TPB banyak digunakan dalam penelitian di berbagai bidang studi yang berbeda dan terbukti berhasil menjelaskan niat (intentions) ke arah melakukan perilaku (behaviors) tertentu.
Berikut bagan hubungan antar variabel yang ada pada Theory of Planned Behavior.
Gambar Theory of Planned Behavior (Sumber Ajzen, 2005; hlm 118)
Hubungan antara ketiga dimensi penentu niat dan perilaku dapat dilihat di Gambar 1, dengan penjelasan singkat dari masing-masing komponen sebagai berikut:
1. Attitude towards the behavior, di dalam tulisan ini disebut Sikap
Ajzen (2005) mengemukakan bahwa sikap terhadap perilaku ini ditentukan oleh keyakinan mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau secara singkat disebut keyakinan-keyakinan perilaku (behavioral beliefs). Keyakinan berkaitan dengan penilaian subjektif individu terhadap dunia sekitarnya, pemahaman individu mengenai diri dan lingkungannya, dilakukan dengan cara menghubungkan antara perilaku tertentu dengan berbagai manfaat atau kerugian yang mungkin diperoleh apabila individu melakukan atau tidak melakukannya.
Keyakinan ini dapat memperkuat sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan evaluasi yang dilakukan individu, diperoleh data bahwa perilaku itu dapat memberikan keuntungan baginya (Gambar Keyakinan sebagai sumber informasi dari intensi dan perilaku ). Ilustrasi berikut dapat memperjelas keterkaitan keyakinan dan evaluasi dalam membentuk sikap terhadap perilaku tertentu.
Misalnya, sikap terhadap penggunaan email untuk mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan (A). Salah satu manfaat yang dipersepsi individu dari menggunakan email adalah dapat mengkomunikasikan dengan cepat.
Pernyataan bahwa penggunaan email dapat membantu individu mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dengan cepat adalah sesuatu yang netral dan bersifat objektif. Pemahaman ini dapat diperoleh individu berdasarkan pengalaman langsung atau dapat juga dari cerita dan pengalaman orang lain.
Seberapa kuat keyakinan individu mengenai penggunaan email (b) dalam mempercepat (i) komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaannya sehari-hari bersifat subjektif. Berdasarkan evaluasi (e) yang dilakukan individu selama ini bahwa mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dengan cepat (i) membuatnya merasa lebih puas dan senang.
Perasaan senang dan puas merupakan perasaan subjektif individu yang sangat spesifik, dapat berbeda dengan yang dirasakan orang lain karena sudah ada pengaruh harapan, dalam hal ini pekerjaan yang berkualitas maupun cepat dan nilai-nilai yang dianut individu.
Apabila karena sesuatu hal seorang individu tidak mengharapkan dapat mengkomunikasikan halhal yang berkaitan dengan pekerjaannya dengan cepat maka evaluasi yang diberikan mungkin rendah. Interaksi antara kekuatan keyakinan individu mengenai meningkatnya kecepatan komunikasi melalui email dengan rasa puas karena komunikasi yang dilakukan menjadi lebih cepat inilah yang menentukan sikap individu berupa suka atau tidak suka menggunakan email dalam bekerja.
Contoh manfaat penggunaan email yang lain misalnya adalah mudah didokumentasi (b1), dapat dilakukan di mana saja (b2), mudah digunakan (b3) dan lain-lain.
Fishbein maupun Ajzen kemudian merumuskan ke dalam model matematika, yaitu: (sumber: Ajzen, 2005; hal. 124)
dimana,
α = Proporsi
A = Sikap terhadap penggunaan email
b = Keyakinan
e = Evaluasi
i = Indeks
Sebagaimana layaknya variabel dalam penelitian umumnya maka keyakinan mengenai perilaku ini perlu didefinisikan secara operasional terlebih dahulu. Berhubung keyakinan ini bersifat unik individual dan akan digunakan untuk menyusun pertanyaan dalam alat pengukur berbasis TPB maka keyakinan individu mengenai perilaku yang akan diprediksi dapat diperoleh melalui studi pendahuluan, dengan cara menanyakan kepada calon responden tentang apa yang mereka yakini tentang sesuatu hal yang menjadi objek sikap
Gambar Keyakinan sebagai sumber informasi dari intensi dan perilaku (Sumber: Ajzen, 2005;
hlm. 126)
2. Subjective Norm, di dalam tulisan ini disebut Norma Subjektif
Norma subjektif adalah persepsi individu terhadap harapan dari orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya (significant others) mengenai dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tertentu. Persepsi ini sifatnya subjektif sehingga dimensi ini disebut norma subjektif. Sebagaimana sikap terhadap perilaku, norma subjektif juga dipengaruhi oleh keyakinan.
