Apa yang dimaksud dengan teori Stimulus-Respons dalam ilmu sosial?

teori Stimulus-Respons

Prinsip teori Stimulus-Respons menyatakan bahwa:

“Apabila stimulus memberikan akibat yang positif atau memberi reward maka respons terhadap stimulus tersebut akan diulangi pada kesempatan lain dimana stimulus yang sama timbul. Sebaliknya apabila respons memberikan akibat yang negatif (hukuman dan sebagainya) hubungan antara stimulus-respons tersebut akan dihindari pada kesempatan lain”.

Beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam teori ini adalah stimulus, respons, dan dorongan.

  • Stimulus adalah peristiwa yang terjadi baik di luar maupun di dalam tubuh manusia yang menyebabkan timbulnya suatu perubahan tingkah laku.

  • Respons adalah perubahan yang disebabkan oleh adanya stimulus.

  • Dorongan adalah suatu kekuatan dalam din seseorang yang jika telah mencapai kekuatan yang maksimum akan menyebabkan orang tersebut melakukan sesuatu. Menurut Dollard & Miller (dalam Wibowo, 1988) terdapat 2 (dua) macam dorongan pada manusia yaitu dorongan primer dan dorongan sekunder.

    • Dorongan primer adalah dorongan bawaan seperti lapar, haus, sakit dan seks.
    • Dorongan sekunder adalah dorongan yang bersifat sosial dan dipelajari misalnya dorongan untuk mendapat upah, pujian, perhatian dan sebagainya.

Menurut Keller & Schoenfeld (Wibowo,1988) stimulus mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:

  • Pembangkitan: stimulus yang membangkitkan, adalah stimulus yang langsung memberikan suatu respons. Misalnya makanan langsung menimbulkan air liur orang yang melihatnya pada saat lapar terutama.

  • Diskriminasi: stimulus yang diskriminatif, adalah stimulus yang tidak langsung menimbulkan respons tetapi hanya merupakan pertanda adanya stimulus pembangkit. Misalnya mendengar ada tukang siomay lewat. Saat barn mendengar belum ada reaksi apapun dan diri orang tersebut, barulah setelah melihat sang penjual menyajikan sepiring di depannya keluarlah air liurnya.

  • Reinforcement: adalah stimulus yang menimbulkan konsekuensi yang positif atau negatif pada terbentuknya respons. Reinforcement positif adalah stimulus yang jika diberikan akan memperkuat tingkah laku respons. Misalnya seorang anak yang menolong orang lain kemudian mendapat pujian dan hadiah, maka ia akan cenderung mengulangi tingkah laku menolongnya di kemudian hari. Reinforcement negatif adalah stimulus yang jika tidak diberikan atau dihentikan pem-beriannya, akan memperkuat terjadinya respons. Misalnya seorang anak yang kegemukan dan gelalu diejek oleh temannya, tidak lagi diejek oleh temannya manakala dia berprestasi di kelas/menjadi juara kelas. Maka ia akan mengulangi dan meningkatkan prestasi akademiknya tersebut.

Adakah penjelasan lainnya terkait dengan teori Stimulus-Respons apabila dilihat dari sudut pandang ilmu sosial ?

Awalnya, teori Stimulus-Respons (Teori S-R) dipelopori oleh cendekiawan Rusia bernama Ivan P. Pavlov (1849-1936). Pavlov adalah seorang pakar dalam bidang fisiologi, khususnya fisiologi pencernaan.

Pavlov terkenal dengan eksperimen tentang “pengondisian” (conditioning) pada anjing. Dalam eksperimennya itu Pavlov menggunakan seekor anjing yang lapar sebagai anjing percobaan (AP). Kepada AP kemudian diperlihatkan daging cincang (stimulus). Reaksi AP tatkala melihat daging cincang adalah mengeluarkan air liur (respons). Air liur yang keluar dari AP ini oleh Pavlov diukur banyaknya.

Demikianlah oleh Pavlov proses - menunjukkan daging cincang dan keluarnya air liur AP -
dilakukan berulang-ulang. Melalui percobaan yang berulang-ulang ini, dicatat bahwa AP akan secara spontan bereaksi manakala ditunjukkan makanan (daging cincang). Reaksi spontan keluarnya air liur ini oleh Pavlov disebut unconditioned response (respons tidak bersyarat/RTB). Sedangkan stimulus daging cincang yang mengakibatkan keluarnya air liur AP, oleh Pavlov disebut sebagai unconditioned stimulus (stimulus tidak bersyarat/STB).

Mengapa setiap kali Anjing Percobaan melihat stimulus tidak bersyarat terjadi respons tidak bersyarat?

