Apa yang dimaksud dengan teori belajar behavioristik?

Teori Belajar Behavioristik

Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme — termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan— dapat dan harus dianggap sebagai perilaku.

Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran.

Behaviorisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tetapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).

Tokoh-tokoh terkenal tentang masalah ini diantaranya adalah:

Vladimir Bekhterev Ivan Pavlov Alan E. Kazdin
Albert Bandura Sidney W. Bijou Edwin Ray Guthrie
Richard J. Herrnstein Clark L. Hull Fred S. Keller
Neal E. Miller Marsha M. Linehan O. Hobart Mowrer
Charles E. Osgood Kenneth W. Spence B.F. Skinner
Edward Lee Thorndike Edward C. Tolman Murray Sidman
John B. Watson Ole Ivar Lovaas Steven C. Hayes
Donald Baer Dermot Barnes-Holmes
1 Like

Behaviorisme merupakan sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh J.B. Watson. Sama halnya dengan psikoanalisis, behaviorisme juga merupakan aliran yang revolusioner, kuat dan berpengaruh serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam.

Namun demikian bila orang berbicara kepribadian atas dasar orientasi behevioristik maka nama yang paling sering disebut disebut adalah B.F. Skinner mengingat dia adalah tokoh behaviorisme yang paling produktif dalam mengemukakan gagasan dan penelitian, paling berpengaruh, serta paling berani dan tegas dalam menjawab tantangan dan kritik-kritik atas behaviorisme (Koeswara, 2001).

Paradigma yang dipakai untuk membangun teori behavioristik adalah bahwa tingkah laku manusia itu fungsi stimulus, artinya determinan tingkah laku tidak berada di dalam diri manusia tetapi bearada di lingkungan (Alwisol, 2005).

Pavlov, Skinner, dan Watson dalam berbagai eksperimen mencoba menunjukkan betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku. Semua tingkah laku termasuk tingkah laku yang tidak dikehendaki, menurut mereka, diperoleh melalui belajar dari lingkungan.

Teori Kepribadian Skinner


1. Asumsi yang Dipakai Skinner

Skinner menjelaskan perilaku manusia dengan tiga asumsi dasar, di mana asumsi pertama dan kedua pada padasarnya menjadi asumsi psikologi pada umumnya, bahkan juga merupakan asumsi semua pendekatan ilmiah (Alwisol, 2005).

Ketiga asumsi tersebut adalah :

  • Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu (behavior is lawful).
    Ilmu adalah usaha untuk menbemukan keteraturan, menunjukkan bahwa peristiwa tertentu berhubungan secara teratur dengan peristiwa lain.

  • Tingkah laku dapat diramalkan (behavior can be predicted).
    Ilmu bukan hanya menjelaskan tetapi juga meramalkan. Bukan hanya menangani peristiwa masa lalu tetapi juga masa yang akan dating. Teori yang berdaya guna adalah yang memungkinkan dilakukannya prediksi mengenai tingkah laku yang akan dating dan menguji prediksi itu.

  • Tingkah laku dapat decontrol (behavior can be controlled).
    Ilmu dapat melakukan antisipasi dan menentukan / membentuk tingkah laku seseorang .

2. Pokok-pokok Pandangan Skinner

Skinner tidak tertarik dengan variable structural dari kepribadian. Menurutnya, mungkin dapat diperoleh illusi yang menjelaskan dan memprediksi tingkah laku berdasarkan faktor-faktor yang tetap dalam kepribadian, tetapi tingkah laku hanya dapat diubah dan dikendalikan dengan mengubah lingkungan.

Unsur kepribadian yang dipandang relatif tetap adalah tingkah laku itu sendiri.

Menurut Skinner ada dua klasifikasi tingkah laku yaitu :

  • Tingkah laku responden (respondent behavior), adalah respon yang dihasilkan (elicited) organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respon itu.

  • Tingkah laku operan (operant behavior), adalah respon yang dimunculkan (emittes) organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon itu.

Bagi Skinner, faktor motivasional dalam tingkah laku bukan elemen struktural. Dalam situasi yang sama tingkah laku seseorang bisa berbeda-beda kekuatan dan keringan munculnya. Dan itu bukan karena kekuatan dari dalam diri individu atau motivasi.

Menurut Skinner variasi kekuatan tingkah laku tersebut disebabkan oleh pengaruh lingkungan.

Dinamika kepribadian

  1. Kepribadian dan belajar
  • Kepedulian utama Skinner berkenaan dengan kepribadian adalah mengenai perubahan tingkah laku. Hakikat teori Skinner adalah teori belajar, bagaimana individu memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu dan mampu, dst.

  • Menurut Skinner kepribadian dapat dipahami dengan memper- timbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus-menerus dengan lingkungannya. Cara yang efektif untuk mengubah dan mengontrol tingkah laku adalah dengan melakukan penguatan (reinforcement) .

    Dalam teori Skinner penguatan dianggap sangat penting untuk membentuk tingkah laku. Menurut Skinner, ada dua macam penguatan :

    • Reinforcement positif, yaitu efek yang menyebabkan tingkah laku diperkuat atau sering dilakukan.
    • Reinforcement negatif, yaitu efek yang menyebabkan tingkah laku diperlemah atau tidak diulangi lagi.
  1. Pembentukan perilaku dan perilaku berantai
    Dalam melatih suatu perilaku, Skinner mengemukakan istilah shaping, yaitu upaya secara bertahap untuk membentuk perilaku, mulai dari bentuk yang paling sederhana sampai bentuk yang paling kompleks.

    Menurut Skinner terdapat 2 unsur dalam pengertian shaping, yaitu :

    • Adanya penguatan secara berbeda-beda (diffrential reinforcement), yaitu ada respon yang diberi penguatan dan ada yang tidak diberi penguatan.
    • Upaya mendekat terus-menerus (successive approximation) yang mengacu pada pengertian bahwa hanya respon yang sesuai dengan harapan eksperimenter yang diberi penguat.
Referensi

Drs. Kuntjojo, M.Pd, “Psikologi Kepribadian”

Menurut Soekamto (1995) manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R ( Stimulus – Respon).

Dengan kata lain, belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons. Adapun akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons, siswa mempunyai pengalaman baru, yang menyebabkan mereka mengadakan tingkah laku dengan cara yang baru.

Menurut Sumadi Suryabrata (1983), ciri-ciri teori belajar behavioristik, sebagai berikut :

  • mementingkan pengaruh lingkungan ( environmentalistik ),
  • mementingkan bagian-bagian ( elementalistik ),
  • mementingkan peranan reaksi,
  • mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar,
  • mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu,
  • mementingkan pembentukan kebiasaan, dan
  • dalam pemecahan problem, ciri khasnya trial and error.

