Apa yang dimaksud dengan Teori Agensi?

Teori Agensi

Teori Agensi atau Teori keagenan (agency theory) adalah teori yang menjelaskan tentang hubungan kerja antara pemilik perusahaan (pemegang saham) dan manajemen.

Apa yang dimaksud dengan Teori Agensi ?

2 Likes

Teori agensi menurut Jensen dan Smith (1984), merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara principal dan agent. Pihak principal adalah pihak yang memberikan kewenangan kepada agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principal dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan.

Dalam perusahaan principal adalah pemegang saham dan agent adalah manajer.

Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah kontrak antara manajer ( agent ) dan pemegang saham ( principal ).

Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi merupakan teori yang mendasari hubungan antara principal dan agent dengan asusmsi bahwa setiap individu termotivasi oleh kepentingannya masing-masing, sehingga dapat menimbulkan konflik antara principal dan agent. Menurut Brigham dan Gapenski (1996), dalam hubungan keagenan selalu ada konflik kepentingan antara :

  1. manajer dan pemilik perusahaan,
  2. manajer dan bawahannya,
  3. pemilik perusahaan dan kreditur.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), potensi konflik agensi akan muncul apabila manajer perusahaan memiliki kurang dari 100 persen saham biasa perusahaan, yang mendorong manajer untuk memaksimalkan keuntungannya sendiri. Hal ini dapat terjadi karena adanya pemisahan kekuasaan antara fungsi pengelola dan fungsi kepemilkan. Apabila manajer melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan, yang akan menerima dampaknya adalah para pemegang saham. Dampak ini dapat berupa tingkat pengembalian dividen yang menurun ataupun nilai perusahaan yang cenderung menurun sehingga nilai saham perusahaan tersebut juga ikut menurun dalam pasar saham dan dapat mempengaruhi tindakan para investor lainnya dalam menyikapi masalah yang terjadi.

Sebagai contoh investor dapat menjual saham perusahaan di pasar modal, atau dapat pula menahan sahamnya. Menurut Eisenhardt (1989), teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu :

  1. manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest),
  2. manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan
  3. manusia selalu menghindari risiko (risk averse).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic , yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004).

Teori agensi mengatakan sulit untuk mempercayai bahwa manajer (agent) akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang saham (principal), sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham (Copeland dan Weston, 1992). Menurut Jensen dan Meckling (1976), pengawasan atau monitoring yang dilakukan oleh pihak independen memerlukan biaya atau monitoring cost dalam bentuk biaya audit, yang merupakan salah satu dari agency cost.

Agency cost adalah biaya-biaya yang dikeluarkan utntuk mengurangi konflik agensi.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), terdapat tiga jenis utama dari biaya agensi, yaitu antara lain:

  1. pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit,
  2. pengeluran untuk struktur organisasi dalam hal membatasi perilaku-perilaku tidak diinginkan yang mungkin dilakukan oleh pihak manajemen, seperti penunjukan dewan direksi eksternal, restrukturisasi unit bisnis dan hierarki manajemen,
  3. biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika adanya pembatasan pada para pemegang saham.

Apabila tidak dilakukan tindakan pengawasan atau monitoring terhadap manajemen, dapat memungkinkan terjadinya kerugian pada pemegang saham karena perilaku menyimpang oleh manajemen.

Menurut Bathala et al. (1994), untuk mengurangi konfilk antara manajer dan para pemegang saham dapat dilakukan dengan cara:

  1. meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer (insider ownership),
  2. meningkatkan rasio dividen terhadap laba bersih perusahaan (earning after tax),
  3. mengikatkan sumber pendanaan melalui utang,
  4. serta kepemilikan oleh institusi (institutional holding).

Menurut Masdupi (2005), dengan adanya peningkatan kepemilikan oleh manajer, maka diharapkan adanya kedudukan yang sama antara manajer dan pemegang saham. Hal ini bertujuan untuk menyamakan kepentingan manajer dan pemegang saham, sehingga dapat mengurai terjadinya konflik diantara keduanya.

Berbeda dengan Bathala, Anthony dan Govindarajan (2005) menyatakan bahwa solusi yang optimal untuk mengurangi konflik antara manajer dan pemegang saham adalah memberikan kompensasi eksekutif berdasarkan kinerja serta diikuti dengan beberapa tindakan pemantauan, yaitu :

  • Rencana insentif berbasis kinerja, misalnya dengan memberi saham kepada eksekutif berdasarkan kinerjanya di perusahaan.
  • Intervensi secara langsung oleh pemegang saham melalui pemegang saham institusional.
  • Ancaman langsung oleh pemegang saham, ancaman langsung berupa pemberhentian manajer.
  • Ancaman pengambil alihan. Ancaman disiplin pengambil alihan ini mengubah perilaku manajerial dan mendorong manajemen untuk meningkatkan nilai saham.

