Apa yang dimaksud dengan teokrasi?

Teokrasi

Teokrasi merupakan sebuah sistem politik yang pada praktik menjalankan pemerintahannya berpegang pada kedaulatan Tuhan. Secara fundamental, teokrasi memang dititikberatkan pada wakil Tuhan dan pemimpin umat.

Namun pada zaman sekarang, teokrasi yang murni sudah jarang, atau bahkan tidak ada negara yang menerapkan sistem politik tersebut. Negara Kota Vatikan dan Republik Islam Iran memiliki sistem teokrasi dengan jenis teokrasinya masing-masing.

Teokrasi berasal dari bahasa Yunani theo yang berarti tuhan dan cratein yang berarti pemerintahan. Secara sederhana, teokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh tuhan… Secara epistemologi, teokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh seseorang dengan mengatasnamakan tuhan.

Dalam teokrasi, kedaulatan tertinggi bersifat mutlak dan suci karena kedaulatan tertinggi berada di tangan tuhan dan pemimpinnya mengklaim dirinya “mendapatkan kekuasaan dari tuhan”.

Teokrasi muncul pertama kali di daratan eropa pada abad pertengahan (medieval age) yang dipelopori oleh seorang kaisar romawi bernama Augustinus. Pada akhir abad ke enam, gereja romawi mulai mengorganisasikan institusi kepausannya di bawah komando paus Gregory I yang dikenal sebagai “the Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan (papacy’s power).

teokrasi_nedir_özellikleri

Kelemahan Sistem Teokrasi

Dalam satu sisi, teokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang sangat baik, karena kedaulatan tertinggi berada di tangan tuhan. Tuhan, sebagai zat yang maha tinggi tidak mungkin berbuat suatu kesalahan layaknya manusia. Namun di sisi lain, pemerintah kerap melakukan legitimasi atas kebijakannya yang menyengsarakan rakyat banyak dengan mengatas-namakan tuhan.

Hal ini terjadi di daratan eropa pada abad pertengahan, di mana gereja mengatasnamakan tuhan tuhan dalam mempertahankan “ideologi ketuhanan” mereka yang banyak merugikan orang banyak. Mereka menganggap orang yang tidak sepaham dengan “ideology ketuhanan” mereka sebagai kaum heretics (kafir).

Mereka melakukan penyiksaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan besar-besaran pada orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Dari sinilah lahir istilah Inquisisi yang menggambarkan kejahatan dan kekejaman gereja secara jelas.

Untuk contoh negara yang menganut sistem teokrasi ialah: Vatikan,Tibet dan Iran

Referensi: Kevin Phillips. 2005. American Theocracy

Istilah teokrasi dibentuk dari dua kata Yunani, yaitu theos yang memiliki arti Tuhan dan kratein yang memiliki arti kekuasaan. Jadi teokrasi dapat diartikan kekuasaan Tuhan atau kekuasaan ada pada Tuhan. Jika istilah ini digunakan pada pemerintahan maka memiliki arti, yaitu pemerintahan yang dikuasai oleh Tuhan.

James H Smylie merumuskan definisi teokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di mana otoritas dan kekuasaan dianggap berasal dari Tuhan. James H Smylie juga menyatakan bahwa bentuk pemerintahan teokrasi ditandai dengan dominannya aturan Tuhan, susunan pemerintahan difungsikan untuk melaksanakan aturan Tuhan, dan tolak ukur dalam membuat kebijaksanaan dan keputusan politik didasarkan pada norma aturan Tuhan.

Dewey D. Wallace merumuskan teokrasi sebagai suatu tipe pemerintahan dimana Tuhan diyakini mempunyai kedaulatan sebagai yang memerintah.

Negara teokrasi adalah negara yang didalam pemerintahannya menerapkan peraturan-peraruran Tuhan sehingga semua kebijaksanaan dan keputusan politik selalu disandarkan pada phukum-hukum Tuhan.

Dalam perjalanan sejarah, bentuk pemerintahan teokrasi ditemukan tiga macam bentuk:

  • Teokrasi kerajaan, yaitu apabila kekuasaan tertinggi dalam satu pemerintahan adalah raja yang kekuasaanya dianggap berasal dari Tuhan.

  • Teokrasi murni, yaitu pemerintahan yang dipimpin oIeh para Nabi, pendeta, atau ahli agama yang dianggap sebagai wakiI Tuhan di muka bumi.

  • Teokrasi umum, yaitu apabila pada suatu pemerintahan kekuasaan tertinggi terletak pada wahyu Tuhan.

Teori Teokrasi menempatkan kewenangan langsung atau tidak langsung dari Tuhan yang diterapkan dalam bentuk konstitutif dan kepercayaan yang diformalkan dalam ketentuan negara.

Teori Kedaulatan Tuhan mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam satu negara adalah milik Tuhan. Teori ini berkembang pada abad pertengahan (abad V – XV). Perkembangan teori ini berkaitan erat dengan perkembangan agama Katolik yang baru muncul yang diorganisir oleh gereja. Sehingga pada saat itu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh raja dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai oleh Paus.

