Apa yang dimaksud dengan Teori Hegemoni dalam ilmu sastra?

Teori Hegemoni

Hegemoni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan, adalah kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, di suatu negara atas negara lain.

Bagaimana Teori Hegemoni menurut versi lain yang Anda ketahui?

Hegemoni berasal dari akar kata bahasa Yunani hegeisthai (to lead atau shidouken) yang artinya memimpin, kepemimpinan, ataupun kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Dengan demikian, secara leksikografis hegemoni mempunyai arti ‘kepemimpinan’. Namun, dalam kehidupan sehari-hari istilah hegemoni dikaitkan dengan dominasi.

Istilah hegemoni sendiri sering dikacaukan dengan istilah ideologi karena terdapat unsur kepemimpinan dan persetujuan dari kelompok yang dihegemoni. Hal ini sangat berbeda, karena dalam hegemoni yang mempunyai struktur lebih kompleks dapat terkandung ideologi, namun belum tentu sebaliknya (Ratna, 2010:175). Hegemoni juga banyak dipakai oleh para ahli sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan. Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok berkuasa.

Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep tersebut dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis Ortodoks. Menurut Chantal Mouffe istilah hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul “Notes on The Sourthen Question”. Berbeda halnya dengan pendapat Roger Simon karena istilah hegemoni telah digunakan Plekhanov dan para pengikut Marxis pada umumnya sekitar tahun 1880-an (Ratna, 2010:176).

Kepemimpinan merupakan sebuah hegemoni seperti yang dikemukakan oleh Gramsci. Hegemoni itu didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan elit-politis. Dalam hegemoni perlu diperhatikan kecenderungan dan interes-interes suatu kelompok tempat hegemoni tersebut dijalankan. Terdapat pengorbanan tertentu yang dilakukan secara kompromi oleh kelompok dalam berbagai hal, baik dalam aktivitas ekonomi maupun elit-politis (Faruk, 2010:142).

Hegemoni Gramscian populer pada dekade 1970-an hingga 1980-an dengan memberikan perhatian pada proses pemaknaan yang didominasi oleh praktik otoritatif. Dalam analisis Gramscian, ideologi dipahami sebagai ide yang mendukung kelompok sosial tertentu. Benet membandingkan konsep kebudayaan menurut Foucault dan Gramsci. Pusat perhatian Foucoult pada pemerintahan birokrasi, sedangkan Gramsci pusat perhatiannya adalah ideologi. Bagi Foucoult kekuasaan tidak mempunyai asal usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan kekuasaan (hegemoni) menurut Gramsci mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal (Ratna, 2010:179).

Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik dan kompromi yang di dalamnya terdapat kelas fundamental yang nanti akan muncul sekaligus sebagai dominan dan direktif dalam batas-batas ekonomik, bahkan hingga dalam batas- batas moral dan intelektual. Hegemoni yang mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat dalam suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian sempit, tetapi juga mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan secara berlebihan pada pentingnya dasar ekonomi masyarakat, berbeda dengan gagasan liberal Gramsci yang berpegang pada penyatuan kedua aspek tersebut. Salah satu cara yang terdapat di dalamnya yaitu “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan melalui “kepercayaan-kepercayaan populer” (Faruk, 2012:143-144).

Menurut Gramsci, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu:

  1. bahasa merupakan sarana utama yang berpengaruh terhadap konsep dunia tertentu. Makin luas wilayah maka makin banyak bahasa yang dikuasai, dan makin mudah dalam penyebaran ideologi;

  2. pendapat umum (common sense) yang bersifat kolektif. Menurut Gramsci budaya pop telah menjadi arena penting dalam pertarungan ideologi. Melalui pendapat umum maka dibangunlah ideologi, yang juga berfungsi untuk melawan ideologi;

  3. Folklor, dalam hal ini meliputi kepercayaan, opini, dan takhayul juga sangat berperan dalam menopang hegemoni, kekuatan ini berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan. Pada dasarnya hegemoni tidak dapat dipaksakan dari pemimpin, namun tidak juga berkembang secara bebas atau tidak disengaja, hegemoni diperoleh dari negoisasi dan kesepakatan (dalam Ratna, 2010:184).

Raymond Williams dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci, membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga kategori yaitu kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan atau residual. Kebudayaan hegemonik atau dominan merupakan kebudayaan yang mendominisi, namun tidak secara pasif, melainkan sesuatu yang terus-menerus harus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi.

Selanjutnya, kebudayaan bangkit atau yang diperjuangkan yaitu praktik-praktik, makna-makna, dan nilai-nilai baru, dan jenis-jenis hubungan yang tidak hanya bersangkutan dengan ciri-ciri kebudayaan dominan, melainkan secara substansial merupakan alternatif yang bertentangan dengannya. Kemudian, kebudayaan residual mengacu pada pengalaman, makna-makna, nilai-nilai yang dibentuk masa lalu, meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan dominan, terus hidup dan dipraktikkan pada masa kini (Faruk, 2012:155-56).

