Apa yang dimaksud dengan teori aktivitas atau activity theory?

Teori aktivitas

Teori aktivitas atau activity theory adalah teori belajar dan aktivitas yang diajukan oleh sekelompok psikolog Rusia pada 1920-an dan 1930-an, termasuk Lev Vygotsky. Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak pernah bereaksi langsung terhadap lingkungannya, melainkan berinteraksi dengan objek melalui mediator, yang merupakan alat dan sarana budaya.

Teori aktivitas ( activity theory ) merupakan sebutan ringkas dari Cultural-Activity Theory (CHAT). Perspektif teoretis CHAT menekankan interdependensi kultural dan kontekstual antara aktivitas dan mind manusia. Fondasi teoretis dari teori aktivitas (Engeström, 1987) dapat ditemukan dalam:

  1. akar filosofis Marx (transformasi sosietal);
  2. semiotika C. S. Peirce (tanda, makna, pengetahuan);
  3. sosiologi/psikologi sosial G. H. Mead dan Colwyn Trevarthen (intersubjektivitas, perkembangan bahasa); dan
  4. psikologi Rusia Lev Vygotsky, Alexey Leontyev, dan Alexander R. Luria ( learning & development dalam teori aktivitas).

Pertanyaan utama teori aktivitas setidaknya ada dua, yaitu :

  • Pertama, bernada psikologis, bagaimanakah memahami pengamatan kita tentang tindakan manusia secara bermakna?

  • Kedua, pertanyaan itu berbunyi: Dapatkah teori aktivitas mengembangkan sebuah sistem yang mengatur diri sendiri ( self-organizing system ) mengenai interaksi subjek?

Dalam hal ini terdapat ketegangan antar dua kekuatan/arah/perkembangan. Satu kekuatan menarik para peneliti pada aplikasi individual. Kekuatan yang lain menarik peneliti pada kontestasi gagasan dan aplikasi satu orang dengan yang lainnya. Konsekuensinya, pertanyaan ini menjadi: dapatkah kita memiliki pengertian bersama yang memadai tentang ide aktivitas sehingga menjadi teori aktivitas yang evolusioner dan multi-perspektif (Engeström, 1999).

Tujuan utama penelitian teori aktivitas setidaknya ada tiga, yaitu :

  • Pertama, melampaui dualisme ( transcending the dualisms ), yakni dualisme antara pikiran ( thought ) dan aktivitas, teori dan praktik, fakta dan nilai (Engeström, 1999).

  • Kedua, mengintegrasikan pendekatan aktivitas dengan pendekatan naturalistik dalam kerangka kerja yang koheren (Bedny & Karwowski, 2004). Contoh pendekatan naturalistik adalah pemrosesan informasi (human information processing), sebuah paradigma dominan dalam psikologi kognitif. Pendekatan kognitif umumnya dirumuskan sehubungan dengan asumsi-asumsi mentalistik artifisial, yang telah mengeliminasi interkoneksi mind dengan dunia melalui mediated activity. Kelemahan utama dari pendekatan naturalistik adalah kegagalannya dalam mengapresiasi bahwa pengetahuan manusia mengenai dunia eksternal dalam derajat tertentu bersifat intersubjektif (Vygotsky, 1978) dan dimediasikan oleh aktivitas manusia.

  • Ketiga adalah menghubungkan studi-studi mikro ( microstudies ) tentang tindakan, interaksi, dan pengetahuan dengan teori-teori makro (macrotheories) tentang institusi sosial dan struktur masyarakat. Teori aktivitas dengan pendekatan jejaring sosial-nya mampu menjembatani kedua studi tersebut (Engeström, 1999).

Metode penelitian yang umum digunakan dalam riset-riset teori aktivitas adalah metode analitik yang ketat ( rigorous analyses ) terhadap sistem aktivitas. Checkland & Scholes (dalam Avis, 2007) mendeskripsikan metode teori aktivitas ini sebagai berikut: Carilah sebuah situasi dalam dunia riil yang telah merangsang konsen; pilih sejumlah sistem aktivitas; buatlah model tentangnya; gunakan model-model untuk mempertanyakan situasi dunia nyata dalam sebuah fase komparasi; gunakan debat yang dimulai dalam tahap komparasi untuk mendefinisikan tindakan bertujuan ( purposeful action ) yang dapat meningkatkan mutu situasi problem awal. Pengambilan tindakan akan mengubah situasi, sehingga keseluruhan siklus akan mulai bergerak kembali. Metodologi ini dikenal sebagai expansive methodology (Engeström, 1987), atau pun formative experiment (Van Oers, Elbers, Van der Veer & Wardekker, 2008) yang mengombinasikan partisipasi aktif peneliti dengan pemantauan (monitoring) terhadap perubahan perkembangan dari objek studi (developmental work research /DWR).

