Apa yang dimaksud dengan syafaat ?

Syafaat

Syafa’at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Apa yang dimaksud dengan syafa’at ?

Secara bahasa syafaat adalah merupakan isim mashdar dari kata syafa’a-yasyfa’u yang artinya menjadikan sejodoh, sepasang, genap, dan merupakan lawan dari al-witr yang artinya ganjil, sebab orang yang memberi syafaat menuntut kepada peminta syafaat di dalam mencapai apa yang dimintanya. Ini dikarenakan tidak semua orang mampu meraih apa yang ia harapkan. Ketika itu banyak cara yang dilakukan di antaranya meminta bantuan orang lain, maka ia akan melakukan hal itu. Jika apa yang diharapkan seseorang terdapat pada pihak lain baik itu yang ditakuti atau disegani, maka ia dapat menuju kepadanya dengan “menggenapkan dirinya” dengan orang yang dituju itu untuk bersama-sama memohon kepada yang ditakuti dan disegani itu.

Secara istilah, syafaat adalah suatu usaha perantaraan dalam memberikan suatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan suatu mudharat bagi orang lain. Syafaat yang dimaksudkan di sini adalah syafaat yang terjadi pada hari kiamat, di mana keadaan umat manusia ketika sedang dalam keadaan yang sangat sulit, di antaranya ialah berdiri di padang mahsyar.

Dalam keadaan yang demikian, syafaat ini merupakan sesuatu yang sangat mereka butuhkan. Syafaat ini bagi mereka merupakan harapan untuk menyelamatkan diri dari sekian banyak tahapan yang dilalui pada hari kiamat. Perkataan syafaat juga mengandung arti bahwa seorang perantara / syafī’ memohonkan sesuatu keperluan kepada seorang raja atau penguasa untuk kepentingan orang lain dan ini adalah pengertian di luar arti theologis.

Dalil-dalil Naqli Tentang Syafaat


Dalil-dalil Dari Al-Qur’an

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang syafaat, beberapa di antaranya yaitu:

  1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] Ayat 255

    Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

  2. Al-Qur’an Surat Al-Najm [53] Ayat 26

    Artinya: “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-(Nya).”

  3. Al-Qur’an Surat Al-Anbiyā’ [21] Ayat 28

    Artinya: “Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.”

  4. Al-Qur’an Surat Thāhā [20] Ayat 109

    Artinya: “Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.”

  5. Al-Qur’an Surat Al-Zumar [39] Ayat 43-44

    Artinya: “Bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah. Katakanlah: "Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal? Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Dalil-dalil Dari Hadits

Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang membicarakan tentang syafaat, beberapa di antaranya yaitu:

  1. Hadits Riwayat Imam Al-Bukhari, Nomor Hadits 98, Kitab Al-‘Ilm, Bab Al-Hirsh ‘Alā Al-Hadīts

    “Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdillah dia telah berkata, telah menceritakan kepadaku Sulaiman, Amru bin Abu Amru, dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah ra, bahwasannya dia telah berkata, “Aku telah bertanya:Wahai Rasulullah, Siapakah manusia yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Lalu Rasulullah menjawab, “Sungguh aku kira wahai Abu Hurairah bahwa tidak ada seseorangpun yang bertanya lebih dahulu tentang hadits ini daripada engkau karena aku melihat engkau sangat loba/suka terhadap hadits. Manusia yang paling berbahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan kalimat lā ilāha illallah dengan ikhlas sepenuh hati atau dengan sepenuh jiwanya.”

  2. Hadits Riwayat Imam Muslim, Nomor Hadits 6079, Bab Tafdhīl Nabiyyunā ‘Alā Jamī’ Al-Khalāiq

    “Telah menceritakan kepadaku Al-Hakam bin Musa Abu Shalih, telah menceritakan kepada kami Hiql yakni Ibnu Ziyad, dari Al-Auza’iy, telah menceritakan kepadaku Abu Ammar, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Farrukh, telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah dia telah berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama-tama dikeluarkan dari dalam kubur, dan aku adalah orang yang pertama memberikan syafaat dan yang pertama diterima syafaatnya.

