Apa yang dimaksud dengan Teori kepemimpinan situasional atau Situational leadership?

Teori kepemimpinan situasional

Teori kepemimpinan situasional adalah suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan gaya kepemimpinan tertentu. Pendekatan ini menyaratkan pemimpin untuk memiliki keterampilan diagnostik dalam perilaku manusia.

Apa yang dimaksud dengan Teori kepemimpinan situasional ?

Kepemimpinan situasional adalah “ a leadership contingency theory that focuses on followers readiness/maturity ”. Inti dari teori kepemimpinan situational adalah bahwa gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan berbeda- beda, tergantung dari tingkat kesiapan para pengikutnya.

Pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional adalah suatu aliran teori manajemen yang menekankan pada situasi atau kondisi tertentu yang dihadapi. Tidak seluruh metode manajemen ilmiah dapat diterapkan untuk seluruh situasi begitupun tidak selalu hubungan manusiawi yang perlu ditekankan karena adakalanya pemecahan yang efektif melalui pendekatan kauantitatif. Itu semua sangat tergantung pada karakteristik situasi yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai.

Pendekatan situasional menekankan pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur atau memperkirakan ciri- ciri pribadi ini, dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan yang bersifat kepribadian dan situasional. Pendekatan situasional juga menekankan faktor konstektual yang mempengaruhi proses kepemimpinan. Variabel situasional yang penting seperti karakeristik bawahan, sifat pekerjaan pemimpin, jenis organisasi, dan sifat lingkungan eksternal. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok dengan semua situasi. Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi merupakan suatu teori yang berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas-asas organisasi dan manajemen yang bersifat universal, dan pandangan yang berpendapat bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang berbeda- beda sehingga harus dihadapi dengan gaya kepemimpinan tertentu.

Pendekatan situasional bukan hanya merupakan hal yang penting bagi kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, tetapi membantu pula cara pemimpin yang potensial dengan konsep-konsep yang berguna untuk menilai situasi yang bermacam-macam dan untuk menunjukkan perilaku kepemimpinan yang tepat berdasarkan situasi.

Peranan pemimpin harus dipertimbangkan dalam hubungan dengan situasi dimana peranan itu dilaksanakan.

Pendekatan situasional dalam kepemimpinan mengatakan bahwa kepemimpinan, dalam implementasinya, yang dilakukan akan berdampak positif dan bersifat tepat sasaran. Walaupun organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Disarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara atasan dan bawahan. Komunikasi dua arah menuntut keahlian manajemen puncak mencerna informasi yang disampaikan para manajer dan karyawan, terutama keluh kesah mereka (bottom-up) dan keahlian menyampaikan informasi dari pucuk pimpinan perusahaan ke seluruh manajer dan karyawan (top-down). Sementara itu, komunikasi tatap muka menuntut manajemen puncak meluangkan waktu berkunjung ke lokasi kerja manajer dan karyawan. Kunjungan ini sangat bermanfaat bagi kelancaran komunikasi dua arah, serta memompa semangat kerja manajer dan karyawan. ditentukan tidak oleh sifat kepribadian individu-individu, melainkan oleh persyaratan situasi sosial.

Teori Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard


Teori kepemimpinan situasional atau the situational leadership theory adalah teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh Paul Hersey, penulis buku Situational Leader dan Ken Blanchard, pakar dan penulis The Minute Manager, yang kemudian menulis pula buku Management of Organizational Behavior.

Teori ini pada awalnya diintrodusir sebagai “Life Cycle Theory of Leadership”. Sampai kemudian pada pertengahan 1970an “Life Cycle Theory of Leadership” berganti dengan sebutan “Situational Leadership Theory“. Di akhir 1970an dan awal 1980an, masing-masing penulis mengembangkan teori kepemimpinannya sendiri-sendiri. Hersey mengembangkan Situational Leadership Model dan Blancard mengembangkan Situational Leadership Model II.

Hersey dan Blanchard terus bersepakat dengan teori aslinya hingga 1977. Ketika mereka sepakat untuk menjalankan pemahaman masing-masing pada akhir 1970-an, Hersey merubah nama dari kepemimpinan situasional menjadi teori kepemimpinan situasional dan Blanchard menawarkan Teori Kepemimpinan Situasional sebagai Pendekatan Situasional untuk Mengelola Orang. Blanchard dan rekan-rekannya terus merevisi pendekatan situasional untuk mengelola orang, dan pada tahun 1985 diperkenalkan Kepemimpinan Situasional II (SLII).

