Apa yang dimaksud dengan Teori Struktural Fungsionalisme?

teori struktural fungsional

Teori Struktural Fungsionalme adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan

Apa yang dimaksud dengan Teori struktural fungsionalisme ?

2 Likes

Teori Struktural Fungsionalisme adalah aliran yang mengandaikan manusia sebagai pelaku yang harus mengontrol segala tindakannya dan juga taat pada aturan yang telah ada, hal ini akan membuat seolah-olah semua yang manusia lakukan harus sesuai dengan peran yang sudah ditentukan.

Fungsionalisme mengandaikan cara berpikir yang mengklaim bahwa sistem sosial punya kebutuhan untuk dipenuhi agar ia langgeng sebagai sistem sosial dan berada dalam situasi teratur.
Fungsionalisme menekankan pada aspek struktural dan mengandaikan peran sosial yang melekat dan mengekang pelaku akibat struktur yang ada.

Ada dualisme, antara pelaku dan struktur yang dipisahkan dan bahwa struktur diklaim sebagai yang paling punya kekuatan untuk menentukan perilaku sosial. Inilah akar dari strukturalisme sebagaimana juga diterapkan oleh marxisme. Dan di dalam penjelasan Durkheimian, struktur merupakan entitas lain yang berada di luar pelaku yang bersifat mengekang (constraining).

Pola struktural fungsionalisme seperti ini mengandaikan adanya pertentangan atau dualisme yang terjadi diantara aktor, yang dalam hal ini adalah manusia dan juga struktur. Dalam beragam analisis sosial yang kita jumpai, struktur selalu berada dominan di balik tingkah laku para aktor. Dengan kata lain, manusia adalah robot yang gerak-geriknya ditentukan dan diawasi oleh bagaimana struktur atau sistem nilai beroperasi dalam suatu masyarakat.

Fungsionalisme ingin menafsirkan bahwa masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Emile Durkheim mengkaitkan fungsionalisme pada masyarakat, suatu masyarakat memiliki sistem di dalam kehidupan sosial yang saling berfungsi dan mengatur kehidupan setiap individu. Hal itu antara lain adalah norma, adat, tradisi, dan institusi yang semuanya itu mengatur setiap individu di dalam kehidupannya.

Pemikiran struktural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.

Emile Durkheim percaya bahwa masyarakat yang hidup di dunia modern semakin kehilangan perekat moral di banding masyarakat yang hidup sebelumnya. Durkheim mengajak untuk mempedulikan nilai-nilai kolektif, dari mana masyarakat seharusnya membangun kehidupan yang kohesif (Maliki, 2003).

Teori struktural fungsionalisme ini menekankan harmoni dan regulasi. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian- bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian bagian lainnya. Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri.

Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian dan tidak terjadi secara revolusioner. Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan diantara para anggotanya terhadap nilai- nilai kemasyarakatan tertentu. Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatis (Sanderson,1991).

Teori struktural fungsional ini sangat peduli pada kontrol dan efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang mempersatukan masyarakat. Adanya regulasi di dalam suatu masyarakat. Hal ini sesuai dengan pandangan pemikiran Emile Durkheim bahwa setiap individu sangat tergantung kehidupannya pada masyarakat. Masyarakat adalah sesuatu di luar diri manusia yang sangat menentukan tindakan dan perilaku setiap individu manusia. Struktur menentukan tindakan atau perilaku setiap individu manusia (Maliki, 2003). Hal ini sesuai dengan pemikiran Durkheim tentang fakta sosial yang berada di luar diri individu yang sifatnya seperti struktur yang memaksa diri setiap anggota individu manusia di dalam masyarakat.

Teori struktural fungsional ini memberikan perhatian yang sangat besar pada tertib sosial, konsensus, integrasi sosial, dan solidaritas (Maliki, 2003). Realitas sosial yang dijelaskan dalam teori fungsionalisme ini berhubungan dengan pemikiran Emile Durkheim, yaitu fakta sosial. Durkheim ingin ada sesuatu diluar diri manusia yang mengatur segala tindakan dan perilaku sehingga menciptakan suatu keadaan teratur.