Teori Agensi pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa teori keagenan merupakan teori ketidaksamaan kepentingan antara prinsipal dan agen. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antara pemegang saham atau pemilik serta manajemen atau manajer. Menurut teori ini, hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan.

Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (prinsipal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepadaagen tersebut. Hubungan antara prinsipal dan agen dapat mengarah pada kondisi ketidak seimbangan informasi (asymmetrical information) karena agen berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan prinsipal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agen untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal. Dalam kondisi yang asimetris tersebut, agen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba. Salamaet al (2010 dalam Purnawati, 2012) mengungkapkan bahwa selain mekanisme corporate governance yang digunakan untuk mengurangi konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agen, perusahaan dapat menggunakan metode pengungkapan sukarela, salah satunya pengungkapan corporate social responsibility ini.

Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Sheisarvian (2015) hubungan keagenan muncul ketika seseorang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan kepentingan principal dengan mendelegasikan beberapa wewenang pengambilan keputusan pendanaan. Pada teori agensi ini yang dimaksud dengan principal adalah pemegang saham/pemilik modal dan yang dimaksud dengan agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan.

Menurut Meisser, et al, (2006) dalam Levia Ayu Tryana (2016) dalam hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalah yaitu:

  1. Terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dan posisi entitas dari pemilik; dan

  2. Terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidaksamaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik.

Hubungan keagenan merupakan suatu kontak antara principal dan agen. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal menhendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi manajer. Dengan demikian muncullah konflik antara investor dengan manajer (Indahningrum dan Handayani, 2009).

Konflik keagenan akan terjadi apabila proporsi kepemilikan manajerial atas saham perusahaan kurang dari 100%, sehingga manajer cenderung bertindak untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dan sudah tidak berdasarkan maksimilisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Penyebab lain konflik keagenan timbul karena manajemen memiliki kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain (Jensen dan Mekling, 1976 dalam sheisarvian, 2014)

Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara principal dengan agent. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan antara kepemilikan (principal atau investor) dan pengendalian (agen atau manajer) (Darmawati et al., 2005 dalam Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006). Kepemilikan diwakili oleh investor yang mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor. Agency theory mengidentifikasi potensi konflik kepentingan antara pihak-pihak dalam perusahaan yang memengaruhi perilaku perusahaan dalam berbagai cara yang berbeda (Almilia dan Sifa, 2006).

Teori keagenan menekankan pada penentuan pengaturan kontrak yang efisien dalam hubungan pemilik dengan agen. Kontrak yang efisien merupakan kontrak yang jelas untuk masing-masing pihak yang berisi tentang hak dan kewajiban, sehingga dapat meminimalkan konflik keagenan (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006). Teori keagenan dilandasi dengan tiga asumsi (Eisenhardt, 1989) yaitu asumsi sifat manusia (human assumptions), asumsi keorganisasian (organizational assumptions), dan asumsi informasi (information assumptions).

Asumsi sifat manusia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) self-interest, yaitu sifat manusia untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri, (2) boundedrationality, yaitu sifat manusia yang memiliki keterbatasan rasionalitas dan (3) risk aversion, yaitu sifat manusia yang lebih memilih mengelak dari risiko. Asumsi keorganisasian dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) konflik sebagian tujuan antar partisipan, (2) efisiensi sebagai suatu kriteria efektivitas dan (3) asimetri informasi antara pemilik dan agen.

Asumsi informasi merupakan asumsi yang menyatakan bahwa informasi merupakan suatu komoditas yang dapat dibeli (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing individu termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya dengan profibilitas yang selalu meningkat. Sedangkan agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masingmasing pihak berusaha untuk mencapai dan mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehandaki.

Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Eisenhardt (1989) dalam Darmawati (2005) menyebutkan teori keagenan ditekankan untuk mengatasi masalah dalam hubungan keagenan. Pertama adalah masalah keagenan yang muncul pada saat keinginan atau tujuan dari principal dan agent berlawanan dan saat suatu hal sulit atau mahal bagi principal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh agent. Permasalahan yang muncul adalah principal tidak melakukan verifikasi apakah agent sudah melakukan sesuatu dengan tepat atau belum. Kedua adalah masalah pembagian resiko yang timbul pada saat principal dan agent memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko sehingga memungkinkan principal dan agent mempunyai preferensi tindakan yang berbeda karena perbedaan preferensi resiko.

