Apa yang dimaksud dengan Teori Dominasi Sosial atau Social dominance theory?

Teori dominansi sosial menjelaskan bahwa setiap kelompok sosial yang luas selalu terbentuk struktur hirarki sosial. Hal ini berarti, terdapat sejumlah kelompok atau individu yang memiliki kedudukan berbeda, yaitu kelompok atau individu dominan yang berada pada bagian atas hirarki dan kelompok atau individu subordinat yang berada di bawah hirarki.

Apa yang dimaksud dengan Teori Dominasi Sosial atau Social dominance theory?

Manusia sebagai makhluk multidimensi memiliki perbedaan-perbedaan berdasarkan beberapa kriteria yang terdiri dari ciri fisiologis, kebudayaan, ekonomi, dan perilaku (Kinloch via Kamanto Sunarto, 1993). Perbedaan ini menyebabkan manusia masuk ke dalam kelompok-kelompok sosial tertentu sehingga tercipta masyarakat multikultural.

Dominasi Sosial


Individu atau kelompok sosial dalam masyarakat akan diatur sedemikian rupa supaya memiliki kedudukan yang berbeda di dalam suatu hirarki. Di dalam buku yang berjudul Social Dominance Theory and The Dynamics of Intergroup Relation, Felicia Pratto, Jim Sidanius, dan Shana Levin memaparkan lebih lanjut mengenai hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat, terlebih pada kelompok masyarakat yang berbeda.

Human societies tend to organise as group-based social hierarchies in which at least one group enjoys greater social status and power than other groups. Members of dominant social groups tend to enjoy a disproportionate share of positive social value, or desirable material and symbolic resource such as political power, wealth, protection by force, plentiful and desirable food, and access to good housing, health care, leisure, and education. Negative social value is disproportionately left to or forced upon members of subordinate groups in the form of substandard housing, disease, underemployment, dangerous, and distasteful work, disproportionate punishment, stigmatisation, and vilification (Pratto, Sidanius, Levin, 2006)

Manusia memiliki kecenderungan untuk membentuk hirarki berdasarkan kelompok-kelompok sosial dimana setidaknya terdapat satu kelompok yang menikmati status sosial yang lebih baik dan kekuatan yang lebih besar dibandingkan kelompok lain. Anggota kelompok sosial dominan akan menikmati bagian yang lebih besar dari nilai sosial positif, atau materi yang diinginkan yang berasal dari sumber-sumber tertentu seperti kekuasaan politik, kekayaan, perlindungan dengan kekuatan, makanan kesukaan yang berlimpah, jaminan kesehatan, rekreasi, dan pendidikan.

Nilai sosial negatif akan diperuntukkan atau dipaksakan untuk anggota kelompok subordinat. Sebagai contoh pemukiman yang tidak layak, penyakit, pengangguran, pekerjaan yang tidak menyenangkan atau bahkan berbahaya, hukuman yang tidak sebanding, stigmatisasi, dan fitnah.

Di dalam hirarki sosial terdapat indvidu atau kelompok yang menempati bagian atas hirarki (dominan) dan individu atau kelompok yang berada di bagian bawah hirarki (subordinat). Hirarki sosial tersebut ditentukan berdasarkan nilai sosial positif yang didapatkan oleh individu atau kelompok sosial. Individu atau kelompok sosial yang berada di atas hirarki cenderung menikmati bagian yang lebih besar dari nilai positif sosial. Sebaliknya, nilai negatif sosial biasanya melekat pada individu atau kelompok subordinat.

Social dominance theory was developed in an attempt to understand how group based social hierarchy is formed and maintained. Social dominance theory assumes that we must understand the processes producing and maintaining prejudice and discrimination at multiple levels of analysis, including cultural ideologies and policies, institutional practices, relations of individuals to others inside and outside their groups, the psychological predispositions of individuals, and the interaction between the evolved psychologies of men and women. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006)

Teori dominasi sosial dikembangkan untuk memahami bagaimana suatu hirarki sosial berdasarkan kelompok dibentuk dan dipertahankan. Teori ini berasumsi jika kita harus memahami proses pembentukan dan pemeliharaan prasangka dan diskriminasi pada beberapa tingkat analisis, seperti pada ideologi budaya, praktek kelembagaan, dan hubungan individu dengan individu lain yang ada di dalam kelompok atau di luar kelompok (antarkelompok), kecenderungan psikologis individu, dan interaksi perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan.