Teori belajar yang dikelompokkan dalam teori belajar behavioristik, antara lain ialah :

  • Teori belajar koneksionisme dengan tokoh Edward Lee Thorndike.
  • Teori belajar classical conditioning dengan tokoh Pavlov.
  • Teori belajar Descriptive behaviorism atau operant conditioning dengan tokoh Skinner.

Teori belajar koneksionisme


Thorndike, sebagai tokoh dalam teori belajar koneksionisme, adalah pelopor yang mengakui adanya hubungan antara stimulus dan respons.

Eksperimen Thorndike yang menyebabkan munculnya teori belajar koneksionisme adalah sebagai berikut :

Kucing lapar dimasukkan ke dalam sangkar ( puzzle box ) dan di luar diletakkan daging. Kucing lapar ini melakukan berbagai tingkah laku untuk keluar dari sangkar. Pada saat tidak sengaja dia memijak tombol, pintu sangkar terbuka dan kucing keluar dari sangkar untuk makan daging yang telah disediakan.

Setelah percobaan ini dilakukan berkali-kali ternyata tingkah laku kucing keluar dari sangkar menjadi semakin efisien. Ini berarti selama eksperimen, kucing dapat memilih atau menyeleksi respons yang berguna dan respons yang tidak berguna. Respons yang berhasil membuka pintu, yaitu menginjak tombol akan diingat, sedangkan respon lain yang tidak berguna dilupakan. Dari eksperimen ini dapat disimpulkan bila belajar dapat terjadi dengan dibentuknya hubungan, atau ikatan, atau bond, atau asosiasi, atau koneksi neural yang kuat antara stimulus dan respons. Dengan ini maka teori Thorndike disebut teori koneksionisme.

Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Dengan ini Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and error learning atau selecting and connecting lerning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.

1). Hukum-hukum Belajar dari Thorndike.

Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (hukum primer) dan lima hukum tambahan. Adapun hukum dasar dari Thorndike adalah sebagai berikut :

  • Bila seseorang telah siap melakukan sesuatu tingkah laku, dan pelaksanaan tingkah laku tersebut memberi kepuasan baginya, maka ia tidak melakukan tingkah laku lain karena tingkah laku tersebut telah memberi kepuasan baginya.

    Contoh : Seseorang yang sudah benar-benar siap untuk menempuh ujian, maka dia sangat puas bila ujian tersebut benar-benar dilakukan. Dia akan mantap dan tegang selama mengerjakan ujian, dan tidak berusaha untuk menyontek.

  • Bila seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, tetapi tidak dilakukan tingkah laku tersebut, maka akan timbul kekecewaan baginya sehingga menyebabkan dilakukannya tingkah laku lain untuk mengurangi kekecewaannya.

    Contoh : Seseorang yang sudah belajar tekun sehingga benar- benar siap untuk ujian tetapi jadwal ujian tiba-tiba diundur, maka dia sangat kecewa. Untuk mengurangi kekecewaanya, dia membuat gaduh di dalam kelas, atau protes.

  • Bila seseorang belum siap melakukan tingkah laku tetapi ia harus melakukannya, maka dilaksanakannya tingkah laku tersebut akan menimbulkan ketidak puasan, sehingga ia melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut.

    Contoh : peserta didik yang tiba-tiba diberi tes atau ulangan tanpa diberi tahu terlebih dahulu, maka mereka protes supaya tes dibatalkan, karena mereka belum siap.

  • Bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku maka tidak dilakukannya tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan.

    Contoh : Peserta didik menjadi sangat puas dan lega setelah ada pengumuman bila ulangan diundur satu minggu, karena dia belum merasa belajar sehingga belum siap untuk menempuh ulangan

2). Hukum latihan ( the law of exercise )

Hukum ini dibagi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use) dan hukum tidak ada penggunaan (the law of disuse). The law of use menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang maka hubungan stimulus dan respons makin kuat. Law of disuse menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon melemah bila latihan dihentikan.

Contoh : bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka bila ada stimulus yang berupa pertanyaan “apa bahasa Inggrisnya makan ?” peserta didik langsung dapat memberi jawaban (respon) dengan benar. Tetapi bila peserta didik tidak pernah menggunakan kata itu, maka peserta didik tidak dapat memberi respons yang benar.

Dari hukum ini dapat diambil inti sarinya, bila prinsip utama belajar adalah ulangan. Makin sering suatu pelajaran diulangi, makin dikuasailah pelajaran tersebut, dan makin tidak pernah diulangi, pelajaran tersebut makin tidak dapat dikuasai.

3). Hukum akibat ( the law of effect )

Hukum ini menyatakan bahwa hubungan stimulus respon diperkuat bila akibatnya memuaskan dan diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan. Dengan perkataan lain, suatu perbuatan yang diikuti oleh akibat yang menyenangkan, cenderung untuk diulang, dan apabila akibatnya tidak menyenangkan maka akan cenderung dihentikan.

Dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara hadiah dan hukuman. Tingkah laku yang menghasilkan hadiah akan terus dilakukan, sedang yang mengakibatkan hukuman akan dihentikan. Contoh : Siswa yang nyontek tetapi didiamkan saja, justru diberi nilai A, maka pada kesempatan lain akan menyontek lagi. Tetapi siswa tersebut ditegur atau dipindahkan tempat duduknya sehingga teman-temannya tahu kalau menyontek, maka dia akan malu dan tidak akan menyontek lagi.

Selanjutnya Thorndike melengkapi hukum-hukum tersebut diatas dengan lima hukum tambahan yaitu :

  • Multiple Respons atau reaksi yang bervariasi, merupakan langkah permulaan dalam proses belajar. Melalui proses trial and error seseorang akan terus melakukan respons sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

  • Set atau attitude atau sikap adalah situasi di dalam diri individu yang menentukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Situasi ini ada yang lebih bersifat sementara, misalnya kelelahan, lapar, emosi, dan ada yang lebih bersifat menetap, misalnya latar belakang kebudayaan dan faktor keturunan. Proses belajar individu dapat berlangsung dengan baik, lancar bila situasi menyenangkan, dan proses belajar akan terganggu terganggu bila situasi tidak menyenangkan.

  • Prinsip aktivitas berat sebelah (partial activity/prepotency of elements) merupakan prinsip yang menyatakan bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif). Dengan demikian orang dapat memberi respons yang berbeda pada stimulus yang sama. Ini berarti bahwa dalam proses belajar, seseorang harus memperhatikan lingkungan yang sangat komplek yang dapat memberi kesan yang berbeda untuk orang yang berbeda.

  • Prinsip Response by analogy atau transfer of training. Menurut prinsip ini manusia dapat melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami melalui pemindahan ( transfer ) unsur-unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru. Prinsip ini dikenal pula dengan sebutan theory of identical elements yang menyatakan bahwa makin banyak unsur yang identik, maka proses transfer akan semakin mudah.