Fakta sosial adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan ide, karena berada di luar perasaan, suasana psikologis, serta pikiran individu. Fakta sosial harus diangkat dari kenyataan empiris. Di dalam suatu masyarakat terdapat begitu banyak fakta sosial, yang satu sama lain saling bergantung. Saling ketergantungan mereka ini bukan pada tatanan individu melainkan pada level kelompok. Dengan demikian, fakta sosial lebih bersifat objektif dan eksternal, dalam arti berada di luar individu, dan bersifat koersif dalam arti memiliki kekuasaan menekan yang menjadikan individu tidak bisa berbuat lain selain memilih sikap menerima. Fakta sosial merupakan kekuatan yang menyebar di tengah masyarakat sehingga ia merupakan milik bersama, tumbuh berkembang dan dijadikan pegangan perilaku yang masing masing anggota masyarakat memiliki kewajiban memenuhi tuntutan yang diajukannya (Ritzer, 1996)

Di dalam struktural fungsional, teori yang berada dalam paradigma fakta sosial ini terutama memfokuskan perhatiannya kepada analisis pada level makro obyektif, yakni struktur sosial, institusi masyarakat dan hubungannya, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, bahasa dan meski sebagian juga menyinggung ranah makro subyektif seperti masalah budaya, terutama akibat pengaruh dari faktor-faktor struktural tersebut. Struktur fungsionalisme ini ingin menumbuhkan kesadaran integrasi sosial dan menghindarkan kendala yang bisa menciptakan disintegrasi sosial. Fungsionalisme ini juga ingin membangun solidaritas sosial di mana setiap anggota masyarakat dapat menjalankan hubungan atas dasar kesadaran sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat (Maliki, 2003).

Fungsionalisme ini mencakup skala makro, dan tujuan analisisnya adalah mencari hukum-hukum universal atau generalisasi, dan bukan untuk menelusuri keunikan (partikularitas) fenomena. Teori struktural fungsional ini lebih tergoda untuk menggunakan kelompok dan bukan individu. Hal ini sejalan dengan pemikiran Durkheim yang lebih mementingkan kelompok daripada diri individu manusia. Dengan demikian segala tujuan bukan untuk individu tapi untuk kepentingan semua orang di dalam masyarakat (Maliki, 2003).

Salah satu pendekatan teoritis sistem sosial yang paling populer dari pendekatan-pendekatan yang lain adalah pendekatan yang amat berpengaruh dikalangan para ahli sosiologi. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi, di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai, norma, dan aturan kemasyarakatan tertentu.

Menurut teori struktural fungsional, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional–struktural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Menurut teori fungsionalis ini masyarakat adalah “suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam kesimbangan. Perubahan yang terjadi satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lain. Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem dimana seluruh struktur sosialnya terintegrasi menjadi satu, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda tapi saling berkaitan dan menciptakan konsensus dan keteraturan sosial serta keseluruhan elemen akan saling beradaptasi baik terhadap perubahan internal dan eksternal dari masyarakat."

Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori ini pun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Dalam The Structure of Social Action, Parsons mengembangkan realism analitis untuk menyusun sebuah teori sosiologi. Teori dalam sosilogi haruslah menggunakan sejumlah konsep penting yang terbatas yang secara proposional mencakup aspek-aspek dunia eksternal yang objektif. Konsep-konsep itu tidaklah sama dengan gejala konkrit, akan tetapi sama dengan unsur-unsurnya yang secara analisis dapat dipisahkan dengan unsur-unsurnya yang lain (Talcott Parsos 1937).

Sehingga, pertama-tama teori berkaitan dengan perkembangan konsep-konsep yang merupakan abstraksi realitas empiris, sehingga menjadi unsur-unsur analisis yang sama. Dengan cara ini, konsep-konsep akan mengisolasikan gejala dari kerumitan hubungan-hubungan yang membentuk suatu realitas
sosial.

Struktur sosial menggambarkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisasi. melalui proses ini posisi-posisi sosial antara seorang dengan lainnya sebagai anggota masyarakat yang dapat dibedakan.

Pendekatan struktural fungsional awalnya muncul dari cara melihat masyarakat dengan dianalogikan sebagai organisma biologis. Parsons adalah tokoh struktural fungsional modern terbesar saat ini.

Pendekatan fungsionalisme struktural fungsional sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat diuji melalui anggapan-anggapan dasar berikut:

  1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.

  2. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut bersifat timbal balik.

  3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuibilium yang bersifat dinamis.

  4. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.

  5. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak scara revolusioner.

  6. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.