Teori dominasi sosial memiliki pandangan yang lebih umum mengenai proses pembentukan populasi manusia daripada teori lain yang hanya fokus pada kapitalisme kerajaan, gender, kepentingan kelompok, identitas sosial, atau perbedaan individual.

Namun teori ini juga sama ambisiusnya dengan teori lain karena berupaya untuk menggabungkan wawasan berdasarkan perspektif-perspektif yang paling berpengaruh seperti: (a) teori ideologi kebudayaan, (b) teori konflik kelompok yang realistis, (c) teori neoclassical elitismi, (d) teori identitas sosial, (e) marxisme, (f) analisis antropologi feminis keluarga dan tenaga kerja, (g) psikologi evolusioner.

Teori Dominasi Sosial


Teori dominasi sosial memiliki tiga struktur utama dalam mengelompokkan praktek dominasi sosial yaitu sistem umur, sistem jenis kelamin, dan sistem kesewenang-wenangan.

Social dominance theory argues that societies producing stable economic surplus contain three qualitatively distinct systems of group-based hierarchy: (1) an age system, in which adults have disproportionate social power over children; (2) a gender system, in which men have disproportionate social, political, and military power compared to women; and (3) an arbitrary-set system, in which groups constructed on ‘‘arbitrary’’ bases, that is, on bases not linked to the human life-cycle, have differential access to things of positive and negative social value (Pratto, Sidanius, Levin, 2006).

Teori dominasi sosial mengemukakan bahwa pada kegiatan produksi surplus ekonomi stabil yang dilakukan oleh masyarakat terdapat tiga sistem kualitatif hirarki berbasis kelompok yang berbeda:

  1. sistem umur, di mana orang dewasa memiliki kekuatan yang tidak seimbang terhadap anak-anak;

  2. sistem jenis kelamin, di mana laki-laki memiliki kekuatan sosial, politik, dan militer yang tidak seimbang dibanding dengan perempuan; dan

  3. sistem kesewenang-wenangan, di mana sistem ini dibangun atas dasar kesewenang-wenangan yaitu tidak berhubungan dengan siklus kehidupan manusia dan terdapat perbedaan dalam mengakses nilai sosial positif dan negatif.

Dari ketiga struktur tersebut, sistem kesewenang-wenangan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berkembang di masyarakat. Perbedaan sosial yang mempengaruhi sistem ini memiliki cakupan yang lebih luas dan dapat berkaitan dengan berbagai hal seperti perbedaan kewarganegaraan, ras, suku, kelas, kepemilikan tanah, keturunan, agama, klan, pengetahuan, ide-ide, ketrampilan dan sebagainya.

Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Hirarki Sosial

Kelompok hirarki sosial merupakan hasil yang diperoleh dari ketidaksetaraan yang terjadi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok. Ketidaksetaraan tersebut terjadi tidak hanya karena penggunaan kekuataan, kekuasaan, atau intimidasi yang dilakukan individu atau kelompok dominan pada individu atau kelompok subordinat namun juga didukung oleh adanya legitimising myth.

According to social dominance theory, group-based social hierarchy is produced by the net effects of discrimination across multiple levels: institutions, individuals, and collaborative intergroup processes. Discrimination across these levels is coordinated to favour dominant groups over subordinate groups by legitimising myths, or societal, consensually shared social ideologies. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006)

Menurut teori dominasi sosial, hirarki sosial berbasis kelompok terbentuk karena net effects dari diskriminasi di berbagai tingkatan: lembaga, individu, dan proses kolaborasi antarkelompok. Diskriminasi di berbagai tingkatan ini di atur untuk mendukung kelompok dominan atas kelompok subordinat dengan cara membenarkan mitos atau pemikiran dalam masyarakat, yang disepakati dan disebarkan melalui ideologi sosial.

