Apa yang dimaksud dengan Teori Keadilan atau Equity Theory?

Teori Keadilan

Teori Keadilan (Equity Theory) beranggapan bahwa kepuasan seseorang tergantung apakah ia merasakan ada keadilan (equity) atau tidak adil (unequity) atas suatu situasi yang dialaminya. Teori ini merupakan variasi dari teori perbandingan sosial.

Menurut teori ini, seseorang akan membandingkan rasio input-hasil dirinya dengan rasio input-hasil-orang bandingan.

Jika perbandingan itu dianggapnya cukup adil, maka ia akan merasa puas. Namun jika perbandingan itu tidak seimbang dan justru merugikan (kompensasi kurang), akan menimbulkan ketidakpuasan dan menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan.

Apa yang dimaksud dengan Teori Keadilan (Equity Theory)?

Equity Theory: Gagasan bahwa orang akan bahagia dengan hubungan yang dijalinnya bila pengalaman rewards dan costs dan kontribusi antara dua belah pihak diperkirakan seimbang.

Teori ekuitas muncul karena beberapa peneliti mengritik teori pertukaran sosial yang mengabaikan pentingnya keadilan atau keseimbangan dalam hubungan.

Para pendukung teori ini berpendapat bahwa orang tidak sekedar berusaha mendapatkan rewards sebanyak- banyaknya dan mengurangi costs, melainkan juga peduli mengenai keseimbangan dalam hubungan, yaitu bahwa rewards dan costs yang mereka alami dan kontribusi yang mereka berikan dalam hubungan tersebut kira-kira seimbang dengan pihak lain.

Teori ini menggambarkan bahwa hubungan yang seimbang adalah yang membahagiakan dan relatif stabil.

Apakah teori keadilan/keseimbangan (equity theory) berlaku untuk hubungan jangka panjang sama seperti yang berlaku dalam hubungan yang baru atau kurang erat?

Menurut Margaret Clark dan Judson Mills, interaksi antara orang yang baru saling mengenal berlangsung dengan kepedulian terhadap keadilan/keseimbangan yang disebut hubungan pertukaran (exchange relationship). Dalam hubungan pertukaran, orang melacak, siapa memberikan kontribusi apa, dan merasa dimanfaatkan ketika ia merasa memberi lebih daripada yang mereka dapatkan dari hubungan itu.

Di sisi lain, dalam hubungan dengan teman dekat, anggota keluarga, dan pasangan romantik, norma keadilan/keseimbangan kurang berlaku dan lebih dipengaruhi kebutuhan untuk saling membantu saat dibutuhkan.

Dalam hubungan komunal (communal), orang memberikan respon terhadap kebutuhan pihak lain, terlepas apakah mereka dibayar kembali (Clark, 1994, 1986; Clark & Mills, 1993; Milss & Clark, 1982,1994, 2001; Vaananen dkk, 2005).

image

Sumber: Aronson, E., Wilson. T.D., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th edition). Singapore: Pearson Prentice Hall.

Teori Keadilan (Equity theory) mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil , keadilan dan ketidakadilan.

  • Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas, dan peralatan atau perlengkapan yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaannya.

  • Hasil adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri.

Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan.

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :

  • Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar
  • Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan suatu persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat macam hal sebagai pembanding, hal itu antara lain :

  • Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
  • Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
  • Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
  • Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang pada nantinya akan menjadi hak dari para pegawai yang bersangkutan.

Teori keadilan dari Adam menunjukkan bagaimana upah dapat memotivasi. Individu dalam dunia kerja akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Apabila terdapat ketidakwajaran akan mempengaruhi tingkat usahanya untuk bekerja dengan baik. Ia membuat perbandingan sosial dengan orang lain dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka merasa dibayar wajar atau tidak wajar. Perasaan ketidakadilan mengakibatkan perubahan kinerja. Menurut Adam, bahwa keadaan tegangan negatif akan memberikan motivasi untuk melakukan sesuatu dalam mengoreksinya.

Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar sebagai berikut:

  1. Orang berusaha menciptakan dan mempertahankan suatu kondisi keadilan
  2. Jika dirasakan adanya kondisi ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan ketegangan yang memotivasi orang untuk menguranginya atau menghilangkannya
  3. Makin besar persepsi ketidakadilannya, makin besar memotivasinya untuk bertindak mengurangi kondisi ketegangan itu.
  4. Orang akan mempersepsikan ketidak yang tidak menyenangkan (misalnya menerima gaji yang terlalu sedikit) lebih cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan (misalnya, mendapat gaji yang terlalu besar)

Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun tempat lain.

