Dalam komunikasi sehari-hari, muka itu mempunyai peran sangat penting. Berbagai interaksi, individu secara konstan baik secara sadar maupun tidak sadar selalu tertuju pada penyelamatan muka dan menghormati identitas seseorang.
Muka secara umum dikonseptualisasikan sebagai bagaimana kita ingin orang lain melihat kita dan memperlakukan kita dan bagaimana kita memperlakukan orang lain dalam hubungannya dengan harapan-harapan konsep-diri secara sosial [1].
Orang dalam berbagai budaya dalam segala bentuk situasi komunikasi akan selalu mencoba menjaga muka mereka, namun gaya dan kepedulian terhadap perilaku penyelamatan muka bisa berbeda di setiap budaya baik secara verbal dan nonverbal [2].
Negara seperti Jerman, menggunakan strategi konfrontasi jika muka mereka terancam, sedangkan Jepang cenderung ingin meminimalisir konflik dan mengakomodasi, Cina berusaha menggunakan berbagai macam cara untuk menghindar dan menggunakan pihak ketiga, dan Amerika cenderung mengekspresikan mukanya sesuai dengan perasaan yang dirasakan pada saat konflik [2].
Dalam perspektif mengenai teori negosiasi muka yang diciptakan oleh Stella Ting Toomey, ketika terjadi konflik, orang yang berasal dari budaya kolektifis akan cenderung menyelamatkan muka orang lain dibandingkan muka diri sendiri.
DEFINISI KONSEP MUKA
Muka itu dalam pengertiannya bisa dibagi menjadi dua,yaitu muka fisik dan muka non fisik. Muka secara fisik adalah salah satu cara utama yang bisa kita gunakan untuk bisa membedakan orang satu dengan orang lainnya. Sedangkan kata muka disatu sisi bisa diartikan sebagai identitas sosial yang diinginkan seseorang.
Meskipun muka sering diperlakukan sebagai konsep fisik, muka disini akan lebih sesuai jika mengkonseptualisasikan muka sebagai konsep interaksi, karena muka tidak hanya berada pada personalitas atau pribadi seorang individu, tetapi juga berada dalam interaksi komunikator dan makna dalam setiap interaksinya.
Beberapa definisi muka yang berkaitan dengan interaksi adalah sebagai berikut :
-
Goffman mengkonseptualisasikan muka sebagai suatu citra (image) yang ditunjukkan pada publik atau orang lainnya. Muka termasuk nilai pada seseorang terhadap citra dirinya secara publik, reputasi dan status berhubungan dengan orang lain dalam suatu interaksi [4].
-
Muka adalah sebagaimana seorang individu ingin orang lain melihat individu tersebut [1].
Dari definisi diatas, maka muka adalah nilai sosial mengenai seperti apa seseorang ingin mempresentasikan dirinya kepada publik. Beberapa karateristik tentang muka adalah sebagai berikut :
a. Muka dikonstruksi dalam interaksi
Dinamika pemeliharaan muka ditentukan tidak hanya oleh siapa dan bagaimana individu mempresentasikannya, tetapi juga bagaimana orang lain merespon presentasi itu. Oleh karena itu, muka adalah konstruk sosial dan menjadi atribut individu.
Jadi, memelihara muka memerlukan kerjasama dari orang lain. Orang lain dapat mendukung atau mengancam muka seseorang, baik melalui perilaku verbal maupun nonverbal, menerima atau menolak muka yang bernilai positif yang diklaim seorang individu.
b. Muka tergantung situasi
Muka dapat berubah dan bersifat dinamis, dan orang akan selalu berusaha untuk menciptakan dan menjaga muka yang meraka harapkan atau inginkan. Dengan kata lain, muka adalah sesuatu yang komunikator kelola. Namun muka tidak selamanya bisa positif, ataupun tetap sama dalam semua situasi.