Pada tahun 1979, Ken Blanchard mendirikan Blanchard Training & Development Inc, (kemudian menjadi The Ken Blanchard Companies) bersama-sama dengan istrinya Margie Blanchard dan dewan pendiri. Seiring waktu, kelompok ini membuat perubahan konsep dari teori kepemimpinan situasional awal pada beberapa bidang utama, termasuk penelitian dasar, gaya kepemimpinan, dan kontinum tingkat perkembangan individu.

Model penelitian kepemimpinan situasional II (SLII) mengakui penelitian yang ada dari teori kepemimpinan situasional dan merevisi konsep berdasarkan umpan balik dari klien, manajer, dan karya peneliti terkemuka pada bidang pengembangan kelompok. Kepemimpinan situasional menurut Harsey dan Blanchard adalah didasarkan pada saling berhubungannya diantara hal-hal berikut: Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan dan tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukan dalam melaksankan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu (Thoha, 1983).

Model ini didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan diagnosis bagi seorang manajer tidak bisa diabaikan, seperti terlihat pada “Manajer yang berhasil harus seorang pendiagnosis yang baik dan dapat menghargai semangat mencari tahu”. Apabila kemampuan motif serta kebutuhan bawahan sangat bervariasi, seorang pemimpin harus mempunyai kepekaan dan kemampuan mendiagnosis agar mampu membaca dan menerima perbedaan-perbedaan itu.

Manajer harus mempu mengidentifikasi isyarat-isyarat yang terjadi di lingkungannya tetapi kemampuan mendiaknosis belum cukup untuk berperilaku yang efektif. Manajer harus mampu untuk malakukan adaptasi kepemimpinan terhadap tuntutan lingkungan dimana dia memperagakan kepemimpinannya. Dimana seorang manajer harus mempunyai fleksibilitas yang bervariasi. Kebutuhan yang berbeda pada anak buah membuat dia harus diberlakukan berbeda pula, walaupun banyak praktisi yang menganngap tidak praktis klau dalam setiap kali mengambil keputusan harus terlebih dahulu mempertimbangkan setiap variabel situasi.

Dasar model kepemimpinan situasional, adalah:

  • Kadar bimbingan dan pengarahan yang diberikan oleh pemimpin (perilaku tugas).

  • Kadar dukungan sosio emosional yang disediakan oleh pemimpin (perilaku hubungan).

  • Tingkat kesiapan atau kematangan yang diperlihatkan oleh anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka dalam mencapai tujuan tertentu.

Konsep ini menjelaskan hubungan antara perilaku kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan anggota kelompok atau pengikutnya. Teori ini menekankan hubungan pemimpin dengan anggota hingga tercipta kepemimpinan yang efektif, karena anggota dapat menentukan keanggotaan pribadi yang dimiliki pemimpin.

Kematangan atau maturity adalah bukan kematangan secara psikologis melainkan menggambarkan kemauan dan kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas masing- masing termasuk tanggung jawan dalam melaksanakan tugas tersebut juga kemauan dan kemampuan mengarahkan diri sendiri. Jadi, variable kematangan yang dimaksud adalah kematangan dalam melaksanakan tugas masing- masing tidak berarti kematangan dalam segalahal.

Kematangan anak buah adalah kemampuan yang dimiliki oleh anak buah dalam menyelesaikan tugas dari pimpinan, termasuk didalamnya adalah keinginan atau motivasi mereka dalam menyelesaiakan suatu tugas. Kematangan individu dalam teori kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard dibedakan dalam 4 kategori kematangan yang masing-masisng punya perbedaan tingkat kematangan sebagai berikut:

  • M1: Tingkat kematangan anggota rendah

    Ciri-cirinya : adalah anggota tidak mampu dan tidak mau melaksanakan tugas,

    Maksudnya: kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas rendah dan anggota tersebut juga tidak mau bertanggung jawab.

