Apa yang dimaksud dengan Teori Kritis ?

Teori kritis

Teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Aliran Frankfurt, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia.

Apa yang dimaksud dengan Teori Kritis ?

Para tokoh Frankfurt School membedakan teori kritis dengan “teori ilmiah” dalam mainstream metodologi yang positivistik (atau “tradisional”). Perbedaan tersebut, perlu pula dipahami sebagai kritik teori-teori kritis terhadap positivisme.

Perbedaan epistemologis tersebut menciptakan perbedaan mendasar lainnya antara Teori-teori Kritis dengan teori-teori positivistik, yakni perbedaan mengenai tujuan dari teori itu sendiri. “Teori ilmiah”, dalam positivisme atau “traditional science” merupakan bagian dari sistem deduktrif yang antara lain melibatkan suatu proses yang dikenal sebagai hypothetico-deductive method.

Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk melakukan eksplanasi tentang, dan prediksi terhadap, suatu fenomena sosial. Dalam pengertian tersebut teori bisa didefinisikan seperti yang dikemukakan Kerlinger (1985):

“. . . a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomenon by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena”

Atau seperti yang dirumuskan oleh Wallace (1979):

“Theories . . . explain empirical generalizations that are already known, and they predict empirical generalizations that are still unknown”.

Eksplanasi dalam teori-teori tradisional hampir secara spesifik mengambil bentuk sebagai suatu causal explanation (lihat Littlejohn, 2005) dimana sejumlah fenomena saling dihubungkan dalam rantai kausalitas (sebab – akibat). Berdasarkan definisi itu, suatu teori yang memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan prediksi terhadap suatu fenomena sosial, dinilai memiliki kegunaan instrumental, antara lain untuk mengelola atau mengontrol suatu fenomena sosial sebagaimana dikehendaki. “Kekuatan” atau kegunaan sebuah teori ilmiah dengan demikian ditentukan oleh predictive power dan explanative power teori tersebut.

Di lain pihak, dalam paradigma teori-teori kritis, teori merupakan suatu kritik untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang teramati secara empirik:

“Theory is not a deductive system of interconnected axioms and laws, but a critique that reveals true conditions behind virtual reality, false consciousness and beliefs. (Golding and Murdock, dalam Graham 1992).

Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi, namun eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar (seperti “false class consciousness”). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau hegemoni (lihat a.l., Horkheimer, dalam Bohman, 2005).
Dalam perkembangannya, tujuan serta kepentingan yang menjadi motivasi teori-teori kritis dapat disimpulkan lebih spesifik lagi, antara lain melalui pernyataan Kellner (1990) sebagai berikut:

“Critical theory promotes attempts to achieve liberation from forces of domination and class rule . . . Critical theory is motivated by interest in progressive social change, in promoting values such as democracy, freedom, individuality, happiness, and community”

Lebih dari itu, teori-teori kritis bertujuan melakukan transformasi, atau perobahan sesuai dengan kepentingan para pelaku sosial yang menjadi subjek teori. Suatu teori kritis ditujukan bagi sekelompok agents, demi penyadaran diri mereka dalam proses emansipasi dan pencerahan. Suatu proses emansipasi dan pencerahan merupakan transisi dari sebuah tahap awal (initial stage) dimana para agents memiliki “kesadaran palsu” (false consciousness), mengalami dominasi atau hegemoni, dan eksploitasi, menuju suatu tahap akhir (final stage) yang dikehendaki, dimana mereka terbebas, serta bisa mengaktualisasikan diri (Geuss, 1981).

Dari segi tujuan melakukan transformasi tersebut, teori-teori kritis sebenarnya juga melakukan eksplanasi, tetapi bukan dalam pengertian causal explanation, melainkan practical explanation (lihat Littlejohn, 2005), yakni menjelaskan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi awal menuju suatu kondisi akhir yang dikehendaki. Itu sekaligus berarti explanatory power yang dimiliki teori-teori kritis harus dipahami berbeda dari apa yang difahami para ilmuwan teori-teori “tradisional”.

