Apa yang dimaksud dengan Teori Face-Negotiation dalam Ilmu Komunikasi?

Komunikasi

Teori Negosiasi Rupa pertama kali dikembangkan oleh Stella Ting Toomey dan koleganya pada tahun 1985 untuk memahami bagaimana budaya yang berbeda di seluruh dunia menanggapi konfik. Teori negosiasi rupa memberikan sebuahdasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akanmenyelesaikan karya rupa dalam kebudayaan yang berbeda.
Teori ini berpendapat “rupa” atau Citra diri sebagai fenomena universal yang meliputi lintas budaya. Dalam konfik misalnya bagaimana rupa seseorang yang terancam dan dengan apa orang cenderung untuk menyimpan atau mengembalikan rupanya. Pengaturan perilaku komunikasi ini disebut “karyarupa”.

Karya rupa adalah perilaku komunikasi yang digunakanuntuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi membangun atau mengancam rupa orang lain. Karena orang membingkai makna terletak dari “rupa” danmemberlakukan “karya rupa” berbeda dari satu budaya ke yang berikutnya teori menimbulkan kerangka budaya umum untuk memeriksa negosiasi karya rupa.

image

Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya muka dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Muka atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain.

Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya muka adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam muka orang lain.

Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi muka memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey—pencetus teori ini—berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana muka dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.

Teori negosiasi muka adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai “muka” orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda. Muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu.

Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Muka juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina.

Bagi bangsa Cina muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri. Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan muka sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat.

Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah “tebal muka”, “muka tembok”, jaim (jaga image), muka cemberut, muka kusut, dan lain sebagainya.

Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Yokochi, Masumoto &Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal. Namun demikian konsep muka ini kajian meluas tidak hanya pada konteks interpersonal namun dalam semua kontkes komunikasi. Seperti halnya bagaimana Presiden SBY—yang terkenal dengan presiden yang sangat menjaga citra—sebelum melakukan pidato, tidak jarang sangat memperhatikan penampilan apakah ia sudah nampak sempurna riasan di wajah, pecinya bahkan dasi atau aksesoris yang dikenakan lainnya. Istilah ini bisa juga bisa digunakan hingga bagaimana kita memakai pada konteks muka sebagai suatu bangsa yang besar (wajah Indonesia atau potret Indonesia).

Ting-Toomey (2004) telah memperluas pemikiran Goffman. Ia menggabungkan beberapa pemikiran dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal. Ia juga berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka melibatkan penampilan dari bagian depan (front stage) yang beradab kepada individu lain.

Dalam hal ini, muka juga merupakan identitas yang didefinisikan oleh dua orang secara bersamaan dalam sebuah konteks komunikasi. Selain itu, muka adalah citra diri yang diakui secara sosial dan isu-isu citra lain yang dianggap penting. Oleh karena itu, muka adalah fenomena lintas budaya, yang artinya semua individu dalam semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya.

Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan yang merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di dalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara sama. Ting-toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan baik muka seseorang maupun muka orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain.

Contoh yang bisa dipakai adalah bagai mana ketika kita bertemu dengan orang yang berbeda budaya selalu berusaha menjaga image dan bersikap santun agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Sementara kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan—otonomi. Contohnya ada sebagian budaya yang tidak suka tergantung kepada orang atau budaya lain, sehingga penampilan atau muka yang tampak bersifat cukek atau tidak peduli dengan orang lain.

Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan stratei kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang. Kebutuhan akan muka menjelaskan mengapa seorang mahaiswa yang ingin meminjam catatan temannya tidak akan meminta dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?”), tetapi lebih sering meminta dengan memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu sebentar? Saya mau fotokopi, dst—sambil memberikan banyak alasan lain).

image

Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain.

Teori ini dapat diperluas dengan mengidentifikasi tiga jenis facework, seperti dijelaskan oleh Te-Stop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian.

  • Pertama facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana ia inginkan.

  • Kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok dalam (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang berbicara, maksudnya perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama.

  • Ketiga, facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan penjelekan dan pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif.

Beberapa asumsi teori Negosiasi Muka mencakup komponen-komponen penting dari teori ini: muka, konflik, dan budaya. Dengan demikian poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:

  1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
    Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau karakter seseorang. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran akan identitasnya atau muka (muka diri) dan identitas atau muka orang lain (muka lain). Budaya dan etnis mempengaruhi identitas diri, cara di mana individu memproyeksikan identitas dirinya juga bervariasi dalam budaya yang berbeda.