    Contoh : Peserta didik di rumah dapat membaca koran walaupun tidak pernah diberi pelajaran membaca koran, karena huruf-huruf yang terdapat di koran identik dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah.

    Dengan lahirnya konsep transfer of training, Thorndike mengharapkan agar pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh peserta didik di sekolah dapat diterapkan untuk berbagai keperluan sekolah. Dengan kata lain agar ada transfer dari sekolah ke masyarakat. Untuk terlaksananya hal ini, unsur-unsur di sekolah diusahakan sebanyak mungkin identik dengan unsur-unsur di masyarakat. Misalnya kurikulum sekolah, suasana kelas dibuat sedemikian rupa sehingga mencakup tugas-tugas dan kemampuan yang diperlukan di luar sekolah.

  • Perpindahan asosiasi ( Associative Shifting ). Ini merupakan proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur-unsur (elemen) baru dan membuang unsur-unsur lama sedikit demi sedikit sekali sehingga unsur baru dapat dikenal dengan mudah oleh individu.

4). Revisi hukum belajar dari Thorndike.

Eksperimen Thorndike dilakukan pada tahun 1913, 1932, 1935 dan 1968. Selama eksperimen selalu ada perkembangan-perkembangan, sehingga berdasarkan eksperimen yang dilakukan setelah tahun 1930, timbullah revisi- revisi pada teorinya sebagai berikut :

  • Hukum latihan ditinggalkan, karena ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus dengan respons, demikian pula tanpa ulangan belum tentu melemahkan hubungan stimulus-respon.

  • Hukum akibat (the law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan, bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Dalam hal ini hadiah (reward) akan meningkatkan hubungan stimulus- respon, tetapi hukuman (punisment) tidak mengakibatkan efek apa-apa. Dengan revisi ini berarti Thorndike tidak menghendaki adanya hukuman dalam belajar.

  • Belongingness, yang intinya, syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus-respon bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal tersebut. Dengan demikian situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar.

  • Spread of effect, yang intinya adalah bahwa akibat dari suatu perbuatan dapat menular. Misalnya siswa yang setelah giat belajar matematika dapat mengerjakan soal dengan mudah dan mendapat nilai A, maka kondisi ini menjadikan ia semakin ingin belajar giat belajar pula dalam mata pelajaran yang lain. Tidak hanya ini saja, bahkan teman-teman sekelasnyapun ingin mengikuti jejaknya.

5). Penerapan teori belajar koneksionisme dalam proses pembelajaran

Teori belajar koneksionisme dapat diterapkan dalam proses pembelajaran antara lain sebagai berikut:

  • Guru dalam proses pembelajaran, jangan hanya mengharapkan siswanya tahu apa yang telah diberikan, tetapi yang terutama, guru harus tahu apa yang hendak diberikan kepada siswa. Kalau guru tidak tahu, berarti guru tidak tahu materi apa yang akan diberikan, respons apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah, yang berarti pula guru tidak memahami tujuan yang hendak dicapai dalam proses pembelajaran.

  • Dalam proses pembelajaran, tujuan yang akan dicapai harus dirumuskan dengan jelas, dan harus masih dalam jangkauan kemampuan siswa atau peserta didik. Tujuan tersebut harus terbagi bagi menurut unit-unit, sehingga guru dapat menerapkannya menurut bermacam-macam situasi.

  • Dalam proses pembelajaran, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards, bukan oleh instrinsic motivation. Yang lebih penting ialah adanya respon-respons yang benar terhadap stimuli. Apabila peserta didik melakukan respons yang salah terhadap stimulus, harus segera diperbaiki, sebelum kesalahan tersebut sempat diulang-ulang.

  • Ulangan yang teratur perlu, sebagai umpan balik bagi guru, apakah proses pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau belum.

  • Peserta didik yang sudah dapat belajar dengan baik, segera diarahkan.

  • Situasi belajar dibuat mirip dengan kehidupan nyata dalam masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari dalam kelas ke lingkungan di luar kelas.

  • Materi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus dapat digunakannya di luar sekolah, dalam kehidupan sehari-hari.

  • Apabila guru memberi masalah yang sulit, melebihi kemampuan peserta didik, tidak akan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan permasalahannya.

Teori belajar classical conditioning


Classical conditioning atau kondisioning klasik, ditemukan oleh Ivan P. Pavlov, seorang ahli fisiologi Rusia. Waktu Pavlov melakukan penelitian proses pencernaan pada anjing melihat daging, atau mendengar langkah kaki majikannya mendekat. Berdasarkan penemuan ini, Pavlov mengadakan ekspeimen di laboratorium, dengan cara sebagai berikut :

Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya, supaya diukur sekresi ludahnya, kemudiaan dilaparkan. Setelah itu, bel dibunyikan selama 30 detik, kemudian tepung daging diberikan kepada anjing. Pada saat bel dibunyikan, anjing tidak mengeluarkan air liur, tetapi pada saat daging didekatkan pada ajing, anjing mengeluarkan air liur. Percobaan ini dilakukan berulang-ulang dengan jarak 15 menit. Setelah diulang sampai 32 kali, baru mendengar bel, anjing sudah mengeluarkan air liur. Setelah daging diberikan kepada anjing, keluarnya air liur bertambah banyak.

Berdasarkan eksperimen ini, Pavlov memberi nama stimulus dan respon sebagai berikut :

  1. Daging yang dapat menimbulkan keluarnya air liur pada anjing, disebut perangsang tak bersyarat, perangsang wajar, perangsang alami, atau unconditioned stimulus ( US ). Disebut demikian, karena memang sudah sewajarnya, kalau daging dapat merangsang anjing.

  2. Air liur yang keluar karena anjing melihat daging atau mencium bau daging, disebut respon tak bersyarat, unconditioned respons (UR), respons alami, respons wajar.

  3. Bunyi bel yang menyebabkan anjing mengeluarkan air liur, disebut conditioning stimulus (CS), perangsang tak wajar, perangsang tak alami, perangsang bersayarat.

  4. Air liur yang keluar karena anjing mendengar bel, disebut respons bersyarat,
    conditioning respons ( CR ), respon tak wajar, respon tak alami.

Dengan uraian ini, maka eksperimen Pavlov secara ringkas dapat diterangkan sebagai berikut :

image

US merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respons dalam bentuk refleks atau UR. Kalau dengan bantuan CS terbentuk CR, berarti sudah ada proses belajar.
Apabila pemberian CS tanpa adanya US terus-menerus diberikan kadar CR makin menurun, dan dapat hilang sama sekali. Proses ini disebut proses extinction, atau proses hilangnya respons yang diharapkan. Tetapi apabila US diberikan lagi, maka dalam waktu yang relatif singkat, CR akan muncul kembali kembali. Hal ini disebut spontaneous recovery.

