Apa yang dimaksud dengan Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap?

Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap

Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Consistency Attitude and Attribution Theory ) dikembangkan oleh Fritz Heider (1946; 1958) yang mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia cenderung mengorganisasikan sikapnya agar tidak ada konflik.

Sebagai contoh, jika kita dan orang-orang di sekeliling kita setuju pada hukuman mati, maka sikap kita cenderung konsisten atau seimbang ( balance ). Akan tetapi, jika kita setuju sementara orang-orang di sekeliling kita, terutama yang dekat dengan kita, tidak setuju pada hukuman mati, maka kita dalam kondisi tidak seimbang ( imbalance ). Kondisi ini mengakibatkan adanya tekanan dan ketidaknyamanan pada diri kita sehingga kita cenderung mengubah sikap kita agar sesuai dengan orang-orang di sekitar kita. Dengan mengubah sikap kita tersebut kita cenderung menjadi lebih nyaman.

Menurut Fritz Heider sebagai pencetus teori atribusi, teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan tentang perilaku seseorang. Teori atribusi menjelaskan mengenai proses bagaimana kita menentukan penyebab dan motif tentang perilaku seseorang. Teori ini mengacu tentang bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri yang akan ditentukan apakah dari internal misalnya sifat, karakter, sikap, dll ataupun eksternal misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang akan memberikan pengaruh terhadap perilaku individu (Luthans, 2005).

Teori atribusi menjelaskan tentang pemahaman akan reaksi seseorang terhadap peristiwa di sekitar mereka, dengan mengetahui alasan-alasan mereka atas kejadian yang dialami. Teori atribusi dijelaskan bahwa terdapat perilaku yang berhubungan dengan sikap dan karakteristik individu, maka dapat dikatakan bahwa hanya melihat perilakunya akan dapat diketahui sikap atau karakteristik orang tersebut serta dapat juga memprediksi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu.

Fritz Heider juga menyatakan bahwa kekuatan internal (atribut personal seperti kemampuan, usaha dan kelelahan) dan kekuatan eksternal (atribut lingkungan seperti aturan dan cuaca) itu bersamasama menentukan perilaku manusia. Dia menekankan bahwa merasakan secara tidak langsung adalah determinan paling penting untuk perilaku. Atribusi internal maupun eksternal telah dinyatakan dapat mempengaruhi terhadap evaluasi kinerja individu, misalnya dalam menentukan bagaimana cara atasan memperlakukan bawahannya, dan mempengaruhi sikap dan kepuasaan individu terhadap kerja. Orang akan berbeda perilakunya jika mereka lebih merasakan atribut internalnya daripada atribut eksternalnya.

Menurut Dayakisni (2006) Atribusi merupakan proses dilakukan untuk mencari sebuah jawaban atau pertanyaan mengapa atau apa sebabnya atas perilaku orang lain ataupun diri sendiri. Proses atribusi ini sangat berguna untuk membantu pemahaman kita akan penyebab perilaku dan merupakan mediator penting bagi reaksi kita terhadap dunia sosial.

Sarwono (2009) atribusi merupakan analisis kausal, yaitu penafsiran terhadap sebab-sebab dari mengapa sebuah fenomen menampilkan gejala-gejala tertentu. Baron (2004) atribusi bearti upaya kita untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus, juga penyebab dibalik perilaku kita sendiri.

Atribusi merupakan suatu proses penilaian tentang penyebab, yang dilakukan individu setiap hari terhadap berbagai peristiwa, dengan atau tanpa disadari. Atribusi terdiri dari 3 dimensi yaitu;

  1. lokasi penyebab, masalah pokok yang paling umum dalam persepsi sebab akibat adalah apakah suatu peristiwa atau tindakan tertentu disebabkan oleh keadaan internal (hal ini disebut sebagai atribusi internal) atau kekuatan eksternal (atribusi eksternal);

  2. stabilitas, dimensi sebab akibat yang kedua adalah berkaitan dengan pertanyaan apakah penyebab dari suatu peristiwa atau perilaku tertentu itu stabil atau tidak stabil. Dengan kata lain stabilitas mengandung makna seberapa permanen atau berubah-ubahnya suatu sebab;

  3. pengendalian, dimensi ini berkaitan dengan pertanyaan apakah suatu penyebab dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan oleh seorang individu. (dalam Nurhayati, 2005).