  3. Hadits Riwayat Imam Al-Bukhari, Nomor Hadits 4397, Kitab Al-Tafsīr, Bab Dzurriyyata Man Hamalnā Ma’a Nūẖ, Innahū Kāna ‘Abdan Syakūran

    "Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah, telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hayyan Al-Taimiy, dari Abu Zur’ah bin Amru bin Jarir, dari Abu Hurairah ra dia telah berkata,“(Suatu hari) Rasulullah saw pernah diberi daging. Lalu dihidangkan kepada beliau bagian lengannya. Beliau memang menyukai bagian lengan itu. Beliau lalu menggigitnya dan bersabda,“Aku adalah penghulu manusia di hari kiamat nanti. Tahukah kalian dengan apa itu terjadi? Pada hari kiamat Allah akan mengumpulkan seluruh makhluk yang mula pertama dan yang lahir belakangan dalam dataran yang terhampar luas. Lalu mereka mendengar suara panggilan dan seluruhnya terlihat pandangan (Allah), mataharipun mendekat, sehingga manusia berada dalam keadaan sedih dan kesulitan dalam batas yang tak tertahankan dan di luar batas kemampuan.

    Sebagian orang berkata kepada yang lain,“Sudahkah kalian mengetahui kondisi kalian sendiri? Sudahkah kalian mengetahui apa yang kalian peroleh? Tidakkah kalian mencari orang yang dapat menyampaikan syafaat kepada kalian untuk bertemu Tuhan kalian?” Sebagian lagi berkata,“Datangi saja Nabi Adam!”

    Datanglah mereka menemui Nabi Adam. Mereka berkata,“Wahai Adam, engkau adalah bapak manusia. Allah menciptakan dirimu dengan tangan-Nya sendiri, lalu meniupkan pada dirimu dari ruh yang berasal dari-Nya, kemudian memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu. Berikanlah syafaat untuk bertemu dengan Rabb-mu. Tidakkah engkau mengetahui kondisi kam? Tidakkah engkau mengetahui apa yang telah kami dapatkan?” Nabi Adam menjawab,“Sesungguhnya pada hari ini Tuhanku telah murka. Tidak pernah dan tidak akan pernah lagi Dia marah seperti itu kepadaku. Allah melarangku mendekati pohon itu, tetapi aku melanggar larangan-Nya. Oh diriku, oh diriku. Pergilah menemui yang lain. Pergi saja menemui Nuh.”

    Merekapun menemui Nuh dan berkata,“Wahai Nuh! Engkau adalah rasul pertama di muka bumi ini. Allah bahkan menggelarimu sebagai hamba yang bersyukur. Berikanlah kami syafaat menemui Rabb-mu. Tidakkah engkau mengetahui kondisi kami? Tidakkah engkau mengetahui apa yang telah kami dapatkan?” Beliau menjawab,“Sesungguhnya pada hari ini Tuhanku telah murka. Tidak pernah dan tidak akan pernah lagi Dia marah seperti itu. Sesungguhnya aku memiliki doa yang mustajab, namun sudah kugunakan untuk mendoakan (melaknat) kaumku. Oh diriku, oh diriku. Pergilah menemui Ibrahim!”

    Merekapun menemui Ibrahim, lalu mereka berkata,“Wahai Ibrahim! Engkau adalah nabiyullah sekaligus juga khalilullah dari kalangan penduduk bumi ini. Berikanlah kepada kami syafaat menemui Rabb-mu. Tidakkah engkau mengetahui apa yang telah kami dapatkan?” Ibrahim menjawab,“Sesungguhnya pada hari ini Tuhanku telah murka. Tidak pernah dan tidak akan pernah lagi Dia marah seperti itu kepadaku.” Beliau menyebutkan beberapa kedustaan yang pernah beliau lakukan. “Oh diriku, oh diriku. Pergi saja kepada yang lain. Pergilah menemui Musa!”