Penelitian-penelitian yang dilakukan seringkali menggunakan metode analitis dengan model segitiga sistem aktivitas.

Model sistem aktivitas
Gambar 1a. Model sistem aktivitas. Sumber: Håkansson & Prenkert (2004)

Segitiga dasar
Gambar 1b. Segitiga dasar Sumber: Cole & Engeström (1993)

Penjelasan: Gambar 1a. Model aktivitas memiliki basis perspektif Vygotskian tentang interaksi yang dimediasikan perangkat ( tool/instrument-mediated interaction ) antara subjek dan objek [ Gegenstand ]. Model ini merepresentasikan interaksi manusia dan mengakui bahwa interaksi ini dimediasikan oleh artifak-artifak. Mediating artifacts ini adalah perangkat ( tools ), tanda- tanda ( signs ), dan peralatan ( instruments )—baik yang merupakan alat-alat eksternal ( external implements ) maupun representasi internal ( internal representations ; seperti model-model mental)— yang digunakan oleh subjek untuk berinteraksi dengan objek (Engeström, 1999).

Virkkunen & Kuutti (2000) dengan meminjam konseptualisasi Cole dan Engeström (1993) memberikan contoh sebagai berikut ( Gambar 1b merupakan unsur segitiga dasar dari model 1a-atas):

Seorang pasien datang ke dokter. Dokter mempersepsikan penampilan pasien tersebut. Ketika memeriksa pasien, sang dokter memperoleh persepsi yang lebih langsung (garis S-O dalam Gambar 1b; S adalah dokter dan O adalah pasien; garis S-O merepresentasikan fungsi-fungsi alamiah/natural, tak dimediasikan/ unmediated ). Di samping itu, sang dokter menggunakan konsep-konsep, teori-teori, dan kategori-kategori penyakit dari ilmu kedokteran. Sang dokter juga menggunakan serangkaian metode penelitian dan instrumen ketika meneliti pasien.

Persepsi segera sang dokter ( immediate perceptions ; persepsi ketika dokter berhadapan langsung dengan pasien) berkoordinasi dengan persepsi sangat dokter yang diciptakan melalui mediasi artifak-artifak (konsep, kategori, metode, dan sebagainya). Bentuk koordinasi ini (garis Stn-M-O) misalnya adalah pengukuran tekanan darah, yang membuat dokter menghasilkan diagnosis mengenai penyakit pasien dan gambaran posibilitas pengobatannya (Stn+1). Stn adalah kondisi pengetahuan Subjek pada waktu n . Osm adalah Objek sebagaimana direpresentasikan melalui Medium. On adalah Objek pada waktu n . Stn+1 merupakan kondisi baru yang dihasilkan dari pengetahuan subjek pada waktu n +1.

Sebuah artifak dapat berupa benda-benda material yang nyata maupun sesuatu yang sama sekali tak teraba ( totally intangible ). Artifak dapat digunakan dalam cara-cara yang variatif.

Gambar 1a, segitiga-segitiga bawah . Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, relasi antara subjek dan objek dimediasikan melalui artifak-artifak kultural dan material, dalam hal ini perangkat dan instrumen. Namun relasi itu juga selalu disituasikan dalam sebuah konteks sosial dari praktik manusia. Subjek berelasi dengan sebuah komunitas kolektif; relasi ini dimediasikan pula sebagaimana relasi antara subjek dan objek. Namun, interaksi antara subjek dan komunitas dimediasikan tidak hanya melalui artifak-artifak kultural, melainkan juga melalui aturan-aturan ( rules ) dan division of labor , sebagaimana segitiga-segitiga bawah pada Gambar 1a (Virkkunen & Kuutti, 2000). Rules menentukan interaksi-interaksi yang dapat diterima ( acceptable ) antar anggota komunitas. Division of labor merupakan distribusi tugas, kekuasaan, dan tanggungjawab yang dinegosiasikan secara berkesinambungan antar partisipan sistem aktivitas.

Jadi, sistem aktivitas dapat dispesifikasikan dalam bagian-bagian, yakni

  1. Tindakan terdekontekstualisasi ( decontextualized action ) segitiga atas;
  2. Aktivitas kolektif terkontekstualisasi ( contextualized collective activity ).

