Apa yang dimaksud dengan Teori Libertarian dalam Ilmu Komunikasi?

image

Konsep libertarian lebih banyak di negara-negara anglo saxtion daripada kontinental. Perkembangan di anglo saxtion lebih besifat empiris atau berada dalam “Das Sein”.

Ketika kebebasan politik, agama, dan ekonomi semakin tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pencerahan, maka tumbuh pula tuntutan akan perlunya kebebasan pers. Dalam kondisi seperti itulah muncul teori ini, yang mencapai pincaknya pada abad ke-19.

Dalam Teori Pers Bebas (Liberian theory), manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak benar. Pers menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenara, bukan sebagai alat pemerintah.

Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya.

Dengan demikian, pers seharusnya bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.

Teori pers bebas ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers, oleh karena itu pers bebas juga paling banyak memberikan informasi, paling banyak memberikan hiburan, dan paling banyak terjual tirasnya. Tetapi, di balik paling banyak dalam ketiga segi itu, pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit pula mengadakan kontrol terhadap pemerintah.

Dalam perusahaan pers semacam ini memang terdapat sedikit sekali pembatasan-pembatasan serta aturan-aturan yang membatasi. Sebagian besar aturan-aturan yang ada hanyalah untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemiliknya sendiri.

Teori pers liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekali muncul pada abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadap pers. Teori pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya, yaitu teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan dan pengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekan keberadaan pers.

Selama dua ratus tabun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini, bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaan keempat) dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial.

image

Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression), sampai sekarang pers tetap dianggap sebagai fourth estate sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Kata-kata Napoleon Bonaparte,

" Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus", masih berlaku.

Pers diperlukan, tetapi juga ditakuti.

Konsep pers yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis dari kontrol otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang.

Pada kenyataannya, definisi tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari, dan mengkritik pemerintah. lni disebut “hak berbicara politik”.

Sejarah mencatat, fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers.

Dengan ujian yang dibutuhkan ini—hak berbicara politik— konsep Barat jarang digunakan dalam dunia saat ini, meskipun banyak pemerintah otoritaian memberikan basa-basi. Pers yang benar-benar bebas dan independen hanya ada di sebagian kecil negara-negara Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:

  1. Suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan sipil perorangan (di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang menjamin kebebasan individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti Amerika Serikat dan Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik ketimbang Perancis atau Itali yang menerapkan tradisi civil law;

  2. Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikan melek-huruf;

  3. Pemerintahan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurang- kurangnya dengan oposisi politik yang sah;

  4. Modal cukup atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media komunikasi berita;

  5. Tradisi yang mapan mengenai kemandirian jurnalistik.

Daftar bangsa yang memenuhi kriteria pers Barat ini termasuk America Serikat, Inggris, Kanada, Swedia, Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Austria, Australia, Selandia Baru, Swiss, Norwegia, Denmark, Irlandia, Itali, dan Israel, disamping negara yang sangat maju dan telah terbaratkan, seperti Jepang.

Para wartawan di banyak negara lain mendukung dan mempraktekkan konsep ini, tetapi karena pergeseran politik, pers mereka bergerak maju-mundur antara kebebasan dan pengendalian (pengawasan). Negara-negara ini termasuk Spanyol, Yunani, India, Kolombia, Turki, Venezuela, Srilangka, dan Portugal.

Pada umumnya , bangsa-bangsa Barat yang memenuhi kriteria tersebut sedikit jumlahnya. Mereka sering melakukan pengumpulan berita dunia dari bangsa- bangsa lain dan korespondennya bahkan sering bersitegang dengan rezim otoritarian. Karena konsep Barat berpegang kuat bahwa pemerintah–di mana pun pemerintah itu-- tidak boleh mengganggu proses pengumpulan dan penyebaran berita.

Pers, menurut teori, harus mandiri dari kekuasaan dan harus berada di luar pemerintah sebagai kekuatan negara yang keempat yang dilindungi oleh hukum dan adat istiadat dari kesewenang-wenangan campur tangan pemerintah. Tidak banyak wartawan di dunia bekerja dalam kondisi semacam ini.

Pemikiran jurnalistik Barat merupakan hasil sampingan dari Zaman Pencerahan (abad pertengahan) dan tradisi politik liberal seperti tercermin pada tulisan John Milton, John Locke, Thomas Jefferson, dan John Stuart Mill. Utamanya, harus ada keragaman pandangan dan sumber berita di “bursa pemikiran” agar khalayak dapat memilih apa yang ingin dibaca dan dipercaya. Tak seorang pun dan kekuasaan manapun, spritual atau temporal, memiliki monopoli kebenaran.

