Apa yang dimaksud dengan Riya'?

Sombong

Riya adalah seseorang beramal shalih dengan maksud untuk dilihat/dipuji oleh orang lain.

Ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang Riya :

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Qs Al-Maa’un : 4-7

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Surat An-Nisa’ Ayat 142

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. Surat Al-Baqarah Ayat 264

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. Surat Al-Anfal Ayat 47

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amalan itu”.

Menurut Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan.

Menurut Imam Habib Abdullah Haddad berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.

Pada dasarnya, riya’ dibagi kedalam dua tingkatan, yaitu :

  • Riya’ kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia,
  • Riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”.

Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Wahai sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang tersembunyi!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang tersembunyi?” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena dilihat manusia. Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi]

“Siapa orang yang berpuasa hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, dan barangsiapa yang bersedekah hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR. Ahmad).

Awaslah kamu jangan mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’), niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).

Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadapmu ialah syirik kecil, lalu ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Riya’ berasal dari kata ru’yah yang artinya melihat, sementara sum’ah berasal dari kata samả’ yang artinya mendengar. Menurut al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan di dalam hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka tentang beberapa hal yang sifatnya kebaikan.

Di dalam kitab yang lainnya, al-Ghazali mendefinisikan riya adalah mencari sebuah kemasyhuran atau ketenaran dan kedudukan dengan menggunakan ibadah. Di dalam kitab minhảj al-‘Abidỉn, al-Ghazali memberi pengertia riya‟ ialah seseorang mengerjakan sesuatu tetapi hanya ingin memperoleh kemanfaatan dunia dengan jalan melakukan ibadah. Pengertian riya‟ yang dijelaskan oleh al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ dan kitab yang lainnya artinya sama, yakni memperlihatkan kebaikan, pangkat, kedudukan di hati manusia menggunakan dengan amal-amal perbuatan selain ibadah, dan terkadang juga memakai dengan amal ibadah.

Jadi al-Ghazali mendefinisikan riya’ itu dikhususkan dengan hukum kebiasaan untuk mencari kedudukan di hati manusia dengan cara ibadah dan diperlihatkannya. Sedangkan menurut Abdullah bin Husain, riya’ adalah melakukan amal perbuatan karena manusia.

Intinya, riya’ adalah sebuah perbuatan yang dilakukan dihadapan seseorang atau orang banyak tetapi ia mempunyai tujuan agar memperoleh perhatian dan pujian dari mereka.

Adapun riya‟ menurut Muhammad Ali Ba’athiyah adalah mencari sebuah kedudukan dan kemuliaan di hadapan manusia dengan menggunakan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan urusan akhirat. Misalnya mendirikan shalat, berpuasa, bershadaqah, berhaji, dan membaca al-Qur‟an agar memperoleh pujian dan kemuliaan dari orang yang melihatnya.

Sedangkan al-Ghazali menjelaskan lagi tentang pengertian riya‟ ialah keinginan manusia akan kedudukan di hati manusia dengan menaati Tuhan. Maka manusia yang berbuat riya‟ seperti itu adalah manusia yang beribadah dengan memperlihatkan ibadahnya dihadapan manusia.

Riya’ adalah satu di antara dua perbuatan syirik, yakni sebuah perbuatan syirik yang samar. Perbuatan riya’ ini bersumber dari rasa keinginan seseorang memperoleh perhatian dari sesame makhluk sehingga sehingga orang tersubut bisa memperoleh jabatan, kedudukan, dan sanjungan dari orang lain.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi, riya’ adalah syirik yang tersembunyi. Kemudian beliau mengutip sebuah hadis nabi,

Hindarilah syirik kecil ”. Lalu para sahabat bertanya, “ apa syirik kecil itu ?”Nabi menjawab, riya’. Ia adalah salah satu dari dua syirik .”

Asal timbulnya sifat syirik ialah karena mencari simpati atau perhatian di dalam hati manusia dengan cara menonjolkan sifat-sifat baiknya agar memperoleh kedudukan dan sanjungan agar ia memperoleh keseganan di antara manusia.

Penyakit hati yang sangat buruk yang menimpa pada diri manusia ialah kemusyrikan. Karena memberikan sebuah rububiyah kepada yang tidak mempunyai hak menerimanya dan memberikan berbagai macam ubudiyah (ibadah) kepada yang tidak berhak untuk mendapatkannya.

Masalah terbesar yang diupayakan oleh manusia adalah keselamatan dirinya di samping Tuhan. sementara itu, banyak sekali nash yang menerangkan kebinasaan orang yang beramal tidak ikhlas untuk mencari keridhaan Tuhan. Dalam buku Sa‟id Hawa, ada sebuah hadis shahih yang menyebutkan tiga orang yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka dari golongan orang-orang yang berbuat maksiat, yaitu orang yang riya‟ dengan jihadnya, orang yang riya‟ dengan ilmunya, dan orang yang riya‟ karena kedermawanannya.

Riya’ menurut al-Ghazali ada dua,

  • Pertama riya’ khusus. Riya’ ini hanya bertujuan untuk mencari keuntungan dunia saja tanpa diimbangi dengan tujuan akhirat.

  • Kedua, riya’ campuran. Riya’ ini mempunyai tujuan dunia dan akhirat. Jadi, riya’ yang khusus itu tidak dimiliki oleh orang-orang yang makrifat.