Supaya conditioning dapat terjadi, CS harus bersifat informatif bagi organisme. Berarti, CS harus merupakan tanda kalau US akan datang.

Walaupun pengulangan penyajian CS-US menyebabkan CR yang timbul makin lama makin teratur dan kuat (diketahui dari banyaknya air liur yang keluar), tetapi pada suatu saat, pengulangan CS-US tidak menyebabkan penambahan kekuatan CR. Tingkat CR yang stabil ini disebut asimtot kurve belajar.

Selain istilah-istilah ini, masih ada istilah lain dalam classical conditioning, yaitu generalisasi stimulus dan diskriminasi stimulus. Kecenderungan organisme memberi respon tidak hanya pada stimulus yang dilatihkan, tetapi juga pada stimulus lain yang berhubungan, disebut generalisasi.

Contohnya, seekor anjing yang dilatih untuk mengeluarkan air liur dengan cara mendengar nada tertentu, maka setelah berhasil dia juga mengeluarkan air liur, kalau mendengarkan nada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Hal ini berlawanan dengan yang terjadi dalam diskriminasi, dalam diskriminasi, organisme hanya memberi respon pada stimulus tertentu, sehingga tidak memberi respon pada stimulus yang lain, walaupun stimulus tersebut berhubungan dangan stimulus sebelumnya. Untuk terjadinya generalisasi atau diskriminasi, perlu ada latihan khusus yang berulang-ulang dan berbeda-beda.

Pavlov dalam penelitiannya juga dapat menciptakan conditioning tingkat tinggi, atau disebut higher order conditioning, dengan cara sebagai berikut :

Setelah bunyi bel (CS) dapat menyebabkan keluarnya air liur (CR) pada anjing, maka pada penelitian selanjutnya, sebelum bel dibunyikan, dinyalakan terlebih dahulu lampu berkedip-kedip di dekat anjing. Ketika lampu berkedip- kedip, anjing sudah mengeluarkan air liur meskipun makanan belum disajikan. Kondisi tersebut digambarkan sebagai berikut:

  1. Lampu berkedip-kedip ( CS* ) + bunyi bel ( CS ) → air liur (CR).
  2. Lampu berkedip-kedip ( CS* ) → air liur ( SR ).

Penerapan teori conditioning dalam belajar

Kalau mata pelajaran termasuk CS, sikap guru termasuk US, dan respon siswa termasuk UR atau CR, maka akan terjadi hal sebagai berikut :

  1. Mata pelajaran Matematika ( CS ) + guru yang baik ( US ) → siswa mempunyai respon positif ( UR ), yang berarti siswa senang pada cara guru mengajar matematika dengan baik. Kalau hal ini dilakukan berkali-kali, maka akan terjadi : mata pelajaran Matematika (CS) → siswa mempunyai respon positif terhadap mata pelajaran Matematika (CR).

  2. Matematika (CS) + guru otoriter (US) → respons siswa negatif (UR). Kalau hal ini dilakukan berkali-kali, maka akan terjadi hal sebagai berikut : mata pelajaran matematika (CS) → respons siswa terhadap mata pelajaran matematika negatif (CR).

Teori belajar operant conditioning


Tokoh dari teori ini bernama Burrhus Frederic Skinner, dan lebih terkenal dipanggil Skinner. Seperti Pavlov, Skinner memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dengan respon, tetapi Skinner memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dengan respon, tetapi Skinner membedakan dua macam respons, yaitu :

  1. Respons yang ditimbulkan oleh perangsang tertentu dan disebut respondent respons.
    Jadi respon ini timbulnya karena didahului perangsang tertentu. Perangsang seperti ini disebut eleciting stimuli, dan hanya dapat menimbulkan respons secara relatif menetap. Misalnya makanan hanya dapat menyebabkan keluarnya air liur.

  2. Respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu.
    Respons seperti ini disebut operant respons atau instrumental respons. Perangsangnya disebut reinforcer, karena perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Fokus teori Skinner pada jenis operant respon, sehingga teori belajarnya disebut teori belajar operant conditioning.

a). Eksperimen dari Skinner

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut : dalam laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan, dalam kotak yang disebut “Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.

Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol. Banyaknya penekanan per satuan waktu dihitung sebagai tingkat operant penekanan, sebelum terbentuk operant conditioning. Keadaan ini disebut garis dasar (base line), atau level operant. Pada saat itu belum ada makanan yang jatuh di tempat penampungan makanan. Selanjutnya langkah-langkah eksperimen dilakukan sebagai berikut :

  1. Waktu tikus jauh dari tempat makanan, eksperimenter menjatuhkan makanan pada penampung makanan dan tikus memakannya.
  2. Eksperimenter menjatuhkan makanan, setelah tikus bergerak kian kemari.
  3. Eksperimenter menjatuhkan makanan, setelah tikus mendekati tombol.
  4. Setelah tikus menginjak tombol, baru ada makanan yang jatuh di penampungan makanan.
  5. Setiap tikus menginjak tombol, ada makanan yang jatuh di penampungan makanan. Makin lama tikus makin sering menginjak tombol.

Langkah-langkah seperti ini nampak bahwa tikus mendapat segelintir makanan, secara bertahap. Mula-mula, walaupun tikus masih jauh dari tombol, sudah diberi makanan, akan tetapi makin lama makin dekat tombol, baru diberi makanan, dan selanjutnya setelah tikus menekan tombol, baru ada makanan. Langkah seperti ini disebut pengarahan (shaping).

Apabila eksperimenter menyajikan makanan hanya saat respons dilakukan pada waktu lampu menyala, dan hal ini dilakukan berulang-ulang, maka tikus akan menekan tombol, hanya kalau lampu menyala.

Eksperimen selanjutnya, tikus tersengat aliran listrik waktu tikus menekan tombol, maka akibatnya tikus tidak berani menekan tombol. Aliran listrik merupakan hukuman (punishment), yang menyebabkan tikus untuk sementara waktu tidak berani menekan tombol. Ternyata hukuman atau sering disebut pula sebagai negative reinforcer, hanya menekan perilaku selama hukuman diberikan, jadi tidak efektif dalam waktu yang lama. Maka Skinner tidak setuju adanya hukuman. Untuk ini Skinner menganjurkan, agar lingkungan diubah, sehingga tidak perlu ada hukuman.

Dalam eksperimen Skinner, dapat terjadi extinction, yaitu penurunan frekwensi secara drastis dalam conditioning respons, karena setelah beberapa kali tikus menekan tombol, tidak muncul makanan selaku reinforcer. Tetapi apabila dalam jangka waktu tertentu tikus menekan tombol lalu muncul makanan, maka terjadilah peningkatan conditioning respons secara drastis. Proses seperti ini disebut spontaneous recovery, dan terjadi tanpa ada latihan.