Judge Learned Hand mengatakan:

Bahwa industri surat kabar merupakan satu dari seluruh kepentingan umum yang paling vital; penycbardn berita dari banyak sumber yang berbeda-beda dengan banyak tahap adalah mungkin. Ini menunjukan bahwa kesimpulan yang benar agaknya mungkin diperoleh lewat banyaknya lidah daripada melalui bentuk seleksi otoritaian. Bagi banyak orang, ini merupakan pendapat yang selalu konyol; tapi kita telah mempertaruhkannya dengan segala milik kita.

Yang mendasai proses untuk “membenarkan diri-sendiri” (self-righting) adalah keyakinan bahwa warga negara akan menentukan pilihan yang benar terhadap apa yang harus dipercayainya jika cukup suara didengar dan pemerintah berlepas tangan. Dalam konteks intemasional, ini berarti harus ada arus informasi bebas yang tidak dihalangi oleh campur tagan negara manapun. Pemerintah di manapun tidak boleh merintani pengumpulan berita yang sah.

lni tidak berati bahwa media berita Barat tidak memiliki kekurangan yang serius. Kebebasan politik tidak menghalangi kontrol ekonomi dan campur tangan terhadap praktek jumalistik. Suatu sistem media yang dimiliki swasta, dalam derajat yang berbeda, akan mencerminkan kepentingan dan kepedulian pemiliknya.

image

Supaya tetap bebas dari kontrolluar, termasuk pemerintah, media harus kuat secara finansial dan menguntungkan. Tapi keunggulan dan keuntungannya tidak memiliki arah yang sama, meskipun beberapa media berita yang terbaik sangat menguntungkan pemiliknya. Bagaimanapun, mencari uang merupakan tujuan utama jumalistik. Dan bagi mereka, kemandirian serta pelayanan publik kurang memiliki makna (atau sedikit diberi perhatian).

Lagi pula. Keanekaragaman di tingkat nasional dan intemasional tampak sedang mengalami kemerosotan. Meningkatnya monopoli media dan pemusatan pemilikan telah mengurangi jumlah suara bebas yang terdengar di perdebatan terbuka. Semakin banyak surat kabar, majalah, dan stasiun siaran yang menjadi bagian dari konglomerasi media yang sangat besar.

Di beberapa negara demokrasi seperti Norwegia dan Swedia, pemerintah memelihara keanekaragaman pandangan politik dengan memberikan bantuan kepada surat kabar dari berbagai partai politik, suatu praktek yang bukan tanpa bahaya potensial terhadap kebebasan pers.

Beberapa perusahaan dalam konsep Barat jatuh di bawah rubrik tanggung jawab sosial (social responsibility). lni berarti bahwa media mempunyai kewajiban yang jelas dengan memberikan pelayanan publik termasuk di dalamnya ukuran- ukuran profesional bagi wartawan serta pelaporan yang jujur dan objektif. Media juga berkewajiban menjamin bahwa semua suara dan pendapat masyarakat di dengar.

Lagi pula, pemerintah diberi peran terbatas dalam mencampuri urusan operasional media dan dalam mengatur peraturan jika kepentingan umum tidak akan dilayani secukupnya. Peraturan pemerintah dalam siaran di negara-negara Barat menunjukkan contoh yang baik mengenai kedudukan tanggung jawab sosial.

Pada umumnya, negara-negara di dunia, khususnya di negara-negara barat yang memiliki sistem pemerintahan liberal, teori pers seperti ini sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara masyarakatnya. Teori pers liberal ini pada masa sekarang sudah dipandang secara luas sebagai prinsip pengabsahan yang utama bagi media cetak dalam demokrasi liberal.

Pada dasarnya teori pers liberal adalah merupakan teori yang sederhana dan merupakan teori yang berisi atau menimbulkan ketidakonsistenan mendasar. Dalam bentuk yang paling dasar, teori ini hanya menyatakan bahwa seseorang seyogyanya diberi dan memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, gagasan, ataupun ide-idenya.

Hal ini disebabkan kerena teori pers ini menganggap kebebasan untuk menyatakan pendapat, pikiran, gagasan, ataupun ide mutlak merupakan hak asasi manusia.

Setiap orang dianggap memiliki hak untuk berpendapat secara bebas dan berhak pula untuk mengungkapkannya, selain itu setiap orang juga memiliki hak untuk bergabung dan berserikat dengan yang lain. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai yang mendasarinya identik dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh negara demokrasi liberal, yaitu adanya keyakinan akan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran dan kemajuan, dan pada akhimya adanya kedaulatan kehendak rakyat.

Kesulitan dan kemungkinan ketidakkonsistenannya hanya timbul pada saat menguraikan kebebasan pers sebagai hak fundamental, menerapkan batasan aplikasinya, dan merinci bentuk lembaga yang paling tepat untuk mengungkapkan pendapat dan mencari perlindungan dalam masyarakat tertentu.