Aktivitas kolektif terkontekstualisasi (atau, ringkasnya disebut: aktivitas ) merupakan keseluruhan sistem aktivitas yang mencakup segitiga atas yang dilengkapi dengan segitiga-segitiga bawah. Konsep aktivitas dikembangkan Engeström dari gagasan Leontyev (1977), yang membedakan antara aktivitas (yang didorong motif, diorientasikan pada objek/ gegenstand ), tindakan (sadar, didorong tujuan, milestone dari aktivitas), dan operasi (tak sadar, terutinkan). Tindakan individual baru dapat dimaknai penuh apabila unit analisis nya sistem aktivitas berorientasi objek ( object oriented activity system ).

Pertanyaan yang sering muncul dalam jurnal ilmiah terkait teori aktivitas dewasa ini adalah bagaimanakah teori aktivitas dapat diaplikasikan/dipraktikkan pada penelitian yang sedang dilakukan?

Hasil utama berbagai studi teori aktivitas dapat diringkaskan setidaknya dalam tiga hal, yaitu :

  • Pertama , penelitian ini telah memberikan perbendaharaan pengetahuan untuk memahami situasi masalah dalam cara-cara yang baru.

  • Kedua , membantu para pemangku kepentingan untuk memfasilitasi strategi penciptaan dan pemeliharaan aktivitas-aktivitas yang perlu dengan memperhatikan kontradiksi atau tensi yang ada dalam sistem aktivitas.

  • Ketiga , riset teori aktivitas telah mentransformasikan proses- proses interaksi antar-aktivitas secara kreatif dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosio-historis dari sistem aktivitas lain, baik di dalam maupun di luar organisasi (seperti perusahaan, dan sebagainya).

Hal menarik dari berbagai studi teori aktivitas adalah bahwa teori ini menawarkan alternatif teoritis baru yang tidak mengandalkan (bahkan: menolak) asumsi psikologi Barat, yang menyatakan bahwa individu merupakan entitas tersendiri yang menyusun titik awal dari setiap penjelasan tentang pengetahuan dan praktik manusia. Insight baru yang diperoleh dari teori aktivitas adalah bahwa individu dan kolektivitas-sosial hanya dapat dimengerti secara dialektis, historis, dalam relasi satu dengan yang lain. Daya tarik teori ini yang lain juga adalah penjelasannya yang tidak mengandalkan penjelasan relasi kausal masukan ( inputs ) dan keluaran ( outputs ) sebagaimana banyak diasumsikan oleh Psikologi Industri dan Organisasi dari Barat.

Teori aktivitas justru banyak meneliti self-organization dari sebuah sistem aktivitas. Capra (2002) menjelaskan analogi kualitas self-regulation dari sebuah sistem kompleks, bahwa menendang sebuah batu berbeda dengan menendang seekor anjing. Menendang batu dapat dijelaskan secara linear dengan mekanika Newton, sedangkan anjing yang ditendang akan merespons sesuai dengan perubahan struktural seturut natur dan pola-pola organisasi tindakan nonlinear-nya sendiri. Implikasinya, sebagaimana ditegaskan Toulmin (1999), bahwa guna memahami sistem aktivitas tertentu, peneliti harus mengotori tangannya dengan menghimpun deskripsi-deskripsi terinci mengenai prosedur- prosedur atau sekuens-sekuens aksi yang menjadi karakter dari sistem aktivitas tersebut. Peneliti tidak boleh terlepas ( detached ) dari aktivitas orang-orang dalam sistem tersebut.

Di samping itu, berdasarkan studi-studi yang ada, didapati bahwa teori aktivitas sangat menghargai diversitas dan pluralitas. Hal ini nampak dari penekanan teori aktivitas bahwa meskipun sejumlah subjek berada pada sistem aktivitas yang sama, dan mereka saling bergantung, namun mereka dapat berbeda secara signifikan dalam pemahaman mereka mengenai objek dan aspek-aspek lain dari sistem aktivitas seiring dengan perbedaan historisitas dan posisi subjek. Apresiasi terhadap keberagamaan ini memiliki implikasi praktis yang penting khususnya di Indonesia yang ke-Bhinneka Tunggal Ika-annya terus terancam dengan upaya sebagian pihak meminggirkan mereka yang berbeda (“Penyeragaman yang Menyusup”, 2010).