Skinner dalam eksperimennya, memberi jadwal reinforcer sebagai berikut:

  1. Continuous reinforcer ( CRF )
  2. Fixed interval reinforcer ( FI )
  3. Fixed ratio reinforcer ( FR )
  4. Variabel interval reinforcer ( VI )
  5. Variable ratio reinforcer ( CR )

Keterangan mengenai jadwal pemberian hadiah :

  1. Continuous reinforcer ( CRF ).
    Dalam CRF, setiap respons ada reinforcer / reward.

  2. Fixed interval reinforcer ( FI )
    Setiap interval waktu tertentu, secara fix diberi hadiah / reinforcer. Misalnya, setiap tiga menit, diberi hadiah, sehingga interval waktunya sebagai berikut : 3 menit - 6 menit - 9 menit - 12 menit dan seterusnya.

  3. Fixed ratio reinforcer (FR)
    Pada FR, setiap perbandingan yang fix, diberi hadiah. Misalnya, setiap tiga kali tikus menekan tombol, diberi hadiah satu. Setiap enam kali tikus menekan tombol diberi hadiah dua kali lipat, setiap tikus menekan tombol sembilan kali, diberi hadiah tiga kali lipat, dan seterusnya.

  4. Variabel interval reinforcer ( VI )
    pada VI, tiap waktu bermacam-macam, diberi hadiah.

  5. Variabel ratio reinforcer ( CR ).
    Pada CR, setiap berapa kali tidak tentu, diberi hadiah. Jadi kadang-kadnag diberi hadiah dan kadang-kadang tidak diberi hadiah dalam waktu yang tidak tentu.

Dari berbagai jadwal pemberian reinforcer ini, ternyata kecepatan berespons paling tinggi, ialah VR, kemudian FR, selanjutnya VI, berikutnya FI, dan yang paling tidak cepat ialah CRF.

b). Penerapan teori Skinner dalam belajar

  1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
  2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
  3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
  4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
  5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
  6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
  7. dalam pembelajaran, digunakan shaping.

Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar siswa membaca buku di perpustakaan dan mencatatnya dalam buku tulisnya, maka siswa diarahkan sebagai berikut :

  • Waktu pertama kali siswa datang di perpustakaan, diberi hadiah berupa pujian, yang menyatakan bahwa siswa tersebut rajin karena mau datang di perpustakaan.
  • Waktu kedua kali siswa datang di perpustakaan, didiamkan saja, tetapi setelah dia membuka-buka katalog, baru diberi pujian.
  • Waktu ketiga kalinya siswa datang di perpustakaan, baru diberi pujian setelah dia menemukan buku yang diwajibkan untuk dibawanya.
  • Waktu keempat kalinya dia ke perpustakaan, setelah siswa membaca buku tersebut, baru diberi pujian, bahwa dia siswa yang rajin, mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar, dan didoakan mudah-mudahan dalam ujian dapat mendapat nilai yang baik.

Demikian seterusnya, dan hadiah baru diberikan kepada siswa apabila siswa main mendekati tujuan, dan akhirnya hadiah baru diberikan, setelah siswa mencatat hasil bacaannya dalam buku tulisnya. Hadiah dapat berupa nilai yang baik.

Langkah-langkah secara umum, dapat dilakukan sebagai berikut :

  1. Ditentukan hadiah apa yang diberikan.
  2. Tugas yang akan dilakukan siswa dianalisis, untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud. Selanjutnya komponen-komponen itu disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju tujuan.
  3. Kalau komponen pertama telah dilakukan siswa, maka hadiahnya diberikan. Hal itu mengakibatkan komponen tersebut makin sering dilakukan. Kalau hal ini sudah terbentuk, komponen ke dua yang diberi hadiah. Komponen pertama tidak diberi hadiah. Demikian selanjutnya, sampai tingkah laku yang diharapkan terbentuk.

Definisi Teori Belajar Behavioristik


Belajar merupakan proses perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dimaksud dapat berwujud perilaku yang tampak ( overt behavior ) atau perilaku yang tidak tampak ( innert behavior ). Perilaku yang tampak misalnya menulis, memukul, menendang, dsb sedangkan perilaku yang tidak tampak misalnya berpikir, bernalar, berkhayal, dsb. Perubahan perilaku yang diperoleh dari hasil belajar bersifat permanen yag berarti perubahan perilaku tesebut akan betahan relatif lama, sehingga pada suatu saat perilaku tersebut dapat dipergunakan untuk merespon stimulus yang sama atau hampir sama. Namun tidak semua perubahan perilaku adalah wujud dari hasil belajar, misalnya seseorang menarik jarinya secara reflektif karena terkena api. Adapula perubahan perilaku yang disebabkan oleh faktor kematangan, misalnya seorang anak kecil umur 9 bulan dapat berjalan karena telah mencapai kematangan untuk berjalan (Rifa’i 2012).

Teori belajar adalah seperangkat pernyataan umum yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan mengenai belajar. Teori belajar bertujuan untuk menjelaskan bagaimana proses belajar dengan menaruh perhatian terhadap hubungan antar variabel yang menentukan hasil belajar (Budinigsih, 2005). Dalam pendidikan terdapat banyak teori belajar yang dikemukanan oleh para ahli, namun secara garis besar teori-teori belajar yang dikemukanan terbagi menjadi tiga aliran besar, yaitu

  • Aliran behavioristik;
  • Aliran kognitif; dan
  • Aliran humanisme.

Behavoristik memandang bahwa lingkungan adalah pembentuk perilaku individu (Baruque, 2014). Aliran behavioristik memiliki pandangan bahwa hasil belajar (perubahan perilaku) bukanlah berasal dari kemampuan internal manusia (insight) tetapi karena faktor stimulus yang menimbulan respons. Untuk itu agar aktivitas belajar siswa bisa mencapai hasil belajar yang maksimal, maka harus menggunakan stimulus yang dirancang sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan respons yang positif dari siswa. Oleh karena itu siswa akan memperoleh hasil belajar apabila dapat menemukan hubungan antara stumulus (S) dengan respons ® (Rifa’i, 2012)

Proses belajar pada diri individu bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Proses belajar yang dilakukan secara sengaja misalnya adalah ketika belajar didalam kelas, atau membaca buku. Proses belajar yang tidak disengaja misalnya reaksi seorang anak ketika melihat jarum suntik. Seorang anak merasa cemas ketika melihat jarum suntik, kecemasan tersebut juga merupakan hasil dari belajar. Anak menghubungkan jarum dengan rasa sakit yang biasa diterima ketika disuntik sehingga tubuhnya secara emosional bereaksi ketika melihat jarum suntik dengan mejadi cemas.