Adapun menurut gurunya, al-Ghazali mengatakan, riya’ yang khusus itu tidak akan terjadi pada orang yang makrifat dalam keadaan sadar akan akhirat, tetapi terjadinya itu ketika dalam keadaan lengah. Sedangkan riya’ campuran itu bisa menghilangkan seperempat bagian pahala.

Adapun di kitab lainnya al-Ghazali membagi riya’ menjadi tiga.

Pertama riya’ yang jelas, yakni riya’ yang mendorong terwujudnya sesuatu amal perbuatan hingga ia merasakan kalau tidak adanya riya‟ tidak ada rasa kesenangan dalam melakukan amal perbuatan.

  • Kedua riya’ yang samar, yakni riya’ yang tidak mampu untuk mewujudkan amal perbuatan tetapi ia merasakan kesenangan ketika melakukan amal perbuatan, sehingga orang yang memiliki riya’ yang semacam ini akan menjadi lemah semangatnya dalam melakukan amal tanpa adanya riya’ tersebut.

    Misalnya orang yang melakukan shalat tahajjud diwaktu malam hari, apabila ia kedatangan tamu maka ia akan semangat melakukan shalat tahajjudnya. Yang lebih samar dari tingkatan ini bahwa perbuatan tersebut tidak menambah semangat, tetapi jika ia sedang melakukan shalat tahajjud kemudian dilihat oleh orang lain, ia merasa bahagia dan di dalam dirinya ada rasa sangat puas.

    Hal yang semacam ini menunjukkan kalau riya’ tersebut berada di tengah-tengah hati seseorang sebagaimana terpendamnya api dibawah rasa cinta, sehingga terbukalah rasa kesenangan daripadanya ketika diperlihatkan. Sedangkan hatinya sudah lupa terhadap kecintaan itu.

  • Ketiga riya’ yang tersembunyi, riya‟ ini tidak merasa senang kalau orang lain melihatnya, akan tetapi riya’ itu terjadi biasanya ketika memulai salam. Dan ia merasa heran terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dan tidak mau bertoleransi di dalam perdagangan serta ia tidak mau menghormatinya.

    Hal yang seperti ini menunujukkan amal perbuatannya diberikan hanya kepada manusia; seolah-olah ia memberikan penghormatan kepada manusia dengan perbuatan ibadah dengan menyembunyikan sifat riya’ itu terhadap manusia.

    Sifat riya’ itu terkadang datang pada saat berniat untuk mengerjakan ibadah, tetapi rasa riya’ itu tidak menghilangkan kesadaran dirinya dari golongan ibadahnya, melainkan hanya semata-mata hanya untuk memperoleh kesenangan dirinya sendiri dalam menjalankan ibadah yang tidak memberi pengaruh sama sekali pada pelaksanaan ibadah tersebut. Kecuali hanya bisa menambah bagusnya saja, maka perasangka yang kuat menyatakan bahwa ibadahnya tidak rusak, sedangkan kewajibannya terlaksanakan.

Menurut al-Ghazali, kalau saja orang-orang menyadari akan perbuatan-perbuatan yang telah mereka kerjakan, maka mereka akan memaklumi bahwa kebanyakan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dan ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan sesungguhnya dihasilkan dari dorongan riya. Karena kesukaannya mencari pengaruh agar orang lain memuji dirinya adalah termasuk memperturutkan hawa nafsu, dan disebabkan oleh perbuatanseperti inilah banyak manusia yang hancur binasa.

Hawa nafsu selalu mengajak manusia untuk berbuat riya’ dengan memperindah amal dan merasa senang kepadanya, sedangkan kebencian terhadap perbuatan riya’ akan mengajak untuk menolak dan berpaling dari padanya. Dalam masalah ini kekuatan manusia akan tergerak untuk mengikuti dorongan yang lebih kuat. Andai saja kebencian terhadap riya’ lebih kuat sehingga bisa mencegah datangnya perbuatan riya’ kedalam amal perbuatan dan menemani amal ibadah yang sedang dikerjakan; artinya amal ibadah manusia tidak akan bertambah juga tidak akan berkurang karena riya’.

Oleh sebab itu, al-Ghazali mekankan agar sifat riya’ itu dihilangkan. Karena sifat riya’ benar-benar bisa menghilangkan semua amal perbuatan baik dan merupakan menjadi sebab kemurkaan serta mendatangkan kebencian Tuhan terhadap siapa saja yang melakukan riya’.

Riya’ merupakan sebuah sifat perusak jiwa dan hati yang sangat besar. Oleh karena itu, keberadaan riya‟ yang ada di dalam diri seseorang harus dilenyapkan sama sekali hingga ke akar-akarnya dari dalam hati.

Tujuan Riya’


Al-Ghazali mengatakan, orang yang berbuat riya’ itu pasti mempunyai tujuan dan maksud yang terkandung di dalam hatinya. Ia melakukan perbuatan riya‟ adakalanya sebab menginginkan untuk memperoleh harta, kedudukan, kemasyhuran ataupun hal-hal yang lainnya. Inipun ada pula tingkatan-tingkatannya.

Pendapat Sa’id Hawa juga tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali. Sa’id mengatakan, manusia yang melakukan perbuatan riya‟ pasti mempunyai tujuan yang tertentu. Ia melakukan perbuatan riya’ adakalahnya bertujuan untuk mendapatkan harta, kedudukan, atau tujuan-tujuan yang lainnya.

