Teori pembelajaran sosial banyak dipengaruhi oleh teori Stimulus-Response. Oleh karenanya, pada teori pembelajaran sosial akan banyak ditemukan berbagai konsep yang berasal dari teori S-R, seperti imbalan (reward), hukuman (punishment), dan penguat (reinforcement).
-
Stimulus adalah setiap kejadian yang bisa berasal dari dalam (internal) atau luar (eksternal) individu yang bisa mengubah perilaku individu. Sebagai contoh individu yang lapar (stimulus internal) akan berupaya mencari makanan, demikian pula individu yang tiba-tiba melihat sinar matahari yang sangat terang (stimulus eksternal) akan memejamkan matanya.
-
Perubahan perilaku ini – mencari makanan dan memejamkan mata – disebut respons. Demikian pula seorang anak yang semula menyukai, senang, dan asyik bermain-main dengan kucing bisa saja tiba-tiba tidak mau lagi bermain dengan kucing yang sama setelah ia dicakar kucing dengan akibat luka. Terjadi perubahan pada diri anak tadi – dari mendekati menjadi menjauhi kucing – menunjukkan telah berlangsung pembelajaran pada diri anak.
Dalam perkembangan selanjutnya, boleh jadi anak tadi tidak hanya menjauhi atau tidak mau bermain lagi dengan kucing kesayangannya karena pengalaman buruk dengan kucingnya (punishment), melainkan menghindari semua kucing.
Ini berarti, pada anak tersebut telah terjadi penggeneralisasian stimulus (stimulus generalization). Contoh lain adalah seorang gadis yang telah dikhianati oleh pria idamannya (ada gadis lain sebagai pacarnya), sangat boleh jadi ia akan membenci semua pria.
Berbeda dengan penggeneralisasian stimulus, pada anak bisa terbentuk pemilahan stimulus (stimulus discrimination), yaitu proses pembelajaran untuk berespons secara berbeda terhadap berbagai stimulus. Pada contoh anak yang digigit kucing tadi, ia telah belajar untuk tidak lagi bermain dengan kucing, tetapi ia akan bermain dengan binatang kesayangan lainnya, seperti anjing, kelinci, dan burung peliharaannya.
Selanjutnya, meskipun teori pembelajaran sosial mendasarkan diri atau menggunakan berbagai konsep teori S-R, namun teori pembelajaran sosial menekankan unsur individu pada teori S-R. Sebab, menurut teori pembelajaran sosial manusia bukan makhluk yang serta-merta berespons tatkala ia menghadapi stimulus.
Dengan kata lain, manusia bukanlah ”robot” yang secara otomatis berespons terhadap suatu stimulus melainkan ia mengolah dahulu stimulus berdasarkan pengalamannya, seperti anak yang dicakar kucing dalam contoh terdahulu.
Maka teori pembelajaran sosial memasukkan unsur individu dalam teori S-R sehingga perumusannya menjadi S-O-R (Stimulus-Organism-Response).
Neal Miller dan John Dollard (1941) meletakkan dasar teori pembelajaran sosial modern dengan mengemukakan bahwa peniruan (imitation) dapat dijelaskan melalui konsep stimulus, respons, dan penguat.
Seorang anak kecil yang meniru kakaknya pada saat memanggil ibu mereka dengan kata ”mamah” mendapat penguat secara sengaja atau tidak sengaja dari ibunya, yakni ibunya datang mendekati anaknya. Demikian pula seorang adik yang mengucapkan ”terima kasih” tatkala diberi kue oleh ibunya tidak lain merupakan hasil peniruan dari kakaknya yang juga mengucapkan ”terima kasih” pada waktu diberi kue oleh ibunya.
Oleh karena ucapan ”terima kasih” (respons) mengakibatkan diperolehnya kue (penguat) maka mengucapkan ”mamah” dan ”terima kasih” lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan bagi anak.
Demikianlah seluruh proses sosialisasi pada anak (perilaku menolong, sopan santun, agresif, dan lain-lain), menurut Miller dan Dollard, merupakan hasil peniruan terhadap perilaku orang lain (ayah, ibu, kakak, orang dekat dalam rumah si anak) yang didukung oleh faktor penguat (reinforcement).
Tokoh teori pembelajaran sosial lain yang terkenal adalah Albert Bandura yang beranggapan bahwa pembelajaran bisa berlangsung pada diri individu dengan cara mengamati perilaku individu lain. Sebagai contoh seorang anak perempuan yang asyik menyisir rambutnya dan membedaki wajahnya karena ia sering melihat ibunya berias di depan cermin. Demikian pula halnya bila anak tadi berperilaku agresif maka perilakunya tersebut disebabkan oleh anak tersebut mengamati perilaku kakaknya yang agresif.
Dalam hubungan ini, Bandura menyebut ibu dan kakak dari anak tersebut sebagai ”model”. Sejauh mana anak akan mengikuti perilaku ibunya atau kakaknya, menurut Bandura ditentukan baik oleh daya tarik model maupun fungsi perilaku yang diikuti oleh pengamat.
Makin tinggi daya tarik model dan makin fungsional perilaku yang diambil alih oleh pengamat, makin besar kebolehjadian pengamat mengikuti perilaku model. Selain ini proses mentransfer perilaku model menjadi perlaku pengamat ditentukan juga oleh faktor kemampuan (abilitiy) pengamat dan faktor penguat.
Dalam contoh seorang anak yang agresif setelah mengamati perilaku kakaknya yang agresif terdahulu maka kebolehjadian sang adik berperilaku agresif seperti kakaknya ditentukan oleh daya tarik kakaknya, manfaat dari berperilaku agresif, dan keterampilan memukul, serta dilarang atau tidaknya sang adik berperilaku agresif oleh orang tuanya (faktor penguat).