    Merekapun mendatangi Musa dan berkata,“Wahai Musa! Engkau adalah rasulullah. Allah telah memberi kelebihan kepadamu dibanding manusia lain dengan kerasulan dari-Nya dan dengan mengajakmu berbicara secara langsung. Berilah kami syafaat untuk bertemu Rabb-mu. Tidakkah engkau mengetahui kondisi kami? Tidakkah engkau mengetahui apa yang kami dapatkan?” Musa menjawab,“Sesungguhnya Tuhanku pada hari ini telah murka. Tidak pernah dan tidak akan pernah lagi Dia marah seperti itu. Aku telah membunuh seseorang, padahal aku tidak diperintahkan membunuhnya. Oh diriku, oh diriku. Pergilah menemui Isa!”

    Merekapun mendatangi Isa dan berkata,“Wahai Isa! Engkau adalah Rasulullah. Engkau telah berbicara kepada manusia sejak dalam buaian dan engkau adalah kalimat dari Allah yang diberikan kepada Maryam serta ruh dari-Nya. Mintakanlah syafaat untuk kami kepada Rabb-mu. Tidakkah engkau mengetahui kondisi kami? Tidakkah engkau mengetahui apa yang kami dapatkan?” Isa menjawab, “Sesungguhnya pada hari ini Tuhanku telah murka. Tidak pernah dan tidak akan pernah lagi Dia marah seperti itu kepadaku.” Namun beliau tidak menyebutkan jenis dosanya. “Pergilah kepada selainku. Pergilah menemui Muhammad saw!”

    Merekapun mendatangi Muhammad saw seraya berkata,“Engkau adalah rasulullah dan penutup para nabi. Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang kemudian. Berilah kami syafaat untuk bertemu Rabb-mu. Tidakkah engkau mengetahui apa yang kami dapatkan?” Akupun beranjak dan sampai ke bawah arsy, lalu bersujud kepada Tuhanku. Setelah itu Allah membukakan hatiku dan mengilhamkan diriku puji-pujian dan sanjungan yang terbaik kepada-Nya yang belum pernah diberikan kepada seorangpun sebelumku. Kemudian Allah berfirman,“Wahai Muhammad! Angkatlah kepalamu. Mintalah, engkau akan diberikan. Mohonlah syafaat! Permohonanmu akan dikabulkan.”Akupun mengangkat kepalaku seraya berkata,“Umatku, wahai Tuhanku. Umatku, wahai Tuhanku!” Lalu Allah berfirman,“Wahai Muhammad! Masukkanlah sebagian umatmu ke dalam surga, yakni mereka yang tidak dihisab, melalui pintu sebelah kanan dari surga, dan mereka akan turut pula bersama orang lain memasuki pintu-pintu lainnya.” Kemudian beliau meneruskan sabdanya,“Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya jarak antara dua ujung daun pintu surga itu adalah seperti jarak antara Mekah dan Himyar atau seperi jarak antara Mekah dengan Bushra.”

  4. Hadits Riwayat Imam Muslim, Nomor hadits 252, Bab Fadhl Qirā’at Al-Qur’ān Wa Sūrah Al-Baqarah 83

    “Telah menceritakan kepadaku Al-Hasan bin Ali Al-Hulwani, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah (Arrabi’ bin Nafi’), telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah (Ibnu Sallam), dari Zaid bahwasannya dia telah mendengar Abu Sallam berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Umamah Al-Bahiliy dia telah berkata, aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda,”Bacalah oleh kalian Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi yang berinteraksi dengannya. Bacalah oleh kalian Al-Zahrawain yaitu surat Al-Baqarah dan surat Ali ‘Imran, karena sesungguhnya keduanya akan datang di hari kiamat sebagai dua awan atau dua cahaya, atau keduanya seperti sekelompok burung yang berbaris yang akan membela para pembacanya. Bacalah oleh kalian surat Al- Baqarah, karena sesungguhnya mengambilnya adalah berkah, meninggalkannya adalah kerugian, dan yang tidak dapat melakukannya merupakan penyesalan.”