Teori dominasi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, praktek sosial dan lembaga baru yang terjadi dalam masyarakat dibentuk oleh legitimising myth. Kebulatan suara dari kelompok-kelompok dalam hirarki sosial terhadap diskriminasi dalam nilai yang dipegang, sikap, keyakinan, stereotip, dan ideologi budaya termasuk ke dalam legitimising myth.

Social dominance theory assumes that groupbased inequality is not simply the result of the naked use of force, intimidation, and discrimination on the part of dominants against subordinates. Rather, social dominance theory states that the decisions and behaviours of individuals, the formation of new social practices, and the operations of institutions are shaped by legitimising myths. Legitimising myths are consensually held values, attitudes, beliefs, stereotypes, and cultural ideologies. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006)

Teori dominasi berasumsi bahwa ketimpangan dalam kelompok sosial tidak semata-mata akibat penggunaan suatu kekuatan, intimidasi, dan diskriminasi kelompok dominan terhadap kelompok subordinat. Sebaliknya, teori ini menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan kegiatan operasional suatu lembaga dibentuk oleh legitimising myths. Nilai-nilai sosial, sikap, keyakinan, stereotip, dan ideologi budaya termasuk ke dalam legitimising myths.

Terdapat dua bentuk legitimising myths berdasarkan fungsinya yaitu hierarchy-enhancing legitimising myths (HE-LMs) dan Hierarchy-attenuating legitimising myths (HA-LMs). HE-LMs adalah ideologi yang memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan. Ideologi ini mendukung atau menguatkan hirarki yang ada.

Contoh bentuk-bentuk HE-LMs adalah rasisme (warna kulit, agama, jenis ras), sexisme (diskriminasi atau kebencian terhadap suatu jenis kelamin tertentu, klasisme, heteroseksisme (ideologi yang menolak berbagai perilaku, identitas, hubungan, dan komunitas non-heteroseksual), stereotip (penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan kelompok dimana orang tersebut berada), nasionalisme atau kebangsaan. HA-LMs adalah ideologi yang melawan dominasi sehingga melemahkan hirarki. Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hirarki ini adalah: hak asasi manusia, demokrasi sosial, multikulturalisme, sosialisme, persaudaraan antarumat beragama, dll.

Seperti halnya legitimising myths, banyak lembaga atau institusi yang diklasifikasikan sebagai hierarchy-enhancing ataupun hierarchy attenuating. Institusi hierarchy-enhancing yang kuat termasuk institusi keuangan dengan keuntungan penuh, perusahaan lintas negara, organisasi keamanan internal (contohnya: FBI, KGB), dan sistem keadilan kriminal.

Diskriminasi yang dilakukan oleh institusi hierarchy-enhancing memiliki dampak fatal bagi kelompok hierarki.

  • Pertama, institusi dapat menggerakkan dan mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar dengan kuat dibanding yang dapat dilakukan oleh perorangan.

  • Kedua, institusi besar, seperti pemerintahan nasional dan perusahaan multinasional memiliki “jangkauan” yang lebih luas dalam mempengaruhi sistematiknya terhadap perusahaan lokal.

  • Ketiga, karena banyak institusi mengabadikan diri mereka, diskriminasi yang mereka gunakan biasanya lintas generasi dan ketika orang atau kelompok mencoba untuk melawan praktek diskriminasi, institusi biasanya mempertahankan praktek diskriminasi mereka sebagai bagian dari pertahanan institusi itu sendiri.

  • Keempat, banyak institusi membangun norma-norma internal mereka dimana norma itu mengatur orang-orang yang bekerja di dalamnya dan perbedaan perorangan. Kelima, orang-orang dalam institusi, termasuk militer dan perusahaan, seringkali dibebaskan dari kesalahan yang menyangkut tempat mereka bekerja karena perusahaan tersebut memiliki status resmi yang spesial.

