Apa yang dimaksud dengan Teori Kontingensi atau Contingency Theory?

Teori kontingensi

Teori kontingensi adalah teori organisasi yang mengklaim bahwa tidak ada cara terbaik untuk mengatur perusahaan, untuk memimpin perusahaan, atau untuk membuat sebuah keputusan. Sebaliknya, tindakan optimal adalah kontingen (tergantung) pada situasi internal dan eksternal. Seorang pemimpin kontingen secara efektif menerapkan gaya kepemimpinan mereka sendiri pada situasi yang tepat.

Apa yang dimaksud dengan Teori Kontingensi atau Contingency Theory ?

Pendekatan kontingensi dipengaruhi oleh dua program penelitian sebelumnya yang berusaha menunjukkan perilaku kepemimpinan yang efektif. Selama tahun 1950-an, para peneliti di Ohio State University memberikan kuesioner untuk mengukur berbagai kemungkinan perilaku pemimpin dalam berbagai konteks organisasi. Hasilnya adalah dua jenis perilaku pemimpin yang terbukti efektif adalah :

  1. perilaku pemimpin pertimbangan ( consideration leader behaviors) dimana pemimpin membangun hubungan baik dan hubungan interpersonal dan menunjukkan dukungan dan kepedulian terhadap bawahan dan
  1. perilaku pemimpin struktural ( initiating structure leader behaviors) dimana seorang pemimpin mengembangkan struktur organisasi (misalnya, tugas peran, perencanaan, penjadwalan) untuk memastikan penyelesaian tugas dan pencapaian tujuan.

Selain itu, peneliti dari University of Michigan’s Survey Research Center menyarankan bahwa teori-teori sebelumnya seperti birokrasi Weber dan manajemen ilmiah Taylor telah gagal karena mereka mengabaikan bahwa gaya manajemen dan struktur organisasi sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek lingkungan: faktor kontingensi. Tidak mungkin ada “satu cara terbaik” untuk model kepemimpinan atau struktur organisasi.

Gareth Morgan dalam bukunya Images of Organization menggambarkan gagasan utama yang mendasari teori kontingensi, yaitu :

  • Organisasi adalah sistem terbuka yang memerlukan manajemen yang cermat untuk memuaskan dan menyeimbangkan kebutuhan internal dan untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan

  • Tidak ada satu cara pengorganisasian yang terbaik. Bentuk yang paling sesuai sangat tergantung pada jenis tugas atau lingkungan yang sedang dihadapi.

  • Diatas segalanya, manajemen harus peduli untuk mencapai arah dan kesesuain yang terbaik

  • Berbagai jenis atau spesies organisasi diperlukan dalam berbagai jenis lingkungan

Menurut Robbins (2001) Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi kepemimpinan. Adapun lima teori yang termasuk ke dalam teori kontingensi adalah :

Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model)

Fiedler (dalam Robbins, 2001) mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan. Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama yang menentukan efekftivitas kepemimpinan.

Teori Situasional Hersey dan Blanchad

Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard (dalam Robbins, 2001) bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya. Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah dimensi penting yang kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan, seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu.

Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota

Menurut teori ini, George Graen (dalam Robbins, 2001) menciptakan kelompok-dalam dan kelompok-luar, dan bawahan dengan status kelompok dalam akan mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka. Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong keputusan kategorisasi dari pemimpin.

Teori Jalur-Tujuan (House’s Path Goal Theory)

Dikembangkan oleh Robert House (dalam Robbins, 2001), teori jalantujuan mengambil elemen-elemen dari penelitian kepemimpinan Ohio State University tentang struktur awal dan tenggang rasa dan teori pengharapan motivasi. inti dari teori jalan-tujuan (path-goal theory) adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi, dukungan, atau sumber daya lain yang dibutuhkan kepada para pengikut mereka bisa mencapai berbagai tujuan mereka. Istilah jalan-tujuan berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin yang efektif semestinya bisa menunjukkan jalan guna membantu pengikut-pengikut mereka mendapatkan hal-hal yang mereka butuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai rintangannya.

Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton

Victor Vroom dan Phillip Yetton (dalam Robbins, 2001) mengemukakan bahwa teori ini merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan.

Teori Kontingensi biasa disebut juga sebagai teori situsional. Pandangan teori situasional dalam organisasi, memandang bahwa dalam penyelesaian masalah organisasi dapat dituntaskan dengan menggunakan metode-metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Teori situasional dikembangkan oleh Paul Hersey dan Keneth H. Blancard.

Teori situasional merupakan perkembangan yang mutakhir dari teori organisasi. Model ini didasarkan pada hubungan garis lengkung atau curva linier diantara perilaku tugas dan perilaku hubungan dan kematangan. Teori ini mencoba menyiapkan perangkat organisasi dengan beberapa pengertian mengenai hubungan diantara para anggota organisasi yang efektif dan tarap kematangan yang dimiliki anggota organisasi tersebut. Teori situasional organisasi memiliki beberapa variabel diantaranya manajer, bawahan, atasan, organisasi, tuntutan kerja dan waktu, yang terlibat dalam teori situasional, namun penekanan tetap terletak pada hubungan manajer dengan anggota organisasi. Anggota organisasi merupakan faktor yang paling menentukan dalam suatu peristiwa dalam organisasi.

Teori ini berasumsi bahwa manajer yang efektif tergantung pada taraf kematangan anggota organisasi, dan kemampuan manajer untuk menyesuaikan orientasinya, baik orientasi tugas ataupun hubungan antar manusia. Makin matang anggota organisasi, manajer harus mengurangi tingkat struktur tugas dan menambah orientasi hubungannya. Pada saat individu atau kelompok bergerak dan mencapai rata-rata kematangan manajer harus mengurangi baik hubungannya maupun orientasi tugasnya. Keadaan ini berlangsung sampai anggota organisasi mencapai kematangan penuh, dimana mereka sudah dapat mandiri baik dilihat dari kematangan kerjanya ataupun kematangan psikologisnya. Jadi teori situasional ini menekankan pada kesesuaian antara gaya manajer dengan tingkat kematangan anggota organisasinya.

Teori kontingensi memandang organisasi sebagai sistem terbuka yang memiliki hubungan dengan lingkungan dan lingkungan juga mempengaruhi proses internal organisasi. Menurut pendekatan ini, sebuah organisasi sangat dipengaruhi atas lingkungan karena kebutuhan akan sumber daya dan klien untuk mempertahankan keberadaannya. Kebutuhan bisa dipenuhi dengan beradaptasi terhadap lingkungan. Implikasinya, organisasi harus mengubah tatanan internal untuk merespon berbagai lingkungan sehingga muncul adagium no one best way to organize.

Menurut teori kontingensi, organisasi bertindak sesuai dengan kondisi lingkungan. Atas dasar itu, Kasim merumuskan konsep tersebut dalam dimensi dimensi teori organisasi yang terdiri atas dimensi mikro-makro dan persepektif tindakan.

Berikut penjelasan terkait dengan dimensi-dimensi yang ada pada teori kontingensi,

  • Aktor : Organisasi sebagai sistem terbuka yang terdiri atas subsistem yang saling berkaitan.

  • Proses : Mengembangkan antisipasi strategis dalam lingkungan, menyesuaikan subsistem dan interaksinya.

  • Keputusan : Hasil interaksi antarsubsistem. Tujuan mencari “kecocokan terbaik” struktur organisasi dan lingkungan.

  • Power : Struktur otoritas ambigu, tergantung kepada konfigurasi subsistem.

  • Informasi/ Nilai-Nilai : Pengumpulan informasi secara strategis (sesuai dengan karakteristik lingkungan). Nilai bersifat ambigu.

Teori Contingency dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh pendekatan sistem. Teori Contingency melihat teori organisasi sudah seharusnya berlandaskan pada konsep sistem yang terbuka (open system concept). Ini merupakan pandangan yang berbeda dari pandangan para ahli teori klasik yang melihat organisasi merupakan suatu sistem yang tertutup.