Berdasarkan uraian diatas maka bisa disimpulkan bahwa Behavoristik memandang bahwa lingkungan adalah pembentuk perilaku individu. Aliran behavioristik memiliki pandangan fokus utama dari belajar adalah hasil belajar (perubahan perilaku) bukan berasal dari kemampuan internal manusia ( insight ) tetapi karena faktor stimulus yang menimbulan respons. Untuk itu agar aktivitas belajar siswa bisa mencapai hasil belajar yang maksimal, maka harus menggunakan stimulus yang dirancang sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan respons yang positif dari siswa.

Jenis-Jenis Teori Belajar Behavioristik


Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan teorinya mengenai belajar yang termasuk klasifikasi teori belajar behavioristik, diantaranya yang paling populer adalah Edward Lee Thorndike, Ivan Pavlov dan Frederic Skinner

1. Teori Belajar Classical Conditioning


Teori belajar calassical conditioning dikembangan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) asal Rusia. Dalam teori belajar calassical conditioning, untuk mengatur perilaku bisa dilakukan dengan melakukan pengkondisian yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang. Dalam percobaannya Pavlov menggunakan anjing sebagai objek penelitiannya. Pavlov meneliti bagaimana anjing bisa terkondisi berliur meskipun tidak diberi daging (Nahar, 2016).

Menurut Pavlov apabila anjing mengeluarkan air liur karena melihat makanan, respons ini bersifat alamiah dan disebut respons alamiah atau respons tidak berkondisi dan stimulusnya (makanan) juga merupakan stimulus alamiah.

Persoalan yang ingin dipecahkan oleh eksperimen Pavlov adalah “apakah bunyi bel dapat menimbulkan air liur pada anjing?”. Apabila hal ini terjadi maka bunyi bel berkedudukan sebagai stimulus berkondisi ( conditioning stimulus ) dan respons yang berwujud keluarnya air liur disebut respons yang berkondisi ( conditioning respons )

image
Keterangan:

  • US ( Unconditioned stimulus )= stimulus asli atau netral. Stimulus yang tidak dikondisikan, yaitu stimulus asli yang lansung menimbulkan respons, misalnya daging yang dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.

  • UR ( unconditioned respons ) disebut perilaku responden tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karena melihat daging.

  • CS ( conditioning stimulus )= stimulus bersyarat yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara terus menerus. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur bisa dipasangkan dengan daging.

  • CR ( Conditioning respons ). Respons bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya CS, misalnya air liur anjing keluar karena mendengar bel.

Dari eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov setelah pengkondisian dapat diketahi bahwa daging yang menjadi stimulus alami ( unconditional stimulus ) dan mengeluarkan air liur ( unconditionde respons ) dapat digantikan dengan bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan ( conditioned stimulus ). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan ( conditioned respons ).

Apakah kondisi ini bisa diterapkan pada manusia? Faktanya banyak kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh pavlov. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing tetapi setelah si penjual es krim sering lewat maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada nada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lain adalah dalam dunia pendidikan adalah bel masuk atau istirahat atau pulang sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Teori Belajar Classical Conditioning dikembangkan oleh Ivan Pavlov. Dalam teori belajar calassical conditioning , untuk mengatur perilaku bisa dilakukan dengan melakukan pengkondisian yang dilakukan secara terus menerus dan berulangulang. Melalui teori pavlov ini dapat diketahui bahwa individu dapat dikendalikan dengan cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak menyadari bahwa ia sebenarnya telah dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

2. Teori Koneksionisme


Teori koneksionisme dikembangkan oleh Thorndike (1874-1949) dari Amerika. Dalam melakukan eksperimennya Thorndike menggunakan kucing dengan meneliti kecepatan kucing untuk bisa keluar dari kandang. Menurut Thorndike koneksi ( connection ) merupakan asosiasi antara kesan-kesan penginderaan dengan dorongan untuk bertindak, yakni upaya untuk menggabungkan antara kejadian penginderaan dengan perilaku. Dalam hal ini Thorndike menitik beratkan pada aspek fungsional dari perilaku bahwa proses mental dan perilaku organisme berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap lingkungan (Rifai, 2012).

Dalam percobaan yang dilakukan oleh Thorndike, kucing pertama kali bisa melepaskan diri dari kandang dengan coba-coba ( trial and error ). Pada mulanya kucing mencoba berbagai tindakan, sampai tanpa sengaja menekan tombol dan dapat keluar dari kandang. Setelah beberapa kali percobaan kucing dapat menghubungkan antara menekan tombol dengan melepaskan diri dari kandang. Thorndike menemukan rata-rata kucing percobaannya mampu melepaskan diri dari kandang namun membutuhkan waktu latihan.

Menurut Thorndike, dasar belajar adalah trial and error Dalam teorinya thorndike mengemukakan terjadinya hubungan antara stimulus dan respon mengikuti hukun-hukum berikut:

  • Hukum kesiapan ( law of readiness ), yaitu semakin siap suatu organisame memperoleh perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
  • Hukum latihan ( law of exercies ), semakin sering suatu tingkah laku diulang maka asosiasi akan semakin kuat.
  • Hukum akibat ( law of effect ) hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan sebaliknya.

Berdasarkan uraian diatas maka bisa disimpulkan bahwa dalam teori koneksionisme merupakan asosiasi antara kesan-kesan penginderaan dengan dorongan untuk bertindak, yakni upaya untuk menggabungkan antara kejadian penginderaan dengan perilaku. Proses belajar akan terjadi pada diri anak jika anak memiliki ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. Teori ini menggambarkan bahwa tingkah laku siswa dikontrol oleh kemungkinan mendapat hadiah ( reinforcement ).

3. Teori Operant Conditioning


Teori operant conditioning dikembangkan oleh Federic Skinner (1904-1990). Dalam melakukan eksperimennya skinner menggunakan tikus lapar sebagai hewan percobaan. Diasumsikan bahwa tikus yang lapar akan memiliki dorongan untuk mencari makan. Tikus yang sedang lapar dimasukan kedalam kandang dan tidak diberikan makanan. Kemudian dalam box itu diberikan makanan yang dihubungkan dengan tuas. Apabila tuas ditekan maka makanan akan keluar (penguatan positif). Akibatnya jumlah tikus menekan tuas semakin meningkat agar bisa mendapat makanan. Kemudian alat pemberi makanan tersbut diputuskan dengan tuas, ternyata tikus tetap menekan tuas.

Skinner memandang manusia sebagai mesin, manusia bertindak secara teratur dan dapat diramalkan responsnya terhadap stimulus yang datang dari luar. Perbedaannya dengan classical conditioning yang dikemukakan oleh Pavlov, skinner meneliti gerakan non refleks atau perilaku yang disengaja (tikus menekan tuas) sedangkan Pavlov merupakan gerak refleks atau perilaku alami (mengeluarkan liur ketika melihat makanan) (Rifa’i, 2002).

Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan ( reinforcement ). Suatu respons akan semakin kuat dengan adanya penguatan. Siknner membagi penguatan menjadi dua, yaitu:

  • Penguatan positif sebagai stimulus yang bisa meningkatkan pengulangan tingkah laku, stimulus ini bisa berupa hadiah, atau penghargaan; dan

  • Penguatan negatif yang dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang. Stimulus negatif bisa berupa hukuman, menunda / tidak memberikan pengahargaan atau menunjukan perilaku tidak senang.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori operant conditioning menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan ( reinforcement ). Suatu respons akan semakin kuat dengan adanya penguatan. Siknner membagi penguatan menjadi dua, yaitu:

  • Penguatan positif sebagai stimulus yang bisa meningkatkan pengulangan tingkah laku, stimulus ini bisa berupa hadiah, atau penghargaan; dan

  • Penguatan negatif yang dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.

Manfaat Teori Belajar dalam Pembelajaran


Teori belajar merupakan seperangkat pernyataan umum yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan mengenai belajar. Sugiyanto (2004) mengungkapkan beberapa manfaat teori belajar bagi guru, diantaranya:

  • Membantu guru memahamai bagaimana siswa belajar
  • Membimbing guru merancang dan merencanakan proses pembelajaran
  • Panduan guru mengelola kelas
  • Membantu guru mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri dan hasil belajar siswa
  • Membantu proses belajar lebih efektif dan efisien
  • Membantu guru memberikan dukungan dan bantuan kepada siswa untuk mencapai prestasi maksimal

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku manusia.Menurut Desmita (2009) teori belajar behavioristik merupakan teori belajar memahami tingkah laku manusia yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian.

Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons (Slavin, 2000).Seseorang dianggap telah belajar apabila dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.

Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respons tidak penting untukdiperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respons, oleh karenaitu ,apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respons) harus dapat diamati dan diukur (Putrayasa, 2013).

Teori behavioristik menekankan pada kajian ilmiah mengenai berbagai respon perilaku yang dapat diamati dan penentu lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku memusatkan pada interaksi dengan lingkungannya yang dapat dilihat dan diukur. Prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk membantu orang-orang mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik (King, 2010).

Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.Teori belajar behavioristik berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik.Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori belajar behavioristik adalah sebuah aliran dalam teori belajar yang sangat menekankan pada perlunya tingkah laku (behavior) yang dapat diamati. Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respons. Oleh karena itu teori ini juga dinamakan teori stimulus-respons.

Ciri-Ciri Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristikmelihat semua tingkah laku manusia dapat ditelusuri dari bentuk refleks. Dalam psikologi teori belajar behavioristik disebut juga dengan teori pembelajaran yang didasarkan pada tingkah laku yang diperoleh dari pengkondisian lingkungan. Pengkondisian terjadi melalui interaksi dengan lingkungan.

Menurut Ahmadi (2003), teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri, yaitu. Pertama, aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan kenyataan. Pengalamanpengalaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada badan yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa jiwa.

Kedua, segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin. Ketiga, behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang adalah sama. Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa, manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi reflek keinginan hati.

Tokoh-Tokoh Teori BelajarBehavioristik

1. John B. Watson

Menurut Desmita (2009), behavioristik adalah sebuah aliran dalam pemahaman tingkah laku manusia yang dikembangkan oleh John B. Watson (1878- 1958), seorang ahli psikologi Amerika pada tahun 1930, sebagai reaksi atas teori psikodinamika.

Menurut Watson (dalam Putrayasa, 2013), belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respons, stimulus dan respons yang dimaksud harus dapat diamati dan dapat diukur. Oleh sebab itu seseorang mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri selama proses belajar.

2. Ivan P. Pavlov

Paradigma kondisioning klasik merupakan karya besar Ivan P. Pavlov (1849-1936), ilmuan Rusia yang mengembangkan teori perilaku melalui percobaan tentang anjing dan air liurnya. Proses yang ditemukan oleh Pavlov, karena perangsang yang asli dan netral atau rangsangan biasanya secara berulang-ulang dipasangkan dengan unsur penguat yang menyebabkan suatu reaksi.

3. B.F. Skinner

Skinner adalah seorang psikolog dari Harvard yang telah berjasa mengembangkan teori perilaku Watson. Pandangannya tentang kepribadian disebut dengan behaviorisme radikal.Behaviorisme menekankan studi ilmiah tentang respon perilaku yang dapat diamati dan determinan lingkungan. Dalam behaviorisme Skinner, pikiran, sadar atau tidak sadar, tidak diperlukan untuk menjelaskan perilaku dan perkembangan.

Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik merupakan teori yang didasarkan pada perubahanprilaku yang bisa diamati. Behaviorme memfokuskan diri pada sebuah pola perilaku baru yang diulangi samapai prilaku tersebut menjadi otomatis atau membudaya. Teori behaviorisme mengkonsentrasikan pada kajian tentang prilaku nyata yang bisa diteliti dan diukur. Teori ini memandang pikiran sebagai sebuah kotak hitam, dalam artian bahwa respon terhadap stimulus bisa diamati secara kuantitatif, apa yang ada dalam pikiran menjadi diabaikan karena proses pemikiran tidak bisa diamati secara jelas perubahan prilakunya. Tokoh-tokoh kunci dalam perkembangan teori behavioris adalah Ivan Pavlov, Watson, Throndike, dan B.F Skinner.

Teori yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov lebih banyak dikenal dengan bunyi bel. Hal ini dikarenakan Pavlov melakukan eksperimen dengan melibatkan makanan, anjing dan bel. Pavlov dikenal dengan karyanya tentang pengkondisian klasik atau substitusi stimulus (Smith, 2009:74). Sementara itu Thorndike menyatakan bahwa pembelajaran merupakan formasi sebuah koneksi antara stimulus dan respons. Teorinya dikenal dengan nama koneksionisme. Dalam teori koneksionisme, Thorndike mengungkapkan terdapat hukum efek, hukum latihan dan hukum kesiapan. Pada hukum efek dinyatakan bahwa ketika sebuah koneksi antara stimulus dan respons diberi imbalan positif maka koneksi diperkuat, dan ketika diberi imbalan negatif maka koneksi diperlemah, namun Thorndike kemudian merivisi bahwa imbalan negatif tidak memperlemah ikatan dan imbalan positif belum tentuk memperkuat koneksi.

Sedangkan dalam hukum latihan, Thorndike menyatakan bahwa semakin ikatan stimulus-respons dipraktekan lebih kuat maka ia akan menjadi semakin kuat, sebalikanya jika stimulus-respons jarang dipraktekan maka akan semikin lemah. Untuk Hukum kesiapan sendiri Thorndike menyatakan struktur sistem saraf, unit koneksi tertentu, dalam situasi tertentu menjadi lebih mempengaruhi prilaku daripada yang lain.