Teori ini pernah dipandang sebagai ungkapan penentangan terhadap kolonialisme (pertama sekali di koloni Amerika); sebagai wadah menyalurkan perbedaan pendapat yang berguna; sebagai argumentasi bagi kebebasan beragama; sebagai sarana menentang kesewenangan; sebagai sarana menegakan kebenaran, dan pada intinyasebagai suatu hal yang menjadi keharusan praktis.

konglomerasi media

Teori pers bebas dipandang sebagai komponen yang penting dari amsyarakat yang bebas dan rasional. Perkiraan yang paling mendekati kebenaran akan timbul dari pengungkapan sudut pandang lain dan kemajuan bagi masyarakat akan bergantung pada pilihan pemecahan yang “benar” daripada yang “salah”.

Dalam teori politik tentang pencerahan (enlightement), diasumsikan bahwa dalam setiap kasus, terdapat titik temu antara kemaslahatan masyarakat, kesejahteraan umum, dan kemaslahatan perseorangan dalam masyarakat itu, yang hanya dapat mereka persepsikan dan ungkapkan. Kelebihan pers liberal dalam kaitannya dengan hal tersebut yaitu bahwa dengan pers bebas, dimungkinkan adanya pengungkapan dan memungkinkan masyarakat memenuhi aspirasinya.

Kebenaran, kesejahteraan, dan kebebebasan harus berjalan seiring dan pengendalian pers yang ketat dan berlebihan pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketidaknalaran dan penekanan yang juga akan berdampak pada masyarakat. Pers yang terkekang tidak akan mungkin dapat menjadi sarana informasi dan aspirasi masyarakat yang sejati. Pers yang terbelenggu tidak akan pernah bisa menjadi sarana pembelajaran dan pendewasaan masyarakat dalam menghadapi realitas kehidupan yang sebenarnya.

Meskipun dalam teorinya, pers liberal merupakan bentuk pers yang paling ideal, tetapi dalam aplikasinya kebebasan pers masih jauh dari apa yang diharapkan. Persoalan tentang apakah hal itu merupakan tujuan pers itu sendiri, sebagai sarana untuk mencapai tujuan, atau merupakan hak mutlak belum benar-benar terwujudkan. Ada yang menyatakan bahwa apabila kebebasan pers itu dipasung sampai tingkat yang mengancam moral yang baik dan kewenangan negara, maka hal itu harus dikekang.

Menurut de Sola Pool (1973),

Tidak ada negara yang akan benar-benar mentolerir kebebasan pers yang mengakibatkan perpecahan negara dan membuka pintu banjir kritik terhadap pemerintah yang dipilih secara bebas yang memimpin negara itu.

Di hampir semua masyarakat yang telah mengakui kebebasan pers, pemecahannya adalah dengan membebaskan pers dari sensor pendahuluan, tetapi pers tidak bebas dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur setiap konsekuensi aktivitasnya yang melanggar hak orang lain dan tuntutan yang sah dari masyarakat. Perlindungan orang-orang secara individu, kelompok, minoritas (atas reputasi, harta benda, kemerdekaan pribadi, perkembangan moral), serta keamanan dan bahkan kehormatan negara seringkali lebih diutamakan daripada nilai mutlak kebebasan untuk mempublikasikannya.

Banyak kesukaran yang juga telah timbul dari bentuk lembaga dimana kebebasan pers telah mewujud. Dalam banyak keadaan, kebebasan pers telah menyatu dengan hak pemilikan dan telah digunakan untuk mewujudkan hak memiliki dan menggunakan sarana publikasi tanpa kekangan atau campur tangan pemerintah.

Pembenaran utama bagi pandangan ini, yaitu bahwa disamping adanya asumsi bahwa kebebasan pada umumnya berarti kebebasan dari pemerintah, adalah melalui pengalihan analogi “pasar gagasan bebas” yang diungkapkan di atas pasar bebas yang sesungguhnya dimana komunikasi merupakan hal yang baik untuk diproduksi dan dijual.

Oleh karena itu, kebebasan mempublikasikan barns dipandang sebagai hak milik yang mengamankan keragaman sebanyak yang ada dan diungkapkan oleh konsumen bebas yang mengajukan permintaan mereka ke dalam pasar. Dengan demikian, kebebasan pers disamakan dengan pemilikan media secara privat dan bebas dari campur tangan dalam pasar. Tidak hanya mengandung monopoli dalam pers dan media lain yang membuat proposisi ini sangat meragukan tetapi kadar kepentingan finansial eksternal dalam pers bagi banyak orang tampaknya juga merupakan sumber kendala yang sama potensinya seperti setiap tindakan pemerintah atas kemerdekaan mengungkapkan pendapat. Tambahan pula, dalam suasana modern, gagasan tentang pernilikan pribadi yang menjamin hak seseorang untuk menerbitkan tampaknya mustahil.