Horton dan Hunt dalam sosiologi menjelaskan bahwa perspktif struktural fungsional itu memiliki sjumlah asumsi yang digunakan untuk memahami masyarakat. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Corak prilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat.

  2. Pola-pola prilaku timbul untuk memahami kebutuhan dan hilang apabila kebutuhan berubah.

  3. Perubahan sosial dapat mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun setelah itu akan terjadi keseimbangan baru.

  4. Nilai atau kejadian pada suatu waktu atau tempat dapat menjadi fungsional atau disfungsional pada saat dan tempat yang berbeda.

  5. Para fungsionalis mengajukan pertanyaan.

Parsons menemukan jawaban problem di dalam struktural fungsional dengan asumsi sebagai berikut:

  1. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.

  2. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.

  3. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.

  4. . Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.

  5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.

  6. Alokasi dan integrasi merupakan suatu proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.

Alokasi dan integrasi merupakan suatu proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.

Asumsi-asumsi ini menyebabkan Pansons menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Dengan demikian, ia sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial.

Keempat asumsi Parsons tentang AGIL itu merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.

Parsons yakin untuk memulai membicarakan teori fungsi ini, dimulai dari pertemuan tahunan sosiologi dimana di mendorong, menuntaskan, mengembangkan teori struktural fungsional, sebuah teori yang menganalisis bentuk kognitif. Tujuan-tujuannya dan afektif. Lagi pula hal itu dilengkapi dengan sebuah analisis fungsi syarat dan sistem sosial dalam tingkatan sosial. Sistem berfungsi jika hak anggota membentuk peranan sosial dengan sebuah gelar yang cukup.

Sistem sosial yang Parsons jalankan merupakan program utama teori bangunan fungsional. Program tersebut sebetulnya didasarkan kepada Pareto judulnya sistem sosial.
Dalam kerja ini Parsons mengambil pendefisian dari konsep aksi sosial sebagai unit tenaga masyarakat yang disusun dan aksi sebagai sebuah sistem. Sistem sosial dipahami sebagai keseluruhan susunan interaksi seseorang motivasi bentuk kecenderungan untuk "harapan baik dari kegembiraan” dan berhubungan dengan keadaan mereka termasuk yang lainnya, ditegarkan dan menegakkan bentuk susunan budaya dan tanda. Sistem aksi dari individu memiliki dua aspek kegembiraan dan orientasi.

Kegembiraan disebut juga oleh Parsons sebagai “cathetic" sedangkan orientasi disebut sebagai kognitif, itu adalah bentuk aksi manusia yang dalam pandangan Parsons untuk memperlihatkan hasrat dan ide. Pemenuhan kebutuhan yang jumlahnya cukup banyak. Kegiatan itu dianalisis di dalam keinginan, ide, nilai dan atau norma-norma.

Sistem aksi mengisi elemen itu dari tiga bentuk, yaitu :

1. Sistem Sosial

Perhatian Parsons terletak pada saraf fungsional sistem sosial, tetapi terlebih dahulu kita harus mengingat pengertian sistem itu. Parsons menyatakan bahwa konsep sistem menunjuk pada dua hal, yakni :

  • Saling ketergantungan antara bagian, komponen, dan proses- proses yang meliputi keteraturan-keteraturan yang dapat dilihat.

  • Sebuah tipe yang sama dari ketergantungan antara beberapa kompleks dan lingkungan-lingkungan yang mengelilinginya.

Sementara itu, batasan tentang konsep sistem sosial hampir dibuat secara baragam dalam setiap tulisan Parsons dalam kurun waktu yang berbeda. Sistem sosial dapat dilihat sebagai terdiri atas anggota-anggota individual masyarakat yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berbeda atau memainkan beragam peran, dalam kerangka umum pembagian kerja masyarakat.

Dengan kata lain, kita juga harus mengerti batasan-batasan dari sistem sosial itu. Berikut penjelasannya :

  1. Sistem sosial merupakan jaringan hubungan- hubungan antar aktor atau jaringan hubungan interaktif.

  2. Sistem sosial menyediakan kerangka konseptual untuk menghubungkan tindakan individu dalam situasi yang bervariasi.

  3. Pandangan aktor tentang alat dan tujuan didapat pada situasi yang dibentuk oleh kepercayaan, norma, dan nilai yang diorganisasikan dalam harapan peran.