    Penyebabnya: tugas dan jabatan yang dijabat memang jauh dari kemampuan, kurang mengerti apa kaitan antara tugas dan tujuan organisasi, mempunyai sesuatu yang diharapkan tetapi tidak sesuai dengan ketersediaan dalam organisasi.

  • M2: Tingkat kematangan anggota rendah ke Sedang atau Moderat Rendah

    Ciri-cirinya: anggota tidak mampu melaksanakan tapi mau bertanggung jawab, yaitu walaupun kemampuan dalam melaksanakan tugasnya rendah tetapi memiliki rasa tanggung jawab sehingga ada upaya untuk berprestasi. Mereka yakin akan pentingnya tugas dan tahu pasti tujuan yang ingin dicapai.

    Penyebabnya : anggota belum berpengalaman atau belum mengikuti pelatihan dan pendidikan tetapi memiliki motivasi tinggi, menduduki jabatan baru dimana semangat tinggi tetapi bidangnya baru dan selalu berupaya mencapai prestasi, punya harapan yang sesuai dengan ketersediaan yang ada dalam organisasi.

  • M3: Tingkat kematangan anggota sedang ke tinggi atau moderat tinggi.

    Ciri-cirinya: anggota mampu melaksanakan tetapi tidak mau. Yaitu mereka yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas tetapi karena suatu hal tidak yakin akan keberhasilan sehingga tugas tersebut tidak dilaksanakan.

    Penyebabnya : anggota merasa kecewa atau prustasi misalnya: baru saja mengalami alih tugas dan tidak puas dengan penempatan yang baru.

  • M4: Tingkat Kematangan Anggota Tinggi

    Ciri-cirinya: anggota mau dan mampu, yaitu : mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas ataupun memecahkan masalah dan punya motivasi tinggi serta besar tanggungjawabnya. Mereka adalah yang berpengalaman dan punya kemampuan yang tinggi dalam menyelesaikan tugas. Merteka mendapat kepuasan atas prestasinya dan yakin akan selalu berhasil.

Merujuk pada tingkat kematangan masing-masing kelompok atau anggota kelompok, maka perilaku kepemimpinan harus disesuaikan demi tercapainya efektifitas kepemimpinan berdasarkan analisis pemimpin terhadap tingkat kematangan anggota, digunakan kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan.

Terdapat beberapa kombinasi perilaku kepemimpinan yang merujuk pada kematangan yaitu :

Tingkat Kematangan Perilaku kepemimpinan
Rendah (M-1) : Tidak mau dan tidak mampu Instruksi (S-1) : Tinggi tugas dan rendah hubungan.
Rendah ke sedang atau moderat rendah (M-2) : Tidak Mampu tapi mau Konsultasi (S-2) : Tinggi tugas dan tinggi hubungan.
Sedang ke tinggi atau moderat tinggi (M-3) : Mampu tapi tidak mau Partisipasi (S-3) : Rendah tugas dan tinggi hubungan
Tinggi (M-4) : Mau dan mampu Delegasi (S-4) : Rendah tugas dan rendah hubungan.

Perilaku kepemimpinan seseorang menghadapi kelompok secara keseluruhan harus berbeda-beda dengan menghadapi individu anggota kelompok, demikian pula perilaku kepemimpinan manajer dalam menghadapi tiap-tiap individu harus berbeda-beda tergantung kematangannya. Masing-masing punya perbedaan tingkat kematangan.

Menurut teori ini pemimpin haruslah situasional, setiap keputusan yang dibuat didasarkan pada tingkat kematangan anak buah, ini berarti keberhasilan seorang pemimpin adalah apabila mereka menyesuaiakan gaya kepemimpinanya dengan tingkat kedewasaan atau kematangan anak buah.

Tingkat kedewasaan atau kematangan anak buah dapat dibagi menjadi empat tingkat yaitu:

  • Intruksi adalah untuk pengikut yang rendah kematangannya, orang yang tidak mampu dan mau memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki keyakinan. bawahan seperti ini masih sangat memerlukan pengarahan dan dukungan, masih perlu bimbingan dari atasan tentang bagaimana, kapan dan dimana mereka dapat melaksakanya tanggung jawab atau tugasnya.

  • Konsultasi adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang, orang yang tidak mampu tetapi berkeinginan untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. Pimpinan atau pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications), yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya.

