagi atas beberapa jenis antara lain daya ingat segera (immediate memory), daya ingat baru saja (recent memory), dan daya ingat jauh (remote memory).

Pasca terapi ECT dapat terjadi gangguan daya ingat pada kejadian yang baru terjadi, sedangkan ingatan jangka panjang tetap utuh. Berdasarkan hasil penelitian, ECT dapat menurunkan kemampuan immediate dan recent memory , dan tidak berpengaruh terhadap remote memory. Kemampuan immediate memory dapat pulih sebelum 48 jam dan kemampuan recent memory belum dapat pulih setelah 48 jam.

Daya ingat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan kecerdasan umum. Ingatan paling tajam terjadi pada masa kanak-kanak dan menurun seiring bertambahnya usia. Gangguan daya ingat lebih sering terjadi pada pasien pria dibandingkan wanita, terutama pada keadaan kronik.

Tingkat pendidikan terbukti berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam berespon dan bereaksi, termasuk kemampuan daya ingat. Faktor emosi dan kejiwaan juga mempengaruhi proses penyimpanan memori. Berdasarkan penelitian pasien skizofrenia menunjukkan penurunan yang signifikan dalam fungsi kognitif dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat.