Apa yang dimaksud dengan Teori Politik Hijau (green political theory)?

Green theory atau Teori Hijau melihat bahwa negara bukanlah satu-satunya yang memiliki kekuatan untuk menangani permasalahan lingkungan. Negara haruslah mengambil perannya dengan bekerjasama dengan negara lain untuk menangani isu lingkungan.

Hal tersebut dilakukan karena dampak yang dihasilkan bukan lagi berpengaruh pada satu negara saja namun dapat menyebar ke negara lainnya. Green theory sendiri memiliki tujuan yakni melalui kerjasama yang dijalin oleh negara-negara kemudian diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang seimbang dan kesejahteraan mahluk hidup.

Apa yang dimaksud dengan Teori Politik Hijau (green political theory)?

Secara sederhana Pemikiran Hijau melihat dunia seperti berikut:

  • Kelompok pemikir hijau menuntut perubahan secara radikal pada pola organisasi sosial politik dan adanya penghargaan terhadap spesies non-manusia;

  • Penolakan terhadap pandangan dunia yang anthropocentric;

  • Penolakan terhadap strategi pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai standar kualitas kehidupan;

  • Mereka percaya bahwa karena ulah manusia lah yang telah menciptakan ancaman bagi keberlansungan umat manusia dan spesies lainnya;

  • Perlu adanya perubahan yang fundamental dalam struktur sosial, ekonomi dan politik serta ideology dan sistem nilai;

  • Pemisahan yang tegas antara kebutuhan vital dan non-vital;

  • Perlu adanya etika yang didasarkan pada ‚nilai teori hijau‛ yang menempatkan sebuah nilai intrinsik pada kehidupan non-manusia;

  • Perlu adanya komitmen yang pro-aktif untuk perubahan signifikan demi mencapai masa depan lingkungan, termasuk mempromosikan gaya hidup alternative, norma dan nilai serta desentralisasi kekuasaan.

Menurut Ronald Inglenghart yang dikutip dari penelitiannya pada level nasional, kehadiran the greens merupakan fenomena pasca-materialisme (post materialism) yang berargumen bahwa fenomena ini tidak bisa lepas dari adanya kecendrungan perubahan dalam masyarakat paska industri. Pada titik itu, terjadi pergeseran dari ‛nilai-nilai kelangkaan‛ ke nilai-nilai
‛pascamaterialis‛, dan sekaligus perubahan distribusi nilai-nilai yang tidak sesuai dengan jalur-jalur kelas seperti dikotomi kiri- kanan.

Dengan mengumpulkan materi survei dari serangkain negara industri, Inglehart menunjukan bahwa nilai-nilai penca- paian dan pertumbuhan ekonomi memudar seiring meningkatnya kemakmuran, sehingga masyarakat memperlihatkan lebih besarnya sensivitas mereka akan isu kualitas hidup, yang menyangkut seperti lingkungan, niali-nilai kebebasan berekspresi dan partisipasi.

Lebih lanjut, Politik Hijau merupakan isu baru dalam kamus politik kotemporer. Perkembangan gerakan politik ini tidak hanya muncul dan berkembang dalam fora politik nasional, tetapi sudah ikut berkembang dalam tingakat regional bahkan global (politik internasional).

Di tingkat Uni Eropa, Partai Hijau ikut berperan di Parlemen Eropa seperti Le Verst dari Perancis yang bergabung dengan Bundnis90/The Grunen dari Jerman. Bahkan, gebrakan-gebrakan Politik Hijau ini juga mempengaruhi hubungan antar negara (Kasus terakhir, dinamika politik antara Jerman dengan Amerika Serikat dalam mas- alah Irak, tidak terlepas dari peran partai Hijau Jerman) dan organisasi-organisasi internasional lainnya, seperti PBB.

Menurut Tim Hayward, perkembangan teori Politik Hijau (Green political theory) diambil dari fakta bahwa manusia merupakan bagian dari alam, sehingga yang memiliki implikasi bagi perilaku politiknya. Dengan argumen ini, teori politik juga harus selaras dengan teori-teori lingkungan. Artinya, manusia tidak hanya dilihat sebagai individu yang rasional (seperti dalam pandangan liberalisme) atau sebagai makluk sosial(seperti pandangan sosislisme) akan tetapi sebagai natural beings, dan lebih jauh sebagai political animals.

Sedangkan menurut Mathew Patterson, perlu untuk membedakan antara green politics dan environmentalism. Environmentalis menerima kerangka kerja yang eksis dalam realitas politik, sosial, ekonomi, serta struktur normatif yang ada dalam dunia politik. Gerakan ini mencoba memperbaiki masalah lingkungan dengan struktur yang sudah ada. Sementara itu, Politik Hijau menganggap bahwa struktur-struktur yang sudah ada tersebut justru menjadi dasar utama munculnya krisis lingkungan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa struk- tur ekonomi-sosial-politik memerlukan perubahan dan perha- tian yang lebih utama.

image
Gambar Environmentalism and Their Political Ideologies and Approaches
Sumber: David Pepper, Environmentalism, dalam Gary Brownig,etc ed), Understanding Contemporary Society (theories end The Present), SAGE Publication, London, 2002

Gambar diatas memperlihatkan perbedaan antara pola gerakan lingkungan hidup yang di dasarkan pada ideologi politik maupun ideologi ekonomi. Gerakan lingkungan hidup ini dibedakan antara gerakan lingkungan radikal dan gerakan lingkungan reformis.

Kelompok reformis berangkat dari pandangan umum ideologi budaya liberalisme, demokrasi (seperti dipraktikkan oleh Partai buruh dan Partai Sosial Demokrat), dan sosialisme. Melalui pendekatan ini, mereka mencoba memperbaiki sistem kapitalisme manjadi lebih baik, sebagai reaksi terhadap permas- alahan lingkungan. Kelompok ini mengadopsi persfektif yang dikenal dengan teknosentris.

Paham teknosentrisme meyakini bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen ekosistem yang rasional adalah jalan penyelesaian bagi permasalahan lingkungan.

Secara lebih jauh, kelompok ini mempertanyakan keterlibatan negara dalam ekonomi pasar. Ide pasar bebas tidak akan mengurangi pengelompokan kekuatan pasar, sehingga meningkatnya kepemilikan individu terhadap lingkungan akan mempengaruhi kondisi objektif lingkungan itu sendiri.Untuk itu kelompok ini merekomendasikan solusi peningkatan pajak lingkungan (eco-taxes), insentif, regulasi perusahaan-perusahaan dan kepemilikan individu.

Berangkat dari pandangan yang sama, kelompok konservatif menawarkan proteksi dengan konsep pemeliharaan lingkungan, seperti tertuang dalam program lingkungan Uni Eropa yang dikenal dengan ‘prinsip pencegahan’. Mereka menolak kemungkinan pembangunan menghasilkan ketidakpastian terhadap kondisi lingkungan. Konservatif tradisional bersikap sama, dan memanifestasikan sikap mereka dalam sindrom ‘Not In My Back Yard’ yang mencoba menyerahkan permasalahan polusi dan kerusakan lingkungan kepada komunitas dan negara. Di titik ini, negara dituntut untuk secara luas berperan dalam pengaturan-pengaturan sosial.

Bertolak belakang dengan aliran reformis, gerakan lingkungan radikal justru lebih proaktif, melihat permasalahan lingkungan pada akarnya, lebih dari sekedar reaksi sederhana terhadap kerusakan yang disebabkan oleh kapitalisme global. Untuk itu, mereka berpandangan bahwa diperlukan perubahan sosial yang fundamental, yang salah satunya adalah eliminasi, atau agenda rekonstruksi kapitalisme. Sehingga, perdebatan tentang lingkungan bergeser dari pendekatan kultural-ekonomis menjadi politis-struktural yang sering digambarkan dalam tradisi perlawanan akar-rumput seperti romantisme, anarkisme, sosialisme utopis dan lain sebagainya.

Pendekatan ini mencakup:

  1. Social Ecology, secara garis besar didasarkan pada prisip anarkis yang terutama di interprestasikan dalam kerja Murray Bockin (e.g. 1990).

  2. Eco-socialism, bersifat libertarian, desentralistis dan komunalis dalam prinsipnya, berangkat dari pemikiran sosialisme yang pada akhirnya di hadapkan pada negara.

  3. Deep Ecology, memfokuskan pada perubahan yang fundamental dalam sikap dan nilai terhadap alam. Mengajak masyarakat dimanapun untuk menyesuaikan diri dengan prisip ekologi (seperti prinsip ‘kapasitas memiliki’ yang berimplikasi terhadap batasan pertumbuhan penduduk dan ekonomi.

Gerakan lingkungan mainstream seperti tertera pada gambar di atas merupakan gabungan dari radikal dan reformis. Seperti asumsi Dobson, terkadang mereka menganjurkan untuk radikal (termasuk ekosentrisme dan oposisi terhadap kapitalisme), tapi juga pragmatis secara politik dengan menyuarakan bahwa solusi utama krisis lingkungan harus direformasi daripada tidak sama sekali. Di satu sisi, mereka melakukan aksi anti-kekerasan secara langsung, namun di sisi lain juga menjadi anggota parlemen.

Contoh konkret adalah partai-partai Hijau yang ada di Eropa atau LSM Friends of The Earth yang cukup radikal di Amerika.