Teori hegemoni Gramcsi merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai. Titik awal konsep Gramcsi tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004).

Dalam kerangka teori hegemoni Gramsci, kesusastraan, menjadi salah satu bagian dari dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur yang tidak hanya sebagai refleksi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri (Faruk, 2003).

Hegemoni sebagai konsep yang dikembangkan Gramsci (Abercombie, via Kurniawan, 2010) menggambarkan bahwa dominasi suatu kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat) terjadi karena aspek ideologis-politis. Hegemoni bergerak dari wilayah lembaga-lembaga sosial, tokoh-tokoh intelektual, sampai kepada kelas sosial yang menjadi sasarannya.

Konsep hegemoni dipakai untuk menganalisis proses kultural dalam peranannya yang aktif atau konstitutif. Di samping itu, juga dipakai untuk menganalisis bentuk-bentuk kultural oposisional dan alternatif yang mungkin menentang tatanan dominan, bahkan ketika bentuk-bentuk itu masih terbungkus atau termarginalisasikan oleh batas-batas dan tekanan hegemonik (Williams, Faruk, 2003).

Karya sastra menurut konsep hegemoni Gramsci sebagai pengungkapan ideologi yang disalurkan pengarang lewat karyanya untuk dibaca dan dipahami.

Sebagai produk kebudayaan, karya sastra merupakan situs hegemoni. Di dalam karya sastra terjadi ideologi yang menghegemoni di masyarakat di counter dengan ideologi pengarang. Gramsci kemudian memetakan tiga cara dalam penyebaran ideologi, yaitu pertama melalui bahasa, bahasa mengandung elemen-elemen yang mencerminkan suatu konsespsi mengenai dunia dan kebudayaan. Kedua, common sanse, konsepsi tentang dunia yang paling permissif tetapi tidak sistematik. Ketiga, folklor sebagai sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul-tahayul, opini-opini dan cara melihat sesuatu dengan tindakan-tindakan tertentu.

Sebagai salah satu situs hegemoni, menurut Gramsci (Harjito via Nurhadi, 2004) dalam sebuah karya sastra terdapat formasi ideologi. Formasi merupakan suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan sub ordinatif. Untuk mencapai hegemoni tersebut, maka ideologi haruslah disebarkan, penyebaran tersebut tidak terjadi dengan sendirinya melainkan melalui lembaga- lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya (Faruk, 2003).

Studi sastra yang mendasari pada teori hegemoni tersebut diantaranya adalah studi sastra Raymond Williams. Williams menerapkan hegemoni Gramsci untuk membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi 3 kategori, yaitu kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit, endapan atau residial (Faruk, 2003).

Studi tersebut menunjukkan bahwa kesusastraan mempunyai fungsi untuk memberikan kekuatan pada pola pikir masyarakat melalui bentuk-bentuk pemahaman kesadaraan terhadap alam pikiran masyarakat pembaca.

William (Johnson via Faruk, 2003) mengangap bahwa konsep hegemoni melampaui konsep ideologi dengan tekanannya pada kesepakatan dengan tatanan sosial yang berkuasa yang diamankan lewat cara yang di dalamnya proses sosial lebih dihayati daripada dipaksakan dengan pemaksaan gagasan atau kesadaraan oleh suatu kelas terhadap kelas lain.

Sastra dalam perspektif Gramsci dipandang sebagai dua hal yakni, sastra sebagai gejala pertama untuk merepresentasikan idologi kelas sosial si pengarang dalam mengonsep pandangannya tentang dunia. Sastra dianggap sebagai media hegemoni dan media mengidentifikasikan ideologi yang terjadi di masyarakat. Kedua, ideologi dalam sastra bisa juga diidentifikasikan dengan memahami sastra dalam konteks otonominya karena merupakan wujud dari intuisi-imajinasi pengarang (Kurniawan, 2012).

Antonio Gramsci merupakan pemikir Italia yang terpengaruh oleh pemikiran Marxisme dan filsafat Hegel, meskipun kemudian merevisi dan mengkritik gagasan tersebut (Anwar, 2012). Gramsci (via Anwar, 2012) juga dikenal sebagai kritikus teater selain sebagai komentator politik yang kemudian dipenjara bersama 20 orang aktivis lainnya dengan tuduhan pemberontakan bersenjata sejak 1928 hingga 1937. Selama periode tersebut, ia menulis catatan intelektual penting yang dibukukan dengan judul Selection from the prison notebooks (Anwar, 2012). Selama mendekam di penjara, ia menuliskan pokok-pokok pemikirannya tentang peran intelektual dengan mengungkapkan konsep intelektual organik. Setelah itu satu persatu pemikiran konseptual lainnya muncul, seperti hegemoni, negara, dan civil society (Hoare dan Smith, 2000).