Tujuan melakukan proses atribusi


Ada dua macam asumsi tentang tujuan proses atribusi :

  1. Proses atribusi mempunyai tujuan untuk memperoleh pemahaman terhadap dunia. Kesimpulan-kesimpulan dibuat untuk memahami lingkungan dan memprediksi kejadian-kejadian di masa yang akan datang.

  2. Proses atribusi yang dipelajari secara alami dan mempunyai tujuan untuk menjelaskan tindakan-tindakannya sendiri serta berusaha untuk mengendalikan tindakan-tindakan orang lain yang mempunyai hubungan interpersonal dekat dengan dirinya.

Model-model proses atribusi


  1. Model Heider
    Analisa secara sistematik tentang bagaimana orang menginterprestasikan sebab perilaku orang lain pada awalnya dilakukan oleh Heider (dalam Hudaniah, 2006). Heider mengemukakan bahwa masing-masingdari kita dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain akan bertingkah laku mirip seorang ilmuwan.

    Dalam menginterprestasi perilaku orang lain, orang menggunakan prinsip-prinsip kausal yang naluriah dan commonsense psikologi dalam memutuskan apakah perilaku orang lain diatribusikan pada faktor disposisi internal atau tidak.

    Menurut model Heider, perilaku seseorang dapat disimpulkan disebabkan oleh kekuatan-kekuatan internal (termasuk disposisi). Kekuatan-kekuatan lingkungan terdiri dari faktor situasi yang menekan, sehingga memunculkan perilaku tertentu. Kekuatan-kekuatan internal ( personal forces ) dilihat sebagai hasil dari kemampuan ( ability ), power dan usaha yang ditunjukkan seseorang.

  2. Teori inferensi korespondensi
    Edward jones dan koleganya (dalam Hudaniah, 2006) mempelajari pengaruh kekuatan disposisional dan lingkungan pada atribusi kausal. Mereka menganalisa kondisi-kondisi yang memunculkan atribusi disposisional, atau apa yang mereka sebut dengan istilah inferensi korespodensi, yaitu kasus dimana pengamat memutuskan bahwa disposisi khusus dari actor ( persin stimuli ) adalah penjelasan yang cukup masuk akal bagi perilaku atau tindakan aktor.

  3. Teori Kelley atribusi kausal
    Atribusi kausal, memfokuskan diri pada pertanyaan apakah perilaku seseorang berasal dari faktor internal atau eksternal. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa aspek yang mesti dipertimbangkan, yaitu consensus, konsistensi, dan distingsi.

Ketika terdapat dua atau lebih kemungkinan faktor penyebab suatu perilaku, kita cenderung untuk mengabaikan peran salah satu dari antaranya hal ini dikenal sebagai suatu efek discounting . Ketika suatu penyebab yang memfasilitasi munculnya suatu perilaku dan penyebab yang mengeliminasi terjadinya suatu perilaku, keduanya sama-sama hadir namun perilaku tersebut tetap muncul, kita member nilai tambah pada faktor yang memfasilitasi lahirnya perilaku tadi, hal ini disebut augmenting .

Atribusi sering kali keliru. Satu dari tipe kesalahan paling sering terjadi adalah bias korespondensi, yaitu kecenderungan untuk menjelaskan perilaku seseorang sebagai cerminan dari disposisinya, padahal faktor situasionalnya juga hadir. Kecenderungan ini lebih kuat terjadi di masyarakat dengan latar budaya barat.

Dua jenis dari kesalahan atribusi lainnya adalah efek aktor pengamat, yaitu kecenderungan untuk mengatribusi perilaku lebih pada faktor eksternal daripada faktor internal, dan bias mengutamakan diri sendiri, yaitu kecenderungan untuk mengatribusi perilaku positif kita pada faktor internal, dan perilaku negatif kita pada faktor eksternal (Baron, 2004).