Inti dari Teori Contingency ini pada dasarnya terletak pada pandangannya dalam melihat hubungan antar organisasi dan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya. Menurut teori ini, hubungan antara satu organisasi dengan lainnya maupun dengan lingkungannya secara keseluruhan, sangat tergantung pada situasi (depens on the situations). Pandangan yang demikian menuntut baik para ahli teori organisasi maupun para praktisi atau manajer untuk lebih mengembangkan kemampuan beradaptasi, lebih luwes dan lebih sederhana dalam proses pengambilan keputusan yang dibuatnya. Teori Contingency ini menolak prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh para ahli teori klasik dan menggantinya dengan pandangan yang lebih adaptif dalam memahami organisasi.

Tokoh utama yang memberikan dorongan besar bagi perkembangan teori organisasi pada pendekatan atau teori Contingency adalah Joan Woodward, terutama melalui studinya mengenai efek atau dampak dari teknologi terhadap organisasi. Hasil studi yang dilakukan Woodward menunjukkan bahwa berbagai organisasi perusahaan atau firma yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh para ahli teori organisasi kalsik, tidak selalu mengalami keberhasilan dari sudut pandang komersial. Woodward menyatakan bahwa variasi dalam hal struktur organisasi berkaitan erat dengan perbedaanperbedaan teknis dalam proses produksi. Menurut Woodward, penggunaan teknologi menuntut adanya kesesuaian baik pada tingkat individu maupun organisasi, dimana kesesuaian ini hanya dapat dilakukan melalui penyusunan struktur organisasi. Menurut Woodward, suatu organisasi perusahaan atau firma secara komersial berhasil jika antara fungsi dan bentuk dari organisasi itu bersifat saling melengkapi.

Dalam studi yang dilakukannya, Woodward melihat bahwa dalam prakteknya, prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh para ahli teori organisasi klasik tidak selalu bisa dilaksanakan. Struktur organisasi merupakan hasil dari berbagai variabel, tidak sesederhana seperti yang dipikirkan para ahli teori organisasi klasik. Menurut Woodward, pengetahuan sudah seharusnya menggantikan kepercayaan dan hal itu hanya bisa dilakukan melalui penelitian dan penelaahan secara ilmiah.

Gagasan Woodward merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan teori organisasi sejak masa itu sampai sekarang, terutama pengetahuan mengenai bagaimana suatu organisasi bekerja. Penjelasan mengenai hubungan secara langsung antara teknologi dengan struktur sosial dari organisasi merupakan temuan utama dari studi yang dilakukan oleh Woodward. Organisasi yang menerapkan teknologi yang makin canggih, cenderung untuk secara langsung mengembangkan sesuai dengan kecanggihan teknologi itu suatu struktur organisasi yang sesuai pula, misalnya dalam bentuk panjangnya rantai perintah, lingkup pengawasan dari pemimpin tertinggi suatu organisasi. rasio perbandingan antara para manajer dengan pekerja dan sebagainya.

Penemuan Woodward itu merupakan sesuatu yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya oleh para ahli teori organisasi klasik, dan disisi yang lain, sumbangannya yung berupa pengujian dan analisis mengenai fenomena organisasi yang yang berlandaskan pada data-data empiris merupakan sumbangan yang sangat penting dan mendasar bagi perkembangan teori Contingency. Bahkan karena kontribusinya ini, adalah pada tempatnya untuk menetapkan Woodward sebagai salah satu dari sedikit ahli teori organisasi dan peneliti yang telah memberikan dorongan bagi perkembangan teori organisasi sacara umum, serta peletak dasar studi organisasi sebagai suatu studi yang bersifat ilmiah.