    Para individu di dalam semua budaya memiliki beberapa citra diri berbeda bahwa mereka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Rasa akan diri seseorang merupakan hal yang sadar maupun tidak sadar. Artinya, dalam banyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. Bagaimana persepsi rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain mempersepsi kita merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.

  2. Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya.
    Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini. Konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah ‘forum” bagi kehilangan muka dan penghiaan terhadap muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi yang tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina orang lain, memaksakan kehendak, dst), konflik dapat memperparah situasi. Cara manusia disosialisasikan ke dalam budaya mereka dan memengaruhi bagaimana mereka akan mengelola konflik.

  3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan (muka).
    Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka mengancam baik muka positif maupun muka negatif dari para partisipan. Ada dua tindakan yang menyusun proses ancaman terhadap muka: penyelamatan muka dan pemulihan muka.

    • Penyalamatan muka (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali menghindarkan rasa malu.

    • Pemulihan muka (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa kehilangan muka. Orang akan selalu berusaha untuk memulihkan muka dalam respons akan suatu peristiwa. Misalnya, alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik pemulihan muka ketika suatu peristiwa memalukan terjadi.

Sumber : Yasir, “Teori Negosiasi Muka”

Dalam komunikasi sehari-hari, muka itu mempunyai peran sangat penting. Berbagai interaksi, individu secara konstan baik secara sadar maupun tidak sadar selalu tertuju pada penyelamatan muka dan menghormati identitas seseorang.

Muka secara umum dikonseptualisasikan sebagai bagaimana kita ingin orang lain melihat kita dan memperlakukan kita dan bagaimana kita memperlakukan orang lain dalam hubungannya dengan harapan-harapan konsep-diri secara sosial [1].

Orang dalam berbagai budaya dalam segala bentuk situasi komunikasi akan selalu mencoba menjaga muka mereka, namun gaya dan kepedulian terhadap perilaku penyelamatan muka bisa berbeda di setiap budaya baik secara verbal dan nonverbal [2].

Negara seperti Jerman, menggunakan strategi konfrontasi jika muka mereka terancam, sedangkan Jepang cenderung ingin meminimalisir konflik dan mengakomodasi, Cina berusaha menggunakan berbagai macam cara untuk menghindar dan menggunakan pihak ketiga, dan Amerika cenderung mengekspresikan mukanya sesuai dengan perasaan yang dirasakan pada saat konflik [2].

Dalam perspektif mengenai teori negosiasi muka yang diciptakan oleh Stella Ting Toomey, ketika terjadi konflik, orang yang berasal dari budaya kolektifis akan cenderung menyelamatkan muka orang lain dibandingkan muka diri sendiri.

DEFINISI KONSEP MUKA

Muka itu dalam pengertiannya bisa dibagi menjadi dua,yaitu muka fisik dan muka non fisik. Muka secara fisik adalah salah satu cara utama yang bisa kita gunakan untuk bisa membedakan orang satu dengan orang lainnya. Sedangkan kata muka disatu sisi bisa diartikan sebagai identitas sosial yang diinginkan seseorang.

Meskipun muka sering diperlakukan sebagai konsep fisik, muka disini akan lebih sesuai jika mengkonseptualisasikan muka sebagai konsep interaksi, karena muka tidak hanya berada pada personalitas atau pribadi seorang individu, tetapi juga berada dalam interaksi komunikator dan makna dalam setiap interaksinya.

Beberapa definisi muka yang berkaitan dengan interaksi adalah sebagai berikut :

  1. Goffman mengkonseptualisasikan muka sebagai suatu citra (image) yang ditunjukkan pada publik atau orang lainnya. Muka termasuk nilai pada seseorang terhadap citra dirinya secara publik, reputasi dan status berhubungan dengan orang lain dalam suatu interaksi [4].

  2. Muka adalah sebagaimana seorang individu ingin orang lain melihat individu tersebut [1].

Dari definisi diatas, maka muka adalah nilai sosial mengenai seperti apa seseorang ingin mempresentasikan dirinya kepada publik. Beberapa karateristik tentang muka adalah sebagai berikut :

a. Muka dikonstruksi dalam interaksi

Dinamika pemeliharaan muka ditentukan tidak hanya oleh siapa dan bagaimana individu mempresentasikannya, tetapi juga bagaimana orang lain merespon presentasi itu. Oleh karena itu, muka adalah konstruk sosial dan menjadi atribut individu.

