Apa yang dimaksud dengan Teori Muted Group dalam Ilmu Komunikasi?

Komunikasi

Teori kelompok bungkam berasal dari karya seorang Antropolog Sosial yaitu Edwin Ardener dan Shirley Ardener yang menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari urutan tingkat sosial menentukan suatu sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan, jadi kelompok dominan di dalam teori kelompok bungkam inilah yang mendominasi atau memegang kekuasaan. Shirley Ardener menjelaskan bahwa wanita atau anggota dari kelompok bawah mana pun memang berbicara, tetapi kata-kata mereka berjatuhan pada telinga yang tuli, pada akhirnya tentu saja menjadi tidak diucapkan, yang berarti berbicara atau menyampaikan sesuatu pada kelompok dominan tidak akan mendapatkan tanggapan oleh karenanya menjadi percuma atau sia-sia. Kelompok bungkam dianggap tidak pandai berbicara oleh sistem bahasa kelompok yang dominan. Pada dasarnya munculnya kelompok bungkam adalah disebabkan tekanan dan tindasan terhadap suatu kelompok baik dalam bentuk ras, gender, pekerjaan dan lain-lain. Atau dimana suatu kelompok itu sulit menyampaikan gagasan atau ide-ide mereka, mereka merasa kecil diantara kelompok dominan.

Teori kebungkaman (Muted Group Theory) fokus pada cara komunikasi kelompok dominan dalam menekan atau membungkam kata, ide dan wacana dari kelompok marjinal.[1] Teori ini memandang bahwa bahasa dalam budaya tertentu tidak memungkinkan bagi semua orang untuk berbicara dengan setara.[2]

Dengan kata lain, bahasa tidak diciptakan setara oleh semua penuturnya.[1] Perempuan (dan kelompok marjinal lainnya) tidak sebebas laki-laki dalam menyampaikan ucapannya kapanpun dan dimanapun mereka ingin berkata.[2] Laki-laki membuat kata-kata dan makna budaya sehingga memungkinkan mereka untuk mengungkapkan ide-ide.[3] Di sisi lain, perempuan tidak bisa mengungkapkan ide-ide mereka.[3] Hal ini membuat perempuan menjadi kelompok yang bungkam.[3]

Sejarah

Teori kebungkaman berasal dari seorang antropolog sosial, Edwin Ardener dan Shirley Ardener yang fokus pada hierarki dan struktur sosial.[2] Edwin Ardener menekankan bahwa kelompok yang berada pada posisi atas hierarki sosial menentukan sistem komunikasi budayanya.[2] Kelompok dengan kekuasaan yang kecil, seperti perempuan, orang miskin dan orang dengan kulit berwarna harus mengikuti sistem komunikasi yang kelompok dominan terapkan.[2]

Banyak aplikasi dari teori ini fokus pada perempuan sebagai kelompok bungkam.[2] Akan tetapi, Mark Orbe dan Michael Hechter mengatakan bahwa teori ini dapat diaplikasikan dalam kelompok marjinal mana pun.[2] Di Amerika Serikat, kaum Eropa Amerika, laki-laki, heteroseksual, muda, kelas menengah dan atas serta orang kristen merupakan kelompok dominan, sedangkan kaum Afrika Amerika, gey, lesbi, tua dan kelas bawah merupakan kelompok marjinal.[2] [4]

Asumsi

Terdapat tiga asumsi dari teori kebungkaman.[2] [4]

  • Pertama, perempuan memandang dunia secara berbeda dibandingkan laki-laki karena perbedaan pengalaman dan aktivitas yang berasal dari pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki.[2] [3] Perempuan bertanggung jawab untuk pekerjaan di rumah, sedangkan laki-laki bertanggung jawab untuk pekerjaan di luar rumah atau dengan kata lain perempuan bekerja mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki bekerja mencari nafkah bagi keluarganya.[2]

    Setelah revolusi industri, banyak perempuan yang bekerja di luar rumah atau menjadi wanita karier.[2] Meskipun begitu, mereka tetap mempunyai tanggung jawab untuk mengurus rumah dan anaknya.[2] Hal ini disebut Arlie Hochschild sebagai waktu kerja kedua (second shift), yakni saat perempuan menghabiskan waktu delapan jam untuk kariernya dan pulang ke rumah untuk mengurus rumah tangga.[2]

  • Kedua, karena dominansi politik mereka, sistem persepsi laki-laki adalah dominan, menghambat kebebasan perempuan untuk berekspresi.[2] [3] Asumsi ini menekankan bahwa perempuan sulit untuk mengekspresikan apa yang ingin mereka katakan.[2]

    Teori ini mengemukakan bahwa orang akan sulit berbicara jika tidak ada kata yang dapat menggambarkan apa yang ada dipikirannya.[2]

  • Ketiga, untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah model mereka sendiri berdasarkan ketentuan yang dapat diterima oleh sistem ekspresi laki-laki.[2] [3] Perempuan harus mengkonseptualisasi apa yang ada dipikirannya, lalu mencari kalimat yang sesuai dengan pikiran laki-laki.[2] Dengan kata lain, perempuan melakukan pengkodean terhadap apa yang ia pikirkan.[2]

Kritik

Beberapa kritikus berpendapat bahwa perempuan seperti Hillary Rodham Clinton, Christine Todd Whitman, Condoleeza Rice dan Elizabeth Dole dapat berbicara di forum publik.[5] Mereka bukanlah kelompok yang bungkam.[5] Selain itu, tidak banyak bukti empiris untuk mendukung teori ini. Hal ini dikarenakan teori kebungkaman berasal dari dua puluh tahun yang lalu.[5]


Referensi :
[1] “Muted Group Theory”.
[2] Richard West, Lynn H. Turner (2010). Introducing Communication Theory. McGraw Hill. p. 484-492. ISBN 978-007-127634-4.
[3] “Muted Group Theory”.
[4] Lissett Osuna & Cory Griffin. “Muted Group Theory” (PDF).
[5] “Muted Group Theory”.