Jawabannya adalah karena setelah AP mengeluarkan air liur (RTB), Pavlov memberikan daging cincang kepada AP. Demikianlah setelah eksperimen ini dilakukan berulang- ulang, hubungan atau asosiasi antara STB dan RTB menjadi suatu kesatuan yang sangat erat. Dengan kata lain, AP telah terkondisikan sedemikian rupa, sehingga hubungan antara STB dan RTB menetap atau kuat.

Dalam eksperimen selanjutnya, Pavlov membunyikan bel sebelum menunjukkan daging cincang, dan prosedur selanjutnya sama dengan eksperimen tahap pertama di atas, yakni AP mengeluarkan air liur dan Pavlov memberikan daging cincang kepada AP. Prosedur eksperimen ini oleh Pavlov dilakukan berulang-ulang, dan hasilnya ternyata AP sudah mengeluarkan air liur pada saat AP mendengar bunyi bel.

Berbeda dengan eksperimen Pavlov yang pertama, stimulus yang berupa bunyi bel, oleh Pavlov disebut conditioned stimulus (stimulus bersyarat/SB), sedangkan air liur AP yang keluar disebabkan oleh bunyi bel disebut conditioned response (respons bersyarat/RB).

Dengan demikian, keluarnya air liur AP sudah terkondisikan dengan bunyi bel. Mengenai daging cincang yang semula merupakan STB, pada eksperimen Pavlov tahapan dua, daging cincang yang diberikan kepada AP berubah menjadi penguat (reinforcement).

Mengapa?

Oleh karena AP yang sudah terkondisikan oleh bunyi bel (SB), ternyata bila tidak diikuti oleh pemberian daging cincang, lama-kelamaan air liur yang dikeluarkan AP makin sedikit dan akhirnya AP tidak mengeluarkan air liur sama sekali. Terhentinya produksi air liur AP sebagai akibat dari tidak adanya faktor penguat (daging cincang), oleh Pavlov disebut sebagai extinction (pemadaman respons).

Dari hasil eksperimennya ini, Pavlov beranggapan bahwa semua perilaku manusia merupakan hasil conditioning (pengondisian). Kuat atau lemahnya asosiasi stimulus-respons (S-R) ditentukan oleh conditioning.

Individu yang dihadapkan pada stimulus tertentu (membeli karcis) dan merespons tuntutan antre dengan tidak berdiri mengikuti jalur antrian, maka perilaku tidak antre pada kesempatan lain tidak akan diulanginya karena ia ditegur pembeli karcis lain dan petugas serta tidak dilayani oleh penjual karcis. Dengan kata lain, menurut teori S-R, asosiasi S-R tidak terbentuk karena faktor penguat bersifat negatif (negative reinforcement).

Sebaliknya, apabila terdapat pembeli karcis yang berdiri dengan tertib mengikuti jalur antrean dan ternyata ia memperoleh manfaat, misalnya, mendapatkan karcis dan dihormati orang, maka pada kesempatan lain ia akan tetap antre. Artinya, pada orang tersebut terbentuk asosiasi S-R.

Selanjutnya, apabila pada berbagai kesempatan ia tetap antre dengan tertib, maka perilaku antre ini menjadi kebiasaan (habit). Dalam teori conditioning Pavlov, pembentukan kebiasaan (habit formation) tidak hanya pada contoh antre karcis, tetapi berlaku bagi semua pembentukan kebiasaan, seperti kebiasaan belajar, kebiasaan makan, kebiasaan mengemudi kendaraan di jalan umum, dan lain-lain.

Melanggar atau tidaknya seorang pengemudi ditentukan oleh proses conditioning.

Dari uraian Teori Kondisioning Klasik Pavlov di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan atau perubahan perilaku ditentukan oleh apakah conditioning dengan mekanisme imbalan (reward) dan hukuman (punishment) diterapkan secara konsekuen dan taat asas atau tidak.

Gagasan dasar dari Pavlov ini merupakan cikal-bakal dari aliran psikologi yang sangat berpengaruh, yakni Behaviorisme yang dipelopori oleh John B. Watson (1878-1958). Gagasan Pavlov ini oleh Watson dikembangkan di Amerika Serikat dan dikukuhkannya melalui makalah yang berjudul “Psychology as the behaviorist views it” (1931).

Sebagai tokoh behaviorist, Watson berpandangan radikal.