Dari segi tujuan teori-teori kritis, maka prediksi bukan pula merupakan tujuan dari berteori. Dengan kata lain, predictive power bukan merupakan tolok ukur untuk menilai kekuatan suatu teori kritis. Hal ini penting disadari. Sebab, teori-teori kritis seringkali dikritik dan dinilai telah gagal, akibat tidak mampu membuat prediksi, atau karena situasi yang “diramalkan” tidak terbukti. Sementara di lain pihak, tidak tepat bila pemikiran Marcuse, contohnya, dinilai telah membuat semacam prediksi, yang mengatakan bahwa bourgareeois art akan berakhir. Yang sebenarnya ia lakukan adalah “mengantisipasi” berakhirnya bourgeois art tersebut karena hal itu merupakan suatu demand or requirement of rationality. Artinya, Marcuse sebenarnya memperlihatkan apa yang harus dipenuhi demi terciptanya suatu kondisi tertentu.

Analisis Marcuse tersebut jelas berbeda dengan analisis prediktif, contohnya seperti yang dilakukan Benjamin, ketika membuat sebuah deskripsi suatu proses dimana seni akhirnya akan kehilangan aura-nya (Habermas, sebagaimana dikutip Geuss, 1981).

Dimensi tujuan praktis teori-teori kritis, dengan demikian juga lebih bersifat normatif, yang secara sadar dilekatkan dengan suatu filosofi moral tertentu. Misi normatif tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui suatu interplay antara seperangkat norma- norma filosofi sosial dengan ilmu-ilmu sosial.

Oleh karena itu pula, sebuah teori kritis, dalam penilaian Horkheimer (dalam Bohman, 2005), bisa dianggap mencukupi (adequate) bila memenuhi 3 (tiga) kriteria, yakni teori tersebut harus :

  1. Explanatory, yakni harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang ada. Pengertian explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam teori, antara lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak seharusnya, yang wajar dan tidak wajar.

  2. Practical, antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial yang mampu merobah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang dinilai tidak seharusnya demikian.

  3. Normative; terkait dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus menyajikan norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial, maupun mengetengahkan tujuan-tujuan praktis yang bisa dicapai melalui suatu transformasi sosial.

Kesemuanya itu terkait dengan konsepsi para teoretisi kritis tentang struktur kognitif suatu teori kritis, dan juga dengan konsepsi yang mereka miliki mengenai objektivitas, serta kedudukan pembuktian empirik dalam teori-teori kritis.

Struktur Kognitif dan Objektivitas


Dimensi tujuan dari teori-teori kritis membantu kita untuk memahami penyimpulan bahwa karakteristik teori-teori sekurangnya mencakup tiga hal:

  • Pertama, berbeda dengan teori-teori “ilmiah” dalam pengertian tradisional yang cenderung value free, maka teori-teori kritis menonjolkan posisi sebagai “panduan bertindak bagi manusia” dalam arti teori-teori itu :

    • bertujuan untuk memproduksi pencerahan dalam diri pelaku sosial, yang lebih lanjut mampu memberdayakan mereka untuk menentukan “kepentingan sejati” mereka, dan

    • secara inherent bersifat emansipatoris, dengan menempatkan diri sebagai pelaku pembebasan dari berbagai bentuk dominasi dan hegemoni (lihat a.l., Geuss, 1981).

  • Kedua, teori-teori kritis, seperti hal-nya teori-teori ilmiah tradisional memiliki substansi kognitif, dalam pengertian teori-teori tersebut merupakan suatu bentuk pengetahuan. Ketiga, dari segi epistemologi, menampilkan perbedaan yang amat mendasar dengan teori-teori “ilmiah tradisional”. Sebab, teori-teori kritis bersifat reflective, sementara teori-teori ilmiah tradisional lebih bersifat objectifying.