Jadi, memelihara muka memerlukan kerjasama dari orang lain. Orang lain dapat mendukung atau mengancam muka seseorang, baik melalui perilaku verbal maupun nonverbal, menerima atau menolak muka yang bernilai positif yang diklaim seorang individu.

b. Muka tergantung situasi

Muka dapat berubah dan bersifat dinamis, dan orang akan selalu berusaha untuk menciptakan dan menjaga muka yang meraka harapkan atau inginkan. Dengan kata lain, muka adalah sesuatu yang komunikator kelola. Namun muka tidak selamanya bisa positif, ataupun tetap sama dalam semua situasi.

Muka dapat berubah dari satu situasi ke situasi lainnya, dan muka dapat memiliki nilai yang lebih dalam situasi-situasi tertentu dibanding lainnya.

c. Sensitivitas muka berbeda-beda tergantung budaya

Dalam setiap interaksi, sebenarnya orang selalu fokus dan mempedulikan mukanya baik secara sadar maupun tidak sadar, baik dalam konteks interpersonal, kelompok maupun massa. Muka seseorang akan diperlihatkan ketika ia sedang berkomunikasi dengan orang lain.

Biasanya muka yang ditunjukkan pada orang lain adalah suatu image yang konsisten dengan nilai dan peraturan sosial yang diterima dalam interaksi sosial tertentu. Namun begitu, sensitivitas terhadap muka bisa berbeda-beda pada setiap individu apalagi yang berbeda budaya.

Contohnya pada suku Batak, berbicara dengan suara keras merupakan hal yang biasa jika berinteraksi dengan sesama suku Batak, namun jika berbicara dengan orang yang berasal dari suku Jawa bisa bermasalah karena orang dari suku Batak ini dianggap berbicara dengan emosi dan sedang mengancam muka orang Jawa tadi.

Dari contoh tersebut, memperjelas bahwa sebenarnya muka merupakan suatu hasil yang dibangun dari interaksi sosial. Aturan-aturan tertentu dalam menghormati muka diri sendiri dan orang lain dapat berbeda pada setiap budaya maupun kelompok.

d. Muka terkait dengan strategi penanganan konflik

Salah satu hubungan muka dengan komunikasi adalah mengenai facework yang istilahnya diciptakan oleh Erving Goffman, yaitu perilaku komunikasi yang digunakan seseorang untuk membangun sekaligus menjaga muka diri sendiri dan muka orang lain ketika terjadi konflik [3].

Dari perspektif teori negosiasi muka yang terinspirasi dari karya Goffman, terdapat beberapa proposisi dalam teorinya yang mengkaitkan muka dengan strategi penanganan konflik, yaitu :

  1. budaya individualistik mementingkan muka diri sendiri secara dominan dibandingkan anggota budaya kolektifis sehingga ketika menghadapi konflik mereka cenderung mendominasi dan merasa berkompetisi terhadap lawan konfliknya, sedangkan
  2. anggota dari budaya kolektifis akan lebih peduli mengenai muka kedua belah pihak, baik muka diri sendiri dan muka orang lain dibandingkan budaya individualistik, sehingga ketika terjadi konflik akan cenderung menghindar atau mengakomodir konflik sehingga tidak menyerang dan tidak merugikan kedua pihak.

image

TINDAKAN PENGANCAMAN MUKA

Tindakan pengancaman muka adalah tindakan yang dapat membuat seseorang kehilangan muka seperti mengejek, mengkritik serta mempertanyakan kompetensi seseorang. Ketika muka individu terancam dalam situasi konflik, ia akan mengalami frustasi, kerapuhan emosional, marah, sakit hati, dan bahkan balas dendam [1].

Manusia memiliki dua muka yang diinginkan, yaitu :

  1. muka negatif, yang diartikan sebagai keinginan untuk mempunyai keleluasaan tindakan,penegasan terhadap daerah kekuasaan, perlindungan pribadi, dan hak untuk tidak diganggu, atau keinginan setiap anggota budaya bahwa tindakannya tidak terhalang oleh orang lain,

  2. muka positif, diartikan sebagai penggambaran positif dan konsisten yang dimiliki seseorang untuk diterima atau keinginan untuk disukai oleh orang lain.