Secara metodologis, sejumlah studi yang ada tentang teori aktivitas belum banyak memperlihatkan secara jelas bagaimana sistem aktivitas diteliti sebagai sebuah integritas, bukan hanya sebuah agregat individual yang menyusunnya. Hal ini penting karena Engeström & Miettinen (1999) menyatakan bahwa praktik kolektif tidak dapat direduksikan pada penjumlahan tindakan individual melainkan membutuhkan konseptualisasi teoretis mengenai natur praktik kolektif tersebut. Gagasan ini dapat dirunut dari Psikologi Gestalt dan pemikiran Ilyenkov bahwa totalitas konkret tidak dapat direduksi pada bagian-bagiannya, karena bagian-bagian itu justru memperoleh arti pentingnya dari posisi/tempatnya dalam keseluruhan (Bakhurst, 1991). Sayangnya, studi-studi yang ada belum banyak yang berhasil menunjukkan secara empiris bagaimana konsep Gestalt sistem aktivitas ini terjadi di lapangan kehidupan nyata, terlebih lagi untuk kasus-kasus di Indonesia.

Banyak laporan penelitian tentang teori aktivitas yang nampaknya masih menggunakan diskusi filosofis dan spekulatif. Padahal teori aktivitas diklaim sebagai (kontribusi) psikologi-nya Rusia. Psikologi adalah sebuah ilmu yang membutuhkan penjelasan empiris. Teori dalam psikologi juga harus memiliki kekuatan prediktif, bukan hanya model/skema analitis. Banyak studi yang mengaplikasikan begitu saja (meskipun dengan keketatan/ rigorousness ) prinsip-prinsip dan hukum-hukum sistem aktivitas. Ini merupakan kelemahan dari banyak studi yang ada yang menggunakan teori aktivitas. Hal yang demikian ini hanya akan tiba pada kesimpulan yang standar dan terburu-buru mengenai sistem aktivitas yang diteliti.

Manusia terlibat dalam sejumlah besar aktivitas (makan, bermain, berpikir, berimajinasi, berkelahi, dan sebagainya). Sejumlah aktivitas ini memang memunculkan pertanyaan filosofis dan psikologis yang penting. Namun, sejumlah lagi mungkin tidak. Kritik berdasarkan premis di atas adalah: Apa yang mendasari pentingnya (apa yang kita peroleh dari) penggolongan semua aktivitas tersebut dalam sebuah kategori tunggal bernama aktivitas? Pertanyaan ini semakin menekan bila kita berfokus pada aktivitas-aktivitas yang lebih konkret, seperti mengobati pasien yang menderita skizofrenia, mengajari anak kecil tata bahasa dari bahasa ibunya, perang peretas komputer Indonesia- Malaysia, memvonis kejahatan korupsi. Penelitian psikologis mungkin berguna dalam menjawab sejumlah aspek dari hal-hal tersebut. Namun bagaimana mungkin cukup dengan sebuah teori sistem aktivitas saja ?

Selanjutnya, sudah sejak tahun 1890, William James dalam buku klasiknya, Principles of Psychology mengemukakan konsep Ego murni ( pure Ego ). Ego murni merupakan perasaan kesamaan ( feeling of sameness ) yang meresapi seluruh episode kehidupan seseorang, sehingga orang dapat mengatakan bahwa “ Saya adalah diri yang sama dengan diri saya kemarin ” ( I am the same self that I was yesterday ) (James, 1890). Ego murni memuat perasaan akan identitas pribadi ( sense of personal identity ), yakni pemikiran dan perasaan yang membawa semua hal secara bersama-sama menjadi objek dari penilaian tunggal ( single judgment ). Sementara itu, Engeström (2001) menjelaskan bahwa orang selalu berada dalam keadaan berbeda sebagai hasil dari posisinya yang berbeda dalam sistem. Bila mengikuti alur pikir Engeström, maka ketika penulis bergerak dari suatu kampus menuju halte busway , penulis bukan ”Juneman” yang sama lagi. Tidak ada kontinuitas dari diri ( self-continuance ), tidak ada pure Ego , karena penulis sudah berelasi dengan division of labor yang berbeda.