  • Partisipasi adalah bagi tingkat kematangan dari sedang kerendah, orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak berkeinginan untuk melakukan sesuatu tugas yang diberikan. Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan.

  • Delegasi adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi, orang-orang pada tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggung jawab. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya (Thoha, 1983).

Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard
Gambar Model Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard

Teori Kepemimpinan Fiedler


Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.

Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) . Menurut model ini, maka :

the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974).

Teori atau model kontingensi (Fiedler, 1967) sering disebut teori situasional karena teori ini mengemukakan kepemimpinan yang tergantung pada situasi. Model atau teori kontingensi Fiedler melihat bahwa kelompok efektif tergantung pada kecocokan antara gaya pemimpin yang berinteraksi dengan subordinatnya sehingga situasi menjadi pengendali dan berpengaruh terhadap pemimpin. Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yang spesifik.

Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu atau dapat dikatakan model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya

Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yang paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach .

Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.

Teori kontingensi melihat pada aspek situasi dari kepemimpinan (organization context). Fiedler mengatakan bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan Situation Favorability.

  • Leader Orientation merupakan pilihan yang dilakukan pemimipin pada suatu organisasi berorinetasi pada relationship atau beorintasi pada task . Leader Orientation diketahui dari Skala semantic differential dari rekan yang paling tidak disenangi dalam organisasi (Least preffered coworker = LPC). LPC tinggi jika pemimpin tidak menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC yang rendah menunjukkan pemimpin yang siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama. Skor LPC yang tinggi menujukkan bahwa pemimpin berorientasi pada relationship, sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan bahwa pemimpin beroeintasi pada tugas. Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat. Hubungan antara LPC pemimpin dan efektivitas tergantung pada sebuah variabel situasional yang rumit disebut “keuntungan situasional” atau “situational favorability” atau “kendali situasi”. Fiedler mendefinisikan kesukaan sebagai batasan dimana situasi memberikan kendali kepada seorang pemimpin atas para bawahan.

  • Situation favorability adalah tolak ukur sejauh mana pemimpin tersebut dapat mengendailikan suatu situasi, yang ditentukan oeh 3 variabel situasi. Tiga aspek situasi yang dipertimbangkan meliputi :

    • Hubungan pemimpin-anggota: Adalah batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, pemimpin mempengaruhi kelompok dan kondisi di mana ia dapat melakukan begitu. Seorang pemimpin yang diterima oleh anggota kelompok adalah dalam situasi yang lebih menguntungkan daripada orang yang tidak.

    • Kekuasaan Posisi : Batasan dimana pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan penghargaan serta hukuman.

    • Struktur Tugas: Batasan dimana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indicator objektif mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.

Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.

Keuntungan ditentukan dengan memberikan bobot dan mengkombinasikan ketiga aspek situasi tersebut. Prosedur pemberian bobot mengasumsikan bahwa hubungan pemimpin-anggota lebih penting daripada struktur tugas, yang pada akhirnya adalah lebih penting daripada kekuasaan posisi.

Model Teori Kontigensi kepemimpinan Fiedler
Gambar Model Teori Kontigensi kepemimpinan Fiedler

Keterangan:

Situasi Menguntungkan

Situasi akan menguntungkan bagi pemimpin, jika:

  • pemimpinnya secara umum diterima dan dihormati pengikutnya (dimensi tertinggi pertama),

  • tugas sangat terstruktur dan semuanya dijelaskan secara gamblang (dimensi kedua tertinggi)

  • otoritas dan wewenang secara formal dihubungkan dengan posisi pemimpin (dimensi ketiga tertinggi).

Jika yang terjadi sebaliknya (ketiga dimensi dalam keadaan rendah), situasi akan sangat tidak menguntungkan bagi pemimpin.

Memberi Bobot Situasi

Keuntungan ditentukan dengan memberikan bobot ketiga aspek situasi Prosedur pemberian bobot mengasumsikan bahwa hubungan pemimpin-anggota lebih penting daripada struktur tugas, yang akhirnya struktur tugas adalah lebih penting daripada kekuasaan posisi.

