Apa yang dimaksud dengan Teori Hubungan Dialektik?

Dialog

Teori dialektika relasional adalah sebuah konsep dalam teori komunikasi. Konsep ini bisa ditafsirkan sebagai

simpul kontradiksi dalam hubungan pribadi atau interaksi terus-menerus antara kebalikan atau kecenderungan untuk menentang.”

Teori ini, pertama kali diusulkan masing-masing oleh Leslie Baxter dan WK Rawlins pada tahun 1988, mendefinisikan pola komunikasi antara mitra hubungan sebagai akibat dari ketegangan dialektis endemik.

Yang menyatakan bahwa hidup berhubungan dicirikan oleh ketegangan-ketegangan atau konflik antar individu. Konflik tersebut terjadi ketika seseorang mencoba memaksakan keinginannya satu terhadap yang lain.

Relational Dialektika merupakan penjabaran ide Mikhail Bakhtin bahwa hidup adalah sebuah monolog terbuka dan manusia mengalami tabrakan antara menentang keinginan dan kebutuhan dalam komunikasi relasional.

Baxter termasuk bagian dari Ketegangan dialektis yang mengingatkan kita bahwa hubungan yang terus berubah, dan bahwa hubungan yang sukses dan memuaskan membutuhkan perhatian konstan.

Apa yang dimaksud dengan Teori Hubungan Dialektik ?

1 Like

Selama beberapa tahun, Leslie Baxter (dalam Morisson, 2013) dan beberapa orang temannya mempelajari cara-cara yang kompleks mengenai bagaimana orang menggunakan komunikasi untuk mengelola atau mengatur kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan yang berpotensi mengganggu hubungan dengan orang lain pada waktu tertentu.

Baxter menyusun teori yang dinamakannya “teori dialogis” (dialogical theory) berdasarkan berbagai konsep yang telah dikemukakan seorang ahli sebelumnya. Dengan kata lain, suatu hubungan didefinisikan atau ditentukan maknanya melalui suatu dialog di antara banyak suara.

Namun pada saat yang sama, Baxter juga menjelaskan bahwa teorinya sebagai bersifat dialektis (dialectical), artinya bahwa suatu hubungan adalah tempat di mana berbagai pertentangan atau perbedaan pendapat (kontradiksi) dikelola atau diatur.

Dialektik mengacu pada ketegangan di antara berbagai kekuatan yang saling bertentangan yang berada dalam suatu sistem. Di dalam kehidupan, kita sering kali menghadapi dua pilihan situasi atau pendapat dan saran, yang sama- sama kuat sehingga menyulitkan kita untuk mengambil keputusan.

Ketika Baxter menulis bahwa hubungan bersifat dialogis dan dialektis, maka yang dimaksudnya adalah adanya ketegangan yang timbul dalam suatu hubungan (dialogis), dan ketegangan itu dikelola melalui percakapan yang terkoordinasi (dialektis).

Menurut Baxter (dalam Morisson, 2013), hubungan memiliki sifat yang dinamis, dan komunikasi pada dasarnya adalah upaya bagaimana orang mengelola persamaan dan perbedaan. Sebenarnya komunikasi menuntun kita untuk bersama-sama menuju kesamaan (similary) namun komunikasi juga menciptakan, mempertahankan, dan mengelola berbagai perbedaan.

Baxter mengemukakan empat sudut pandang untuk melihat proses dialog dalam suatu hubungan sebagai berikut:

1. Hubungan Terbentuk Melalui Dialog

Sudut pandang Baxter yang pertama menyatakan bahwa hubungan terbentuk melalui dialog (relationship are made in dialogue), dialog menentukan bagaimana individu memberi makna atau mendefinisikan hubungan yang dimiliki dengan orang lain. Ide mengenai diri sendiri (self) dan orang lain (other) serta hubungan yang terjalin antara individu dengan individu lain (relationship) dibangun atau dikontruksikan melalui pembicaraan yang terjadi dalam dua cara.

  • Pertama, individu dapat menciptakan momen atau peluang, atau sering kali titik balik, yang akan diingat sebagai hal yang penting dalam hidup. Baxter menamakan hal ini “kesamaan kronotopis” (chronotopic similarity).

  • Kedua, pada saat yang sama individu melihat adanya perbedaan antara diri sendiri dengan orang lain selama menjalin hubungan. Hal ini memungkinkan setiap individu membuat dirinya terpisah dan berkembang sendiri sebagai seorang manusia yang berbeda, suatu konsep yang dinamakan self-becoming atau menjadi diri sendiri. Dengan kata lain, persamaan dan perbedaan merupakan hasil percakapan baik antara pasangan individu dalam suatu hubungan ataupun dengan orang-orang lain yang berada di luar hubungan.

2. Dialog Memberikan Peluang untuk Mencapai Kesatuan dalam Perbedaan

Sudut pandang Baxter yang kedua menyatakan bahwa dialog memberikan peluang untuk mencapai kesatuan dalam perbedaan.

dialogue affords an opportunity to achieve a unity within diversity

Melalui dialog kita dapat mengelola kesatuan sentrifugal dan sentripetal yang bersifat saling memengaruhi satu sama lain, yaitu kekuatan yang mendorong terjadinya pemisah dan kekuatan yang mendorong terjadinya penyatuan; kekuatan yang menimbulkan keinginan terjadinya kekacauan (sense of chaos) dan kekuatan yang memberikan perasaan untuk mempertahankan keutuhan.

Berbagai kekuatan yang saling berlawanan ini bersifat dialektis yang meibatkan ketegangan diantara dua atau lebih elemen yang saling bertentangan dalam suatu sistem, dan dalam hal ini hubungan menyediakan konteks yang digunakan untuk mengelola berbagai kontradiksi atau pertentangan.

