Teori dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara teliti, dengan menginterogasi teks, merusaknya melalui pertahanannya, dan mencari oposisi biner yang tertulis dalam teks (Sarup, 1993). Adapun oposisi biner mengacu pada suatu pasangan kata-kata yang saling beroposisi antara satu dengan lainnya yang bersifat hirarkis yang hirarkisnya itu bersifat kondisional. Dikatakan kondisional karena dalam pandangan post-strukturalisme bahasa dipandang sebagai tidak stabil, dapat berubah-ubah setiap saat. Berbeda halnya dengan oposisi biner dalam strukturalisme yang oposisi-oposisinya dibayangkan bersifat tetap dan setara. Teori Dekonstruksi tidak dapat dilepaskan dari pandangan Derrida.
Dekonstruksi menurut Derrida selalu diawali dengan hal-hal yang tidak terpikirkan atau tidak boleh dipikirkan. Teori ini menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, sebagaimana yang disodorkan oleh strukturalisme. Tidak ada ungkapan atau bentuk- bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek dan yang bermakna tertentu dan pasti. Oleh karena itulah dekonstruksi termasuk dalam aliran poststrukturalisme. Jika strukturalisme dipandang sebagai sesuatu yang sistematik, bahkan dianggap sebagai the science of sign maka poststrukturalisme menolak hal tersebut.
Adapun tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut dengan menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks (Norris, 2006). Lebih lanjut Culler (dalam Nurgiyantoro, 2007) menyatakan bahwa mendekonstruksi suatu wacana (kesastraan) adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teks itu, yang memproduksi dasar argument yang merupakan konsep utama. Dengan kata lain, dekonstruksi menolak makna umum yang dianggap ada dalam suatu teks sastra.
Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam menganalisis karya sastra dan filsafat. Dalam pembacaan karya sastra, dekonstruksi bukan dimaksudkan untuk mengungkapkan makna sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para penelaah sastra. Derrida selalu ingin memulai filsafat dekonstruksinya dari hal-hal yang tidak terpikirkan atau hal-hal yang tidak boleh dipikirkan. Maksudnya, bahwa unsur-unsur yang dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, bukanlah hal yang remeh, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang menjadikan teks tersebut menjadi filosofis (Norris, 2006).
Dalam praktiknya, dekonstruksi meliputi pembalikan dan pemindahan (Sarup, 1993). Dalam langkah pembalikan, oposisi- oposisi hierarkis dirobohkan. Dalam fase berikutnya, pembalikan ini harus dipindahkan, istilah lainnya ‘di bawah penghapusan’ (sous rature). Teks yang dibaca secara dekonstruksi akan terlihat acuannya melampaui dirinya sendiri, referen itu pada akhirnya dapat menjadi teks lain. Seperti halnya tanda hanya dapat mengacu pada tanda-tanda lain, teks juga hanya dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu aringan yang dapat dikembangkan untuk waktu yang tidak terbatas, suatu intertekstualitas (Sarup, 1993; Pujiharto, 2001).
Setelah dilakukan pembacaan secara teliti, di dalam berbagai karya sastra Indonesia ditemukan oposisi-oposisi biner seperti: oposisi antara judul dan cerita; oposisi antara fiksi dan fakta; oposisi antara fiksi dan sains, oposisi antara karya sastra satu dengan lainnya, dan lain-lain. Sesuai dengan tujuan kajian ini, dalam tulisan ini hanya akan dikaji oposisi antara karya sastra satu dengan karya sastra lainnya.