Pemikiran Politik Hijau


Di samping itu, ada beberapa pandangan berbeda dalam mendefinisikan karakter dari Politik Hijau. R. Eckersley memberikan karakteristik Politik Hijau dalam kerangka Ekosentrisme, yang menolak pandangan anthroprocentic bahwa nilai moral berpusat pada manusia. Pandangan ini setuju untuk menempatkan kebebasan nilai pada ekosistem dan seluruh aspek kehidupan.

Sementara itu R.E Goddin juga menempatkan etika pada pusat dari posisi politik Hijau. Ia menyatakan bahwa Green Theory of Value merupakan pusat dari teori hijau, dengan mengedepankan sumber nilai sebagai fakta dari sesuatu yang dibentuk oleh proses alamiah sejarah, dan lebih daripada sekedar peran manusia.

Lain lagi dengan John Barry, dia melihat bahwa Politik Hijau di dasarkan pada tiga prinsip utama, antara lain:

  1. Sebuah teori distribusi (intergerenasional) keadilan
  2. Sebuah komitmen terhadap proses demokratisasi, dan
  3. Usaha untuk mencapai keberlansungan ekologi

Tiga prinsip utama ini merupakan konsepsi yang mewakili makna dari pusat Politik Hijau. Prinsip ini digunakan sebagai sarana untuk menjelaskan konsepsi dari teori hijau, seperti dalam memahami kelansungan dari eko-otoritarianisme yang menjadi salah satu usaha keberlanjutan bagi biaya demokrasi dan keadilan sosial.

Di samping itu, A. Dobson mempunyai dua definisi karakteristik dari Politik Hijau. Pertama, menolak pandangan antroposentrisme seperti yang diungkapkan oleh Ekscersly. Kedua, perlu adanya batasan pertumbuhan, yang merupakan penyebab munculnya krisis lingkungan secara alami. Pandangan Politik Hijau ini merupakan pengalaman dari pertumbuhan ekonomi secara eksponensial selama dua abad terakhir, yang merupakan penyebab dari kerusakan lingkungan yang ada sekarang ini.

Munculnya proyek hijau memperoleh dukungan banyak dari negara-negara Eropa. Dukungan tersebut lebih pesat didapat di kawasa Eropa Utara daripada Eropa Latin. Partai Hijau bertambah kuat di tingkat lokal, seperti ‘Die Grunen’ di Jerman Barat. Kelompok ini menjadi yang paling aktif dan disebut sebagai partai induk oleh kelompok lain.

Proyek hijau mengindikasikan bahwa sifat gerakan politik ini adalah transnasional, mengingat persoalan yang dihadapi. Isu pertama yang digulirkan adalah perlindungan lingkungan yang menurut pandangan hijau tidak sesuai dengan sistem industrial modern, baik dalam kerangka berpikir sosialisme maupun kapitalisme.

Menurut Rudolf Bahro, meminjam konsep E.P Thomson, ekstremisme adalah ciri umum peradaban Barat (Bahro, 1984). Industrialisasi yang merebak di seluruh dunia akan merusak kehidupan di muka bumi. Namun sebelum hal itu terjadi, kom- petisi atas sumber daya yang semakin langka akan meningkatkan ketegangan politik sampai ke titik dimana bencana nuklir akan menjadi destruktif. Jadi isu kedua yang memobilisasi gerakan hijau adalah perdamaian. Ekologi dan perdamaian saling terkait, namun realisasinya membutuhkan transformasi masyarakat.

Dengan demikian masalah dan isu kampanye yang meng- aktifkan kelompok hijau berbeda dengan kelompok-kelompok aliran yang lain. Ekologi dan perdamaian merupakan titik acuan bagi semua isu lainnya, dan hal-hal lain harus menyesuaikan diri dengan titik acuan tersebut. Keduanya bukan hanya butir dari program partai dan bukan pula isu kampanye dalam pemilu. Inilah sebabnya proyek hijau layak diperhatikan dalam konteks ini.

Dari sudut pandang ini, jumlah suara yang diperoleh tidaklah menjadi hal yang krusial, sebab berpijak pada basis nilai yang kuat.

Politik Hijau atau gerakan ekologi sendiri memiliki sepuluh nilai yang menjadi dasar dan tujuan gerakan dan sekali- gus sebagai acuan bagi artikulasi kebijakan politik. Beberapa prinsip ini pada diadopsi secara langsung oleh berbagai partai hijau di dunia seperti Die Grunen di Jerman, dan Green Party of USA:21

  1. Kesadaran dan keberlansungan Ekologi
    Isu ini merupakan isu paling utama, yang menghubung- kan tradisi pencerahan dengan pengalaman batasan indus- trialism sebagai sebuah kompleksitas kesadaran baru yang diambil dari prinsip-prinsip ekologi. Isu ini berangkat dari asumsi bahwa manusia harus bertindak berdasarkan pemahaman bahwa ia merupakan bagian dari alam dan bukan berada di atas alam lingkungannya. Untuk itu, manusia perlu menjaga keseim- bangan ekologi dan hidup dalam keterbatasan sumber daya serta batas-batas ekologi planet bumi.