Muka dapat berubah dari satu situasi ke situasi lainnya, dan muka dapat memiliki nilai yang lebih dalam situasi-situasi tertentu dibanding lainnya.
c. Sensitivitas muka berbeda-beda tergantung budaya
Dalam setiap interaksi, sebenarnya orang selalu fokus dan mempedulikan mukanya baik secara sadar maupun tidak sadar, baik dalam konteks interpersonal, kelompok maupun massa. Muka seseorang akan diperlihatkan ketika ia sedang berkomunikasi dengan orang lain.
Biasanya muka yang ditunjukkan pada orang lain adalah suatu image yang konsisten dengan nilai dan peraturan sosial yang diterima dalam interaksi sosial tertentu. Namun begitu, sensitivitas terhadap muka bisa berbeda-beda pada setiap individu apalagi yang berbeda budaya.
Contohnya pada suku Batak, berbicara dengan suara keras merupakan hal yang biasa jika berinteraksi dengan sesama suku Batak, namun jika berbicara dengan orang yang berasal dari suku Jawa bisa bermasalah karena orang dari suku Batak ini dianggap berbicara dengan emosi dan sedang mengancam muka orang Jawa tadi.
Dari contoh tersebut, memperjelas bahwa sebenarnya muka merupakan suatu hasil yang dibangun dari interaksi sosial. Aturan-aturan tertentu dalam menghormati muka diri sendiri dan orang lain dapat berbeda pada setiap budaya maupun kelompok.
d. Muka terkait dengan strategi penanganan konflik
Salah satu hubungan muka dengan komunikasi adalah mengenai facework yang istilahnya diciptakan oleh Erving Goffman, yaitu perilaku komunikasi yang digunakan seseorang untuk membangun sekaligus menjaga muka diri sendiri dan muka orang lain ketika terjadi konflik [3].
Dari perspektif teori negosiasi muka yang terinspirasi dari karya Goffman, terdapat beberapa proposisi dalam teorinya yang mengkaitkan muka dengan strategi penanganan konflik, yaitu :
- budaya individualistik mementingkan muka diri sendiri secara dominan dibandingkan anggota budaya kolektifis sehingga ketika menghadapi konflik mereka cenderung mendominasi dan merasa berkompetisi terhadap lawan konfliknya, sedangkan
- anggota dari budaya kolektifis akan lebih peduli mengenai muka kedua belah pihak, baik muka diri sendiri dan muka orang lain dibandingkan budaya individualistik, sehingga ketika terjadi konflik akan cenderung menghindar atau mengakomodir konflik sehingga tidak menyerang dan tidak merugikan kedua pihak.
TINDAKAN PENGANCAMAN MUKA
Tindakan pengancaman muka adalah tindakan yang dapat membuat seseorang kehilangan muka seperti mengejek, mengkritik serta mempertanyakan kompetensi seseorang. Ketika muka individu terancam dalam situasi konflik, ia akan mengalami frustasi, kerapuhan emosional, marah, sakit hati, dan bahkan balas dendam [1].
Manusia memiliki dua muka yang diinginkan, yaitu :
-
muka negatif, yang diartikan sebagai keinginan untuk mempunyai keleluasaan tindakan,penegasan terhadap daerah kekuasaan, perlindungan pribadi, dan hak untuk tidak diganggu, atau keinginan setiap anggota budaya bahwa tindakannya tidak terhalang oleh orang lain,
-
muka positif, diartikan sebagai penggambaran positif dan konsisten yang dimiliki seseorang untuk diterima atau keinginan untuk disukai oleh orang lain.
Lebih singkatnya, untuk menggambarkan muka negatif dan muka positif adalah keinginan sebagai kebutuhan adanya autonomi dan keinginan untuk diterima. Terdapat sejumlah tindakan yang dapat mengancam muka seseorang. Brown dan Levinson menguraikan empat tipe tindakan pengancaman muka sebagai berikut [5]:
Ancaman Kepada Muka Komunikan
1. Ancaman Pada Muka Positif Komunikan
-
Komunikator tidak menerima muka komunikan
- penolakan, kritikan, mengejek, dan sebagainya.