Lebih singkatnya, untuk menggambarkan muka negatif dan muka positif adalah keinginan sebagai kebutuhan adanya autonomi dan keinginan untuk diterima. Terdapat sejumlah tindakan yang dapat mengancam muka seseorang. Brown dan Levinson menguraikan empat tipe tindakan pengancaman muka sebagai berikut [5]:

Ancaman Kepada Muka Komunikan

1. Ancaman Pada Muka Positif Komunikan

  1. Komunikator tidak menerima muka komunikan

    • penolakan, kritikan, mengejek, dan sebagainya.
    • pertetangan, ketidaksetujuan, dan sebagainya
  2. Komunikator mengacuhkan muka komunikan

    • mengekspresikan emosi kasar atau sengit
    • topik-topik yang tidak patut
    • cerita yang membual
    • menimbulkan perpecahan atau topik yang menghasut
    • tidak bekerja sama, interupsi, dan sebagainya
    • menggunakan istilah-istilah yang tidak pantas

2. Ancaman Pada Muka Negatif Komunikan

  1. Tindakan komunikator kepada komunikan

    • perintah dan permintaan
    • pemberian saran
    • mengancam, memperingatkan dan menantang
  2. Tindakan komunikator dengan membuat :

    • menawarkan penerimaan yang bersyarat
    • pemberian janji-janji
  3. Reaksi komunikan terhadap :

    • pujian dan kecemburuan komunikator
    • kemarahan dan kebencian komunikator

Ancaman Kepada Muka Komunikator

1. Ancaman pada positif komunikator

  • permintaan maaf : pengakuan terhadap pengancaman muka sebelumnya
  • penerimaan pujian
  • pengakuan rasa bersalah atau tanggung jawab atas tindakan yang tidak pantas
  • emosi yang tidak terkontrol

2. Ancaman pada muka negatif komunikator

  • penerimaan rasa terima kasih
  • permintaan maaf oleh komunikan
  • penerimaan penawaran yang melampaui batas
  • merespon tindakan yang tidak bijaksana

Tindakan pengancaman muka ini sangat tergantung pada beberapa hal, yaitu jarak sosial antara komunikator dan komunikan, kekuasaan pembicara atas pendengar dan nilai-nilai dalam budaya tertentu. Sebagai contoh interaksi antara dosen dan mahasiswa dimana terdapat jarak sosial dan kekuasaan atas satu sama lain.

Dosen dapat mengancam muka mahasiswanya karena memiliki kekuasaan atas mahasiswanya, tetapi tidak untuk sebaliknya. Adanya hubungan antara muka dan harga diri, membuat seseorang termotivasi untuk mengangkat wajahnya dan mencegah mukanya dipermalukan atau diancam. Orang cenderung akan merespon ancaman muka dengan emosi negatif, bervariasi dari merasa kurang nyaman, malu, sampai merasa terganggu dan marah [6].

Semakin besar ancaman terhadap muka seseorang, maka akan semakin hebat respon emosionalnya. Carson dan Cupach telah membuktikan secara empiris bahwa terdapat hubungan antara persepsi mengenai besarnya ancaman muka dengan level kemarahan yang responden rasakan [7].

Referensi :

[1] Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. Sage Publication
[2] Oetzel, John G & Ting-Toomey, Stella. 2003. Face Concerns in Interpersonal Conflict : A Cross-cultural Empirical Test of The Face
Negotiation Theory. Communication Research. 2003 30 : 599.
[3] Gudykunst, W.B. 2005. Theorizing About Intercultural Communication. Thousand Oaks, London, New Dehli : Sage Publications.
[4] Thomas. L.S. 1994. Politeness Theory in Computer Mediated Communication : Face Threatening Acts in a “Faceless” Medium,
Dissertation. Aston University.
[5] Brown, P & Levinson, S.C. 1987. Politeness : Some Universals In Language Usage. Cambridge : CUP.
[6] Andersson, L. M., & Pearson, C. M. 1999. Tit For Tat? The Spiraling Effect Of Incivility In The Workplace.Academy of Management
Review, 24, 452–471
[7] Carson, C. L., & Cupach, W. R. 2000. Facing corrections in the workplace: The influence of perceived face threat on the consequences
of managerial reproaches.Journal of Applied Communication Research, 28, 215–234