  2. Demokrasi Akar Rumput
    Dalam hal demokrasi, kaum ekologi percaya bahwa demokrasi yang sebaik-baiknya harus dipraktikkan di tingkat akar rumput. Artinya, di tingkat masyarakat lokal dan bukan di lembaga perwakilan nasional maupun daerah. Menurut mereka, setiap manusia berhak berpendapat terhadap keputusan yang ikut berpengaruh terhadap hidup mereka. Pun manusia tidak boleh menjadi korban dari keinginan segelintir orang saja. Demokrasi diartikan sebagai interfase antara kebebasan berekspresi pada satu pihak dan penghargaan yang sama di pihak lain.

  3. Keadilan sosial dan Persamaan Kesempatan
    Semua orang memiliki hak dan kesempatan yang sama dari sumber daya yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya. Untuk itu, perlu dihilangkan hambatan-hambatan sosial, seperti rasisme, seksualisme dan heteroseksualisme, pertikaian antar kelas, homophobia, serta penelantaran kepentingan orang tua dan orang cacat. Sikap yang memberikan perlakuan yang sama ini harus mendapat perlindungan undang-undang negara.

  4. Anti kekerasan
    Menyangkut pluralitas manusia, penting untuk dikembangkan alternatif yang efektif terhadap kebiasaan masyarakat kini dalam menggunakan kekerasan. Untuk itu, pandangan ini memperjuangkan proses demiliterisasi dan penghilangan senjata destruksif masal di dalam negerinya sendiri, tanpa berniat naïf terhadap niat buruk negara lain. Kendati, pandangan ini juga mengakui bahwa tindakan mempertahankan diri dari orang- orang yang berada situasi terdesak adalah sah. Maka dari itu, perlu diupayakan penyelesaian konflik secara non kekerasan. Kelompok ekologi berniat guna mewujudkan suatu kedamaian personal, komunitas, dan global yang abadi.

  5. Desentralisasi
    Berangkat dari asumsi bahwa sentralisasi kesejahteraan dan kekuasaan berkontribusi besar terhadap ketidakadilan eko- nomi, perusakan lingkungan, dan militerisasi, politik hijau mendukung upaya restrukturisasi institusi-institusi politik, sosial dan ekonomi yang dikuasai oleh segelintir orang kuat (oligarki). Institusi tersebut akan diubah dengan sistem yang lebih demok- rasi dengan postur birokrasi yang ramping. Pengambilan kepu- tusan harus sebisa mungkin berada pada tingkat individu dan lokal.

  6. Ekonomi Berbasis Komunikasi dan Berkeadilan

Pandangan politik hijau memandang penting untuk menerapkan suatu sistem ekonomi yang berkelanjutan, yang bisa menciptakan lapangan kerja baru dan standard hidup yang baik untuk semua orang tanpa mengabaikan keseimbangan ekologis. Sistem ekonomi tersebut harus bisa memberikan sebuah kebanggaan terhadap pekerjaan yang 'berarti‛, sehingga bisa membiayai hidup secara berkeadilan sesuai dengan apa yang dikerjakan. Dalam hal ini mereka sangat membela jenis-jenis pekerjaan termarjinalkan, tetapi sebenarnya sangat penting dalam menopang harmoni hidup dalam masyarakat. Sebagai, pekerjaan domestik dan pekerjaan menjaga kebersihan yang selama ini kurang dihargai. Ini perlu diarusutamakan dalam perspektif politik hijau.

  1. Feminisme dan Kesetaraan Gender
    Kaum ekologi menyadari sepenuhnya bahwa manusia mewarisi sistem sosial yang berdasarkan pada dominasi patriarki, baik dalam wilayah dan etika dominasi dan kontrol dengan cara berinteraksi lebih kooperatif. Artinya, perbedaan pendapat dan gender dihormati. Maka dari itu, nilai-nilai kemanusian seperti persamaan jenis kelamin, tanggung jawab interpersonal dan kejujuran harus dikembangkan dengan kesadaran moral. Manusia perlu mengingat bahwa proses yang menentukan keputusan dan tindakan sama pentingnya dengan usaha penyelesaian dari apa yang diinginkan.