  • Pertama, Watson menentang aliran psikologi terdahulu yang dianggapnya tidak ilmiah. Bila psikologi ingin diakui sebagai ilmu yang benar-benar ilmiah, maka ia harus membuang fenomena kejiwaan yang tidak ilmiah yang mempelajari gejala kesadaran (consciousness) dengan metode introspeksi. Gejala kejiwaan yang sifatnya subyektif seperti cita-cita, harapan, dan imajinasi selain tidak nyata juga tidak bisa diukur secara obyektif. Yang bisa diukur dan diamati adalah perilaku nyata (observable behavior), misalnya, menulis, berbicara, membaca, berjalan, dan lain-lain. Seseorang yang bisa membaca dapat diamati dari mulai tidak bisa membaca sama sekali, membaca satu halaman dengan susah payah, membaca dengan lancar, dan menyelesaikan bahan bacaan satu, dua, tiga halaman sampai satu buku dengan cepat. Maka bisa dipahami bila Behaviorisme sangat besar pengaruhnya terhadap psikologi pembelajaran karena prinsip belajar adalah terjadinya perubahan perilaku.

  • Kedua, Watson menentang psikologi yang mengakui faktor kemampuan (abilities). Bagi Watson, “lingkungan” adalah segalanya. Dalam hubungan ini Watson mengemukakan pernyataan yang sifatnya menantang (terjemahan bebas penulis).

”Berilah saya selusin bayi sehat, tanpa cacat, dan biarkanlah saya membesarkan dan melatihnya menjadi spesialis seperti yang saya kehendaki —dokter, pengacara, artis, pengusaha, pemimpin, dan bahkan pengemis dan pencuri— terlepas dari bakat, kecenderungan, kemampuan dan ras yang berasa dari nenek moyangnya”.
(Watson, 1924 ; 82 dalam Hothersall, 2004).

Tokoh aliran Behaviorisme lain yang terkenal adalah B.F. Skinner (1904-190). Dalam eksperimennya mengenai conditioning, Skinner menggunakan tikus sebagai binatang percobaan dan menciptakan alat yang disebut “operant conditioning apparatus” yang lazim dikenal sebagai “Skinner Box”.

Berbeda dengan Pavlov yang eksperimennya disebut classical conditioning, eksperimen Skinner disebut operant conditioning. Bila pada eksperimen Pavlov, anjing percobaan tidak perlu aktif untuk mendapatkan daging cincang (reward) maka pada eksperimen Skinner, tikus percobaan dalam Skinner Box yang semula melakukan gerakan tidak terarah untuk mendapatkan makanan, lama kelamaan secara tidak disengaja ia menekan tombol yang ternyata mengeluarkan makanan sehingga pada akhirnya tikus percobaan menemukan cara (menekan tombol) untuk memperoleh makanan bila ia membutuhkan makanan.

Dengan demikian, pada tikus percobaan telah terjadi pembelajaran, yakni untuk mendapatkan makanan (reward), ia harus melakukan (to operate) sesuatu. Itulah sebabnya mengapa eksperimen Conditioning Skinner disebut “operate conditioning”.

Prinsip ini berlaku pula pada kehidupan manusia sehari-hari, misalnya, untuk memperoleh taksi kita harus memesannya melalui telepon, dan bila memerlukannya pada saat kita berada di jalan umum maka kita harus melambaikan tangan beberapa kali dan kalau perlu meneriakkan kata “taksi”. Demikian pula seorang anak yang menginginkan kue, ia harus mengucapkan “terima kasih” pada saat menerima kue yang diinginkannya. Sebab, bila tidak mengucapkan terima kasih, sangat boleh jadi ia tidak menerima kue lagi atau kue yang sudah di tangannya diambil kembali oleh si pemberi kue.

Tokoh lain dari aliran Behaviorisme yang terkenal adalah Edward L. Thorndike (1874-1949). Salah satu hukum yang terkenal dari Thorndike adalah “hukum efek” (Law of effect) yang pada intinya menyebutkan respons terhadap stimulus yang menghasilkan imbalan akan diulangi.

Sedangkan respons atas suatu stimulus yang berakibat tidak menyenangkan tidak akan diulangi. Sebagai contoh nyata adalah individu yang merasa lapar (stimulus internal) kemudian makan makanan yang pedas dengan akibat sakit perut maka pada saat lain ia merasa lapar, tidak lagi menyantap makanan pedas. Sebaliknya dengan menyantap makanan yang tidak pedas maka selain rasa laparnya terpenuhi juga tidak berakibat sakit perut.

Dengan demikian, respons individu atas suatu stimulus ditentukan oleh apa efek atau akibat dari respons yang dialami oleh individu pada masa lalu tatkala individu menghadapi stimulus yang sama: positif (individu akan mengulangi respons yang sama) atau negatif (tidak akan mengulangi respons yang sama).