Teori tersebut sering kali disebut juga sebagai teori kultural/ideologis general dan digunakan untuk memahami bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologi yang dianggap memiliki kekuatan untuk memformasi masyarakat (Faruk, 2003). Teori hegemoni Gramcsi merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai. Titik awal konsep Gramcsi tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004).

Sebagai pemikir Marxis Italia setelah Marx, pemikirannya banyak berhubungan dengan masalah politik praktis sehingga pandangan Gramsci yang paling dominan adalah hegemoni. Secara literer hegemoni bearti “kepemimpinan” lebih sering kata itu digunakan untuk para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci (Faruk, 2003) hegemoni bearti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya dalam suatu masyarakat yang ada suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sesuatu yang berbeda dari dominasi yang bersifat memaksa.

Dalam hal ini Gramsci merumuskan konsepnya merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang; dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perseorangan, yang kemudian dapat membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjukkan pada moral. Sehingga hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator (Williams via Patria&Arief, 2009). Dengan kata lain Gramsci menghubungkan hegemoni dengan masyarakat sipil dan membedakan hegemoni yang berbasis pada kesepakatan dengan masyarakat politik yang bersifat diktaktor. Menurut Bellamy (via Patria&Arief, 2009) hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih kelompok atau klas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi lainnya. Dalam kerangka teori Gramsci setidaknya terdapat lima konsep kunci yaitu.

1) Kebudayaan

Menurut Gramsci (via Faruk, 2003) kebudayaan sebagai organisasi, disiplin batiniah seseorang, yang merupakan pencapaian suatu kesadaraan yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya, seseorang berhasil dalam memahami nilai historis dirinya, fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya. Meski demikian, melalui Faruk (2003) konsep serupa tidak dapat muncul secara sepontan, melalui serangkaian aksi dan reaksi yang lepas dari kehendak seseorang. Gramsci, kenyataan menunjukan bahwa hanya pada tingkatantingkatan tertentu, satu tahap pada satu waktu, kemanusiaan memperoleh kesadaran akan nilainya dan memenangkan untuk dirinya sendiri hak untuk melemparkan pola-pola organisasi yang dipaksakan padanya oleh minoritas pada suatu periode yang lebih awal dalam sejarah (Faruk,2003).

2) Hegemoni

Menurut Gramsci, hegemoni didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politik. Supermasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual” suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderung ia “hancurkan”, atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara (Faruk, 2003). Atau kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya (Patria & Arief, 2009).

3) Ideologi, Kepercayaan, dan Kebiasaan Umum

Bagi Gramsci melalui Faruk (2003) ada tiga cara penyebaran gagasangagasan atau filsafat, yaitu melalui bahasa, common sense, dan folklor. Common sense, bagi Gramsci mempunyai dasar dalam pengalaman popular tetapi tidak mempersentasikan suatu konsepsi yang terpadu mengenai dunia seperti halnya filsafat. Gramsci telah memasukkan konsep filsafat dan common sense ke dalam konsep generalnya, yaitu hegemoni yang menuntut adanya kontak kultural antara “yang memimpin” dengan “yang dipimpin” (Faruk, 2003). Filsafat atau konsepsi mengenai dunia bagi Gramsci (via Faruk, 2003) bukan persoalan akademik, melainkan merupakan persoalan politik, filsafat telah menjadi suatu gerakan kebudayaan, suatu ideologi dalam pengertian luas, sebagai suatu konsepsi mengenai dunia yang secara implisit memanifestasikan dirinya dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi dan dalam kehidupan individual maupun kolektif sebagi ideologi filsafat menjadi alat pemersatu antara kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan.

4) Kaum intelektual

Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan dan penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya akan tetapi melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya (Faruk, 2003). Intelektual di sini dipahami sebagai suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas –entah dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik (Faruk, 2003). Setiap kelompok sosial dalam lapangan ekonomi menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberinya homogenitas dan suatu kesadaran mengenai fungsinya sendiri tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi juga dalam lapangan sosial dan politik (Faruk, 2003).

5) Negara

Gramsci (via Faruk, 2003) membedakan negara menjadi dua wilayah dalam negara yakni, dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik. Yang pertama penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan”, “kehendak bebas”, sedangkan wilayah kedua merupakan dunia kekerasan, pemaksaan, dan intervensi. Menurut Gramsci, negara kompleks yang menyeluruh aktivitas-aktivitas teoretis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintahnya (Faruk, 2003).