  2. Penghormatan Terhadap Keberagaman
    Adanya keyakinan akan pentingnya keberagaman budaya, etnis, ras, agama dan kepercayaan spiritual mengimplikasikan promosi atas hubungan yang saling menghargai diantara keperbedaan tadi. Berangkat dari kayakinan ini, mereka percaya bahwa perbedaan-perbedaan yang ada harus pula tercermin dalam organisasi-organisasi dan badan-badan pengambilan keputusan. Karenanya, pandangan politik hijau sangat mendu- kung kemunculan pemimpin dari kalangan mereka yang selama ini terpinggirkan dari peran kepemimpinan, misalnya kaum perempuan.

  3. Tanggung Jawab Personal dan Global
    Kaum ekologi mendukung tindakan individu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, akan tetapi tindakan tersebut tidak boleh mengabaikan keseimbangan ekologi dan harmoni sosisal. Karenanya mereka mau bergabung dengan orang-orang dan organisasi yang mau memperjuangkan perdamaian abadi, keadilan sosial ekonomi, dan menjaga kelestarian bumi.

  4. Fokus pada masa depan dan keberlanjutan
    Tindakan dan kebijakan kaum ekologi dimotivasi oleh tujuan jangka panjang. Mereka berjuang dalam perlindungan sumber daya alam yang berharga, mengamankan peraturan atau tidak melakukan semua pemborosan. Dengan mengembangkan sistem ekonomi berkelanjutan (sustainable development) yang tidak mengantungkan diri pada ekspansi untuk mampu berta- han hidup. Mereka pandangan yang mempunyai tujuan keuntungan jangka pendek atau berorientasi profit, tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Caranya, dengan menjaga agar perkembangan ekonomi, penggunaan teknologi baru dan kebijakan fiskal ikut bertanggung jawab terhadap generasi mendatang yang akan mewarisi hasil dari tindakan saat ini.

Teori Politik Hijau dalam Hubungan Internasional


Teori Hijau dalam hubungan internasional secara komprehensif dikembangkan oleh R. Ekcersley, salah satu sarjana yang concern terhadap teoritisasi pemikiran politik hijau. Ia menyatakan bahwa teori hijau telah mengalami dua gelombang peru- bahan. Gelombang pertama teori hijau memfokuskan kepada irasionalitas dari permasalahan ekologi oleh pusat institusi- institusi sosial seperti negara dan pasar. Banyak dari para penteori politik hijau memilih cita-cita demokrasi akar rumput dan komunitas-komunitas keberlansungan ekologi sebagai alternatif.

Lebih jauh, Politik Hijau merupakan jenis politik sistem ketiga. Ketika sistem ketiga berkembang dalam bentuk sistem ekonomi informal, jaringan kerjasama non-makro organisme yang dikendalikan oleh negara, serta berfokus pada komunitas lokal yang semakin otonom, peran negara secara otomatis akan surut. Begitu pula perusahaan besar atau pasar yang beroperasi dalam sistem fungsional, bukan teritorial. Dari sudut pandang perusahaan raksasa, revitalisasi kehidupan teritorial berarti kehilangan pasar, sebagaimana halnya kehilangan pajak dari sudut pandang alat negara.

Lebih lanjut, perbedaan antara prinsip pembangunan fungsional dan teritorial adalah: Fungsional berhubungan dengan pola pembangunan yang umum dipakai, yaitu pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh spesialis dan pembagian kerja antar wlayah yang akhirnya diperhitungkan adalah jumlah pada hasil pada level perekonomian nasioanal, atau menurut sebagaian pandangan perekonomian dunia.

Masalah keterbelakangan regioanal dilihat atau sebagai ketidakseimbangan sementara atau pengorbanan yang perlu untuk mencapai pertumbuhan secara keseluruhan. Sementra prinsip Teritorial sebaliknya, memberi prioritas pada region dan komunitas lokal. Pembangunan mereka harus sesuai dengan ciri-ciri ekologis dan kultural tiap-tiap region.

Pandangan ini didasarkan pada konsepsi desentralisasi yang didengungkan oleh aliran hijau. Konsepsi desentralisasi mereka mencerminkan perbedaan mendasar dari persfektif lainnya dalam memahami sistem negara dan strukturnya. Hal ini seperti yang dilontarkan oleh Theodore Roszak dalam bukunya yang cukup memepengaruhi pandangan hijau, Person/Planet,

‛…both person and planet are threatened by the same enemy, The Bigness of Things. The bigness of industrial structures, world markets, financial networks, mass political organizations, public institutions, military establishment, cities, bureaucracies. It is the insensitive colossalism of these system that endangers the rights of the person and the right of the planet. The inordinate scale of industrial enterprise that must grind people into statistical grist for the market place and the work force simultaneously shatters the biosphere in a thousand unforeseen ways.‛

Menurut pandangan hijau, segala kondisi seperti di atas harus diubah dengan pendekatan desentralisasi dan masyarakat demokratis,yang menempatkan kekuasaan dari institusi politik, ekonomi dan sosial dalam skala yang paling kecil (closest to home) sehingga menjadi lebih efisien dan praktis. Hal ini bisa dilihat dari manifesto German Greens yang tertera dalam basic rules, bahwa prinsip dasar dari politik hijau adalah desentralisasi pada unit-unit basis (komunitas lokal atau distrik) yang harus diberi otonomi lebih luas dan hak atas pemerintahan sendiri.