  • Tujuan yang pertama menurut al-Ghazali adalah ia melakukan riya’ tapi punya maksud untuk bermaksiat, seperti seseorang yang memamerkan ibadahnya, menunjukkan ketaqwaannya dan kewara’annya, sedangkan tujuannya ialah supaya orang lain menganggap bahwa ia adalah seorang yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, ia diharapkan agar bisa diangkat menjadi kepala daerah atau diserahi untuk membagi-bagikan harta zakat, namun tujuannya ialah hendak untuk menyalah gunakan kekuasaannya atau mencurinya.

    Juga agar ia diberi sebuah titipan, lalu digelapkan atau supaya dapat berhubungan dengan wanita dan bisa bersenang-senang dengan jalan yang curang dan penuh dengan kemesuman dan lain-lain sebagainya. Demikian pula seperti orang yang menghadiri majlis ilmiah ataupun nasehat, tetapi tujuannya hanyalah untuk melihat kaum perempuan atau orang-orang banci yang ia sukai.

    Semuanya itu menurut al-Ghazali adalah seburuk-buruknya perbuatan riya’ kepada Tuhan, sebab ketaatan terhadap Tuhan dijadikan sebagai bahan untuk bermaksiat kepada-Nya, dijadikan terhadap kesucian agama. Agaknya dapat digolongkan ke dalam hal ini adalah seseorang yang melakukan kemaksiatan secara terus-menerus, tetapi di luarnya ia menunjukkan ketakwaan dan dengan demikian hilanglah orang lain bahwa ia terus-menerus melakukan kemaksiatan tadi.

    Sa’id menguatkan pendapat al-Ghazali, tujuan ini dianggapnya yang paling berat, yakni seseorang melakukan perbuatan riya’ tapi untuk bisa melakukan perbuatan maksiat. Seperti orang yang riya‟ dengan ibadahnya dan menampakkan ketakwaan dengan memperbanyak amalan-amalan sunnah dan menahan diri dari memakan makanan yang syubhat, tetapi tujuannya agar bisa dikenal sebagai orang yang amanah. Kemudian ia mengurusi masalahperadilan, wakaf, harta anak yatim, pembagian zakat atau shodaqoh untuk mengambil sebagian dari apa yang bisa diambilnya.

    Terkadang sebagian mereka ada yang mengenakan pakaian layaknya seorang sufi, berpenampilan khusyu’, berbicara penuh hikmah seperti orang memberikan nasehat dan peringatan, tetapi ia tujuannya hanya untuk dicintai oleh seorang perempuan, lalu ia melakukan perbuatan dosa.

    Adapun tujuan riya’ menurut Ahmad Farid ialah bermaksud untuk menutupi kemaksiatan yang telah ia lakukannya, seperti orang yang dilihat ibadahnya lantas ia menampakkan ketakwaan dan kewara’annya. Tujuannya adalah untuk dikenal orang lain sebagai orang yang mempunyai amanah, kemudian ia merasa akan diberikan kedudukan karena sifatnya tersebut. Atau bisa saja karena sifatnya itu ia akan diberikan sejumlah uang secara tersembunyi. Orang mempunyai sifat riya’ seperti ini adalah orang yang sangat dibenci Tuhan, karena ia menjadikan ketaatan sebagai jalan menuju kemaksiatan.

    Semua perbuatan tersebut, perbuatan riya’ yang terburuk yang dilakukan terhadap Tuhan. Sebab ketaatan kepada Tuhan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan kemaksiatan terhadap-Nya. Juga termasuk ke dalam golongan di atas adalah orang yang terus-menerus melakukan kemaksiatan, tetapi mereka menutupinya dengan menunjukkan ketakwaannya agar ia dapat menolak dugaan negatif yang ditunjukkan kepada dirinya.

  • Tujuan yang kedua menurut al-Ghazali ialah, mempunyai keinginan untuk memperoleh keduniaan seperti harta atau ingin mengawini seorang perempuan yang cantik juga seorang bangsawan. Ia akan memperlihatkan ilmu yang ia miliki serta ibadah-ibadah yang berat-berat agar ia bisa diterima lamarannya atau diberi harta yang dimaksudkan. Inipun riya yang terlarang sekali, sebab dengan berbakti kepada Tuhan itu digunakan untuk mencari benda kedunawian dan kehidupan sementara. Namun dosa dari golongan ini menurut al-Ghazali masih dibawah dosa golongan yang pertama.

    Sa’id memperkuat pendapat al-Ghazali. Ia mengatakan, tujuan melakukan riya’ hanya untuk mendapatkan bagian dunia yang dibolehkan, misalnya harta atau menikahi perempuan cantik atau perempuan yang mempunyai kedudukan yang mulia. Seperti orang yang menampakkan kesedihannya, tangisan dan sibuk memberikan nasehat dan peringatan agar diberikan harta dan bisa menikahi dengan seorang perempuan, kemudian ia bermaksud untuk menikahi perempuan tersebut atau bahkan ia bertujuan untuk menikah perempuan mulia secara umum. Atau seperti orang yang ingin menikahi seorang anak perempuan yang ahli dalam agama yang ahli beribadah,. Kemudian ia menampakkan ilmu dan ibadahnya agar dinikahkan dengan anak perempuannya. Ini adalah perbuatan riya’ yang terlarang karena merupakan perbuatan mencari kesenangan hidup dunia melalui ketaatan terhadap Tuhan. Tetapi tingkatan tujuan perbuatan riya‟ semacam ini masih dibawah tingkatan perbuatan riya‟ yang pertama. Sebab apa yang ia cari dengan melakukan perbuatan yang dibolehkan.