Atas dasar karakteristik tersebut di atas, maka suatu teori kritis, (tepatnya critical theoretical framework) dalam struktur pengembangannya yang lengkap terdiri atas 4 (empat) teori yang berbeda, dan lebih lanjut bisa dirinci menjadi 10 (sepuluh) teori yang konsisten satu sama lain, serta secara sistematis saling berhubungan, dalam arti bahwa elemen dari teori tertentu harus bisa digunakan sebagai bagian teori lainnya (Fay, 1987) :

  • Theory of false consciousness (atau ideology critique), terdiri atas teori-teori yang:

    1. Menunjukkan bagaimana kesadaran diri sekelompok individu sebenarnya merupakan kesadaran palsu (tidak mencerminkan fakta pengalaman hidup individu ‘yang sebenarnya’)

    2. Menjelaskan proses bagaimana individu sampai memiliki kesadaran palsu tersebut.

    3. Mendeskripsikan kesadaran alternatif yang lebih “unggul” atau yang “seharusnya”.

  • Theory of crisis, berisi serangkaian teori yang intinya berupaya untuk:

    1. Menguraikan konsepsi tentang krisis sosial

    2. Menunjukkan adanya krisis sosial tersebut dalam masyarakat

    3. Mendeskripsikan perkembangan historis dari krisis tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan kesadaran palsu individu dan basis struktural masyarakat

  • Theory of education yang bertujuan untuk:

    1. Menyajikan deskripsi kondisi-kondisi yang diperlukan dan mencukupi (necessary condition dan sufficient condition) bagi penyadaran dan pencerahan masyarakat…

    2. Menunjukkan apakah kondisi-kondisi tersebut telah terpenuhi.

  • Theory of transformative action, yang utamanya adalah bertujuan untuk:

    1. Mengisolisasi aspek-aspek tertentu dalam masyarakat yang harus dirobah untuk mengatasi krisis sosial dan mengurangi ketidakpuasan dalam masyarakat.

    2. Memberi rincian suatu rencana program aksi, yang antara lain menyangkut siapa atau kelompok apa yang diharapkan menjadi pelaku transformasi sosial, dan juga sekurangnya menyangkut pula ide-ide umum tentang bagaimana kelompok tersebut bisa melaksanakan tranformasi sosial.

Tetapi tentu kita banyak menjumpai teori-teori kritis yang tidak mencakup secara lengkap elemen-lemen struktur seperti yang diuraikan di atas. Teori kritis Habermas tentang late capitalism, seperti yang diuraikan dalam Legitimation Crisis (1975), lebih terfokus pada teori-teori ke 4 s/d 6 (sebagai bagian dari theory of crisis).
Struktur
teori-teori kritis tersebut menciptakan perbedaan yang lebih jauh dengan “teori-teori ilmiah” yang positivistik. Dalam konsepsi positivisme, suatu teori ilmiah harus bersifat “objectifying”, yakni para ilmuwan membuat pembedaan antara teori dengan “objek” yang dirujuk teori:

“. . . the theory isn’t itself part of the object-domain it describes. Newton’s theory isn’t itself a particle in motion” (Geuss, 1981).

Konsepsi objektivitas teori-teori positivistik juga berarti peneliti bisa dan harus mengambil jarak dengan fenomena yang diteliti, serta menjadikannya sebagai objek di luar dirinya. Kosekuensi-nya, penelitian dan teori haruslah value free, bebas dari penilaian yang berpihak. Objektivitas itu pula yang menjadi salah satu pokok utama quality criteria atau goodness dalam penelitian positivistik, yakni yang dipergunakan untuk menilai “kualitas” atau keabsahan suatu kajian atau penelitian ilmiah.