Artinya, dalam hal ini, peran negara akan diminimalisasi dengan sendirinya ketika lokalitas menjadi basis utama dalam memben- tuk mekanisme sistem dan struktur sosial, politik dan ekonomi.
Disamping itu pemikiran hijau dalam proyek-proyeknya juga menolak bentuk integrasi dalam level dunia.

Menurut Rudolf Bahro, pemimpin kharismatik Partai Hijau Jerman‚ tidak ada keselamatan tanpa pembongkaran kompleksitas‛. Jadi, mereka menekankan pembangunan teritorial dengan fokus lokal, yang kurang lebih sehaluan dengan tradisi pembangunan civil society.

Hal ini tentu sesuai dengan slogan yang didengung- dengungkan oleh gerakan politik hijau sendiri, yaitu ‚Think Globally, Act Locally!‛. Dalam perspektif ini, mereka indepen- den secara artifisial dari batasan-batasan nasional. Mereka menamakan hal ini dengan anti-statist. Akan tetapi menjadi anti-statist bukan berarti sama dengan menjadi ‛internationalist‛, seperti yang terjadi pada konferensi Stockholm yang menginginkan adanya organisasi internasional yang kuat untuk bisa melindungi dan mengatasi permasalahan lingkungan global.

Sebaliknya, pemikiran hijau lebih fokus pada bagaimana merekonstruksi world order tanpa harus membuat Negara- bangsa yang lebih besar dan lebih kuat. Karakter pemikiran Hijau yang anti-statisme didasarkan pada usulan yang tidak menginginkan adanya institusi politik suprastate yang kuat tetapi lebih menginginkan untuk meminimalisir kekuasaan negara dengan menyerahkan kekuasaan pada unit yang lebih kecil, yang diroganisir oleh bioregions atau sejenisnya. Oleh karena itu, pandangan ini yang menjadikan pemikiran hijau memiliki slogan ‚ think globally, act locally‛.

Gelombang kedua dari teori politik hijau menjadi lebih transnasional dan kosmopolit dalam orientasinya. Teori ini lebih menarik perhatian dengan pemikiran ulang yang kritis. Selain itu, teori ini dalam beberapa hal bersifat transnasional dalam sekup institusi dan konsep politik, yaitu dengan tidak mening- galkan kerangka berpikir permasalahan lingkungan itu sendiri. Pada gelombang kedua ini pemikiran politik hijau telah meng- hasilkan sesuatu yang baru, antara lain; transnasionalisasi, deteritorialisasi atau konseptualisasi global dari keadilan lingkungan (e.g Low amd Gleeson 1998), hak-hak lingkungan (e.g. Hayward 2005), environmental democracy (Doherty and de Geus, 1996), aktivisme lingkungan (Wapner 1998), environ- mental citizenship (Barry 1999; Dobson 2003) dan Negara hijau (e.g. Eckersley 2004; Barry and Eckersley 2005).

Di samping itu, juga ada peningkatan hubungan dari teori politik hijau melalui beberapa perdebatan utama dengan teori hubungan internasional normatif. Sebagian teori utama berkonsentrasio pada hak asasi manusia, kosmopolitanisme demokratik, transnational civil society, dan transnational public spheres.

Lebih lanjut, Teori Hijau—dalam Hubungan internasional disebut dengan Teori Hijau Hubungan Internasional (Green IR Theory)—memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan teori-teori HI yang baru muncul. Teori-teori baru tersebut dikenal dengan third debate paragdim (juga kadang-kadang disebut sebagai ’fourth debate).

Teori ini secara umum kritis, berorientasi pada permasalahan, interdisipliner, dan secara keseluruhan unapologetic terhadap orientasi normatif mereka secara eksplisit

Menurut pandangan Eckersley, Teori hijau HI dibedakan menjadi dua kategori.

  • Pertama, sayap International Political Economy (IPE) yang menawarkan analisis alternatif bagi permasalahan-permasalahan ekologi global pada rejim teori.