    Begitu juga Ahmad Farid menjelaskan tujuan riya’ yang kedua ini yakni ingin mendapatkan dunia, misalnya ingin memperoleh harta atau agar ia bisa dinikahkan dengan seseorang perempuan. Ia akan menampakkan ilmu dan ibadahnya agar disukai di dalam pernikahannya juga agar ia diberikan sebuah harta. Riya’ yang seperti ini sangat terkutuk, tetapi lebih ringan dari riya’ yang pertama, karena ia meminta kesenangan dunia melalui cara ketaatan kepada Tuhan.

  • Tujuan riya’ yang ketiga menurut al-Ghazali ialah bukan untuk memperoleh atau ingin mengawini perempuan, tetapi ia memperlihatkan amal ibadahnya dengan cara yang sangat baik. Ia bermaksud agar jangan ada orang yang menganggap dirinya kurang, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia bukan termasuk golongan yang ahli zuhud atau golongan yangkhusus.

    Ia merasa takut derajatnya disamakan dengan kebanyakan orang. Seperti orang yang biasanya biasanya berjalan dengan cepat-cepat, tetapi setelah ada orang lain yang melihat dirinya, tiba-tiba ia berjalan dengan sangat berlahan sekali dan ia pun mrubaht gaya berjalannya dengan cara yang baik. Tujuannya agar tidak dinamakan orang yang tergesah-gesah, dan ia agar dianggap sebagai orang yang tenang dan khusyu’ dalam berperilaku.

    Sa’id juga mengatakan, riya’ yang ketiga ini tidak ada tujuannya untuk mendapatkan harta atau pernikahan, tetapi ia menampakkan perbuatan ibadahnya karena ia mempunyai rasa takut dipandang kurang atau dianggap sebagai orang khusus dan zuhud, atau ia mempunyai rasa takut dianggap sebagai orang biasa. Seperti orang yang berjalan tergesah-gesah, lalu setelah dilihat oleh orang lain ia berjalannya biasa saja agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak mempunyai wibawa.

    Farid menguatkan pendapat al-Ghazali dan Sa’id, riya yang tidak dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu, seperti ingin mendapatkan harta atau ingin dinikahkan. Akan tetapi ia menampakkan ibadahnya karena ia merasa takut kekurangannya terlihat oleh orang lain, dan tidak dianggap sebagai orang yang memiliki kekhususan dalam ibadah dan kezuhudan, sehingga ia akan dianggap sebagai orang awam pada umumnya.

    Termasuk riya’ yang tidak ada tujuan untuk mendapatkan harta dan mengawini ialah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali lagi, orang yang habis ketawa terbahak-bahak atau sedang bersenda gurau, kemudian karena merasa takut dilihat orang dengan pandangan penghinaan, lalu segera diikutinya perbuatan tadi dengan membaca istighfar atau bernafas yang sangat panjang serta menunjukkan seolah-olah ia merasa sangat sedih karena telah melakukan perbuatan seperti tadi.

    Tujuan membaca istighfar dan menarik nafas sangat panjang tersebut menurut al-Ghazali hanyalah sebagai cara untuk mencari alasan agar tidak memperoleh ejekan atau hinaan dari orang-orang. Juga ia bermaksud supaya dianggap sebagai orang yang khusyu‟, berwibawa, tenang, dan tentram.

Perbuatan-perbuatan riya’ tersebut merupakan tindakan-tindakan riya’ akan akan mendatang kerugian dan bencana bagi dirinya sendiri. Apabila semuanya itu dilakukan oleh seseorang, maka semuanya itu akan menguatkan sifat riya’ yang ada di dalam hatinya.

Oleh sebab itu, seseorang harus ikhlas dalam mengerjakan segala perbuatannya, karena orang yang mengerjakan dengan niat ikhlas, bagaimanapun pandangan orang lain terhadap dirinya tidak akan dihiraukannya. Ia melakukan amal ibadahnya hanya mencari keridhaan Tuhan.

Referensi
  • Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999).
  • Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, (Jakarta: Republik, 2012).
  • Al-Ghazali, Membersihkan Hati dari Akhlak yang Tercela, Penerjemah Ahmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, tt).
  • Al-Ghazali, Menuju Mukmin Sejati , Penerjemah Abdullah bin Nuh, (Bogor: Fenomena, 1986).
  • Abdullahbin Husain, Sullamal-Taufỉq, (Surabaya: Kharisma, tt).
  • Muhammad Ali Ba‟athiyah, Suluk: PedomanMemperoleh Kebahagiaan Dunia- Akhirat, Penerjemah Hasan Suaidi, (Bantul: CV. Layar Creativa Mediatama, 2015).
  • Muhammad Nawawi, Terjemah Maraqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al- Hamid, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010).
  • Sa’id Hawa, Menyucikan Jiwa , Penerjemah Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2013).

Berikut adalah penjelasan tentang Riya’ menurut Syaikh Abu Ja’far. Syaikh Abu Ja’far adalah seorang guru dari seorang sufi besar abad ke-3 H, yakni al-Muhảsibi. Walaupun beliau tidak secara langsung menulis hasil pemikirannya, namun pemikiran-pemikirannya itu ditulis oleh muridnya tersebut. Di antara pemikirannya yang ditulis oleh muridnya adalah tentang riya’.