Teori agensi menjelaskan latar belakang terjadinya manajemen laba di perusahaan. Menurut Jansen dan Meckling (1976) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) teori agensi menjelaskan mengenai sebuah kontrak antara manajer (agent) dan pemilik (principal). Di antara principal dan agent, investor lebih menginginkan laporan dari pihak agent karena agent yang mengelola manajemen perusahaan sehingga lebih mengetahui mengenai kondisi sesungguhnya perusahaan, sedangkan principal hanya sebagai pemilik perusahaan yang menerima laporan dari pihak manajemen. Ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent mengenai kondisi perusahaan disebut asimetri informasi.

Asimetri informasi yang terjadi antara principal dan agent menyebabkan terjadinya konflik kepentingan. Konflik kepentingan diasumsikan oleh teori agensi bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Yaitu agent, secara moral bertanggungjawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun di sisi lain agent juga mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka. Hal tersebut mendorong agent untuk melakukan penyimpangan dalam penyajikan informasi kepada pemilik perusahaan agar agent dinilai berkinerja baik dan mendapat bonus untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Penyimpangan yang dapat terjadi adalah manajemen mempengaruhi tingkat laba yang ditampilkan dalam laporan keuangan atau yang sering disebut manajemen laba (Herawaty, 2008).

Salah satu cara yang paling efisien dalam rangka untuk mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan perusahaan, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda (Boediono, 2005). Corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat digunakan pemegang saham dan kreditor perusahaan untuk mengendalikan tindakan manajer (Dallas, 2004 dalam Nuryaman, 2007). Corporate governance tersebut dapat berupa kepemilikan institusi, komisaris independen, kepemilikan manajerial, kualitas audit agenan (Setyapurnama dan Norpratiwi, 2006).

Referensi

Oktaviyani, R D. 2013. Pengaruh Manajemen Laba, Rasio Keuangan dan Mekanisme Corporate Governance terhadap Peringkat Obligasi. Skripsi. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang.

Teori Agensi


Teori Agensi menggambarkan suatu perusahaan dengan suatu titik temu antara pemilik perusahaan atau principal dengan manajer atau agent yang memiliki hubungan kontraktual. Menurut Jensen dan Meckling dalam Rahmawati, dkk (2006) menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara manajer ( agent ) dengan pemilik perusahaan ( principal ). Wewenang dan tanggung jawab agent maupun principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.

Teori agensi adalah pengembangan dari suatu teori yang mempelajari suatu desain kontrak dimana para agent bekerja atau bertugas atas nama principal ketika keinginan atau tujuan mereka bertolak belakang maka akan terjadi suatu konflik (Scott, 2006). Menurut Anthony dan Govindarajan (1995) dalam Widyaningdyah (2001) menyatakan bahwa konsep agency theory adalah hubungan atau kontrak yang terjadi antara principal dan agent . Principal mempekerjakan agent untuk kepentingan principal , termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada agent . Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai principal , dan CEO sebagai agent mereka untuk bertindak sesuai dengan kepentingan principal . Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent . Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas perusahaannya yang selalu meningkat.

Hubungan agent dan principal harus memiliki kepercayaan yang kuat, dimana agent melaporkan segala informasi perkembangan perusahaan yang dimiliki oleh principal melalui segala bentuk informasi akuntansi karena hanya manajemen yang mengetahui pasti keadaan perusahaan. Pemisahan antara pengelola dan pemilik perusahaan sangat rentan terhadap masalah yang disebut sebagai masalah keagenan ( agency problem ).

Desmiyawati, dkk (2009) mengatakan bahwa perilaku manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi ( agency theory). Sebagai agent , manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para principal (pemilik perusahaan) melalui pelaporan laba. Sebagai imbalan atas kinerja agent tersebut, principal akan memberikan kompensasi atau bonus yang sesuai kepada agent . Dalam hal ini terdapat dua kepentingan yang berbeda antara principal dan agent . Masing-masing pihak akan berusaha untuk meningkatkan keuntungannya. Perbedaan kepentingan antara agent dan principal ini memicu timbulnya konflik kepentingan.

Menurut Ujiyanto dan Bambang (2007) teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu:

  1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri ( self interest ).

  2. Manusia memiliki daya pikir terbatas menegenai persepsi masa mendatang ( bounded rationality ).

  3. Manusia selalu menghindari risiko ( risk adverse ).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic , yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas CEO sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham. Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent .

Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent . (Nasution dan Doddy, 2007)

Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal . Hal ini dapat memacu agent untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Tindakan agent tersebut bisa disebut praktik manajemen laba ( earning management ).