Teori-teori kritis, sebaliknya, menolak membuat klaim tentang “objektifitas”. Teori- teori kritis bersifat reflective atau self-referential. Artinya, teori kritis selalu merupakan bagian dari domain objek yang dirujuk: “critical theories are always in part about themselves” (Geuss, 1981). Sebab, sebagai suatu teori sosial, maka suatu teori kritis merupakan refleksi dari keyakinan normative atau beliefs yang dimiliki pelaku sosial – sekurangnya kelompok ilmuwan yang berteori itu sendiri – tentang masyarakat mereka. Konsepsi semacam itu menempatkan teori-teori kritis dalam practical theoretical paradigm, yakni yang dalam penggambaran Littlejohn (2005) berbeda dengan teori-teori tradisional, antara lain karena:

“Theories affect the reality they are covering . . .theoriest are not separate from the worlds they create but are part of those worlds . . . people will be operating in an environment created by the theoriest . . .”.

Sejajar dengan pemahaman tersebut, teori tentang hegemoni, atau ideological state apparatus, merupakan refleksi resistansi terhadap suatu hegemoni dan praktek- praktek yang dijalankan oleh suatu apparatus ideologi negara; teori itupun menjadi bagian ideologi atau program aksi agen yang melakukan resistansi. Karenanya, bisa pula dinyatakan teori-teori kritis merupakan value-ladden atau value-conscious theories, dengan melakukan pemihakan-pemihakan yang relevan, sesuai filosofi sosial dan moral tentang human emancipation, atau human liberation yang menjadi tujuan teori-teori itu sendiri.

Pembuktian Empirik dalam Teori-teori Kritis


“Teori ilmiah” dalam konsepsi positivisme, menuntut konfirmasi empirik, melalui observasi dan eksperimen, dengan menerapkan seperangkat metode-metode tertentu mulai dari metode pengumpulan data, hingga metode analisis; kesemuanya tak jarang disertai pengukuran atau kuantifikasi realitas social yang diteliti. Itu semua terkait dengan kriteria falsifiability dan testability, yakni apakah suatu teori bisa diturunkan menjadi konsep-konsep atau variabel-variabel yang memungkinkan untuk diuji secara empirik (lihat, a.l., Shoemaker, Tankard, Lasorsa, 2004; Wallace, 1979).

Karenanya, dalam sistimatika penelitian positivistik, khususnya yang menerapkan hypothetico-deductive method, suatu kerangka teori sebenarnya merupakan theoretic hypothesis (jawaban teoretis sementara terhadap masalah penelitiani). Hipotesis teoretik itulah yang kemudian.harus diturunkan menjadi research hypothesis (dan statistical hypothesis, dalam kasus penelitian kuantitatif). Tujuannya agar memungkinkan teori tersebut diuji dengan data empiris yang ada.

Di lain pihak, kerangka teori dalam paradigma Teori-teori Kritis tidak diturunkan sebagai hipotesis untuk diuji dihadapan data empirik yang ada. Sebab, Teori-teori Kritis memiliki konsepsi tersendiri tentang kaitan antara teori dengan dunia empirik, sebagaimana dikemukakan Golding dan Murdock, dalam Curran dan Gurevitch, 1991):

“The critical perspectives assumes a realist conception of the phenomena it studies, in the simple sense that the theoretical constructs it works with exist in the real world. They are not merely phenomenal”

Dengan kata lain, “kebenaran” tentang realitas yang dikaji, telah melekat dalam eksplanasi yang dikemukakan teori itu sendiri; atau, apa yang dinyatakan teori merupakan realitas yang sebenarnya. Sedangkan, data empirik yang ada bisa dinilai sekadar virtual reality, ataupun refleksi false consciousnes para agen sosial yang dirujuk teori.