Selain Woodward, Jay Galbraith juga dapat dipandang sebagai ahli yang memberikan sumbangan besar dan penting bagi perkembangan teori organisasi yang ada dewasa ini. Jay Galbraith memberikan perhatiannya pada masalah kepastian dari kegiatan atau aktifitas organisasi dalam hubungannya dengan aspek perencanaan dan kebutuhan akan informasi dalam organisasi. Dalam pandangan Jay Galbraith, organisasi dilihat sebagai tempat dimana proses pemilihan atau seleksi informasi berlangsung.

Koordinasi diantara berbagai komponen organisasi yang dilakukan jika lingkungan aktifitas organisasi memerlukan. Perubahan pada tingkat lingkungan mengharuskan penambahan lebih banyak aktifitas koordinasi yang dilakukan untuk memproses informasi dalam organisasi sebagai suatu usaha untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. Struktur organisasi dipandang sebagai alat untuk memproses informasi yang disusun untuk mencapai koordinasi dan integrasi diantara bagian-bagian atau komponen-komponen suatu organisasi. Gagasan dari Jay Galbraith yang demikian ini merupakan sesuatu yang dewasa ini telah sangat dapat diterima dikalangan pemikiran dan teori organisasi kontemporer.

Terdapat ahli-ahli teori organisasi yang lain yang juga memberikan sumbangan bagi perkembangan teori Contingency. Salah satu diantaranya adalah James D. Thomson, yang memberikan perhatian utamanya pada dampak atau efek dari teknologi terhadap organisasi, yang tidak hanya terbatas pada organisasi bisnis saja, tetapi juga berbagai organisasi lainnya. Thomson melihat bahwa pada organisasi-organisasi yang memiliki masalah-masalah teknologis dan lingkungan yang kurang lebih sama, akan memiliki perilaku yang kurang lebih sama pula. Menurut Thomson, dalam situasi yang demikian akan ditemukan pola=pola pengorganisasian yang sama diantara organisasioeganisasi yang ada. Ini merupakan sumbangan yang cukup penting bagi studi organisasi, karena ketika organisasi berhadapan dengan dorongan kekuatan teknologi dan lingkungannya, organisasi tersebut akan melakukan adaptasi, terutama dalam bentuk perubahan strukturnya guna mengakomodasi dorongan kekuatan tersebut.

Sumbangan penting lain dari James D. Thomson adalah rintisannya untuk memberikan penekanan akan perlunya melakukan analisis terhadap organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka (open system). Meskipun gagasan Thomson untuk melihat organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka itu saat ini sudah menjadi hal yang biasa. tetapi dalam perkembangan teori organisasi pada masa itu merupakan sumbangan yang sangat berarti. Jadi sumbangan terpenting dari Thomson terhadap perkembangan teori organisasi terutama dalam memahami bagaimana kekuatan teknologi dan lingkungan sebagai sistem yang melingkupi organisasi, berpengaruh terhadap organisasi.

Ahli lain yang juga memberikan sumbangan bagi perkembangan teori Contingency adalah Jay W. Lorsch dan Paul L. Lawrence. Pusat perhatian dari Lorsch dan Lawrence adalah pada hubungan Contingency antara suatu organisasi dengan lingkungannya. Hsil studi Lorsch dan Lawrence secara jelas menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang sukses selalu disusun strukturnya dalam pola yang konsistem dengan tuntutan lingkungannya. Pola hubungan yang demikian dibuktikan oleh Lorsch dan Lawrence melalui pengujian terhadap empat komponen atau variabel dasar:

  • Tingkat formalitas dari struktur.
  • Orientasi tujuan organisasi.
  • Orientasi waktu.
  • Orientasi hubungan interpersonal.

Dengan empat komponen dasar atau variabel utama itu, studi dari Lorsch dan Lawrence menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang secara teknologis dapat berjalan dengan baik, pada umumnya memiliki :

  • struktur organisasi yang tingkat formalitasnya minimal,
  • lebih berorientasi pada tujuan yang bersifat ilmiah dari pada berorientasi pada pasar,
  • keberadaan para manajer yang berorientasi pada pemikiran jangka panjang,
  • lebih mengutamakan pelaksanaan tugas pekerjaan dari pada mengutamakan hubungan-hubungan sosial yang bersifat interpersonal.