Selanjutnya terdapat institusi hierarchy-attenuating yang bertugas mengurangi sekaligus menyeimbangkan dampak yang timbul akibat insititusi hierarchy-enhancing. Dalam prakteknya, institusi ini membuka akses pada sumber daya yang dibatasi oleh kelompok dominan, seperti layanan publik. Di dalam institusi ini terdapat hak asasi manusia, hak warga sipil, dan kelompok kebebasan warga; organisasi kesejahteraan, dan organisasi keagamaan yang didedikasikan untuk perlindungan bagi si miskin yang teropresi dan mudah diserang. Institusi seperti ini sering kekurangan dana, pasukan, hak didahulukan (precedent) yang resmi, atau dasar kekuatan yang lain yang kokoh.

Reducing the consequences of hierarchy-enhancing institutions, but rarely balancing their impact, are hierarchy-attenuating (HA) institutions. These disproportionately aid members of subordinate social groups (e.g., the poor, ethnic and religious minorities) and attempt to open access to resources otherwise restricted to dominants (e.g., public services). Prominent hierarchy-attenuating institutions include human rights, civil rights, and civil liberties groups; welfare organisations; and religious organisations devoted to the protection of the poor, the vulnerable, and the oppressed. (Pratto, Sidanius, Levin, 2006)

Institusi hierarchy-attenuating (HA) mengurangi dan menyeimbangkan dampak dari institusi hierarchy-enhancing. Hal ini membantu kelompok subordinat (contohnya: orang-orang miskin dan kelompok minoritas suatu etnis atau agama) dan mencoba membukakan jalan menuju sumber daya yang dibatasi oleh kelompok dominan (contohnya: pelayanan publik). Institusi lainnya yang termasuk dalam hierarchy-attenuatin adalah hak asasi manusia dan hak sipil, kelompok kebebasan sipil, organisasi kesejahteraan, organisasi keagamaan yang bertujuan melindungi kaum miskin, lemah, dan tertindas.

Selain di dalam tubuh instisusi atau lembaga, kasus-kasus diskriminasi juga sangat banyak dilakukan individu. Diskriminasi individu merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Diskriminasi individu sering terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun terkadang mencolok dan merugikan.

Contohnya adalah ketika seorang atasan memutuskan untuk memecat atau memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada kliennya, atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan atau berat kepada terdakwa. Semua hal itu menjadi diskriminasi ketika keputusan yang diberikan berdasarkan perbedaan dalam etnis, kebangsaan, kelas sosial, orientasi seksual, atau gender.

Hirarki sosial dalam masyarakat mendukung terjadinya diskriminasi antarindividu. Individu yang berada pada hirarki dengan kekuatan tinggi biasanya memiliki nilai positif sosial yang lebih banyak dan kekuatan yang lebih besar untuk memastikan bahwa nilai negatif sosial berada dan disalurkan di kelompok lain. Struktur ini menegaskan bahwa lebih mudah untuk melakukan tindakan menjaga atau meningkatkan ketidaksetaraan daripada melakukan tindakan untuk melemahkan ketidaksetaraan di dalam suatu hirarki sosial.

Tindakan individu tidak hanya ditentukan oleh posisi mereka dalam suatu hirarki sosial. Hal ini terbukti karena adanya perbedaan yang kuat antara individu di posisi sosial yang sama dalam ketentuan kelompok mana yang mendukung tindakan mereka, seberapa besar diskriminasi yang dilakukan, seberapa besar prasangka yang dipegang, dan seberapa besar mereka mendukung diskriminasi melawan kebijakan kesetaraan. Jenis- jenis perbedaan ini bukannya tidak teratur atau tergantung keadaan, namun justru terkait dengan orientasi identifikasi jiwa terhadap hirarki hubungan antarkelompok yang disebut sebagai orientasi dominasi sosial.