Menurut teori ini elemen-elemen dari teori equity ada tiga, yaitu: input, out comes, comparison person, dan equity – inequity.

  • Input; yaitu berbagai hal yang dibawa dalam kerja seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan. Input dengan demikian berarti segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan.
  • Output; yaitu apa yang diperoleh dari kerja seperti gaji, fasilitas, jabatan. Output berarti segala sesuatu yang berharga , yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya.
  • Comparison person; orang lain sebagai tempat pembanding, sebagai contoh, karyawan dengan pendidikan sama, jabatan sama tetapi gaji yang diterima berbeda.

Comparison persons bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau.
Individu atau karyawan akan merasa adil atau puas apabila A = B seimbang. Sedangkan individu akan merasa tidak adil jika A > B, di mana salah satu untung.

Sebagai contoh, sekretaris seorang kepala bagian merasa bahwa berdasarkan kesibukannya sehari-hari ia bekerja jauh lebih keras (sampai harus lembur) daripada sekretaris dari kepala bagian lain, sehingga mengharapkan hasil-keluaran (gaji) yang lebih besar dari rekannya. Ia akan merasa tidak adil jika ternyata gaji yang ia terima sama besarnya dengan gaji yang diterima oleh rekannya.

Menurut Howell & Dipboye (dalam Munandar, 2001) jika terjadi persepsi tentang ketidakadilan, menurut teori keadilan orang akan dapat melakukan tindakan-tindakan berikut:

  • Bertindak mengubah masukannya, menambah atau mengurangi upayanya untuk bekerja
  • Bertindak untuk mengubah hasil-keluarannya, ditingkatkan atau diturunkan
  • Menggeliat/merusak secara kognitif masukan dan hasil-keluarannya sendiri, mengubah persepsinya tentang perbandingan masukan dan hasil keluarannya sendiri
  • Bertindak terhadap orang lain untuk mengubah masukan dan/atau hasil keluarannya
  • Secara fisik meninggalkan situasi, keluar dari pekerjaan
  • Berhenti membandingkan masukan dan hasil keluaran dengan orang lain dan mengganti dengan acuan lain atau mencari orang lain untuk dibandingkan

Teori Keadilan versi John Rawls

John Rawls (1921–2002) dianggap sebagai moral filosof terpenting dalam tradisi liberal. Ia adalah profesor bidang filsafat politik di Universitas Harvard. Pada tahun 1971 ia mempublikasikan karya paling berpengaruh „Theorie der Gerechtigkeit“ yang banyak didiskusikan tahun 1980 - 1990 an.

Teori Keadilan (Theorie der Gerechtigkeit) John Rawl merupakan perspektif tandingan terhadap radikalisme pasarnya era Reagen dan Thatcher. Juga sebagai “geistig moralische Wende” alias “Putar haluannya jiwa dan moral”, sebagaimana tuntutan pemerintahan Helmut Kohl (sebagai konteks historis, bandingkan Nida-Rümelin 1997 halaman 15 dst.)- Justru secara sosial- demokratis, teori John Rawl menjadi bahan perdebatan yang sangat hangat.

Dalam teorinya, Rawls menganalisa regulasi dari berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat. Lewat kerjasama anggota masyarakat harus berikhtiar, mendistribusikan secara adil barang/harta benda/kekayaan masyarakat yang relatif pas-pasan.

Rawl berpendapat, bahwa

  • ide-ide mendasar dan prinsip-prinsip umum keadilan dapat diformulasikan agar bisa disepakati oleh setiap orang;

  • terutama dalam demokrasi ketika keberadaan setiap warga yang bebas dan sama, saling berhubungan satu dengan lainnya,

  • bertolak dari landasan ini, bisa ditemukan prinsip-prinsip kerjasama sosial

Seperti halnya John Locke, Rawl berangkat dari sebuah titik awal. Hanya saja, Rawl tidak bertolak dari satu kondisi alami yang nyata, melainkan berdasarkan keadaan hipotesis. Di sana, terdapat manusia-manusia yang bebas dan sama, yang hanya mengekor pada kepentingan pribadinya, berkumpul guna berkompromi terhadap prinsip-prinsip keadilan.