Kondisi-kondisi yang demikian menurut Lorsch dan Lawrence merupakan kondisi yang terbaik bagi suatu organisasi untuk bergerak dalam lingkungan kerja teknologis yang amat tinggi. Sebaliknya, menurut Lorsch dan Lawrence, suatu organisasi adalah :

  • lebih menyerupai sebuah perkumpulan sosial, yang karenanya mengutamakan formalitas dalam berbagai bentuk ritualnya,
  • tujuannya lebih berorientasi pada pasar dari pada orientasi tujuan-tujuan yang ilmiah,
  • memiliki perspektif jangka pendek,
  • lebih mementingkan hubungan interpersonal dari pada pengutamaan pada orinetasi pelaksanaan tugas pekerjaan, merupakan kondisi yang tidak mendukung bagi suatu organisasi untuk bergerak dalam lingkungan teknologis yang amat tinggi.

Organisasi yang dapat berjalan dengan baik dan sukses menurut Lorsch dan Lawrence merumuskan tujuannya dengan mempertimbangkan fasilitas lingkungan secara konsisten. Dengan kata lain, dalam pandangan Lorsch dan Lawrence, terdapat hubungan ketergantungan antarasuatu organisasi dengan bagaimana struktur organisasi tersebut disusun untuk beraktivitas dalam suatu kondisi lingkungan yang dihadapinya. Sebagai hasil dari hubungan ketergantungan tersebut adalah terjadinya diferensiasi dari berbagai bagian dari organisasi. Jadi, kondisi lingkungan menjadi faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan mengenai bagaimana struktur suatu organisasi akan disusun.

Pada waktu berbagai komponen dari suatu organisasi mengalami diferensiasi, maka pada saat itu pula diperlukan adanya suatu ikatan dari berbagai komponen yang mengalami diferensiasi itu, kedalam suatu kesatuan dan keseluruhan yang efektif. Ini berkaitan dengan fungsi integrasi, yang diperlukan untuk mempersatukan atau mengintegrasikan berbagai komponen yang terdiferensiasi itu. Tingkat diferensiasi yang tinggi dari struktur suatu organisasi, mengharuskan organisasi itu untuk mengembangkan secara serius suatu bentuk kerangka kerja koordinatif diantara bagian-bagian atau sub unit-sub unit dalam struktur tersebut. Disini nampak jelas adanya upaya perubahan pada tingkat manajemen, yang ditujukan untuk mencapai suatu kondisi yang seimbang dan suatu pola integrasi diantara bagian- bagian yang mengalami diferensiasi.

Teori kontingensi adalah teori kesesuaian pemimpin yang berarti menyesuaikan pemimpin dengan kondisi yang tepat. Teori yang dikemukakan oleh Fiedler’s (1964) ini menyatakan bahwa kinerja pemimpin ditentukan dari pemahamannya terhadap situasi dimana mereka memimpin. Secara sederhana teori kontigensi menekankan terhadap gaya kepemimpinan dan pemahaman situasi yang tepat oleh pemimpin.

Gaya kepemimpinan digambarkan sebagai motivasi kerja atau motivasi hubungan. Motivasi kerja lebih ditekankan kepada pencapaian tujuan sedangkan ditekankan pada pengembangan, hubungan dekat secara personal. Kemudian gaya kepemimpinan itu disesuaikan dengan situasi.

Teori kontigensi mengemukakan bahwa situasi dapat dikategorikan dengan tiga faktor; hubungan pemimpin bawahan, stuktur kinerja, dan kekuatan posisi. Hubungan pimpinan bawahan merujuk kepada atmosfer kelompok dan kepercayaan diri, kesetiaan, dan interaksi mereka. Struktur kinerja lebih ditekankan kepada optimalisasi kinerja. Beberapa pertimbangan kerja dapat dikatakan terstruktur bila :