Teori dominansi sosial menjelaskan bahwa setiap kelompok sosial yang luas selalu terbentuk struktur hirarki sosial (Sidanius & Pratto, 2001). Hal ini berarti, terdapat sejumlah kelompok atau individu yang memiliki kedudukan berbeda, yaitu kelompok atau individu dominan yang berada pada bagian atas hirarki dan kelompok atau individu subordinat yang berada di bawah hirarki.

Kelompok atau individu dominan dikarakteristikan dengan nilai-nilai positif yang mereka miliki atau berdasarkan hal-hal yang bersifat materi atau simbolik (Sidanius & Pratto, 2001). Kelompok atau individu dominan biasanya memiliki kekuasaan politik atau otoritas, memiliki sumber daya yang baik dan banyak, memiliki kekayaan atau status sosial yang tinggi. Bertolak belakang dengan kelompok atau individu dominan, kelompok atau individu subordinat adalah kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kekuasaan rendah (Sidanius & Pratto, 2001).

Teori dominasi sosial mengidentifikasi beberapa mekanisme hirarki telah dikembangkan dan dipertahankan (Sidanius & Pratto, 1999). Orang dengan dominasi sosial yang tinggi adalah orang yang percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam struktur yaitu yang di atas dan yang di bawah. Mereka yang di atas adalah mereka yang menang, memiliki kekuasaan, atau memiliki seluruh nilai-nilai yang positif. Kelompok atau individu dominan dan kelompok atau individu subordinat terbentuk melalui tiga sistem stratifikasi berdasarkan hal berikut ini :

  1. Umur (age system), yaitu anggota kelompok atau individu yang memiliki usia lebih tua dibandingkan dengan anggota kelompok atau individu lain memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lain (yang lebih muda).

  2. Jenis kelamin (gender system), laki-laki dilihat memiliki kekuasaan lebih apabila dibandingkan dengan perempuan.

  3. Arbitrary system, terbentuknya konstruksi sosial yang membuat suatu kelompok atau individu menonjol dikarenakan suatu karakteristik tertentu, contohnya ras, suku, kelas sosial, agama, dan lain sebagainya (Sidanius & Pratto, 2001).

Berdasarkan teori Sidanius dan Pratto (1999), konsep terbesar dari kerangka berpikir orientasi dominasi sosial terdiri atas tiga asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung disusun berdasarkan kelompok-kelompok hirarki, dimana paling tidak terdapat satu kelompok atau individu yang berada di atas dan satu kelompok atau individu lain yang berada di bawahnya. Asumsi kedua, hirarki atau tingkatan dapat didasarkan pada usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, kebangsaan, agama, dan karakteristik lainnya yang mungkin dapat digunakan sebagai pembeda di antara kelompok atau individu yang berbeda. Asumsi terakhir, masyarakat secara individu harus menyeimbangkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, yaitu diantara satu hirarki kelompok atau individu menuju kelompok hirarki atau individu lain yang memiliki keseimbangan (Zander, 2008).

Teori orientasi dominasi sosial dirumuskan oleh Sidanius dan Pratto pada tahun 1991, dirancang untuk menjelaskan asal-usul dan konsekuensi dari hirarki sosial serta penindasan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Secara khusus teori dominasi sosial mencoba untuk menjelaskan mengapa masyarakat tampaknya didukung oleh suatu hirarki. Teori dominasi sosial mendalilkan bahwa faktor signifikan adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi unggul (Pratto, Sidanius, &Levin, 2006).

Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Hirarki Sosial


Menurut teori dominansi sosial, hirarki sosial merupakan hasil yang diperoleh dari diskriminasi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).

  1. Legitimising myths
    Teori dominansi sosial mengasumsikan bahwa ketidaksetaraan berbasis kelompok bukan hanya hasil dari penggunaan kekuatan, intimidasi, dan diskriminasi pada bagian yang dominan atau menonjol terhadap bawahan. Teori dominansi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan lembaga dibentuk oleh legitiming myths (Johnson, 1994 dalam Prato, Sidanius, & Levin, 2006).

