Apa yang dimaksud dengan Teori Katarsis atau Catharsis dalam Ilmu Komunikasi?

Efek media massa adalah suatu kesan yang timbul pada pikiran khalayak akibat adanya suatu proses penyampaian pesan melalui media atau alat-alat komunikasi mekanis seperti: surat kabar, radio, televisi dan sebagainya. Menurut Straubhaar et. al. (2011) adalah suatu perubahan pada pengetahuan, sikap, emosi, atau tingkah laku setiap individu atau seseorang yang mengkonsumsi media tersebut sebagai hasil dari paparan media massa yang dilakukan secara terus-menerus

1 Like

katarsis

Kehidupan manusia yang dinamis, mengantarkan manusia pada pola kehidupan yang relative kompleks dan semakin mendesak manusia berhadapan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki keterbatasan. Kondisi tersebut memicu munculnya rasa frustasi dan cenderung bersifat agresif. Setiap emosi dan sikap agresif tersebut lambat laun akan menumpuk dan harus segera di salurkan.

Dalam keadaan tersebut, tidak semua emosi dan agresi tersebut bisa disalurkan secara nyata dan dibutuhkan satu cara aman untuk pelampiasan atau penyaluran. Katharsis yang merupakan penyaluran emosi dan agresi yang berupa kekesalan, kesedihan, kebahagiaan, impian dan lainnya ini dilakukan dengan pengalaman wakilan (Vicarious experience) seperti mimpi, lelucon, fantasi atau khayalan.

Dalam konteks ini, seseorang tidak melakukan penyaluran emosi dan agresi-nya secara nyata oleh individu tersebut, melainkan dilakukan hanya melihat atau membayangkan sesuatu tersebut dilakukan, atau dengan istilah lain yaitu pengalaman wakilan.

Seperti contoh seorang remaja sambil mendengarkan musik rock favoritnya, membayangkan dirinya menjadi seorang bintang musik Rock yang sedang pentas dihadapan ribuan penonton.

Atau contoh lainnya seorang ibu yang menonton sebuah serial TV yang menggambarkan sosok seorang anak yang baik dan berbakti pada orang tuanya, ibu tersebut merasa tenang dan merasa puas karena emosinya tersalurkan, meskipun dalam kenyataannya ibu tersebut tidak memiliki anak yang baik tersebut.

Teori katarsis (Catharsis) mengasumsikan bahwa menonton media kekerasan memiliki pengaruh yang positif pada anak-anak.

Para pendukung teori ini menyatakan bahwa gambar kekerasan memang bisa membangkitkan perasaan agresif pada anak, tetapi bahwa perasaan dibersihkan sambil menonton kekerasan media (Feshbach, 1976) dalam (John, 2008).

Dengan menonton agresi dalam produksi media, mereka mendapatkan kesempatan untuk melepaskan impuls agresif, dan dengan demikian berperilaku kurang agresif sesudahnya.

Katarsis berarti pemurnian emosi dengan pengalaman perwakilan, konsep pertama kali dikembangkan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, yang percaya bahwa drama tragis dapat menyebabkan merilis emosi.

Kebanyakan media efek psikologis peneliti sepenuhnya setuju dengan Buckingham bahwa dampak dari media tidak harus dilihat sebagai proses unidimensional. Sebagian besar dari mereka meninggalkan model efek serangan lama, dan yakin bahwa kekerasan media ini hanya salah satu faktor, dan tentu bukan satu-satunya paling penting, yang berkontribusi terhadap agresi di masyarakat.

Kekerasan di media mempunyai pengaruh negatif hanya 1 persen dari 75 juta anak-anak dan remaja (lebih muda dari 18 tahun) di Amerika Serikat. Jika hanya 1 persen dari anak-anak dan remaja di Amerika Serikat secara negatif dipengaruhi oleh kekerasan media, maka Amerika Serikat akan memiliki setidaknya 750.000 orang muda yang menjalankan risiko tingkat tinggi terkait agresivitas.

Media massa menyajikan fantasi dan pengalaman wakilan (vicarious experience).

  • Kita puas melihat orang jahat dihajar sampai babak belur, sehingga kita tidak perlu lagi menghajar bosss yang tidak dapat dilawan di kantor.

  • Seorang istri puas melihat suami yang menyeleweng tertipu oleh gundiknya dan meminta maaf kepada istrinya (dalam drama TVRI). Sehingga ia tidak perlu lagi menghardik suaminya.

  • Seorang hiperseks yang tidak dapat melakukan hubungan seks ekstramarital menyalurkan nafsunya melalui film-film pornografis.

Teori katarsis tampaknya logis dan dapat diterima.Tetapi implikasinya itu yang tampak mengerikan, yaitu :

  1. Perbanyak film-film kekerasan supaya tindakan kejahatan berkurang.
  2. Perbanyak film-film pornografis, supaya kejahatan seks menurun.

Teori katarsis memang cocok bagi produsen dan distributor, tetapi tidak cocok untuk kalangan agamis dan moralis, terlebih lagi tidak cukup terbukti dengaan penelitian ilmiah.

KELEMAHAN TEORI KATARSIS

Hipotesis katarsis jelas bertentangan dengan kebanyakan penelitian yang telah dilakukan. Hipotesisi katarsis ini kurang ditunjang oleh penelitian. Hanya dua penelitian saja, kedua-duanya oleh Fesbach, menunjukan bahwa subjek yang marah lebih berkurang kemarahannya setelah menonton film kekerasan dibandingkan dengan mereka yang menonton film nonkekerasan.