Bedanya adalah apabila sikap terhadap perilaku merupakan fungsi dari keyakinan individu terhadap perilaku yang akan dilakukan (behavioral belief) maka norma subjektif adalah fungsi dari keyakinan individu yang diperoleh atas pandangan orang-orang lain terhadap objek sikap yang berhubungan dengan individu (normative belief).
Di dalam kehidupan sehari-hari, hubungan yang dijalin setiap individu dapat dikategorikan ke dalam hubungan yang bersifat vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan antara atasan– bawahan; guru–murid; profesor–mahasiswa, atau orang tua–anak.
Hubungan horizontal terjadi antara individu dengan teman-teman atau orang lain yang bersifat setara. Pola hubungan ini dapat menjadi sumber perbedaan persepsi. Pada hubungan yang bersifat vertikal, harapan dapat dipersepsi sebagai tuntutan (injunctive) sehingga pembentukan norma subjektif akan diwarnai oleh adanya motivasi untuk patuh terhadap tuntutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku.
Sebaliknya, pada hubungan yang bersifat horizontal harapan terbentuk secara deskriptif sehingga konsekuensinya adalah keinginan untuk meniru atau mengikuti (identifikasi) perilaku orang lain di sekitarnya. Ilustrasi berikut dapat digunakan untuk memperjelas norma subjektif.
Misalnya orang-orang yang dipersepsi menginginkan atau tidak menginginkan individu menggunakan email (SN). Pendapat bahwa seorang atasan (i) adalah orang yang menginginkan bawahannya menggunakan email karena dapat mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan lebih cepat adalah betul.
Keyakinan normatif adalah persepsi individu mengenai seberapa kuat keinginan (n) atasan (i) ini agar bawahannya menggunakan email dalam bekerja. Norma subjektif mengenai penggunaan email akan semakin kuat apabila keyakinan normatif tersebut berinteraksi dengan motivasi individu untuk memenuhi keinginan (m) atasan (i) dalam menggunakan email ini.
Ilustrasi lain mengenai norma subjektif ini adalah pendapat bahwa rekan kerja yang menggunakan email dijadikan model bagi individu. Seberapa kuat kesan yang muncul pada individu mengenai kecepatan (i) komunikasi yang dilakukan oleh rekan kerja (n) adalah keyakinan normatif yang bersifat deskriptif. Keinginan individu untuk mengidentifikasi (m) dirinya dengan rekan kerja (i) dalam menggunakan email untuk mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Interaksi antara keyakinan normatif deskriptif dengan keinginan mengidentifikasi adalah contoh lain dari norma subjektif.
Contoh orang lain yang berpengaruh secara vertikal ini adalah atasan (c1), orang tua (c2), supervisor (c3). Sedangkan orang lain yang mumpunyai hubungan horizontal adalah rekan kerja (c4), tokoh di film iklan (c5), dan lain-lain.
Rumus matematika mengenai norma subjektif yang dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) dan Ajzen (2005) adalah sebagai berikut:
(Sumber: Ajzen, 2005; hlm. 125)
dimana,
α = proporsi
SN = Norma subjektif
n = Keyakinan normatif
m = Motivasi
i = Indeks
Norma subjektif mengenai suatu perilaku akan tinggi apabila keyakinan normatif maupun motivasi untuk memenuhi harapan orang-orang yang berhubungan secara vertikal ini sama-sama tinggi. Untuk hubungan yang bersifat horizontal, norma subjektif akan tinggi apabila keyakinan individu bahwa rekan kerja sangat diuntungkan karena menggunakan email untuk berkomunikasi dan keinginan mengidentifikasi perilaku rekan kerja dalam menggunakan email tersebut sangat kuat.
3. Perceived behavioral control, di dalam tulisan ini disebut Persepsi kontrol perilaku
Persepsi kontrol perilaku atau dapat disebut dengan kontrol perilaku adalah persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu perilaku tertentu (Ajzen, 2005).
Untuk menjelaskan mengenai persepsi kontrol perilaku ini, Ajzen membedakannya dengan locus of control atau pusat kendali yang dikemukakan oleh Rotter (1975; 1990). Pusat kendali berkaitan dengan keyakinan individu yang relatif stabil dalam segala situasi. Persepsi kontrol perilaku dapat berubah tergantung situasi dan jenis perilaku yang akan dilakukan. Pusat kendali berkaitan dengan keyakinan individu tentang keberhasilannya melakukan segala sesuatu, apakah tergantung pada usahanya sendiri atau faktor lain di luar dirinya (Rotter, 1975).
Jika keyakinan ini berkaitan dengan pencapaian yang spesifik, misalnya keyakinan dapat menguasai keterampilan menggunakan komputer dengan baik disebut kontrol perilaku (perceived behavioral control). Konsep lain yang agak dekat maksudnya dengan persepsi kontrol perilaku adalah self efficacy atau efikasi diri yang dikemukakan Bandura (dalam Ajzen, 2005).
Efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa ia akan berhasil menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu (Bandura, 1977; Pajares, 1996).
Konsep persepsi kontrol perilaku yang dikemukakan oleh Ajzen ini dipengaruhi oleh riset yang dilakukan oleh Bandura mengenai efikasi diri dengan menambahkan pentingnya kontrol yang dimiliki individu terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mewujudkan perilaku tertentu (Ajzen, 2002).
Dalam TPB, Ajzen (2005) mengemukakan bahwa persepsi kontrol perilaku ditentukan oleh keyakinan individu mengenai ketersediaan sumberdaya berupa peralatan, kompatibelitas, kompetensi, dan kesempatan (control belief strength) yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan diprediksi dan besarnya peran sumber daya tersebut (power of control factor) dalam mewujudkan perilaku tersebut.
Semakin kuat keyakinan terhadap tersedianya sumberdaya dan kesempatan yang dimiliki individu berkaitan dengan perilaku tertentu dan semakin besar peranan sumberdaya tersebut maka semakin kuat persepsi kontrol individu terhadap perilaku tersebut.
Individu yang mempunyai persepsi kontrol tinggi akan terus terdorong dan berusaha untuk berhasil karena ia yakin dengan sumberdaya dan kesempatan yang ada, kesulitan yang dihadapinya dapat diatasi. Misalnya jika ada dua orang yang sama-sama ingin belajar menggunakan komputer, walaupun keduanya mencoba dan berlatih, individu yang mempunyai kontrol perilaku tinggi tahu mengenai tindakan yang perlu diambilnya pada saat mengalami kesulitan.
Ia tahu mengenai beberapa hal yang perlu dipersiapkan, kepada siapa ia meminta bantuan apabila mengalami kesulitan sehingga individu ini akan terus berusaha lebih keras. Itulah sebabnya Ajzen (2005) mengemukakan bahwa kontrol perilaku ini bersama dengan intensi erat hubungannya dengan dilakukan atau tidak dilakukannya sebuah perilaku.
Ilustrasi yang dapat digunakan untuk memperjelas pemahaman mengenai kontrol perilaku ini adalah perilaku penggunaan email untuk mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan (PBC). Salah satu faktor yang memungkinkan penggunaan email dalam bekerja adalah tersedianya alat yang memungkinkan penggunaan email, misalnya komputer dengan koneksi internet. Individu yang memiliki komputer yang terhubung dengan internet (ci) setiap saat merasa yakin dapat menggunakan email akan memiliki keyakinan kontrol yang tinggi. Kepemilikan komputer yang terhubung dengan internet ini dipersepsi individu sebagai syarat utama (pi) untuk dapat mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan melalui email.
Faktor lain yang dapat dijadikan contoh mempengaruhi keyakinan individu dalam menggunakan email misalnya kompetensi dalam mengoperasikan software email (c1), ketersediaan waktu (c2), dan lain-lain. Ajzen mengemukakan rumus matematika untuk menjelaskan kontrol perilaku yang dipersepsi ini adalah sebagai berikut: ipi PCB c
(sumber: Ajzen, 2005; hlm. 125)
dimana,
α = proporsi
PBC = kontrol perilaku
c = faktor kontrol.
p = kekuatan pengaruh faktor kontrol
i = indeks
Dari rumusan tersebut di atas, seorang individu dapat menggunakan email bila ia memiliki komputer dengan koneksi internet (c1), dapat mengoperasikan software email (c2), memiliki cukup waktu untuk menulis email (c3), dan tahu kemana atau kepada siapa meminta bantuan pada saat mengalami gangguan dalam menggunakan email (c4) akan memiliki keyakinan kontrol (control belief) yang tinggi.
Keyakinan individu bahwa ia memiliki kompetensi yang baik disertai dengan tersedianya fasilitas dapat meningkatkan kontrol perilaku. Ajzen (2005) mengatakan bahwa pada kondisi kontrol perilaku kuat dan meyakinkan, individu mempunyai informasi yang jelas mengenai perilaku dimaksud, kemudian ia dapat mencoba dan berlatih sehingga semakin yakin akan kemampuannya dalam bidang tersebut (self efficacy), maka kontrol perilaku ini memperkuat motivasi sehingga secara langsung menentukan perilaku (lihat garis putus-putus pada Gambar Keyakinan sebagai sumber informasi dari intensi dan perilaku).
Sebaliknya, apabila kontrol perilaku ini lemah sehingga individu tidak mendapat cukup kesempatan mencoba dan tidak tahu kepada siapa ia dapat memperoleh bantuan pada saat mengalami hambatan, maka keyakinan kontrol tidak secara langsung mempengaruhi perilaku tetapi hanya memperkuat intensi saja.
Sumber : Neila Ramdhani, “Penyusunan Alat Pengukur Berbasis Theory of Planned Behavior”