  5. Hadits Riwayat Imam Ahmad, Nomor Hadits 1281, Bab Musnad ‘Ali bin Abī Thālib 84

    “Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Bakkar, telah menceritakan kepada kami Hafs bin Sulaiman yakni Abu Umar Al-Qari’, dari Katsir bin Zadzan, dari ‘Ashim bin Dhamrah, dari Ali bin Abi Thalib dia telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda,” Barangsiapa yang belajar Al-Qur’an, lalu berusaha menghafalkannya dan dia bisa hafal, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan Allah akan menerima permohonan syafaat yang diajukannya kepada sepuluh orang keluarganya, yang semuanya telah diputuskan masuk ke dalam neraka.”

Pendapat Para Ulama Tentang Syafaat

Dalam hal syafaat ini, para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok, masing-masing membawa ẖujjah yang kuat.

  • Pertama, mengatakan bahwa syafaat itu memang ada menurut pemahaman mereka. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak sekali yang menunjukkan adanya syafaat setelah mendapat izin dari Allah swt. Selain itu, hadits-hadits yang shahihpun banyak menyebutkan hal-hal yang menguatkan adanya syafaat, di antaranya sabda Rasulullah saw berikut:

    “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Bistham bin Huraits, dari Asy’ats Al-Huddaniy, dari Anas bin Malik, dari Nabi saw beliau telah bersabda,“Syafaatku memang ada untuk orang-orang yang melakukan dosa besar di antara umatku.” (Hadits riwayat Abu Daud, no. hadits 4741, bab fī al-syafā’ah)86

  • Kedua, meniadakan syafaat sama sekali tanpa ada pengecualian. Kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat “illā bi idznih” mempunyai pengertian meniadakan (nafī) bukan menetapkan (itsbāt). Uslūb atau gaya bahasa seperti ini banyak dipakai oleh orang-orang Arab untuk menunjukkan peniadaan yang qath’i (nafī qath’ī), sebagaimana firman Allah swt:

    Artinya: “Kami akan membacakan kepadamu, maka kamu tidak akan lupa. Kecuali jika Allah menghendaki…” (QS. Al-A’lā [87]: 6-7)

    Qath’i berasal dari kata kerja qaha’a yang menurut bahasa berarti memotong atau
    memisahkan, dan apabila dihubungkan dengan akal pikiran berarti meyakini. Istilah qath’i dalam ushul fiqih diterapkan kepada sesuatu yang diyakini kapasitasnya. Lawannya adalah Dzanni yang berarti suatu dugaan berat, tidak sampai kepada batas diyakini. Kajian qath’i dan dzanni mendapat perhatian serius di kalangan ahli-ahli ushul fiqih, di kala mereka hendak mengetahui tingkatan-tingkatan kejelasan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hendak mengetahui sampai di mana otentisitas suatu dalil.

    Dan firman Allah pada ayat lain:

    Artinya: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
    Tuhanmu menghendaki (yang lain)…” (QS. Hud [11]: 107)

    Di antara kelompok yang menentang adanya syafaat ini adalah kaum Mu’tazilah. Dalam mengingkari eksistensi syafaat, mereka menyodorkan konsep keimanan mereka yaitu al-wa’d wa al-wa’īd. Ancaman Allah akan diberikan kepada orang-orang yang berbuat dosa. Sedangkan janji-Nya akan diberikan kepada orang-orang yang taqwa dan taat. Hal ini benar-benar merupakan ketentuan Allah dan tak ada seorangpun yang mampu merubah ketetapan-Nya. Jika orang mukmin meninggal dunia dengan membawa ketaatan dan taubat, maka ia berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika ia meninggal dunia tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di neraka. Mereka tidak bisa dikeluarkan dari neraka, karena mereka adalah para pelaku dosa. Begitu pula orang-orang yang bertaqwa, mereka tidak bisa bersanding dengan para pelaku dosa di neraka, karena hal itu termasuk sesuatu yang berlawanan.