Karena itu, suatu teori kritis, lebih mengutamakan practical explanation, menyangkut persoalan action and structure (atau dalam bahasa Giddens, interplay between agents and structure) dalam melakukan suatu transformasi sosial. Karenanya pula, suatu teori kritis dinilai cognitively acceptable (dan valid) hanya bila

  1. teori tersebut membongkar “kesadaran palsu” dan bisa diterima dan bertahan sebagai refleksi diri para pelaku sosial yang dirujuk teori, dan
  2. teori tersebut bisa digunakan sebagai dasar melakukan transformasi.

Pembuktian empiris dalam teori-teori kritis, dengan demikian juga terkait dengan keharusan agar pertama-tama para agen-agen pelaku sosial yang dirujuk teori, mengadopsi teori itu sendiri: Kondisi empirik tertentu (yang menurut teori kritis dinilai sebagai kondisi yang “seharusnya” ada) akan tercipta bila para agen sosial mengadopsi teori itu sendiri, dan kemudian bertindak atas dasar teori yang mereka adopsi tersebut. Suatu hegemoni akan roboh bila masyarakat pertama-tama menyadari adanya hegemoni, dan bertindak terhadapnya, atau menjadikan teori kontra-hegemoni sebagai rujukan ideologis bagi aksi-aksi sosial mereka (akibatnya, teori-teori kritis seringkali dinilai sebagai teori yang memuat elemen self-fulfilling prophecy).

Kedudukan pembuktian empiris tersebut terkait dengan masalah predictive power suatu teori kritis yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu. Dalam contoh tentang hegemoni di atas, berakhirnya hegemoni bukanlah suatu kondisi yang diramalkan akan terjadi, tetapi suatu kondisi yang dikehendaki demi pembebasan manusia; dan untuk menciptakan kondisi yang dikehendaki itu, agen sosial harus menyadari adanya hegemoni, dan melakukan kontra hegemoni.

Pemahaman semacam itu serupa dengan pengujian validitas dalam critical constructivist research (lihat Clark, 2005a):

“The test of validity in the case of critical constructivist research is directly related to its stated purpose of inquiry. The research is valid to the extent that the analysis provides insight into the system of oppression and domination that limit human freedoms, and on a secondary level, in its usefulness in countering such systems.”

Masalah pembuktian empirik tersebut terkait dengan konsepsi teori-teori kritis tentang kebenaran data sosial empirik. Pemahaman bahwa “objective reality” dapat diungkap melalui koleksi dan sistematisasi data yang secara metodologi benar, dinilai oleh teoretisi kritis sebagai suatu “naïve empiricism” (Alvesson dan Skoldberg, 2000).

Mazhab Teori-teori Kritis juga menolak untuk menurunkan persoalan epistemologi menjadi sekadar masalah metodologi. Secara epistemologis, mazhab pemikiran tersebut mengedepankan realist epistemology, yang menilai pemahaman mengenai suatu realitas tidak terbentuk semata-mata oleh pengamatan inderawi melalui suatu metodologi tertentu belaka, melainkan juga oleh penjelasan rasional. Dengan kata lain, dalam kacamata seorang realis

“ . . . reality is made up of both what we see and how we explain what we see” (Mosco, 1996).

Contohnya, bila melalui suatu metode penelitian tertentu diperoleh data empirik yang memperlihatkan sebagian besar pelaku sosial menilai suatu sistem ekonomi neo- liberal dimana mereka hidup sebagai suatu realitas yang wajar – atau alami, tidak terelakkan, “objektif” , sudah logis dan seharusnya demikian, atau sebagai satu- satunya alternatif – maka di satu pihak para ilmuwan positivist melihat itu semua sebagai kondisi objektif dari para pelaku sosial.

Namun di lain pihak, ilmuwan teori-teori kritis akan melihat apa yang diungkapkan para pelaku sosial tersebut sebagai suatu “virtual reality”, atau refleksi “false consciousness” yang melekat dalam diri pelaku sosial, sebagai hasil hegemoni ideologi-ideologi dominan.