Gagasan Baxter ini sekilas tampaknya dipengaruhi juga oleh tradisi sibernetika. Tradisi sibernetika melihat cara-cara bagaimana berbagai kekuatan yang saling bertentangan menciptakan keseimbangan dan perubahan dalam suatu sistem.

Namun demikian Baxter justru ingin menjaga jarak dengan tradisi sibernetika, karena ia tidak ingin menimbulkan kesan bahwa hubungan menjadi semacam sistem kekuatan yang berimbang (balancing system of force). Sebaliknya, karya Baxter secara lebih tepat menggambarkan gagasan dari paham konstruksi sosial. Individu dalam hubungannya dengan individu lain membuat dan mengelola berbagai kekuatan yang akan mendefinisikan atau mengelola hubungan dalam perkembangannya sepanjang waktu. Kuncinya di sini adalah kontradisksi.

Walaupun kontradiksi sering disebut sebagai pertentangan antara dua kutub (bipolar opposites) misalnya keadaan independen/dependen, atau stabilitas/perubahan, namun Baxter dan Montgomery menilai pertentangan semacam ini terlalu menyederhanakan proses kontradisksi yang sebenarnya jauh lebih kompleks, di mana berbagai kekuatan saling berkaitan satu sama lainnya.

Pada saat tertentu kekuatan sentripetal tertentu akan bergerak saling berlawanan dengan kekuatan sentrifugal tertentu. Baxter dan Montgomery melihat hal ini sebagai kumpulan kekuatan atau “ikatan kontradiksi” (knot of contradiction). Masing-masing ikatan terdiri dari berbagai kontradiksi yang saling berhubungan yang dapat terjadi dalam suatu hubungan. Dalam hal ini terdapat tiga ikatan kontradiksi, yaitu:

  • Penyatuan dan pemisahan. Ikatan kontradiksi penyatuan dan pemisahan adalah ketegangan yang muncul karena adanya perasaan dekat atau perasaan jauh dalam menjalin hubungan dengan seseorang.

  • Ekspresi dan nonekspresi. Ini adalah ketegangan antara keinginan untuk mengungkapkan informasi atau menyimpan informasi.

  • Stabilitas dan perubahan. Ketegangan antara keinginan untuk dapat diperkirakan (predictable) dan konsisten, melawan keinginan untuk bersikap spontan dan berbeda.

Baxter menekankan pada ketiga kontradiksi tersebut karena dampak dari berbagai pasangan kekuatan tersebut dalam memengaruhi perkembangan hubungan. Carol Werner dan Leslie Baxter mengemukakan lima kualitas yang berubah ketika hubungan berkembang yaitu kualitas amplitude, salience, skala, sekwen, dan langkah.

  • Amplitude, yaitu kualitas kekuatan perasaan, perilaku, atau keduanya.

  • Salience, yaitu kualitas untuk fokus pada masa lalu, sekarang, dan masa depan.

  • Skala, kualitas dalam hal berapa lama pola-pola kegiatan tertentu berlangsung.

  • Sequence, kualitas yang terkait dengan urutan peristiwa dalamsuatu hubungan. Sequence adalah berbeda antara satu momen dengan momen lainnya. Beberapa sequence cenderung stabil dan berlangsung lama sedangkan sequence lainnya berlangsung singkat dan mudah digantikan dengan pola-pola perilaku baru dalam hubungan.

  • Ritme, kualitas yang terkait dengan kecepatan peristiwa dalam suatu hubungan dan interval di antara peristiwa. Selama periode waktu tertentu dalam hubungan, peristiwa dapat terjadi dengan cara sangat cepat. Pada kesempatan lainnya, kecepatan peristiwa terasa berjalan sangat lambat.

3. Dialog Bersifat Estetis

Sudut pandang Baxter yang ketiga menyatakan bahwa dialog bersifat estetis (dialogue is aesthetic) yang mencakup rasa keseimbangan (balance), kesatuan (coherence), bentuk (form), dan keseluruhan (wholesness). Seseorang tidak hanya mampu memberikan mana terhadap suatu hubungan, tetapi juga menjelaskan dan menceritakan kepada orang lain seperti apakah hubungan itu. Karakteristik dari suatu hubungan adalah refleksi atau gambaran estetisnya yang tercipta melalui dialog.

Dengan demikian, walaupun kehidupan sosial nampaknya ‘berantakan’ tetapi kita dapat memberikan rasa keteraturan (sense of order) melalui dialog. Komunikator dalam hubungan dengan orang lain dapat menkonstruksikan suatu perasaan keseluruhan dan perasaaan kesatuan yang merupakan sifat estetis dialog.

Sifat estetis dialog dapat terjadi dalam beberapa cara, misalnya menciptakan “perasaan kontuinitas sementara” (feeling of temporal contuinity), yaitu suatu rasa mengenai apa yang terjadi sekarang adalah terhubungan atau terkait dengan apa yang terjadi sebelumnya.

Individu juga dapat menciptakan perasaan “hubungan yang menyatu” (feeling of unified relationship), maksudnya walaupun terdapat perbedaan antara invidu dengan individu lain, ia tetap memiliki perasaan “bersama-sama” (being together) sebagai satu kesatuan.

4. Dialog Adalah Wacana

Pandangan Baxter yang keempat menyatakan bahwa dialog adalah wacana (discourse). Pandangan ini mengacu pada gagasan bahwa hasil dialog yang bersifat praktis dan estetis tidaklah muncul begitu saja tetapi sengaja di ciptakan dalam komunikasi. Hal yang penting adalah bagaimana tindakan atau perilaku komunikator sepanjang waktu hubungannya.