Akan tetapi, pada kedua penelitian ini, alat ukur agresinya lemah (kuisioner) dan hasilnya lebih mudah di jelaskan dengan penafsiran sebaliknya.

Sejauh ini teori belajar sosial lebih bisa di andalkan daripada teori katarsis.

Stimulus menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televisi. Wanita juga meniru potongan rambut Ladi Di yang disiarkan dalam media massa. Selanjutnya, kita juga dapat menduga bahwa penyajian cerita atau adegan kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan kekerasan pula.

Benarkah media massa menyebabkan kekerasan meningkat di masyarakat ?

Secara singkat hasil penelitian tentang efek adegan kekerasan dalam film atau televisi dapat disimpulkan pada tiga tahap:

  1. Mula-mula penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh (observational learning).

  2. Selanjutnya, kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibiton).

  3. Akhirnya, mereka tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization).

Jadi kesimpulan dari hasil berbagai penelitian yang jumlahnya bahkan lebih dari seratus menunjukkan bahwa film kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka.

Sumber : Sri Wahyuningsih., “Teori Katarsis Dan Perubahan Sosial”.

Istilah ‘katarsis’ berasal dari kata dalam Bahasa Yunani, kathoros, yang berarti ‘untuk menyucikan’ atau ‘untuk membersihkan.’ Istilah ini telah digunakan dalam beberapa bidang keahlian, salah satunya bidang psikologi yang mengaplikasikan istilah katarsis untuk menggambarkan sebuah momen ketika seseorang, berdasarkan teori Freud, mampu melepaskan rasa sakit di masa lalu dengan cara mengartikulasikan segala kesakitan tersebut dengan jelas dan secara menyeluruh.

Dalam ruang lingkup religius, katarsis bisa dimaknai sebagai pengalaman transenden yang membebaskan ataupun membersihkan jiwa. Penggunaan serta pemaknaan di atas merupakan perkembangan dari makna paling awal dari istilah katarsis. Aristoteles merupakan salah seorang filsuf yang paling pertama memberi pemaparan mengenai istilah katarsis.

Teori Katharsis pertama kali diperkenal- kan pada kisaran awal tahun 1960 dalam tulisan berjudul “The Stimulating Versus Cathartic Effect of a Vicarious Aggressive Activity” yang dipublikasikan dalam journal of abnormal social psychology. Konsep teori ini berdiri diatas psikoanalisa Sigmund Freud, yaitu emosi yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan tersebut. Penyaluran emosi yang konstruktif ini disebut dengan katharsis.

Pada masa itu, Freud berpikir bahwa pelepasan emosi yang tertahan dapat menjadi suatu efek terapeutik yang menguntungkan (Corsini & Wedding, 1989). Penyaluran emosi dan agresi tersebut, terkadang didasari oleh sebuah tragedy atau peristiwa yang pernah menimpa seseorang dimasa lalu dan menimbulkan rasa trauma. Contohnya, warga Indonesia yang jenuh melihat kondisi kehidupan Indonesia dengan segala warna kecurangan, korupsi serta tindak ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah dan polisi, merasa senang dan emosi serta agresinya tersebut tersalurkan ketika menonton film India, yang menceritakan tentang kepahlawanan seorang inspektur polisi membasmi koruptor dan polisi jahat.

Musik, film, gambar, peristiwa merupakan contoh dari efek katarsis tersebut. Teori ini menjelaskan juga bahwa konten dewasa dan juga kekerasan yang ditampilkan oleh media memberikan efek positif karena memberikan kesempatan bagi individu untuk meninggalkan sifat anti sosial mereka di dalam sebuah dunia fantasi. Teori ini populer pada tahun 1930 hingga 1940, sebelum akhirnya masyarakat secara luas percaya bahwa media memiliki tanggung jawab terhadap penyakit-penyakit sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Teori katarsis diambil dari psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Freud, manusia digerakkan oleh dua naluri eros dan thanatos. Eros adalah naluri konstruktif dan thanatos adalah naluri destruktif. Pada dasarnya, manusia itu agresif, senang merusak, membunuh dan menghancurkan. Dorongan agresif tentu tidak seluruhnya di benarkan masyarakat. Bila mengalami hambatan, dorongan agresif bertumpuk dan menimbulkan ketegangan.

Kata Freud, kekuatan agresif yang terhambat sewaktu waktu dapat meledak. Orang harus berusaha menguranginya, menahannya atau bahkan melenyapkannya sama sekali. Melalui sublimasi dan fantasi orang menyalurkan sikap agresi, seperti knalpot mengeluarkan asap mesin yang bertumpuk. Seni, agama dan idiologi adalah knalpot ini. Begitu pula fantasi, mimpi dan lelucon. Menyalurkan dorongan agresif secara konstruktif inilah yang disebut katarsis.

Teori katarsis mengemukakan bahwa memberi kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berprilaku keras (aktifitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan serangan agresi terhadap orang lain.

Menurut Baron dan Byrne (2004) berdasarkan analisis hasil-hasil penelitian pada topik ini, menyimpulkan bahwa aktivitas katarsis merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Kesimpulan ini sangat bertentangan dengan pendapat popular yang banyak diyakini. Pendapat popular itu adalah yang menyatakan bahwa katarsis merupakan saluran yang efektif untuk mengurangi perilaku agresif.

Ternyata berdasarkan banyak hasil penelitian, pendapat itu kebenaranya sangat diragukan. Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam aktifitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu secara langsung dengan orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah atau terangsang melakukan perilaku agresi.