Berikut penjelasan Teori Stimulus Respon dari John Dollard

Teori stimulis respon atau yang lebih dikenal sebagai teori SOR (Stimulus Organism Respon). Merupakan model klasik komunikasi yang banyak mendapat pengaruh teori psikologi. Secara objek dan matariil baik ilmu psikologi dan komunikasi yang efektif memiliki objek yang sama yaitu manusia . manusia dan jiwanya yang meliputi komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi afeksi dan konasi. Teori ini lahir dan Dimulai pada tahun 1930-an.

Dasar dari pada teori ini adalah adanya asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme adalah merupakan prinsip-prinsip komunikasi.

Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam model ini adalah pertama stimulus (S), kedua organism (O) dan ketiga, respons (R ). Stimulus yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau dapat ditolak, maka pada proses selanjutnya terhenti. Untuk memahami lebih jauh, maka kita wajib menyimak penjelasan mengenai teori stimulus respon dalam komunikasi massa.

Pengertian Teori Stimulus Respon

Stimulus Response Theory atau S-R theory merupakan Model ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi-reaksi. Sebagaimana teori komunikasi menurut para ahli , teori komunikasi massa , teori efek media massa dan teori agenda setting . Dalam komunikasi massa berarti stimulus yang diberikan berupa satu pesan, dan tentunya respon yang diberikan oleh publikpun akan beragam. Hal ini berarti bahwa model ini mengasumsikan bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal dalam komunikasi verbal , simbol-simbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Pola ini dapat diterima secara negatif atauun positif tergantung bagaimana respon yang diberikan oleh individu.

Misalnya ketika dalam sebuah komunikasi massa atau lini publik mengangkap pesan mengenai seorang koruptor. Maka respon dari publik dapat menjadi berbagai macam. Ada yang mengecam, kecewa, biasa saja atau bahkan ada yang sangat marah. Respon ini dipengaruhi oleh faktor kejiwaan atau psikologis seseorang. Sebab kepribadian juga akan menentukan bagaimana respon atau sikap akan sesuatu. Reaksi-reaksi inilah yang kemudian akan digologkan kedalam respon positif atau negatif.

Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik komunikasi yaitu Hypodermic Needle atau teori jarum suntik. Asumsi dari teori inipun tidak jauh berbeda dengan model S-O-R, yakni bahwa media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat tehadap komunikan. Artinya media diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai perangsang (S) dan menghasilkan tanggapan ( R) yang kuat pula. Dalam hal ini artinya terdapat kesinambungan antara teori respon stimulus dan komunikasi massa yang efektif.

Konsep Teori Stimulus Respon

Dalam teori stimulus respon terdapt unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur tersebut adalah pesan (stimulus), komunikan (Organism) dan efek (Respon). Masing-masing unsur memiliki pengertian sebagai berikut :

  1. Pesan (stimulus, S)
    Pesan atau message merupakan elemen penting dalam komunikasi. Sebab pesan merupakan pokok bahasan yang ingin disampaikan oleh kemunikator kepada komunikan. Dalam komunikasi publik, pesan bernilai sangat besar. Karena inilah yang menjafi inti dari terjalinnya komunikasi. Tanpa adanya pesan maka kamunikasi baik antara komunikator dan komunikam tidak akan dapat berjalan.

  2. Komunikan ( Organism , O): perhatian, pengertian, penerimaan

    • Komunikan merupan elemen yang akan menerima stimulus yang diberikan oleh komunikator. Sikap komunikan dalam menyikapi stimukus yang diteria akan berbeda-bea. Tergantung kepada masing-masing pribadi menyikapi bentuk stimulus tersebut. Dalam mempelajari sikap ada tiga variabel yang penting menunjang proses belajar tersebut yaitu: perhatian, pengertian, penerimaan. Ketiga variabel imi menjadi penting sebab akan menentukan bagaimana kemudian respon yang akan diberikan oleh komunikan setelah menerima stimulus.

    • Sikap yang dimaksud disini adalah kecendrungan bertindakan, berpikir, berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan kecendrungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap, dengan demikian pada kenyataan tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap juga bukanlah sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah seseorang harus setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan.

  3. Efek (respon, R):perubahan sikap

    Hosland, mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :

    Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

    Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

    Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

    Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah, hanya jika stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula. Stimulus atau pesan yang disampaikan kepada komunikan mungkin diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi akan berlangsung jika ada perhatian dari komunikan. Proses berikutnya komunikan mengerti. Kemampuan komunikan inilah yang melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolahnya dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap.