Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir .
Apa yang dimaksud dengan Ta’zir?
Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir .
Apa yang dimaksud dengan Ta’zir?
Istilah Arab yang digunakan untuk denda adalah kata Munawwir-Al Kamus. Gharamah artinya mendenda. Sedangkan bahasa gharamah berarti denda. Denda adalah bentuk hukuman yang melibatkan uang yang harus dibayarkan dalam jumlah tertentu. Jenis yang paling umum adalah uang denda yang jumlahnya tetap, dan denda harian yang dibayarkan menurut penghasilan seseorang.
Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir . Ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan Ar-Raddu Wal Man’u, yang artinya menolak dan mencegah. At- ta’zir adalah larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi. Menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, sanksi-sanksi ta’zir adalah hukum-hukuman yang secara syara tidak ditegaskan mengenai ukurannya. Syariat Islam menyerahkannya kepada penguasa negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesaui dengan kejahatannya. Selain itu menumpas permusuhan, mewujudkan situasi aman terkendali dan perbaikan, serta melindungi masyarakat kapan saja dan di mana saja. Sanksi-sanksi ta’zir ini sangat beragam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, taraf pendidikan masyarakat, dan berbagai keadaan lain manusia dalam berbagai masa dan tempat.
Di karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh Alquran dan hadis, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir , harus tetap memberikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan umum.
Di bawah ini tujuan dari diberlakukannya sanksi ta’zir , yaitu sebagai berikut:
Syara tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap jarimah ta’zir , tetapi menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang sesuai. Dengan demikian, sanksi ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.
Ta’zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan, baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat, perlu diberi sanksi ta’zir agar tidak mengulangi perbuatannya.
Untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan dalam pembayaran denda maka Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa No 17 tahun 2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Fatwanya sebagai berikut ini:
Pertama : Ketentuan Umum
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Kata ta’zir berasal dari kata azzara yang secara harfiah mengandung arti membantu, menghindarkan dari suatu yang tidak menyenangkan, membantu melepaskan diri dari kejahatan, membantu keluar dari kesulitan.
Dalam kontek hukum islam kata ta‟zir bisa juga diartikan sebagai hukuman dalam bentuk teguran, dan peringatan keras, seperti dipenjara, denda dengan harta, hukuman mati bagi residivis bagi yang berulang kali melakukan kejahatan dan perilaku seks menyimpang sesama jenis (wilath, sadomi dan lain-lain) atau menghujat dan menghina nasi muhammad SAW.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, ta‟zir adalah sanksi yang dikenakan oleh perbankan syariah kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja. Ta‟zir disini dikenakan apabila terjadi penundaan pembayaran yang disengaja oleh nasabah dengan alasan tidak dibenarkan oleh syar‟i dan tidak mempunyai kemauan serta i‟tikad baik untuk membayar hutangnnya.
Sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Saksi atas Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran yaitu:
Dari Fatwa inilah yang menjadi landasan hukum bagi bank syariah dalam menerapkan sanksi apabila nasabah pembiaya terjadi wanprestasi atau gagal bayar.
Landasan Hukum
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Q.S al-Maa-idah ayat 1).
Artinya: “dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S al-Isra‟ ayat 34).
Artinya: “bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Q.S al-Baqarah ayat 194).
Tujuan Dan Syarat-Syarat Sanksi Ta’zir
Di bawah ini tujuan dari diberlakukannya sanksi ta‟zir, yaitu sebagai berikut:
Syara‟ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap jarimah ta‟zir, tetapi menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang sesuai. Dengan demikian, sanksi ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu.
Ta‟zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan, baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat, perlu diberi sanksi ta‟zir agar tidak mengulangi perbuatannya.