Terminologi objek aktivitas [ Gegenstand ] juga mengandung makna yang ambigu untuk sebuah sains/teori. Dalam satu interpretasi yang paling natural, Gegenstand dimaknai sebagai tujuan aktivitas. Contoh: objek dari tindakan saya menulis artikel ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai status saat ini, kelebihan-kelemahan, serta prospek riset masa depan dari teori aktivitas. Interpretasi yang lain dari Gegenstand adalah sesuatu terhadap apa subjek melakukan. Dalam bidang material, hal ini jelas. Gegenstand dari pedagang adalah barang dagangan. Objek dari penulis artikel ini adalah teori aktivitas. Objek juga dapat diinterpretasikan dengan mengetahui apa yang hendak dicapai oleh subjek, dan ini sangat abstrak atau ill-defined questions dalam terminologi pemecahan masalah. Jadi kalau orang ditanya, “ Apakah objek dari gerakan reformasi di Indonesia? ” kita hanya dapat menjawabnya dengan menjawab terlebih dahulu pertanyaan, “ Apakah yang ingin dicapai oleh gerakan reformasi? ”, “ Apa yang para ‘reformis’ pikirkan pada waktu mereka melakukannya, misalnya di tahun 1998? ”. Tetapi, lagi-lagi, kita juga bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan jawaban “ hukum ”, “ ekonomi ”, “ ABRI ”, dan sebagainya. Hal ini membuat sulit untuk memahami teori aktivitas sebagai sebuah teori dan bukan filosofi, terutama bagi orang awam.

Penelitian selanjutnya perlu melakukan lebih banyak studi-studi teori aktivitas kualitatif- empiris yang menggunakan metode hermeneutik dan naratif. Hal ini juga harus ditunjang dengan penyelenggaraan studi-studi longitudinal yang jauh lebih banyak dan intensif. Usulan ini guna menghindari pragmatisme dalam riset, namun temuannya akan jauh lebih bermakna. Bahkan, lebih baik lagi bila studi-studi teori aktivitas dilengkapi dengan studi-studi dari disiplin lain, tidak hanya monolotik; seperti misalnya studi tentang arketip, ilmu pemerintahan, bisnis, dan lain-lain. Hal ini karena studi monolitik saja tidak memadai.

Penelitian selanjutnya juga perlu menjawab pertanyaan, “ Apakah sistem aktivitas dapat diidentifikasikan sebagai pengetahu kolektif ( collective knower )?” Hal ini masih problematik dalam activity theory . Memang, Engeström mengakui bahwa pembelajaran ( learning ), sebagai fenomena yang banyak diteliti oleh teori aktivitas, dapat mengambil tempat pada level sistem, sebagaimana terdapat dalam konsep pembelajaran ekspansif (Engeström, 2001) yang terwujudkan dalam ola aktivitas yang baru secara kultural. Namun teori aktivitas masih segan memposisikan eksistensi dari pengetahu kolektif sebagai subjek kolektif . Apakah subjek kolektif itu ada dalam sebuah sistem aktivitas yang dalam activity theory mengasumsikan desentralisasi sistem?

Di samping itu, penelitian mendatang perlu menentukan Seberapa jauh kontribusi pengetahuan individu unik dalam sebuah sistem aktivitas . Sebagaimana kita ketahui, proses dialektis antara subjek dan masyarakat berimplikasi pada proposisi teori aktivitas bahwa semua pengetahuan manusia dimediasikan oleh aktivitas sosial, oleh perangkat kultural. Namun, pertanyaannya kemudian adalah: Apakah pengetahuan unik yang berasal dari individu sungguh-sungguh tidak ada? Apabila ada, sejauh mana peran atau kontribusinya? Pertanyaan ini menjadi relevan karena manusia bukan hanya berada dalam sebuah konteks sosial, tetapi juga memiliki sistem fisis, biologis, dan ketubuhan yang mungkin independen terhadap mediasi kultural. Bagaimana sistem fisis dan biologis ini harus dipandang?

Selanjutnya, studi-studi yang ada juga belum banyak menjawab pertanyaan “ Apakah yang terjadi apabila ada dua sistem aktivitas atau lebih yang tidak hanya berelasi, tetapi juga tumpang tindih? ” Engeström (2001) memang menyatakan bahwa dua sistem aktivitas yang terpisah, dengan objek-objek dan aktivitas yang berbeda, dapat berkolaborasi bersama untuk mengkonstruksi sebuah objek bersama yang baru yang melampaui atau mengembangkan objek-objek sebelumnya. Namun pertanyaannya adalah: Apakah dua sistem aktivitas tersebut melebur menjadi satu sistem aktivitas yang lebih besar, dan objek/gegenstand yang baru mencaplok objek-objek yang lama? Ataukah, dua atau lebih sistem aktivitas itu tetap eksis sebagai sistem yang berbeda namun memiliki level sistem yang berbeda (ada sistem dalam sistem)? Bila iya, bagaimana relasi ketersarangan ( nestedness ) ini?

Sumber : Juneman, Tinjauan kritis terhadap teori aktivitas dan dilema sosial, Bina Nusantara University