    Namun salah satu ulama Mu’tazilah, Al-Qadhi Abdul Jabbar mau menerima adanya syafaat namun hanya kepada para pelaku kebaikan. Ia mencontohkan syafaat tersebut dalam bentuk penambahan keutamaan dan kemuliaan tingkat seseorang di dalam surga. Ia menyandarkan pemahamannya tersebut di antaranya berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Mu’min [40] ayat 18:

    Artinya: “Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.

    Menurutnya, idealnya orang yang memberikan syafaat haruslah mencintai dan meridhai terhadap orang yang disyafaatinya. Sedangkan ahli neraka adalah orang yang pantas untuk mendapatkan kemurkaan dan siksa dari Allah swt. Lalu, bagaimana mungkin Rasulullah saw akan mau untuk memberikan syafaat kepada orang yang dimurkai Allah? Kalau saja Rasulullah saw masih mau memberikan syafaat kepada ahli neraka, berarti beliau telah meridhai terhadap orang yang dibenci dan dilaknat oleh Allah. Sungguh ini adalah sebuah kemustahilan.

  • Ketiga, para ulama muta’akhkhirin di antaranya Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa syafaat tersebut berupa doa yang dimohonkan oleh Nabi saw yang kemudian diterima oleh Allah swt. Pengertian ini dipahami dari hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim serta lain-lainnya. Riwayat tersebut mengatakan bahwa Rasulullah saw di hari kiamat melakukan sujud seraya memuji Allah dengan pujian yang telah diilhamkan kepada beliau pada waktu itu. Akhirnya dikatakan kepada beliau, “Angkatlah kepalamu dan mintalah, niscaya akan Ku kabulkan serta mintalah bisa memberi syafaat maka engkau akan bisa memberi syafaat.”

    Tetapi apa yang dimaksud dengan syafaat di sini tidak berarti Allah akan mencabut irādah (kehendak-Nya) sendiri demi memenuhi permintaan orang yang memberi syafaat karena syafaat tersebut hanyalah merupakan kemuliaan (karāmah) bagi pemberi syafaat, dalam hal ini Nabi saw yang bertindak sebagai pelaksana dari apa yang dikehendaki oleh Allah swt pada zaman azali sesudah beliau melakukan doa permintaan kepada-Nya. Pengertian syafaat di sini sama sekali tidak akan dapat memenuhi ketamakan orang-orang yang menyepelekan perintah-perintah agama serta larangan-larangan-Nya karena mengandalkan adanya syafaat ini. Hal ini dijelaskan dengan firman Allah:

    Artinya: “Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat. Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 48-49)

Ulama-ulama sekarang ini umumnya berpegang kepada sebuah pemahaman bahwa syafaat itu adalah ada. Sebagaimana Allah swt memberikan apa saja kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya bahkan Dia memberikan kemuliaan yang menjadi milik-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin, maka demikian pula adanya dengan masalah syafaat. Dialah yang memiliki syafaat itu kepada sepenuhnya, tetapi Dia juga memberikan hak memberikan syafaat itu kepada para nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Bahkan banyak pula orang-orang mukmin yang mendapatkan hak memberi syafaat, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadits shahih dan mutawattir secara makna.

Referensi :

  • Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Hery Noer Aly, et al., dengan judul yang sama dengan aslinya, (Semarang: CV. Thaha Putra, 1992), Cet. ke-2, Jilid 1
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), Cet. ke-5, Volume 1
  • Tim Ensiklopedi Islam Departemen Agama RI. ( ed. ), “Syafaat”, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 1993)
  • Mahir Ahmad Ash-Shufi, Bidāyah Yaum Al-Qiyāmah (Ardh Al-Maẖsyar, Al-Haudh, Al- Syafāh Al-‘Uzhmā), diterjemahkan oleh Salafuddun Abu Sayyid dengan judul, Petaka Padang Mahsyar, (Solo: Wacana Ilmiah Press, 2008), Cet. ke-1.
  • Harun Nasution, et al., (ed), “Qath’i”, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992).