Masalah dan ketidakkonsistenan tertentu lainnya juga dapat dikemukakan.

  • Pertama, tidak jelas sejauh mana teori itu dapat dipandang berlaku bagi siaran publik, yang sekarang bertanggung jawab bagi sebagian besar aktivitas media dalam masyarakat yang masih tetap terkait dengan idaman kemerdekaan perorangan, dan sesungguhnya, sebarapa jauh hal itu berlaku bagi lingkup aktivitas komunikasi yang penting lainnya dimana kebebesan itu mungkin sama pentingnya seperti dalam pendidikan, kebudayaan, dan kesenian.

  • Kedua, teori ini tampaknya dirancang untuk melindungi opini dan keyakinan serta kurang bemilai “informasi”.

  • Ketiga, teori ini telah terlalu sering dirumuskan untuk kepentingan pemilik media dan tidak dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat tentang hak para editor dan wartawan yang dapat dipersoalkan dalam pers, atau hak audiens, atau pewaris lain yang mungkin, atau korban dari pengungkapan bebas.

  • Keempat, teori ini mengharamkan pengendalian wajib tetapi tidak memberikan cara yang jelas untuk membatasi berbagai tekanan yang ditujukan pada media, khususnya, namun bukan satu-satunya, yang timbul dari lingkungan pasar.

Untuk jelasnya, maka gagasan tentang teori pers bebas dapat diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut:

  • Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga.

  • Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.

  • Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu.

  • Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan semua halo

  • Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.

  • Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.

  • Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan ekspor atau penerimaan dan pengiriman pesan di dalam negeri maupun antar negara.

  • Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka.

Walaupun pada dasamya kebebasan pers merupakan idaman, bukan hanya bagi kalangan pers itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi konsumen informasi melalu pemberitaan pers tetapi kebebasan pers dalam prakteknya tidaklah benar-benar bebas dari segala bentuk kepentingan.

Pers yang bebas bukan berarti pers yang benar-benar independen dan tidak memihak. Karena bagaimanapun juga, pers itu memiliki kepentingan tertentu.

Jikapun lepas dari pemerintah, pers bebas tetap bersandar pada kepentingan para pemilik modal, dalam hal ini pemilik media yang ditumpangi oleh para pelaku pers. Terkadang hal inilah yang menjadi dilema bagi kalangan pelaku pers, dimana di satu pihak ia berupaya untuk dapat memberikan dan menyajikan informasi yang benar-benar “netral” , berimbang dan sesuai dengan fakta, tetapi dipihak lainnya ia harus dapat memberikan keuntungan, baik materil maupun non materil kepada para pemilik modal yang menaunginya.

image

Dalam negara yang menganut sistem politik liberal dan menaganut asas-asas demokrasi, kehidupan persnya sangat kental dengan adanya persaingan yang bebas. Maksudnya yaitu, setiap usaha penerbitan pers secara alami berusaha untuk menarik sebesar-besamya khayalak pembaca melalui pemberitaannya masing-masing. Adanya persaingan ini, membuat para pelaku pers berlomba-lomba mencari, menulis, dan menyajikan informasi-informasi yang “besar” dan boombastis untuk menarik perhatian khalayak.

Hal seperti ini merupakan hal yang lumrah, karena bagaimanapun juga pers tidak hanya melulu mengatasnamakan idealisme semata, namun dibalik semuanya itu, terdapat politik bisnis, yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Dengan adanya persaingan ini, maka pemberitaan pers menjadi beragam. Satu hal yang positif dari keadaan seperti ini, yaitu bahwa masyarakat dapat menjadi lebih dewasa, dan dapat mengarahkan masyarakat untuk menjadi rasional dan dapat berpikir logis. Hal ini disebabkan karena dengan adanya informasi yang variatif, maka masyarakat akan dapat memilah-milih sendiri informasi yang dipercayainya benar sesuai dengan rasionalitasnya masing-masing dan hasil pengamatannya di lapangan.

Kemajuan teknologi yang pesat juga membawa pengaruh terhadap posisi dan keberadaan pers. Teknologi yang canggih membuat masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat dengan relatif mudah mengakses dan mendapatkan informasi- informasi dari negara lain. Televisi, radio, koran, majalah, dan juga bahkan internet mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan informasi dalam waktu yang relatif singkat. Fenomena seperti ini menjadikan pers semakin bersaing dalam menyajikan pemberitaan.

Sumber : C. H. Herutomo , “Perbandingan Ssistem Pers”.