Validitas dan Goodness Teori Kritis


Berdasarkan uraian terdahulu dalam tulisan ini, maka goodness suatu teori kritis mencakup :

  • Pertama, kemampuan untuk membuat eksplanasi tentang kondisi-kondisi yang tidak seharusnya, seperti adanya “kesadaran palsu”.

  • Kedua, kemampuan untuk mengkaitkan ekplanasi tentang kondisi tersebut dengan penjelasan mengenai aksi (atau praxis) yang menjadi persyaratan agar kondisi tertentu bisa diciptakan.

  • Ketiga, goodness suatu teori kritis juga ditentukan oleh kemampuan untuk membuat eksplanasi secara holistik, tidak menjelaskan, contohnya, masalah kemiskinan semata-mata sebagai masalah ketidak-mampuan individu, terisolir dari faktor-faktor struktural, distribusi kekuasaan dan sebagainya.

Disamping ketiga hal itu, maka goodness suatu teori kritis juga tergantung pada kemampuan untuk :

  1. mendefinisikan secara konseptual konteks historis spesifik, serta

  2. menjelaskan latar-belakang historis dari fenomena yang dijelaskan oleh teori.

Teori-teori ilmiah tradisional yang positivistik, umumnya merupakan nomothetic theories, yakni yang digambarkan sebagai teori-teori yang mencari universal or general laws (Littlejohn, 2005), ataupun mencari invariant regularities dan fixed patterns tentang proses-proses dan relasi sosial, Konsepsi teori-teori nomothetik dalam bidang ilmu alam dan fisika, telah dijadikan model oleh kalangan ilmuwan sosial positivists yang meyakini adanya kaidah-kaidah atau hukum-hukum sosial yang berlaku umum atau universal.

Konsekuensinya, external validity – apakah hasil penelitian yang diperoleh bisa digeneralisasi, atau sekurangnya menjadi supporting evidence bagi suatu nomothetic theory – menjadi salah satu quality criteria bagi penelitian-penelitian dalam tradisi positivisme (lihat a.l. Guba dan Lincoln, dalam Denzin dan Lincoln. Eds. 1994).

Dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, itu semua memunculkan kritik dari kubu teoretisi kritis terhadap teori-teori nomotetik yang dominan dalam paradigma positivisme. Antara lain dinilai bahwa teori-teori nomotetik tersebut, bersifat a-historis (tidak merujuk pada suatu konteks historis tertentu, atau mengabaikan kondisi kesejarahan spesifik yang ada) serta tidak kontektual (tercabut dari konteks spesifik sosial-ekonomi subjek yang dirujuk teori). Dalam konsepsi teoretisi kritis, fenomena sosial harus diamati dalam konteks kesejarahannya yang utuh (lihat, a.l. Alvesson dan Skoldberg, 2000), dan teori-teori kritis sendiri haruslah merupakan teori yang historis, yang dikaitkan pada suatu konteks kesejarahan spesifik tertentu.:

“The critical perspective holds that knowledge must be situated historically and cannot be a matter of universal and timeless abstract and abstractly related . . . knowledge, and the justification given to knowledge claims, must be ‘historize’ . . .”” (Smith, dalam Egon Guba 1990).

Sesuai dengan substansi ekplanasi dalam teori-teori kritis (seperti “kesadaran palsu” yang disebabkan oleh hegemoni ideologi dominan dalam suatu sistem ekonomi kapitalis), maka konteks historis spesifik tersebut secara langsung ataupun tidak merujuk pada suatu tahap perkembangan tertentu dari kapitalisme yang dinilai relevan Dalam kajian critical political economy, contohnya, konteks historis spesifik dari analisis yang dilakukan merujuk pada tahapan yang secara konseptual disebut late capitalism:

“. . . critical analysis is historically located. It is specifically interested in the investigation and description of late capitalism, which it defines as both dynamic and problematic, as undergoing change and as substantially imperfect.” (Golding and Murdock, dalam Curran and Gurevitcth, 1991).