Beliau memberi pengertian riya’ ialah suka mendapatkan pujian dari orang banyak atas perbuatan baik yang telah ia lakukan.Riya’ adalah salah satu penyakit hati yang bisa menyerang setiap orang yang beramal dan beribadah. Penyakit yang satu ini bisa merusak bahkan menghancurkan nilai amal ibadah seseorang, walaupun seseorang tersebut sudah banyak melakukan amal perbuatan dan ibadah, namun semuanya akan menjadi tidak berharga. Orang tersebut tidak mendapatkan balasan dari Tuhan, yakni ia tidak bisa merasakan hasil atau buah dari apa yang telah ia kerjakan baik di dunia maupun di akhirat.

Sumber dari sifat riya’ menurut beliau ialah mencintai dunia. Dunia memiliki dua sisi, yakni sisi lahir dan sisi batin. Sisi batin dunia menurut beliau ialah menuruti ajakan hawa nafsu, seperti sombong, dendam, iri hati, riya’, buruk sangka, jelek nurani, cari muka, suka dipuji, cinta harta, bersaing dalam kekayaan, saling membanggakan dirinya, dan cinta kedudukan. Adapun sisi lahirnya ialah harta, pakaian, rumah, pelayan, kendaraan, dan semua materi yang mendatangkan kenikmatan sesaat. Para pecinta dunia hanya akan mendapatkan celaan dan memutuskan dirinya dari akhirat.

Menurut al-Muhảsibih, kecintaan terhadap dunia sebuah pangkal dari setiap yang bertentangan dengan akhirat, dan yang menjadi sasaran empuk dari tipu daya setan untuk merusak umat dan menyia-nyiakan batasan-batasan hukum agama.

Al-Muhảsibi melanjutkan, cinta dunia merupakan pangkal dari bencana dan sumber dari setiap kesalahan. Bermula dari sinilah para manusia mengabaikan hak-hak Tuhan dan menelantarkan hukum-hukum-Nya, berupa perintah shalat, puasa, zakat, serta seluruh kewajiban yang lainnya.

Menurut beliau, ketika seseorang sudah menggandrungi dunia, maka ia akan lebih senang untuk tinggal bersamanya. Ia ingin tinggal di dunia selama- lamanya, mempopulerkan kedudukannya, mendapatkan pujian, dan namanya akan selalu disebut dengan kebaikan. Ia juga ingin membangun citra kelompoknya di kalangan para pengikutnya agar namanya semakin terkenal.

Al-Muhảsibi melarang manusia agar jangan sampai terpedaya oleh setan dan wakil-wakilnya di antara manusia hanya karena alasan yang lemah di sisi Tuhan. Sesungguhnya mereka itu adalah orang yang rakus terhadap dunia lalu mereka mencari-cari alasan untuk diri mereka.

Menurut beliau, ada tiga hal yang menjadi tanda orang yang berbuat riya’, yakni jika berada di tengah orang banyak ia akan giat, jika ia sendirian maka ia merasa malas untuk mengerjakannya, dan terakhir ingin mendapatkan pujian dala segala tindakan.

Sedangkan Sayyid Muhammad Nuh memperkuat pendapat beliau tentang tanda orang yang melakukan perbuatan riya’. Ia juga membagi tanda orang yang berbuat riya ada tiga pula. Di antaranya:

  • Pertama , Rajin dan melipat gandakan ketika sedang mengerjakan perbuatan amal baik bila ia mendapat pujian, tetapi ia akan malas mengerjakannya dan enggan melakukan amal baik kalau tidak mendapatkan pujian.

  • Kedua , rajin dan suka melipat gandakan perbuatan baik jika ia berada di antara kerumuan orang banyak, tetapi ia merasa malas berbuat kebaikkan ketika sedang sendirian atau jauh dari kerumuan orang banyak.

  • Ketiga , tidak melanggar larangan Tuhan jika berada di antara orang banyak, tetapi ia akan melanggarnya ketika ia sedang berada sendirian atau jauh dari orang banyak.

Faktor yang menjadi penyebab seseorang yang melakukan riya ialah karena kurangnya pengetahuan tentang Tuhan. Orang yang bodoh atau kurang mengenal Tuhan bisa menjadi penyebab seseorang tidak mengagungkan atau menghormati hukum-hukum Tuhan, Ia menganggap kalau dirinya mampu memberikan kerusakan dan kemaslahatan. Dari sini ia pun cenderung ingin memperlihatkan (riya’) amal perbuatan baiknya kepada orang-orang, agar orang lain memberikan sesuatu terhadap dirinya.

Perbuatan tamak juga bisa menjadi faktor penyebab seseorang untuk berbuat riya’. Tamak terhadap materi yang ada pada diri orang lain dan menginginkan dunia bisa membuat seseorang berbuat pamer (riya’). Agar orang lain mempercayainya, hati orang lain menjadi lunak, dan akhirnya mereka memberikan sesuatu terhadap dirinya. Ia pun akan memperlihatkan amal baiknya.

Referensi
  • Abdul Qadir al-Jailani , Renungan Sufi, Penerjemah Kamran As’ad Irsyadi.
  • Al-Muhảsibi, Menuju Hadirat Ilahi, Penerjemah Tholib Anis, (Bandung: Al-Bayan, 2003).
  • A. Ilyas Ismail dkk, Ensiklopedi Tasawuf, ed. Heri MS Faridy dkk, (Bandung: Angkasa, 2008).
  • Al-Muhảsibi, Nasihat-nasihat Sang Sufi, Penerjemah Saifuddin Zuhri, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000).