Termasuk juga kedalam eksperimen pemikiran ini adalah belum jelasnya kedudukan setiap individu dalam masyarakat. Oleh karenanya, bagi Rawl, segenap individu haruslah memiliki kepentingan, bahwa individu yang berkedudukan terburuk setidaknya menempati posisi yang baik („Dalil Maximin“).

Dari teori Rawl yang luas itu, perlu dicermati dua prinsip pokok. Berdasarkan kedua prinsip tersebut dapatlah diuji, apakah prinsip-prinsip pokok tersebut setidaknya sesuai dengan penyebutannya.

Jasa John Rawl, antara lain bahwa ia mengembangkan sudut pandang liberal tentang pembagian barang/kekayaan sosial menjadi satu teori, sehingga keadilan pembagian itu didefinisikan ulang. Dengan demikian, Rawl telah mengawinkan tradisi liberal yang menuntut pemberian dan penjaminan hak-hak kebebasan dengan ide-ide Sosial Demokrasi tentang Kesetaraan dan Keadilan.

Dalam teorinya, Rawl memformulasi dua prinsip dasar:

  • Prinsip pertama berangkat dari sederet kebebasan dasar, yang harus dimiliki oleh setiap individu, agar ia dapat memanfaatkan kebebasannya. Petunjuk atas „sistem yang sama“ memperjelas, bahwa setiap perbuatan/tingkah laku haruslah tetap terabstraksikan dari individu yang kongkrit. Prinsip pertama tidak dapat disangkal oleh hampir segenap penulis

    Sesuai tradisi liberal, Rawl berasumsi, bahwa secara mutlak, prinsip pertama haruslah lebih diprioritaskan ketimbang prinsip kedua.

  • Berbeda dengan prinsip pertama, prinsip kedua yang disebut prinsip perbedaan, kedudukannya terbilang rumit dan kontroversial. Dalam hal ini, Rawl mengusulkan norma abstrak, di mana perbedaan perlakuan bisa dinilai sebagai sah dan dapat diterima. Pembagian yang tidak adil itu hendaknya dikaitkan dengan dua persya- ratan berikut :

    • Pembagian yang tidak adil itu menguntungkan pihak yang selama ini dirugikan,
    • Jabatan dan kedudukan terbuka bagi setiap orang.

Satu formulasi yang bermakna mirip dengan formulasi Kant: Setiap perbuatan adalah sah, menurut kaidah kebebasan penuh seseorang bisa berlaku bersamaan dengan kebebasan setiap orang yang sesuai de-ngan hukum”(Kant 1963:33)

Akan tetapi, hal ini merupakan pandangan yang problematis, baik faktual maupun logis, seperti yang dibeberkan secara jelas oleh Meyer

Persyaratan pertama untuk „Pembagian Tidak Adil yang sah/dapat diterima“ oleh Rawl ditetapkan sebagai akibat dari pembagian yang timpang dalam masyarakat.

Persyaratan kedua terkait dengan „keadilan akses“. hanya bisa dilaksanakan jika setiap orang secara prinsip memiliki akses pada jabatan dan kedudukan.

Hanya jika akses pada jabatan dan posisi secara prinsip dimungkinkan bagi setiap orang, maka pembagian tidak adil dapat diabsahkan. Jika diformulasikan secara tajam, hal itu berarti„semuanya mempunyai peluang yang adil“.

Bukan hanya secara ilmiah, namun juga secara politis, „prinsip perbedaan“ ini sangat kontroversial. Akan tetapi, sebelum dapat dipersoalkan, apakah „prinsip perbedaan“ itu merupakan definisi yang tepat atau tidak keliru untuk keadilan, hendaknya argumentasinya diuji pada contoh praktis. Dalam contoh praktis dapat ditemui beberapa argumentasi politis, yang dapat diuji ihwal „legitimitas“nya ter- hadap kedua „Prinsip“ Rawl. Sebaiknya, pikirlah masak-masak terlebih dahulu, apakah pikiran spontan anda itu anda anggap benar.

Referensi :

  • Immanuel Kant (1963), Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, in: Kants Werke in sechs Bänden, hg. von W. Weischedel, Bd. IV, Darmstadt.