Kemungkinan kombinasi memberikan delapan tingkatan situasi keuntungan, yang disebut “oktan”

Kesesuaian Situasi dan Gaya Kepemimpinan

Fiedler menyatakan bahwa dalam situasi sangat menguntungkan (oktan 1,2 dan 3) dan sangat tidak menguntngkan (oktan 7 dan 8) gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas adalah sangat efektif.

Ketika situasi moderat antara menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan (oktan 4,5, dan 6) maka gaya kepemimpinan yang menekankan pada hubungan akan sangat efektif.

Teori path-goal Robert House dalam Kepemimpinan


Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path- goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.

Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path- goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang :

  1. membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan

  2. menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).

Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).

Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan ( Expectancy Theory ) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness) . Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Oleh karenanya, Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:

  • Fungsi Pertama adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.

  • Fungsi Kedua adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.

Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)

  • Kepemimpinan pengarah ( directive leadership )
    Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.

  • Kepemimpinan pendukung ( supportive leadership )
    Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.

  • Kepemimpinan partisipatif ( participative leadership )
    Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.

  • Kepemimpinan berorientasi prestasi ( achievement-oriented leadership )
    Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal , yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).

  • Karakteristik Bawahan
    Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

    • Letak Kendali (Locus of Control)
      Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative , sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive

    • Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
      Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif .

    • Kemampuan (Abilities)
      Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented , sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive .

  • Karakteristik Lingkungan
    Pada faktor situasional ini path - goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:

    • Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

    • Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

    Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

    • Struktur Tugas
      Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

    • Wewenang Formal
      Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan partisipasi bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi

    • Kelompok Kerja
      Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportif

Model Teori Path Goal Robert House dalam Kepemimpinan
Gambar Model Teori Path Goal Robert House dalam Kepemimpinan

Teori Substitusi Kerr dan Jermier


Kerr dan Jermier (1978) mengembangkan sebuah model untuk mengidentifikasi aspek situasi yang mengurangi pentingnya kepemimpinan oleh para manajer dan para pemimpin formal lainnya. Teori ini membedakan dua variabel situasional yaitu:

  1. Variabel Pengganti, yaitu variabel yang membuat perilaku pemimpin menjadi tidak perlu dan berlebihan, yang meliputi;

    • Karakteristik bawahan,
    • Karakteristik tugas, dan
    • Karakteristik organisasi
  2. Variabel Netralisator, adalah suatu karakteristik dari tugas atau organisasi yang mencegah seorang pemimpin untuk bertindak dalam suatu cara tertentu atau yang meniadakan pengaruh dari tindakan pemimpin.

Karakteristik Bawahan

Saat bawahan memiliki pengalaman, kemampuan dan pelatihan yang cukup hanya diperlukan sedikit arahan. Karena telah memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Contoh , dokter spesialis, pilot, akuntan, dan profesional lain tidak membutuhkan banyak arahan dan pengawasan.

Para profesional yang secara internal termotivasi oleh nilai, etika profesi tidak perlu didorong atau diarahkan untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas dan mengabaikan penghargaan yang dikendalikan oleh manajer berfungsi sebagai netralisator baik perilaku orientasi hubungan maupun orientasi tugas.

Karakteristik Tugas

Tugas yang terstruktur dan berulang bawahan dapat melakukan tanpa banyak pengarahan. Bila tugas memberikan umpan balik secara otomatis , tidak banyak membutuhkan pengawasan.Bila tugasnya menarik dan menyenangkan, bawahan akan cukup termotivasi oleh pekerjaan itu sendiri , tanpa kebutuhan akan pemimpin untuk mendorong dan memberikan inspirasi bagi mereka

Karakteristik Organisasional

Kohesivitas kelompok dapat menggantikan upaya kepemim-pinan untuk memotivaasi bawahan berkontribusi terhadap tugas kelompok. Kekuasaan posisi yang rendah cenderung menetralkan peng-gunaan penghargaan dan hukuman dlm memotivasi bawahan. Peraturan dan prosedur kerja yang tertulis rinci hanya mem-butuhkaan sedikit arahan. Peraturan dan kebijakan yang tidak fleksibel dapat berfungsi sbg netralisator shg mencegah pemimpin melakukan perubahan. Perilaku pemimpin dapat dinetralkan bila bawahan tersebar secara geografis dan tidak sering kontak dengan pemimpin mereka.

Referensi