Kata riya berasal dari bahasa Arab Arriyaa’u yang berarti memperlihatkan atau pamer, yaitu memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, baik barang maupun perbuatan baik yang dilakukan, dengan maksud agar orang lain dapat melihatnya dan akhirnya memujinya.

Kata lain yang mempunyai arti serupa dengan riya ialah sum’ah. Kata sum’ah berasal dari bahasa Arab Assum’atu atau Sum’atun yang berarti kemasyhuran nama, baik sebutannya. Orang yang sum’ah dengan perbuatan baiknya, berarti ingin mendengar pujian orang lain terhadap kebaikan yang ia lakukan. Dengan adanya pujian tersebut, akhirnya masyhurlah nama baiknya dilingkungan masyarakat.
Dengan demikian, pengertian sum’ah sama dengan riya. Orang yang riya berarti juga sum’ah, yakni ingin memperoleh komentar yang baik atau pujian dari orang lain atas kebaikan yang dilakukan.

Riya adalah melakukan amal bukan karena mengharap ridha Allah, tetapi mencari pujian dan memasyhurkan dimata manusia.

Riya merupakan bentuk syirik kecil yang dapat merusak dan membuat ibadah serta kebaikan yang dilakukan tidak bernilai dihadapan Allah. Sikap ini muncul karena orang tak paham tujuan ibadah dan amal yang dilakukan. Dalam Islam, setiap ibadah, amal, dan aktifitas lainnya harus dilakukan demi mencari ridha Allah SWT.

Riya muncul akibat kurang iman kepada Allah dan hari akhirat serta ketidak jujuran menjalankan agama. Ia beribadah kerana ingin dipandang sebagai orang taat dan saleh. Sikap riya sangat merugikan karena kebaikan dan ketaatan yang dilakukan tidak bernilai di sisi Allah.

Macam-macam riya sebagai berikut:

  1. Riya dalam niat

    Maksudnya adalah berniat sebelum melakukan pekerjaan agar pekerjaan tersebut dipuji oleh orang lain. Padahal niat sangat menentukan nilai suatu pekerjaan. Jika pekerjaan baik dengan niat karena Allah, maka perbuatan itu mempunyai nilai di sisi Allah, dan jika perbuatan itu dilakukan karena hal lain seperti ingin mendapat pujian, maka perbuatan itu tidak memperoleh pahala dari Allah SWT.

  2. Riya perbuatan

    Contoh perbuatan ini seperti ketika akan mengerjakan shalat, seseorang akan tampak memperlihatkan kesungguhan dan kerajinan, namun alasannya takut dinilai rendah dihadapan guru dan orang lain. Dia melaksanakan shalat dengan khusuk dan tekun disertai harapan dan mendapat perhatian, sanjungan, dan pujian dari orang lain. Orang yang riya dalam shalat akan celaka.

    Firman Allah SWT, dalam surat Al Nisa’ ayat 142 :

    Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (Q.S. Al-Nisa’ 142.)

Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat riya dalam perbuatan yaitu sebagai berikut :

  1. Tidak akan melakukan perbuatan baik seperti bersedekah bila tidak dilihat orang.

  2. Beribadah hanya sekadar ikut- ikutan. Hal itu pun dilakukan jika berada di tengah- tengah orang banyak. Sebaliknya, ia akan malas beribadah bila sedang sendirian.

  3. Terlihat tekun dan bertambah motivasinya dalam beribadah jika mendapat pujian Sebaliknya, mudah menyerah jika dicela orang.

  4. Senantiasa berupaya menampakkan segala perbuatan baiknya agar diketahui orang banyak.

Semua pelaksanaan ajaran agama adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik yang berupa pelaksanaan perintah maupun meninggalkan larangan. Setiap pelanggaran terhadap larangan agama, pasti berakibat buruk bagi pelakunya.

Suatu ibadah yang tercampuri oleh riya, maka tidak lepas dari tiga 3 keadaan:

  1. Yang menjadi motivator dilakukannya ibadah tersebut sejak awal adalah memang riya seperti misalnya seorang yang melakukan sholat agar manusia melihatnya sehingga disebut sebagai orang yang shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Yang seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.

  2. Riya tersebut muncul di tengah pelaksanaan ibadah. Yakni yang menjadi motivator awal sebenarnya mengharapkan pahala dari Allah namun kemudian ditengah jalan terbersitlah riya.

  3. Riya tersebut muncul setelah ibadah itu selesai dilaksanakan. Yang demikian ini maka tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi.

Referensi
  • Ibrahim, Membangun Akidah dan Akhlaq Kelas VII , (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), Jilid I.
  • Arif Supriono, Seratus Cinta Tentang Akhlaq, (Jakarta: Replubika, 2004).

Riya’


Kalimat riya’ di ambil dari asal kata ru’yah yang artinya seseorang menyukai jika dilihat oleh orang lain. Lalu dirinya beramal sholeh dengan tujuan supaya mereka memujinya.

Perbedaan antara riy’a dengan sum’ah adalah kalau riya’ dari amal perbuatan yang kelihatannya dilakukan karena Allah Shubhanahu wa ta’alla namun bathinnya berniat supaya diperhatikan orang, seperti halnya orang yang sedang melakukan sholat atau bersedekah. Adapun sum’ah ialah memperdengarkan perkataannya yang secara dhohir untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla namun, dirinya mempunyai tujuan untuk selain -Nya, seperti halnya, orang yang sedang membaca al-Qur’an atau berdzikir, berceramah, serta lainnya dari amalan lisan.