  1. Persyaratan kinerja/tugas itu harus jelas dan diketahui
  2. Pola penyelesaian kerja mempunyai banyak alternatif
  3. Penyelesaian kerja dapat diimplementasikan dengan mudah
  4. Hanya beberapa solusi yang berlaku

Kekuatan posisi adalah karakteristik ketiga yang merujuk kepada otoritas pemimpin untuk memberikan hadiah atau hukuman kepada bawahan. Kekuatan ini mencakup kekuatan legitimasi perorangan yang berujung kepada posisi mereka di organisasi. Secara umum, ketiga faktor situasional diatas menentukan berbagai situasi dalam organisasi. Situasi yang paling tepat untuk kesesuaian gaya kepemimpinan adalah hubungan pimpinan bawahan yang baik, kerja terstruktur, dan posisi pemimpin yang kuat.

Keunggulan Teori kontinjensi mempunyai sejumlah keunggulan sebagai berikut :

  1. Teori ini didukung oleh penelitian empirik yang bagus.
  2. Teori ini telah memperluas pemahaman kita mengenai kepemimpinan dengan mempertimbangkan dampak situasi terhadap pemimpin.
  3. Teori ini prediktif dan menyediakan informasi yang berguna bagi kepemimpinan secara efektif.
  4. Teori ini menguntungkan karena tidak mengharuskan orang mampu dalam semua situasi.
  5. Teori ini menyediakan data mengenai gaya kepemimpinan yang dapat berguna untuk pengembangan identitas kepempinan dalam organisasi.

Kritik
Banyak kritik yang diterima oleh teori kontingensi yang menjadi penilaian umum bahwa teori ini bisa dikatakan tepat atau tidak sebagai teori kepemimpinan. Kritik tersebut adalah :

  1. Teori ini gagal menjelaskan secara lengkap kenapa seorang pemimpin lebih efektif dalam beberapa situasi disbanding situasi yang lain.
  2. Kritik terhadap skala LPC (skala penilaian kinerja pemimpin dari perspektif rekan kerja yang pernah bekerja dengannya) yang banyak dipertanyakan kevalidannya karena dianggap tidak korelasi dengan standard ukuran kepemimpinan lainnya.
  3. Teori ini susah diterapkan pada setting dunia nyata, karena membutuhkan penilaian gaya kepemimpinan yang kompleks dengan tiga pendukungnya yaitu hubungan pimpinan bawahan, struktur kerja, dan kekuatan posisi yang masing-masing berbeda.
  4. Teori ini gagal menjelaskan apa yang harus dilakukan organisasi untuk menyesuaikan pemimpin dan situasi di tempat kerja.

Aplikasi Teori Kontingensi


Teori ini dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kepemimpinan seseorang dengan berbagai tipe organisasi. Teori ini dapat digunakan untuk memprediksi seseorang yang telah bekerja dengan baik pada satu posisi dalam suatu organisasi akan sama efektif apabila dipindah pada posisi yang berbeda. Teori ini dapat memberikan perubahan-perubahan hubungan baik manajemen atas dengan manajeman bawah.

Pendekatan Kontingensi


Pendekatan kontingensi merupakan sebuah cara berfikir yang komparatif (berdasarkan perbandingan) baru diantara teori-teori manajemen yang telah dikenal. Salah seorang penulis manajemen kontingensi yang bernama Fred Luthans menyatakan “pendekatan-pendekatan tradisional dalam bidang manajemen, tidak salah atau keliru, tetapi dewasa ini mereka tidak terlampau cocok. Terobosan baru terhadap teori dan praktik manajemen dapat kita temukan pada pendekatan kontingensi.”

Apabila dirumuskan secara formal, pendekatan kontingensi merupakan suatu upaya untuk menentukan melalui kegiatan riset, praktik dan teknik manajerial mana yang paling cocok dan tepat dalam situasi-situasi tertentu. Maka menurut pendekatan kontingensi situasi-situasi yang berbeda mengharuskan adanya reaksi manajerial yang berbeda pula.