Tetapi penting dicatat, sejumlah pakar menilai konteks historis spesifik yang dirujuk dalam suatu kajian ekonomi-politik tidak cukup hanya dikaitkan dengan penggambaran kapitalisme dalam karakteristik-nya yang umum (karakteristik umum apa yang disebut late capitalism itu pun masih dinilai kurang mencukupi). Sebab, selain kapitalisme merupakan sistem yang dinamis dan masih terus bergerak dalam suatu process of becoming, analisis yang dilakukan juga harus konkrit dan spesifik, Bottomore dan Rubel (1963) menyatakan:

“ It is not enough simply to outline the general features of capitalism; it is also necessary to show how they were developing and changing in response to concrete historical situation”

Analisis tentang hegemoni atau aparatus ideologi negara dalam era Orde Baru, contohnya, harus dikaitkan dengan karakteristik spesifik dan konkrit dari kapitalisme era Orde Baru – yang dinamis dan pada dasarnya merupakan respon yang secara kontinyu dilakukan oleh suatu rejim authoritarian state corporatism terhadap perkembangan neo-liberalisme global, dan karenanya memberi ciri spesifik terhadap beroperasinya aparatus ideologi negara (lihat, a.l., Hidayat, 2002).

Konsepsi bahwa analisis teori-teori kritis merupakan suatu analisis yang historis, menjadikan historical situatedness sebagai salah satu kriterium untuk menilai kualitas analisis.

Selain mampu secara konseptual merumuskan penggal historis yang secara spesifik dijelaskan oleh teori, maka pengertian historical situatedness juga merujuk pada pengertian bahwa analisis-analisis yang dilakukan memperhitungkan latar belakang sejarah atau faktor-faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender ataupun latar belakang historis lainnya dari situasi yang dikaji saat ini “take account of the social, political, cultural, economic, ethnic, and gender antecedents of the studied situation” (Guba and Lincoln, dalam Denzin and Lincoln, 1994).

Dengan demikian, analisis teori-teori kritis, sebagai contoh, tidak melihat “pasar” sebagai suatu realitas yang “objektif”, yang sepenuhnya berada di luar kepentingan- kepentingan subjektif berbagai kelompok sosial dalam suatu rentang historis. “Pasar”, dalam analisis teori-teori kritis selalu merupakan suatu konstruksi sosial, yang memiliki sejarah tersendiri. Artinya, konstruksi “pasar” yang ada saat ini harus dilihat sebagai suatu produk relasi sosial yang berakar ke masa lampau dan yang mungkin ditandai oleh adanya ketimpangan distibusi kekuasaan.

Sumber : Dedy Nur Hidayat, Teori-teori Kritis dan Teori-teori Ilmiah, Universitas Indonesia