Teori belajar behavioristik yang dikemukan oleh Watson berangkat dari gagasan Pavlov. Watson mengungkapakan manusia dilahirkan dengan beberapa refleksdan reaksi emosional cinta dan kemarahan. Semua prilaku dibentuk melalui asosiasi stimulus-respons dengan jalan pengkondisian. Ekperimen Watson yang terkenal adalah dengan melibatkan seorang anak dan tikus, dimana seorang anak yang awalnya tidak takut dengan seekor tikus dengan pengkondisiaan tertentu dapat berubah menjadi takut. Hal ini menunjukan pengkondisoan sangant mempengaruhi perilaku seseorang.

B.F. Skinner percaya pada pola stimulus-respons dalam prilaku yang terkondisikan. Karya Skinner berbeda dengan pendahulunya (pengkondisia klasik) karena Skinner mengkaji operant behavior (perilaku disengaja yang digunakan dalam pengoperasian pada lingkungan). Mekanisme pengkondisian operant behavioryaitu (1) penguatan atau imbalan positif; respons yang diberi imbalan kemungkinan akan diulangi. (2) penguatan negatif; respons yang membuat lari dari rasa sakit atau situasi yang tidak diharapkan kemunkinan akan diulangi. (3) penghentian atau tidak ada penguatan; respons yang tidak diperkuat kemungkinan tidak akan diualangi. (4) hukuman; respon yang membawa rasa sakit atau konsekuensi yang tidak diharapkan akan ditekan.

Teori belajar behaviorisme telah melahirkan banyak desain pembelajaran dan memberikan dampak yang luas terhadap praktik pengajaran serta penggunaan perangkat pembelajaran. Teori behaviorime menjadi pijakan bagi hadirnya modelmodel pembelajaran seperti mastery learning, belajar terprogram, pembelajaran individual, pembelajaran berbantuan komputer, pendekatan sistem dalam pembelajaran dan lain sebagainya. Termasuk dalam hal ini pengaruh teori belajar behaviorime dalam pengembangan media pembelajaran.

Teori Belajar Behaviorisme dalam Pengembangan Multimedia Pembelajaran

Teori belajar behaviorisme meruapan teori belajar yang menekankan pada perubahan tingkah laku dengan unsur utama stimulus respons. Namun demikian teori ini telah memberaikan landasan bagi lahirnya desain pembelajaran, setidaknya ada area yang mendemonstrasikan damapak teori behaviorisme terhadap pembelajaran (Seattler dalam Smith, 2009) diantaranya gerakan sasaran behavioral, fase mesin pengajaran, gerakan pengajaran terprogram, pendektan pembelajaran individu, pembelajaran berbatuan komputer dan pendekatan sistem terhadap pengajaran. Berikut akan diuraikan teori belajar behavioristik melahirkan desain pembelajaran dan penerapannya dalam pengembangan multimedia pembelajaran.

Salah satu pengaruh teori behaviorime dalam desain pembelajaran adalah lahirnya gerakan sasaran behavioral.Gerakan ini menekankan pada perilaku khusus dan bisa dikuatifikasi. Mnemonic ABCD (Audience, Behavior, Condition, Degree) adalah salah satu implikasi gerakan sasaran behavioral dalam desain pembelajaran. Untuk mengembangkan kelompok sasaran behavioral, sebuah tugas pembelajaran harus diatasi melalui analisis terhadap tugas-tugas spesifik yang bisa diukur. Kesusksesan pembelajaran diukur dengan tes yang berkembang untuk mengukur setiap sasaran.

Dalam pengembangan multimedia pembelajaran kelompok sasaran atau audience mendapatkan perhatian serius, sebab kelompok sasaran akan mempengaruhi pada semua aspek pengembangan seperti materi, desain pesan (grafik, ukuran teks, warna, animasi), dan tampilan. Multimedia pembelajaran untuk kelompok sasaran anakusia SD akan berbeda dengan kelompok sasaran usia SMA. Bahavior, perubahan prilaku dapat diamati dari jawaban yang benar. Dalam pengembangan multimedia pembelajaran pemberian informasi jawaban yang benar jika dikembangkan dapat memberikan informasi balikan bagi siswa tentang keberhasilan belajar. Multimedia pembelajaran sebaikanya memberikan informasi balikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan belajar. Condition (kondisi) menyelesaikan unit/materi. Dalam pengembangan multimedia pembelajaran, materi harus didesain sedemikian rupa supaya menciptakan lingkungan belajar yang baik bagi peserta belajar. Penggunaan unsur-unsur multimedia seperti warna, gambar, animasi, teks yang didesain dengan baik akan sangat mempengaruhi seseorang dalam belajar, artinya desain pesan akan dapat mengkondisikan seseorang dalam belajar. Degree (tingkat keberhasilan), informasi tingakat keberhasilan belajar dalam pengembangan multimedia pembelajaran sangatlah penting karena itu menjadi bagian bagi peserta belajar untuk mengetahui keberhasilan dalam belajar.

Dampak lain teori behavioristik diantaranya lahirnya formula pembelajaran kemahiran ( mastery learning) , yang menekaknkan pada pembelajaran tuntas. Pembelajaran tuntas sangat berimplikasi pada pengembangan multimedia pembelajaran, multimedia pembelajaran yang baik adalah yang dapat memberikan ketuntasan dalam belajar, artinya bagaiman belajar dikondisikan sedemikian rupa mulai dari awal sampai akhir pembelajaran, dengan tahapan dan langkah-langkah yang jelas dan terstruktur, oleh karena itu dalam pengembangan multimedia perlu ada flowchart sebagai gambaran dalam pengembangan multimedia pembelajaran. Penggunaan flowchart merupakan bagian dari pengaruh teori belajar behavorisme.

Bentuk lain dari pengaruh teori behaviorisme adalah pembelajaran terpogram dan pengajaran individu. Multimedia pembelajaran merupakan bentuk pembelajaran yang sangat terprogram dan individual. Karena itulah desain pembelajaran menjadi sangat penting sebagai bagian dari upaya pengkondisian belajar. Begitu juga sajian materi, pemberian rangkuman, soal dan balikan juga merupakan bagian dari upaya memberikan stimulus, mengkondisikan, mengetahuai respons dalam pembelajaran.

Pengaruh teori belajar behaviorisme sangatlah kuat dalam pengembangan multimedia pembelajaran. Jika ada multimedia pembelajaran yang tidak memenuhi komponen pembelajaran, maka akan sangat dirasakan ada yang kurang dalam pembelajaran. Kaidah inilah yang kadang banyak diabaikan oleh pengembangan multimedia pembelajaran, sebagai contoh mengabagaikan petunjuk pembelajaran atau tidak memberikan umpan balik dalam pembelajaran sehingga belajar menjadi tidak utuh dan tidak tuntas.

Referensi

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/deni-hardianto-mpd/penerapan-teori-behavioristik-dalam-pengembangan-multimedia-pembelajaran.pdf