  • Kedua, sayap ‛Kosmopolitanisme Hijau‛ yang mengartikulasikan norma baru bagi keadilan lingkungan dan demokrasi hijau pada semua level pemerintahan.

Kedua kategori ini berhubungan dengan teori kritis, sebagian pada neo-Gramscian yang digagas oleh teoris ekonomi politik Robert Cox, dan diskursus etika kosmompolitan seperti yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Oleh karena itu, perdebatan teori bisa ditempatkan secara jelas disamping rasio- nalisme kritis versus konstruktivisme dalam perdebatan teori hubungan internasional.

Teori Hijau sebagai Alternatif

Dua pendekatan rasionalis yang dominan dalam teori hubungan internasional—neorealisme dan neoliberalisme—sudah cende- rung untuk menggunakan permasalahan lingkungan sebagai ’ranah isu baru’. Hal ini cukup menarik perhatian yang sama dengan kerangka kerja teori yang ada sebelumnya daripada sebagai model analisis baru yang lebih normatif.

Bagi kaum neorealis atau realisme struktural, masalah lingkungan masih diposisikan pada level ’low politics’, sedang- kan bagi kaum neoliberal, isu lingkungan sudah lebih jauh membawa pada kerja-kerja empiris pada tingkat rejim di luar batas nasional dan permasalahan-permasalahan global lainnya. Kelompok pemikiran ini sudah memiliki kerangka analisa untuk membantu memprediksi apa yang harus dan tidak harus dilaku- kan oleh negara, seperti kerjasama dalam reformasi dan me- ngembangkan rejim lingkungan yang efektif.

Secara umum, pendekatan rasionalis dominan belum secara eksplisit mengikat dalam teori normatif. Kendati, neo- liberalisme secara terbuka sudah menyatakan pemecahan masalah mereka yang reformis dibandingkan kritis dan orientatif.

Penelitian utama mereka bertujuan untuk mengobservasi, menjelaskan dan memprediksi prilaku negara-negara dalam hubungan antar bangsa. Berangkat dari asumsi tersebut, menurut Eckersley kedua kategori teori hijau hubungan internasional —sayap ekonomi politik dan normatif—sudah mengkritisi pendekatan rasionalis dominan dalam empat hal.

  • Pertama, Kritik Hijau ditujukan lansung pada tujuan-tujuan normatif pendekatan rasionalisme, dilihat dari asumsi- asumsi permasalahan lingkungan dan nilai-nilai etika yang implisit dalam analisis neorealisme dan neoliberalisme. Dalam hal ini, Teori Hijau HI mengambil pernyataan Robert Cox bahwa ’theory is always for someone and some purpose’ (Cox, 1981).

    Sementara neorealisme, sebagian dikritik karena lebih cenderung melakukan normalisasi daripada menentang praktik- praktik eksploitasi lingkungan yang disponsori oleh negara.

    Sebaliknya, neoliberalisme, dari tradisi berpikir Lockean, mencoba membuat rejim internasional dengan mempercayai bahwa ’eksploitasi rasional’ terhadap alam, sekaligus sebagai sebuah ’tap’ (dalam menyediakan energi dan sumber daya alam lainnya) dan juga sebagai sebuah ’sink’( melalui hasil asimilasi kotoran alam, lautan dan atmosper) memerlukan perluasan dari pilihan-pilihan pembangunan sebuah negara. Kendati, kerangka pilihan rasional mereka secara lansung menyetujui instrumen yang digunakan terhadap dunia non-manusia dan menyisakan sedikit ruang gerak untuk mempromosikan ’identitas hijau’ oleh aktor negara dan non negara.

    Sederhananya, neoliberalisme secara lansung menerima kapitalisme pasar dan kedaulatan negara sebagai sesuatu yang ’given’ dalam proses negosiasi rejim internasional. Sementara, teori hijau HI, lebih fokus pada struktur sosial yang memiliki inisiatif terhadap konsep efektivitas pembangunan bagi lingku- ngan. Mereka juga setuju format baru perlawanan ’counter-hegemonic’ terhadap globalisasi ekonomi neoliberal. Sama halnya dengan critical theory, teori hijau mengutamakan peran agen dalam mentransformasikan struktur sosial, dalam hal ini, untuk mempromosikan keadilan lingkungan dan keberlanjutan.

  • Kedua, senada dengan teori kritis dan konstruktivisme, teori hijau juga menolak pendekatan rasionalisme yang meng- gunakan kerangka analisis dan kekuatan ekplanasi yang positivistik. Misalnya, neorealisme yang memprediksi kerjasama lingkungan antar negara akan lebih efektif jika dimotori oleh kehadiran negara hegemoni, sehingga kerjasama akan selalu terjaga melalui distribusi kekuasaan (dipahami dalam konteks distribusi material capability).