Referensi
  • Alt, James E. and Kenneth A. Shepsle. Eds. (1994). Perspective on Positive Political Economy. Cambridge, New York: Cambridge University Press.
  • Alvesson, Mats, and Kaj Skolberg. (2000). Reflexive Methodology. New Vistas for Qualitative Research. London: SAGE Publications.
  • Bohman, James (2005). “Critical Theory”. In Edward N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Spring 2005 Edition. Diambil dari URL: http:://plato.stanford.edu/archives/spr2005/entries/critical-theory.
  • Bottomore, Tom (2002). The Frankfurt School: and its critics. London and New York: Routledge.
  • Bottomore, Tom, and Rubel, Maximilien (1963). Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. Hammondsworth: Penguin.
  • Budiman, Fransisco B. (2003). Kritik Ideologi. Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Jakarta: Buku Baik.
  • Caporaso, James A. and David P. Levine (1992). Theories of Political Economy. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Chesney, Robert W., Ellen M. Wood, and Jaohn B. Foster, eds. (1998). Capitalism and the Information Age: The Political Economy of the Global Communication Revolution. New York:: Monthly Review Press.
  • Clark, Lynn Schofield (2005a), “Critical Theory and Constructivism: Theory and Methods for the Teens and New Media “. Diambil 5 Sept. 2005 dari URL: http://www.colorado.edu/journalism/mcm/qmr-crit-theory.htm.
  • Clark, Lynn Schofield (2005b), “Constructivist Methods in the Symbolism, Media and the Lifecourse and the Symbolism, Meaning and the New Media”. Diambil 9 Sept.
  • 2005 dari URL http://www.colorado.edu/journalism/mcm/qmr-crit-theory.htm. Curran, James, and Michael Gurevitch. Eds. (1992). Mass Media and Society. London. New York: Edward Arnold.
  • Dant, Tim (2003). Critical Social Theory. London, Thousan Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
  • Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (1994). Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications.
  • Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (2000). Handbook of Qualitative Research. Second Edition. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications. Downing , John, et al. Eds. (2004). The SAGE Handbook of Media Studies.
  • Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications.
  • Fay, Brian (1987). Critical Social Science. Ithaca, N.Y. : Cornell University Press. Geusss, Raymond (1982). The Idea of a Critical Theory: Habermas & the Frankfurt School. London, New York: Cambridge University Press.
  • Golding, Peter, and Graham Murdock. Eds. (1997). The Political Economy of the Media. Volume I. Cheltenham, Brookfield: Edward Elgar Publishing Co.
  • Guba, Egon G. Ed. (1990). The Paradigm Dialog. Newbury Park, London, New Delhi: SAGE Publications.
  • Habermas, Jurgen (1973). Legitimation Crisis. Boston: Beacon Press. Habermas, Jurgen (1981) The Theory of Communicative Action, London: Beacon Press
  • Held, David (1980) Introduction to Critical Theory: Horkheimer to Habermas. London, Melbourne, Sydney: Hutchinson.
  • Hidayat, Dedy N. (2002). “Don’t worry Clinton is Megawati’s brother: The mass media, Rumours, Economic Structural Transformation and Delegitimization of Suhartos New Order”. Gazette: International Journal for Communication Studies. Vol. 64 No. 2. April.
  • Horkheimer, Max (1993). Between Philosophy and Social Sciences. Cambridge: MIT

Press.

  • Kellner, Douglas (1990). “Contested Terrain and the Hegemony of Capital”, dalam Kellner, Television and the Crisis of Democracy. Boulder, CO: Westview Press.
  • Kerlinger, Fred N. (1986). Foundations of Behavioral Research. Chicago: Holt, Rhinehart and Winston, Inc
  • Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss (2005). Theories of Human Communication. Eigth Edition. New York: Wadsworth.
  • MacEwan, Arthur (1999). Neo-Liberalism or Democracy? Economic Strategy. Markets, and Alternatives for the 21st Century. New York, N.Y. : Zed Books. Morrow, Ramond (1994). Critical Theory and Methodology. Thousand Oaks, CA.: SAGE Publications.
  • Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
  • Powell, Jason L., and Harry R. Moody (2003). “The Challenge of Modernity: Habermas and Critical Theory”. Theory & Science Vol 4 No. 01.
  • Rush, Fred. (2004). The Cambridge Companion to Critical Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Shoemaker, Pamela J. , James W. Tankard, and Dominic L. Larossa (2004). How to Build Social Science Theories. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications, Inc.
  • Stevenson, Nick (2002). Understanding Media Ciultures. Second Edition. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
  • Sudibyo, Agus (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogya, Jakarta: LkiS, ISAI. Wallace, Walter (1979). The Logic of Science in Sociology. New York: Aldine Publishing Company.

Teori kritis merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :

  • Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.

  • Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.

  • Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.

  • Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.

Pada dasarnya Teori Kritis Aliran Frankfurt ingin memperjelas struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri serta melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan kebudayaan secara rasional. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.