Tujuan orang yang berbicara tadi adalah supaya didengar perkataannya oleh orang lain sehingga mereka memujinya seraya mengatakan dirinya luar biasa dalam menyampaikan materi, atau khutbahnya sangat mengena, atau suaranya sungguh indah tatkala membaca al-Qur’an…demikian seterusnya. Adapun makna ra’allah dan sam’a dalam hadits diatas, dijelaskan oleh beberapa ulama :

‘Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan membuka aibnya kelak pada hari kiamat’.

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Abu Hindun ad-Daari radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :

" Barangsiapa yang berdiri karena riya’ dan sum’ah, maka Allah akan membuka serta memperlihatkan aibnya kelak pada hari kiamat ". HR Ahmad 37/7 no: 22322.

Dan riya’ ini bisa terjadi, ada kalanya ketika seseorang menginginkan supaya dipuji dan disanjung sama orang lain, bahkan bisa terjadi manakala dirinya berusaha menghindar dari celaan mereka. Seperti halnya, seseorang yang memperbagusi sholatnya supaya tidak dikatakan sholatnya ngebut, cepat sekali. Atau ingin menguasai kepunyaan orang lain.

Yang membenarkan hal tersebut adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita :

" Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berangkat ke medan jihad karena pemberani, atau karena membela negerinya, atau supaya dilihat orang, manakah ketiga orang tersebut yang telah berjihad dijalan Allah? Maka beliau menjawab: "Barangsiapa yang berjihad supaya kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah orang yang berjihad dijalan Allah ". HR Bukhari no: 2810. Muslim no: 1904.

Perkataan penanya: " Karena pemberani ". Maksudnya dirinya berangkat jihad supaya dikenal dan dikenang sebagai seorang pemberani. Adapun ucapannya: " Berperang untuk membela ". Maksudnya perangnya bertujuan untuk membela keluarga, atau kabilah, kerabat, atau temannya.

Atau kemungkinan kedua maksud ucapannya bisa diartikan berperang untuk membela diri dari mara bahaya. Sedangkan ucapannya: " Berperang supaya dilihat ". Maksudnya supaya dilihat kedudukannya dimata manusia. Orang pertama jelas, adapun orang kedua karena dirinya sum’ah sedangkan yang terakhir karena riya’, maka semuanya tercela.

Dan riya’ ini sejatinya adalah syirik yang tersembunyi. Seperti diterangkan dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Mahmud bin Labid radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar dari rumahnya, lalu bersabda :

" Wahai manusia, hati-hatilah kalian dari kesyirikan yang tersembunyi". Maka para sahabat bertanya: "Wahai Rasulallah, apa kesyirikan yang tersembunyi itu? Beliau menjawab: "Seseorang yang berdiri mengerjakan sholat, lalu dirinya memperbagusi sholat dengan sungguh-sungguh tatkala ada manusia yang melihat kepadanya. Itulah yang dinamakan syirik yang tersembunyi ". HR Ibnu Khuzaimah 2/67 no: 937. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam shahih Targhib wa Tarhib 1/119 no: 31.

Hanya saja dinamakan riya’ dengan perbuatan syirik yang tersembunyi, dikarenakan pelakunya menampakan dimata orang lain amalannya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla , namun dirinya mempunyai tujuan untuk selain -Nya atau bahkan untuk yang disekutukan. Dan dirinya memperbagusi sholat untuknya, sedangkan niat, tujuan serta amalan hati itu tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla .

Bahaya Riya’:


Riya’ juga termasuk syirkun asghar (syirik kecil). Sebagaimana dipaparkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari sahabat Mahmud bin Labid radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

" Sesungguhnya tidak ada yang paling aku khawatirkan atas kalian dari pada syirik kecil". Para sahabat bertanya: "Apa syirik kecil itu wahai Rasulallah? Beliau berkata: "Riya’. Allah ta’ala kelak akan berkata pada hari kiamat apabila manusia telah menerima balasan selaras amalannya masing-masing: ‘Pergilah kalian kepada orang- orang yang kalian berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu lihatlah apakah kalian menjumpai disisinya balasan ?! HR Ahmad 39/39 no: 2363.

Artinya amalan orang yang berbuat riya’ itu hilang, di mana kelak pada hari kiamat mereka disuruh untuk mendatangi orang- orang yang dirinya berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu dikatakan padanya: 'Lihatlah apakah kalian mendapati ganjarannya ". Maksudnya mereka-mereka yang kalian berusaha untuk memperbagusi amalan dihadapannya ketika didunia, apakah kalian mendapati disisi mereka pahala?!.

Seorang penyair berkata dalam qosidahnya :

Tiap orang akan mengetahui seluruh perbuatannya

" Sesungguhnya tidak ada yang paling aku khawatirkan atas kalian dari pada syirik kecil". Para sahabat bertanya: "Apa syirik kecil itu wahai Rasulallah? Beliau berkata: "Riya’. Allah ta’ala kelak akan berkata pada hari kiamat apabila manusia telah menerima balasan selaras amalannya masing-masing: ‘Pergilah kalian kepada orang- orang yang kalian berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu lihatlah apakah kalian menjumpai disisinya balasan ?! HR Ahmad 39/39 no: 2363.