    Sebaliknya, teori hijau memberikan catatan bahwa neo- realisme memberikan tesis yang mentah dan belum utuh terhadap hitung-hitungan politik lingkungan antar bangsa. Kondisi ini bisa dilihat pada proses pembuatan perjanjian internasional di bidang lingkungan (misalnya proses ratifikasi protokol Kyoto), di mana sampai pada KTT Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu, Amerika Serikat masih belum mau menandatangani kesepakatan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor industri mereka. Bertitik pijak dari hal ini, teori hijau memandang realisme tidak mau menjelaskan mengapa dan bagaimana hal tersebut bisa terjadi.

  • Ketiga, Teori Hijau secara langsung mengkritisi agensi dan struktur sosial yang secara sistematis menolak negosiasi bagi pencerahan rejim lingkungan. Analisis kritis ini diaplikasikan tidak hanya terhadap inefektivitas rejim (misalnya: TTA – Tropical Timber Agreement yang hanya didominasi oleh industri kayu dan negara-negara yang terlibat dalam proses ekpsor dan impor), tetapi juga hubungan yang overlapping antara rejim dan pemerintahan global secara umum.

    Hal yang sama juga bisa dilihat dari rejim ekonomi internasional yang membayangi dan menafikkan keberadaan rejim lingkungan internasional. Dalam konteks ini, teori hijau mengalami perdebatan antara keinginan untuk mempengaruhi World Trade Organization (WTO) atau menawarkan institusi tandingan, seperti World Environmental Organization (WEO) untuk mengimbangi kekuatan WTO.

  • Keempat, Teori Hijau telah mengeskplorasi peran dari aktor non-negara dengan format ’deteritorialisasi’ pemerinta- han. Hal ini mencakup dari transnasionalisasi NGO bidang lingkungan sampai pada praktik pengelolaan industri swasta dan keuangan korporat, juga termasuk pada jaminan industri. Pemikiran baru ini telah menghasilkan gambaran kompleks terhadap pengelolaan lingkungan di tingkat global yang baru dan hybrid. Sementara itu, pola jaringan kerja memiliki otoritas diluar batas yuridiksi negara. Dalam beberapa hal, ini bisa memangkas pola hirarki pemerintahan tradisional yang merupakan tipologi dari sistem negara-bangsa.

Sumber :

Apriwan, Teori Hijau: Alternatif dalam Perkembangan Teori Hubungan Internasional, Universitas Andalas, Padang

Daftar Pustaka
  • Adorno, Theodore, dan Marx Horkheimer, Dialektika Pencera- han, penterjemah, Ahmad Sahida (Yogyakarta: IRCISOD, 2002)
  • Brownig, Gary (ed). Understanding Contemporary Society: Theories and the Present (London: SAGE Publication)
  • Bryant, R. and Bailey, S. Third World Political Ecology
  • (London: Routledge, 1997).
  • Brown, Lester R, Jangan biarkan bumi merana, Laporan World watch Institute, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992).
  • Burchill, Scoot & Andrew Linklater (ed.), International Rela- tion Theory (New York: St. Martin’s Press, 1996).
  • Dunne, Tim, Milja Kurki & Steve Smith, International Relation Theories; Discipline and Diversity, (London: Oxford Uni- versity Press, 2006).
  • Eckersley, R. The Green State: Rethinking Democracy and Sovereignty (Cambridge MA: MIT Press, 2004).
  • Frankland, E. Gene & Donal Schoomaker, Between Protest and Power: The Green Party in Germany (Oxford: Westview Press, 1992).
  • Gale, F. P. & M’Gonigle, R. M. eds), Nature, Production, Power: Towards an Ecological Political Economy (Chelten- ham: Edward Elgar, 2000).
  • Goodin, Robert E. Green Political Theory (Cambridge: Polity Press).
  • Hetne, Bjorn, Teori Pembangunan dan Tiga Dunia, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1992).
  • Käkönen, J. Green Security or Militarised Environment
  • (Aldershot: Dartmouth, 1994).
  • LaFerrière, E. and Stoett, P. J. International Relations Theory and Ecological Thought: Towards a Synthesis (London: Routledge, 1999).
  • Paterson, M., Understanding Global Environmental Politics: Domination, Accumulation, Resistance (London: Palgrave, 2000).
  • Princen, T., M. Maniates., and K. Conca (eds), Confronting Consumption (Cambridge MA: MIT Press, 2002).
  • Paehlke, R. C., Democracy’s Dilemma: Environment, Social Equity and the Global Economy (Cambridge: MIT Press, 2003).
  • Patrik Sale, Kirk, Revolusi Hijau: Sebuah Tinjauan Historis- krisis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).