Awalnya perkembangan agama Katolik/Kristen ditentang dengan sangat kuat karena bertentangan dengan kepercayaan yang dianut yaitu pantheisme (penyembahan kepada dewa-dewa). Namun pada akhirnya agama Kristen/Katolik dapat berkembang dengan baik dan bahkan diakui sebagai satu-satunya agama resmi, agama negara.

Sejak saat itu, gereja mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat mengatur kehidupan negara, tidak saja yang bersifat keagamaan tetapi juga yang bersifat keduniawian. Hal ini seringkali menimbulkan permasalahan karena baik gereja maupun negara kadang-kadang mengeluarkan peraturan tersendiri untuk mengatasi masalah yang sama. Selama peraturan tersebut tidak bertentangan tentu saja tidak menimbulkan masalah, namun jika peraturan tersebut saling bertentangan maka timbul persoalan, peraturn mana yang akn ditaati.

Teokrasi dalam Teori dan Praktik

8888

  • Sistem teokrasi mendasarkan kekuasaan pemerintahan pada kedaulatan Tuhan (sovereignity of God). Teokrasi merupakan bentuk pemerintahan di mana Tuhan (dewa) dianggap sebagai raja atau penguasa yang tidak dapat diganggu gugat, dan hukumnya dijadi- kan sebagai Undang-undang Dasar suatu negara. Undang-undang tersebut umum- nya diselenggarakan oleh tatanan pen- deta sebagai menteri-menteri dan kare- nanya teokrasi secara bebas dapat diar- tikan sebagai sistem pemerintahan oleh tatanan sakerdotal yang mengaku seba- gai para perantara Ilahi.

  • Menurut paham teokrasi, kedaula- tan ada di tangan Tuhan. Tuhan sendirilah yang merupakan pemberi hukum. Tidak seorang pun, sekalipun Nabi dan Rasul, yang berhak memerintah orang lain sekehendak hatinya sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan se- Suatu. Dalam sudut pandang Abul A’la al-Maududi (Aurangabad-India, lahir 1903), prinsip teokrasi setidaknya ter cermin dalam ajaran:

    • Pertama, tidak ada seorang pun bahkan seluruh penduduk negara secara keseluruhan, dapat menggugat kedaulatan. Hanya Tuhan yang berdaulat, sementara manusia sebagai subyek.
    • Kedua, Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Manusia tidak dapat berlindung pada legislasi yang sepenuhnya mandiri. Manusia juga tidak dapat mengubah hukum yang telah di- letakkan Tuhan, sekalipun tuntutan un- tuk mewujudkan legislasi atau peru- bahan hukum Ilahi ini diambil secara mufakat bulat.
    • Ketiga, suatu negara dalam segala hal harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui Nabi dan Rasul.
  • Pemerintah yang menyelenggarakan negara semacam ini akan diberi hak untuk ditaati dalam kemampuannya sebagai agen politik yang diciptakan untuk me- negakkan hukum-hukum Tuhan, sepan- jang ia bertindak sesuai kemampuannya. Jika ia mengabaikan hukum yang telah diturunkan Tuhan, maka perintah-perin- tahnya tidak wajib dipatuhi.

  • Pemikiran al-Maududi tersebut dilandasi oleh ayat-ayat al-Our’an, misalnya firman Allah yang menyatakan bahwa kewenangan hanyalah milik Allah SWT. Allah memerintahkan agar kita hanya menyembah kepada-Nya. Itu- lah agama yang benar." Senada dengan ayat tersebut, firman Allah yang juga dijadikan dasar bagi al-Maududi dalam membangun kerangka teorinya di antaranya adalah Os. A/i Imran/3: 154, 19, Os. Al-Nah//16: 116: Os. Al-Mai- dah)/5: 44, Os. Al-An’am/6: 50, 89: dan Os. Al-Nisa/4: 64. Ayat-ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa kedaulatan dalam penegrtian hak berda- ulat, hak legislasi, dan hak untuk ditaati, hanyalah milik Allah semata.

  • Jika diamati, pikiran-pikiran al- Maududi di bidang politik tampak bahwa filsafat politiknya merupakan anti- tesis sejati dari demokrasi Barat. Landasan demokrasi Barat adalah kedau- latan rakyat. Di dalam demokrasi Barat diajarkan bahwa jenis kekuasaan mutlak legislasi berada di tangan rakyat. Pem- buatan undang-undang merupakan hak prerogatif rakyat dan legislasi harus sesuai dengan suasana hati mereka. Jika sebagian legislasi khusus diinginkan massa, betapapunjahatnya ditinjau dari segi nila-nilai moral agama, maka legis- lasi itu dapat dimasukkan undang-undang. Atau sebaliknya, jika rakyat meng- hendaki sebagian legislasi itu dicabut, maka betapa pun adil serta benarnya undang-undang tersebut harus diganti. Dalam sudut pandang ini, al-Maududi menyatakan bahwa Islam sama sekali tidak mengekor sistem demokrasi Barat.

  • Nama yang lebih cocok untuk sistem politik Islam menurut al-Mau- dudi adalah “Kerajaan Tuhan” (Kingdom of God), yang dalam bahasa politik dise- but dengan teokrasi. Tetapi, teokrasi dalam Islam berbeda dengan teokrasi yang berkembang di Barat, utamanya pada abad-abad pertengahan, di mana sistem teokrasi didominasi institusi ge- reja. Pada masa itu, pendeta: sebagai kelompok masyarakat khusus telah me- lakukan dominasi tak terhingga dan me- negakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan. Pendeta-pendeta ter- sebut telah memaksakan keilahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat.

  • Salah satu contohnya adalah kebiasaan raja-raja di Eropa pada abad pertenga- han yang harus mendapatkan pengesa- han dari gereja. Bahkan ketika raja Inggris, Raja Edward II, ingin kawin lagi juga harus ijin pada gereja, dan gereja pada saat itu tidak mau mengijinkan, hingga akhirnya Raja Edward membuat gereja baru yang disebut Anglikan. Sedemikian jauh sistem teokrasi yang diwarnai dominasi gereja mempenga- ruhi kehidupan bangsa Eropa abad per-tengahan. Karena itu, sistem teokrasi Barat, menurut al-Maududi tidak dapat dipandang sebagai wujud kedaulatan Tuhan (Divine). Menurut al-Maududi, pemerintahan semacam itu lebih dikua- sai elit keagamaan (pendeta) yang tidak jarang bercorak syaitaniyah (satanico).

  • Bertolak belakang dengan sistem teokrasi Barat, paham teokrasi dalam Islam tidak dikuasai oleh kalangan elit keagamaan manapun kecuali seluruh masyarakat Islam dari segala kelompok. Seluruh umat Islam menjalankan peme- rintahan sejalan dengan Kitabullah dan praktik Rasul Saw. Sistem pemerintahan yang demikian menurut al-Maududi da- pat disebut dengan “teo-demokrasi,” yaitu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi karena di bawah naungannya kaum Muslimin telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Eksekutif yang terbentuk ber- dasarkan sistem pemerintahan sema- cam ini dibentuk berdasarkan kehendak umum umat Islam yang juga berhak menumbangkannya.

  • Semua persoalan pemerintahan dan masalah mengenai hal-hal yang ti- dak diatur secara jelas dalam syari’ah, diselesaikan berdasarkan mufakat bulat dan konsensus di kalangan umat Islam. Setiap Muslim yang mampu dan meme- nuhi syarat untuk memberikan pan- dangan yang sehat mengenai masalah- masalah hukum Islam, diberikan hak untuk menafsirkan hukum Tuhan jika penafsiran hukum itu memang diper- lukan. Dalam pengertian ini, politik Islam disebut demokratis. Tetapi politik Islam juga bersifat teokratis, dalam arti bahwa apabila terdapat perintah-perin- tah atau hukum-hukum yang telah jelas dari Tuhan atau Rasul-Nya, maka tidak seorang pun atau tak satu pun lembaga legislasi yang berhak melakukan per- timbangan secara mandiri, sekalipun se- luruh umat Islam di segala penjuru ber- sepakat untuk melakukan hal tersebut.

  • Persoalannya, jika kedaulatan itu ada pada Tuhan tidakkah berarti Tuhan telah melucuti kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Terhadap permasalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Tuhan telah mempertahankan hak legislasi sebagai otoritas-Nya sendiri. Hal ini tidak dapat dipahami merampas hak asasi manusia, melainkan untuk melindungi hak itu sendiri.!8 Tujuan Tuhan adalah untuk menyelamatkan manusia agar tidak tersesat dan mengundang kehancuran.

  • Demikian prinsip kedaulatan dalam Islam yang dikatakan milik Allah semata dan hanya Tuhan yang memiliki hak legislasi. Konsekwensi logis konsep kedaulatan model ini, maka organisasi- organisasi sosial politik negara Islam disebut khilafah. Manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi. Sebagai seorang khalifah maka tugas hidupnya adalah melaksanakan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan. Khalifah berarti orang yang menikmati hak-hak dan kekuasaan tertentu yang bukan merupakan haknya sendiri, melainkan hak sebagai wakil atau kuasa Tuhannya. Sifat wewenangnya tidak melekat tetapi didelegasikan. Manusia tidak bebas melakukan apa pun yang dikehendaki, tetapi harus bertindak sesuai aturan main yang ditetapkan pembuat legislasi (Tuhan).

Referensi

Salamuddin dan Candiki Repantu. 2015. Teokrasi Kontemporer: Integrasi Teologi dan Politik dalam Negara Islam. Medan: Perdana Publishing

Abul A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. Bandung: Mizan. (1993)

Syafiie, I. K. (2014). Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara.; dan Yamani. (2002)