  4. Aktor tidak menghadapi situasi sebagai individu sendirian, tetapi lebih sebagai posisi dalam peran sosial yang menyediakan perilaku yang sesuai dan juga berhubungan dengan peran-peran sosial lain.

Dalam menganalisis sistem sosial, Parsons sama sekali tidak mengabaikan masalah hubungan antara aktor dan struktur sosial. Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai didalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Parsons tertarik pada cara mengalihkan norma dan nilai sosial kepada aktor didalam sistem sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari “kesadaran” aktor. Akibatnya dalam mengejar kepentingan mereka sendiri, aktor sebenarnya mengabdi kepada kepentingan sistem sebagai satu kesatuan.

Sosialisasi dan kontrol sosial adalah mekanisme utama yang memungkinkan sistem sosial mempertahankan keseimbangannya. Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbangan ulang, menurut Parsons, keteraturan sosial sudah tercipta dalam struktur sistem sosial itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk “mengoptimalkan kepuasan” yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultural.

Definisi ini mencoba menetapkan sistem sosial menurut konsep-konsep kunci dalam karya Parsons yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan kultur.

Meski Parsons berkomitmen untuk melihat sistem sosial sebagai sebuah interaksi, namun ia menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Konsep ini bukan merupakan satu aspek dari aktor atau aspek interaksi, tetapi lebih mengutamakan komponen struktural di dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistem yang lebih luas. Aktor tidak dilihat dari sudut pikiran dan tindakan, tetapi tak lebih dari sebuah kumpulan beberapa status dan peran.

Dalam analisisnya tentang sistem sosial, Parsons terutama tertarik pada komponen-komponen strukturalnya. Disamping memusatkan perhatiannya pada status dan peran. Dalam analisisnya mengenai sistem sosial, ia bukan semata-mata sebagai seorang strukturalis, tetapi sebagai juga fungsionalis. Ia menjelaskan sejumlah persyaratan fungsional dari sistem sosial adalah :

  • Sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroprasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya.

  • Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain.

  • Sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan.

  • Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.

  • Sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.

  • Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, itu harus dikendalikan.

  • Untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa.

2. Sistem Kultural

Parsons membayangkan kultur sebagai kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Atau menurut istilahnya sendiri, kultur adalah kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistem yang lain. Jadi, di dalam sistem sosial sistem diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam sistem kepribadian ia diinternalisasikan oleh aktor.

Namun, sistem kultural tidak semata-mata menjadi bagian sistem yang lain, ia juga mempunyai eksistensi yang terpisah dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol dan gagasan-gagasan. Aspek-aspek sistem kultural ini tersedian untuk sistem sosial dan sistem personalitas, tetapi tidak menjadi bagian dari kedua sistem itu.

Seperti yang dilakukannya terhadap sistem yang lain, Parsons mendefinisikan kultur menurut hubungannya dengan sistem tindakan yang lain. Jadi kultur dipandang sebagai simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi aktor, aspek-aspek sistem kepribadian yang sudah terinternalisasikan, dan pola-pola yang yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Karena sebagian besar bersifat subjektif dan simbolik, kultur dengan mudah ditularkan dari dari satu sistem ke sistem yang lain.

Kultur dapat dipindahkan dari satu sistem sosial ke sosial yang lain melalui penyebaran dan dipindahkan ke sistem kepribadian ke sistem kepribadian lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Tetapi, sifat simbolis kultur juga memberinya sifat lain, yakni kemampuan mengendalikan sistem tindakan yang lain. Inilah salah satu alasan mengapa Parsons memandang dirinya sendiri sebagai seorang determinis kultur.

3. Sistem Kepribadian

Sistem kepribadian tak hanya dikontrol oleh sistem kultural, tetapi juga oleh sistem sosial. Ini bukan berarti bahwa Parsons tak sependapat tentang kebebasan sistem personalitas.

Personalitas didefinisikan sebagai sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi-kebutuhan. Disposisi-kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek baru bila objek yang tersedia tak dapat memuaskan disposisi-kebutuhan secara memadai.

Parsons membedakan antara tiga tipe dasar disposisi-kebutuhan, yakni :

  1. Tipe pertama, memaksa aktor mencari cinta, persetujuan, dan sebagainya, dari hubungan sosial mereka.

  2. Tipe kedua, meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural.

  3. Tipe ketiga, adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat.

Referensi

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada).
George Ritzer dan Gouglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007).