    Legitimising myths merupakan consensually dari nilai yang dipegang, sikap, kepercayaan, stereotip, dan ideologi budaya. Teori dominansi sosial membedakan antara dua jenis fungsional dari legitimizing myths yaitu legitimising myths yang meningkatkan hirarki (Hierarchy-enhancing legitimising myths / HE-LMs) dan legitimizing myths yang melemahkan hirarki (Hierarchy-attenuating legitimizing myths / HA-LMs). HE-LMs memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan.

    Contohnya seperti berbagai bentuk rasisme, seksisme, stereotip, nasionalisme atau kebangsaan, classism, dan atribusi internal untuk kemiskinan. Mitos telah digunakan untuk menyatakan bahwa ketidaksetaraan adalah sesuatu yang adil, sah, dan alamiah (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Sementara itu, HA-LMs adalah ideologi yang melawan dominansi. Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hirarki diantaranya: doktrin politik seperti demokrasi sosial, sosialisme, dan komunisme, doktrin keagamaan, doktrin budayawan seperti hak-hak universal manusia, dan hak asasi manusia (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).

  2. Diskriminasi institusional (lembaga)
    Pada diskriminasi institusional, terdapat dua macam klasifikasi hirarki yaitu meningkatkan hirarki (Hierarchy Enhancing / HE) dan melemahkan hirarki (Hierarchy Attenuating / HA). Lembaga yang meningkatkan hirarki (HE) mendukung dan mempertahankan ketidaksetaraan dengan mengalokasikan nilai sosial yang lebih positif kepada kelompok atu individu dominan. Lembaga yang meningkatkan hirarki (HE) memiliki kekuasaan atas keuntungan lembaga, perusahaan antar negara (perusahaan internasional), organisasi keamanan dalam negeri, dan sistem peradilan pidana (Sidanius, Pratto, & Levin, 2006).

    Sementara itu, lembaga yang melemahkan hirarki (HA) merupakan kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah) seperti orang-orang tidak mampu, suku dan agama minoritas. Lembaga yang melemahkan hirarki (HA) meliputi hak asasi manusia, hak penduduk, organisasi kebebasan, organisasi keagamaan yang dikhususkan menjaga orang-orang lemah, rentan, dan tertindas (Pratto, Sidanius, Levin, 2006). Institusi sosial dapat melakukan systematic terror untuk tetap menjaga hirarki sosial.

    Systematic error merupakan suatu tindakan atau ancaman kekerasan yang lebih banyak ditujukan kepada kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah). Systematic error ini berfungsi untuk menjaga hubungan yang bersifat penaklukan kelompok atau individu subordinat oleh kelompok dominan serta memelihara rasa hormat kelompok atau individu subordinat terhadap kelompok atau individu dominan (Sidanius & Pratto, 1999).

  3. Diskriminasi Individu
    Diskriminasi individu merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu (Sidanius & Pratto, 1999). Diskriminasi individu sering terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun terkadang merugikan. Diskriminasi atau perbedaan juga dilakukan oleh individu di dalam banyak bidang (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).

    Diskriminasi oleh individu terjadi ketika seorang atasan memutuskan untuk tidak memecat atau memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada klien yang potensial, atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan kepada terdakwa, semua dikarenakan adanya perbedaan dalam etnis, kebangsaan, kelas sosial, orientasi seksual, atau gender (dalam Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).

    Individu yang berada pada hirarki yang memiliki kekuatan tinggi biasanya memiliki lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai positif dimana mereka dapat menyalurkan nilai-nilai tersebut kepada individu lain di dalam hirarkinya, dan kekuatan lain untuk memastikan bahwa nilai-nilai sosial yang negatif disalurkan ke individu lain di luar tingkatan hirarki mereka (dalam Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Struktur hirarki menyiratkan bahwa kemudahan melakukan tindakan yang menjaga atau meningkatkan ketidaksetaraan lebih besar dari kemudahan melakukan tindakan yang melemahkan hirarki (dalam Pratto, Sidanius, & Pratto, 2006).