Parameter pendekatan kontingensi


Pada bagian ujung dari spectrum (parameter pendekata kontingensi) teori X dan teori Y hanya memanfaatkan dua macam faktor yakni :

  1. Pekerjaan
  2. Sifat manusia sebagai parameter organisasi.

Katzell (1962) dalam sebuah makalahnya yang berjudul Contrasting Sistem Work Organization, mengemukakan adanya lima macam parameter situasional, yakni :

  1. besar kecilnya organisasi yang bersangkutan
  2. tingkat interaksi dan interpendensi para anggota organisasi
  3. kepribadian para anggota organiasasi
  4. tingkat kongruensi atau disparitas antara tujuan organisasi dan tujuan para karyawan organisasi yang bersangkutan
  5. siapa saja dalam organisasi yang bersangkutan memiliki kemampuan dan motivasi yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan-tindakan guna mencapai sasaran organisasi tersebut.

Ciri-ciri Kontingensi


Beberapa ilmuan manajemen tertarik pada pemikiran kontingensi hal itu karena merupakan sebuah kompromis yang dapat dimanfaatkan antara pendekatan sistematik dan apa yang dapat dinamakan perspektif situasional murni. Pendekatan sistematik kerapkali dikritik orang karena pendekatan tersebut bersifat terlampau umum atau abstrak walaupun pandangan situasional murni yang mengasumsi bahwa setiap situasi kehidupan nyata memerlukan suatu pendekatan yang sangat berbeda telah dinyatakan orang sebagai hal yang terlampau spesifik.

Referensi

http://digilib.unila.ac.id/20828/16/BAB%20II.pdf

Teori kontingensi dalam kepemimpinan pemerintah adalah salah satu teori yang berdasarkan pada tiga hal yakni hubungan atasan dengan bawahan, orientasi tugas dan wibawa pimpinan (Fiedler, 1967).

Teori kontingensi dari Fiedler adalah teori yang membahas gaya kepemimpinan yang bergantung pada situasi organisasi tersebut. Karakteristik situasi kepemimpinan yang paling penting terdapat dalam tiga variabel, yaitu:

1. Leader-Member Orientation

Yaitu hubungan pribadi antara pemimpin dengan para anggotanya. Jika sebuah organisasi memiliki situasi leader-member orientation yang baik, itu berarti anggota menyukai, mempercayai, dan menghargai pemimpin. Hal ini dianggap efektif dalam kepemimpinan sebuah organisasi.

2. Task Structure

Yaitu tingkat struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk dikerjakan oleh anggota organisasi. Semakin terstrukturnya tugas maka pemimpin akan semakin memiliki pengaruh besar dalam sebuah organisasi.

3. Kekuasaan Jabatan

Yaitu tingkat hukuman, penghargaan, kenaikan pangkat, disiplin, teguran yang dapat diberikan pemimpin kepada anggotanya. Pemimpin mempunyai kekuasaan besar dalam sebuah organisasi apabila ia mampu memberikan penghargaan dan menjatuhkan hukuman bagi yang melakukan kesalahan.

Pemimpin harus memahami apa yang diinginkan bawahannya dalam kondisi tertentu dan menyesuaikan gaya kepemimpinan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Teori ini memandang pimpinan itu fleksibel dalam memilah gaya kepemimpinan tertentu dari empat kemungkinan sebagai berikut:

  1. Pimpinan direktif

  2. Pimpinan suportif

  3. Pimpinan partisipatif

  4. Pimpinan yang orientasi pada prestasi.

Pendekatan pimpinan dalam memimpin pegawai dengan memberikan pekerjaan yang menantang dengan mengharapkan mereka mampu melaksanakan pekerjaan tersebut. Selama pegawai ingin mencapai pekerjaannya, seorang pemimpin bebas dalam memimpin organisasinya.

Hayes (1977) menyebutkan aspek kontingensi utama dari evaluasi kinerja yaitu struktur internal dan fungsi sub unit. Sifat tugas yang dijalankan, jenis individu, hubungan interpersonal, dan keahlian untuk mengukur fungsi cenderung bervariasi dengan jenis sub unit.