Artinya amalan orang yang berbuat riya’ itu hilang, di mana kelak pada hari kiamat mereka disuruh untuk mendatangi orang- orang yang dirinya berbuat riya’ padanya ketika didunia, lalu dikatakan padanya: 'Lihatlah apakah kalian mendapati ganjarannya ". Maksudnya mereka-mereka yang kalian berusaha untuk memperbagusi amalan dihadapannya ketika didunia, apakah kalian mendapati disisi mereka pahala?!.

Seorang penyair berkata dalam qosidahnya:

Tiap orang akan mengetahui seluruh perbuatannya

Jika sampai di sisi Allah yang Maha Mengetahui

Dampak terburuk dari perbautan riya’ ini adalah akan memasukan pelakunya ke dalam neraka. Sebagaimana di tegaskan dalam hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

"Sesungguhnya orang pertama yang akan dihukumi kelak pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid. Dirinya dihadapkan kepada Allah, lalu diperlihatkan nikmat sebagai balasannya, dan iapun mengakuinya. Kemudian dia ditanya: "Apa yang engkau kerjakan? Dia menjawab: “Aku terbunuh dijalan Mu sampai kiranya aku mati syahid”. Allah menyanggah: “Dusta kamu. Akan tetapi engkau berjihad supaya dikatakan pemberani, dan kamu telah mendapatkan”. Lantas orang tersebut diperintahkan supaya diseret wajahnya hingga dicemplungkan ke dalam neraka.

Kemudian seseorang yang mempelajari ilmu lalu mengajarkannya, dan membaca al-Qur’an. Dirinya didatangkan menghadap Allah, lalu diperlihatkan nikmat-nikmat yang akan diperolehnya, dan ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya: "Apa yang engkau dulu kerjakan? Ia menjawab: “Aku belajar ilmu lalu mengajarkan pada orang lain. Dan aku membaca al-Qur’an untuk Mu”. Allah menyanggah: "Dusta kamu, akan tetapi, engkau belajar ilmu supaya dikatakan sebagai orang yang alim, dan engkau membaca al-Qur’an supaya dikatakan qori’ (ahli membaca al- Qur’an), dan kamu telah memperolehnya. Kemudian dirinya diperintahkan supaya diseret wajahnya hingga dimasukkan ke dalam neraka.

Kemudian seseorang yang telah dilapangkan oleh Allah dan dikasih berbagai macam jenis harta seluruhnya. Dirinya didatang

kepada Allah, lalu diperlihatkan nikmat-nikmat yang akan diperolehnya, dan ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya: “Apa yang dulu engkau kerjakan? Dia menjawab: “Tidak ada yang aku lewatkan satu sarana pun yang Engkau cintai supaya berinfak didalamnya melainkan pasti aku berinfak padanya untuk Mu”. Allah menyanggah: “Dusta kamu, akan tetapi, engkau melakukannya supaya dikatakan dermawan, dan engkau sudah mendapatkannya”. Kemudian diperintahkan supaya dirinya diseret wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka”. HR Muslim no: 1905.

Al-Hafidh Ibnu Rajab menjelaskan :

"Orang yang pertama kali dicemplungkan ke dalam neraka dari kalangan orang yang bertauhid diantara hamba Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah orang yang berbuat riya’ di dalam amalannya. Yang terdepan ialah orang alim, mujahid, dan penderma yang semuanya beramal karena bertujuan riya’.

Itu menunjukan bahwa perbuatan riya’ termasuk kategori perbuatan syirik, dan itu dikarenakan orang yang berbuat riya’ tidak mengetahuinya melainkan kebodohannya akan ke agungan Sang Pencipta".

Catatan:


Dalam hal ini ada dua catatan penting yang harus diperhatikan:

Pertama : Bahwa senangnya seorang hamba manakala dipuji oleh orang lain sedangkan dirinya sama sekali tidak bermaksud supaya dipuji, maka keikhlasan dirinya tidak aib sama sekali. Selagi dirinya memulai amalannya dengan ikhlas, dan keluar dari ibadah itupun rasa ikhlasnya terus mengirinya.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata :

" Pernah dikatakan kepada Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam: 'Bagaimanakah menurutmu dengan seseorang yang beramal kebajikan lalu dirinya dipuji oleh manusia? Beliau menjawab: "Itu termasuk kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin ". HR Muslim no: 2642.

Ibnu Rajab menjelaskan: "Apabila ada orang yang beramal suatu amalan karena Allah Shubhanahu wa ta’alla secara ikhlas kemudian -Dia menempatkan padanya pujian yang baik dihati orang yang beriman dengan sebab amalannya tersebut, kemudian dirinya merasa bahagia dengan karunia dan rahmat serta kabar gembira

yang diberikan Allah Shubhanahu wa ta’alla padanya, maka hal tersebut tidak mengganggu keikhlasannya".

Kedua : Seorang mukmin tidak meninggalkan suatu ibadah karena orang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menuturkan:

“Bagi seseorang yang sudah punya kebiasan yang masyru’ (disyari’atkan) semisal sholat dhuha, atau sholat malam, atau yang lainnya. Maka dirinya sholat dimanapun dirinya berada. Dan tidak sepatutnya dia meninggalkan kebiasaan baiknya tersebut dikarenakan sedang berada dihadapn orang, dimana Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui dari hatinya kalau dirinya mengerjakan secara ikhlas tatkala sendirian, dan hal itu tentunya sambil dibarengi usahanya untuk selamat dari perbuatan riya’ serta perusak keikhlasannya”.

Referensi
  • I’anatul Mustafid bii Syarh Kitabut Tauhid karya Syaikh Sholeh al- Fauzan 2/90.
1 Like