Apa yang dimaksud dengan Teori Pers Otoriter atau Authorian Theory?

Teori Pers Otoriter atau Otoritarian

Teori Pers Otoriter atau Otoritarian menyebutkan bahwa pers mempunyai tugas untuk mendukung dan membantu politik pemerintah yang berkuasa untuk mengabdi kepada negara. Pada teori pers seperti ini, pers tidak boleh mengkritisi alat alat negara dan penguasa. Ditambah lagi pers jenis ini berada di bawah pengawasan dan kontrol pemerintah. Itu artinya rakyat tidak memiliki hak penuh dalam mengaspirasikan pendapatnya, ia tidak bisa memberikan opininya melalui pers.

Apa yang dimaksud dengan Teori Pers Otoriter atau Authorian Theory ?

Teori ini muncul pada abad ke-16, dimana teori ini berasal dari falsafah kenegaraan kekuasaan absolut. Prinsip teori ini adalah bahwa negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala kehidupan sosial. Bagi seseorang induvidu, hanya dengan menempatkan diri dibawah kekuasaan negara, maka individu yang bersangkutan bisa mencapai cita-citanya dan memiliki atribusi sebagai orang yang beradab.

Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan.

Pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan.

Ciri-ciri masyarakat penganut konsep Teori Pers Otoriter

  • Negara berada di atas segala-galanya
  • Negara mempunyai wewenang maksimal
  • Antara warga negaranya terdapat status yang berbeda.

Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16.

Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa.

Pers berfungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa.

Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu.

Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.

Bagi penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan konflik dan ketidaksepakatan yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering subversif. Konsensus dan keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat dipahami dalam komunikasi massa.

Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel Johnson bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban dan perdamaian di depan umum, maka masyarakat berhak untuk melarang penyebaran pendapat yang cenderung berbahaya.

Pendapat ini yang sebenarnya tidak masuk akal juga bagi pemimpin atau penguasa negara berkembang yang miskin yang dihadapkan pada kenyataan bahwa keharusan untuk melakukan integrasi politik dan pembangunan ekonomi lebih diutamakan akhirnya tidak bisa membiarkan pendapat- pendapat atau pandangan yang dianggapnya dapat mengganggu dan menghasut.

Berkaitan dengan konsep integritas yang diharapkan negara-negara yang sedang membangun dimana struktur masyarakatnya berada dalam masa peralihan, media massa bisa dianggap sebagai salah satu biang terganggunya perkembangan masyarakat dan ketertiban.

Hal inilah belakangan menjadi bahan yang menarik perhatian peneliti di bidang komunikasi massa, dimana terdapat dugaan bahwa media massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang berlangsung cepat, mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang secara khusus dihubungkan dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan moral, kriminalitas dan kekacauan.

Munculnya film dari luar dan ketakutan bahwa komik- komik impor berpotensi untuk merusak dan menghambat perkembangan berpikir anak menjadikan pemerintah merasa memiliki hak untuk mengawasi media massa. Komunikasi massa seringkali dikatakan individualistis, impersonal, dan anomis, oleh karena itu komunikasi massa sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan solidaritas.

Dari sinilah pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan dengan melakukan kontrol pada media massa/pers. Namun pandangan ini tidak mampu lagi melihat bahwa media massa juga menciptakan integritas sosial, karena media massa mampu menyatukan individu menjadi kesatuan khalayak besar, juga kemampuannya untuk menyajikan seperangkat nilai, ide, informasi, dan persepsi yang sama kepada setiap orang.

lstilah otoriter mengacu pada tingkat pengaturan pers yang sangat besar. Pers diharapkan netral, namun ditujukan dalam hubungannya dcngan pemerintah atau kelas penguasa dengan pengaturan yang disengaja atau tidak disengaja pers digunakan sebagai alat kekuasan negara untuk menekan. Penyensoran pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman (seperti pembredelan perusahaan penerbitan pers) khususnya yang berlaku bagi hal-hal yang politis.

Bentuk penterapan dan pengungkapan teori otoriter sangat beragam, melalui perundang- undangan, pengendalian produksi secara langsung, kode etik yang diberlakukan, pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya, pengendalian impor media, dan hak pemerintah untuk mengangkat star ptoduksi.

Meskipun telah disadari konsep ini cenderung menekan hak-hak individu atau masyarakat khususnya untuk bebas mengungkapkan, menyebarkan, dan mendapatkan informasi dari kebenaran fakta namun disadari juga bahwa dalam masyarakat prademokrasi atau masyarakat yang berciri kediktatoran adanya kecendrungan otoriter dalam hubungannya dengan media yang umumnya tidak bersifat totaliter tidak bisa diabaikan.

ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan dan berlaku dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep otoriterisme mengungkapkan itikad yang populer dan dalam semua masyarakat terdapat berbagai situasi di mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat misalnya dalam suasana kekacauan yang ditimbulkan teroris dan ancaman perang.

Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap teater, film, penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada terhadap surat kabar dan buku. Secara sah atau tidak sah teori ini membenarkan penguasaan media oleh pihak yang berkuasa dalam masyarakat.

Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah atau penguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi dan objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses.

Maka dalam hubungannya dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari beberapa hal berikut:

  • Menarik dan mengarahkan perhatian
  • Membujuk pendapat dan anggapan
  • Mempengaruhi pilihan dan sikap
  • Memberikan status dan legitimasi
  • Medefinisikan dan membentuk persepsi realitas.

Dalam hubungan media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambil dalih bahwa media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan ketergantungan masyarakat terhadap media itu sendiri tetapi juga dalam menciptakan identitas dan kesadaran. Menurut C. W. Mills potensi media massa diarahkan untuk pengendalian nondemokratis yang berasal ‘dari atas’.

image

Teori Marxis menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas yang mengatur produksi kelas- kelas tersebut juga akhirnya menguasai dan menentukan gagasan pada masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan gagasan penguasa. Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang juga terjun dalam dunia politik.

Benturan kepentingan yang dialami media massa menurut McQuail berkaitan dengan operasional fungsi dan tujuan media massa di suatu negara yang ditentukan oleh beberapa pihak atau unsur , yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompol lebih penting daripada individu, karena hanya melalui kelompok seseorang dapat mencapai tujuannya.

    Teori ini telah mengembangkan suatu pemyataan bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.

  • Teori hegemoni relevan dengan situasi yang timbul dari pelaksanaan konsep otoritarian ini. Gramsci memakai istilah tersebut untuk menyebut ideologi penguasa, konsep ideologi Gramsci ini menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankan pemerintah atau penguasa untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (anggota masyarakat- terutama kelas pekerja) sehingga upaya itu akan berhasil memasyarakat.

    Secara umum konsep otoriter ini sama dengan konsep hegemoni atau dominasi Gramsci yang artinya pemaksaan kerangka pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah melalui penggunaan kekuatan dan keharusan ideologi yang terang- terangan.

Dewasa ini otoritarisme berkembang luas, terutama bila konsep komunis atau pembangunan dipahami sebagai perbedaan dari otoritarisme tradisional. Di negara- negara berkembang wartawan barat seringkali menghadapi berbagai macam kesulitan saat melakukan peliputan, seperti visa masuk ditolak, berita disensor, bahkan penculikan dan dipenjara.

Sumber : C. H. Herutomo , “Perbandingan Ssistem Pers”.

Otoriter dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dari suatu sistem. Dapat juga dikatakan sebagai pemerintahan yang diktator (pemerintahan yang berkuasa secara penuh)… Dalam teori ini, ada teori pers otoritarian. Tujuan utama dari teori ini ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Media massa pada teori atau sistem pers ini diawasi melalui paten dari kerajaan atau izin lain yang semacam itu. Dan yang berhak menggunakan media ialah siapa saja yang memiliki izin dari kerajaan. Kritik terhadap mekanisme politik dan para penguasa sangat dilarang. Pada sistem pers otoritarian media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah walaupun tidak harus dimiliki pemerintah.

Teori ini hampir dipakai oleh semua negara, pada saat masyarakat dan teknologi telah cukup maju dalam menghasilkan apa yang kita namakan media massa dalam komunikasi. Teori ini membentuk dasar bagi sistem-sistem pers di berbagai masyarakat modern, bahkan di negara yang tidak lagi menggunakannya, teori ini terus mempengaruhi praktek-praktek sejumlah pemerintahan yang secara teoritis menyetujui prinsip-prinsip libertarian.

Dalam sistem otoritarian, perilaku dan kinerja politik dalam bentuk apa pun akan terawetkan karena memang tidak ada pintu politik untuk perubahan. Berbagai perubahan hanya terjadi jika dikehendaki oleh sang penguasa otoriter dan tentu saja bentuk-bentuk perubahan itu sesuai dengan kehendak dirinya. Analisisnya dalam teori ini pers tidak sesuai dengan konsep dasarnya yaitu sebagai media yang menginformasikan secara fakta dan bersifat netral.

Dalam teori ini media terkesan sangat terkekang dan diatur semuanya oleh Negara dan tidak boleh ada suatu informasi yang merugikan bagi Negara dan terkesan sangat berpihak. System pers semacam ini tidak cocok diterapkan di Negara demokratis.

Referensi: Tommy Setiawan. 2009. Teori Ototarian & Libertarian