- pertetangan, ketidaksetujuan, dan sebagainya
-
Komunikator mengacuhkan muka komunikan
- mengekspresikan emosi kasar atau sengit
- topik-topik yang tidak patut
- cerita yang membual
- menimbulkan perpecahan atau topik yang menghasut
- tidak bekerja sama, interupsi, dan sebagainya
- menggunakan istilah-istilah yang tidak pantas
2. Ancaman Pada Muka Negatif Komunikan
-
Tindakan komunikator kepada komunikan
- perintah dan permintaan
- pemberian saran
- mengancam, memperingatkan dan menantang
-
Tindakan komunikator dengan membuat :
- menawarkan penerimaan yang bersyarat
- pemberian janji-janji
-
Reaksi komunikan terhadap :
- pujian dan kecemburuan komunikator
- kemarahan dan kebencian komunikator
Ancaman Kepada Muka Komunikator
1. Ancaman pada positif komunikator
- permintaan maaf : pengakuan terhadap pengancaman muka sebelumnya
- penerimaan pujian
- pengakuan rasa bersalah atau tanggung jawab atas tindakan yang tidak pantas
- emosi yang tidak terkontrol
2. Ancaman pada muka negatif komunikator
- penerimaan rasa terima kasih
- permintaan maaf oleh komunikan
- penerimaan penawaran yang melampaui batas
- merespon tindakan yang tidak bijaksana
Tindakan pengancaman muka ini sangat tergantung pada beberapa hal, yaitu jarak sosial antara komunikator dan komunikan, kekuasaan pembicara atas pendengar dan nilai-nilai dalam budaya tertentu. Sebagai contoh interaksi antara dosen dan mahasiswa dimana terdapat jarak sosial dan kekuasaan atas satu sama lain.
Dosen dapat mengancam muka mahasiswanya karena memiliki kekuasaan atas mahasiswanya, tetapi tidak untuk sebaliknya. Adanya hubungan antara muka dan harga diri, membuat seseorang termotivasi untuk mengangkat wajahnya dan mencegah mukanya dipermalukan atau diancam. Orang cenderung akan merespon ancaman muka dengan emosi negatif, bervariasi dari merasa kurang nyaman, malu, sampai merasa terganggu dan marah [6].
Semakin besar ancaman terhadap muka seseorang, maka akan semakin hebat respon emosionalnya. Carson dan Cupach telah membuktikan secara empiris bahwa terdapat hubungan antara persepsi mengenai besarnya ancaman muka dengan level kemarahan yang responden rasakan [7].
Referensi :
[1] Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. Sage Publication
[2] Oetzel, John G & Ting-Toomey, Stella. 2003. Face Concerns in Interpersonal Conflict : A Cross-cultural Empirical Test of The Face
Negotiation Theory. Communication Research. 2003 30 : 599.
[3] Gudykunst, W.B. 2005. Theorizing About Intercultural Communication. Thousand Oaks, London, New Dehli : Sage Publications.
[4] Thomas. L.S. 1994. Politeness Theory in Computer Mediated Communication : Face Threatening Acts in a “Faceless” Medium,
Dissertation. Aston University.
[5] Brown, P & Levinson, S.C. 1987. Politeness : Some Universals In Language Usage. Cambridge : CUP.
[6] Andersson, L. M., & Pearson, C. M. 1999. Tit For Tat? The Spiraling Effect Of Incivility In The Workplace.Academy of Management
Review, 24, 452–471
[7] Carson, C. L., & Cupach, W. R. 2000. Facing corrections in the workplace: The influence of perceived face threat on the consequences
of managerial reproaches.Journal of Applied Communication Research, 28, 215–234