    Bukti empiris dari banyak negara dan mengenai berbagai konteks perbedaan individu telah menunjukan bahwa skala orientasi dominansi sosial merupakan indeks yang kuat dalam prasangka umum, preferensi kebijakan sosial politik, dan pilihan karir individu di masa depan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011).

Orientasi Dominansi Sosial


Orientasi dominasi sosial mengacu pada sejauh mana seorang individu menerima suatu hirarki. Orientasi dominasi sosial adalah bagaimana individu menganut suatu mitos atau ideologi yang mempertahankan atau memperkuat hirarki di dalam suatu masyarakat. Pada awalnya, orientasi dominasi sosial dikonseptualisasikan dengan sejauh mana individu menginginkan kelompok atau diri mereka sendiri untuk menjadi dominan atas kelompok atau individu lain (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994).

Felicia dan Pratto memperkenalkan konsep orientasi dominasi sosial dalam sebuah studi pada tahun 1994, dimana dia menunjukan bahwa orientasi dominasi sosial berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa individu memilih tetap berada di tingkatan hirarkinya untuk mendominasi orang lain dan menganggap orientasi superior-inferior hirarki dalam hubungan mereka dengan anggota kelompok atau individu lainnya. Individu lain tanpa suatu orientasi dominasi sosial lebih cenderung untuk memilih hubungan mereka dengan orang lain untuk berada di tingkatan yang sama. Sebuah sifat yang khas dari individu dengan orientasi dominasi sosial yang lebih rendah adalah bahwa mereka cenderung lebih empatik terhadap orang lain.

Individu yang memiliki orientasi dominasi sosial tinggi cenderung lebih tertarik dalam mendapatkan dan menggunakan kekuatan, sedangnya individu dengan orientasi dominasi sosial rendah lebih cenderung untuk mencari cara-cara koperatif dalam menangani konflik. Selain itu, individu dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi juga sangat termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan mereka terhadap individu di kelompok lain.

Robert Altemeyer (2006) mengatakan bahwa orang dengan orientasi dominansi sosial tinggi menginginkan kekuasaan yang lebih (setuju pada item seperti “menang lebih penting daripada bagaimana kamu memainkan permainan”) dan lebih tidak jujur (manipulasi dan tidak sopan) setuju pada item seperti “tidak benar-benar ada hal seperti benar dan salah”. Orientasi dominansi sosial sering dikonseptualisasikan sebagai suatu fenomena yang berbasis kelompok, namun orientasi dominansi sosial tidak hanya merupakan dominansi berbasis kelompok tetapi juga merefleksikan dominansi antarpribadi. Hal ini didukung oleh Sidanius dan Pratto (dalam Zander, 2008).

Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung mereka dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan (Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Sebagai contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang mereka pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011).

Orientasi dominansi sosial juga telah menunjukan dapat memprediksi masa depan sikap antarkelompok masyarakat dan perilaku di waktu yang lama (Thomsen et al., 2010 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Orientasi dominansi sosial merupakan preferensi untuk ketidaksetaraan hubungan antara kategori-kategori yang ada dari individu, secara konseptual dibedakan dari konsep kepribadian yang umum dari dominasi antar pribadi, dimana fokus pada individu (Pratto, Sidanius, Stallworth,& Malle, 1994).

Orientasi dominansi sosial bukan sekedar untuk menunjukan keunikan masing-masing dari perbedaan individu, bukan juga untuk mengklasifikasikan individu ke dalam taksonomi. Sebaliknya, orientasi dominansi sosial merupakan suatu model penekanan yang dinamis dimana berbagai jenis individu memainkan peran yang berbeda dan memiliki efek yang berbeda satu sama lain (Pratto, Sidanius, Stallworth, Malle, 1994).

Referensi

library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-2-02019-PS%20Bab2001.pdf