Apa yang dimaksud dengan Stigma?

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

Apa yang dimaksud dengan Stigma ?

Stigma dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedian layanan kesehatan, teman sekerja, para teman dan keluarga. Stigama membuat pembatasan pada pendidikan, pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.

Stigma dapat dialami sebagai rasa malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan perencanaan masa depan (UNAIDS,2013).

Stigma adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).

Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa, 2010), stigma adalah kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksi sosial.

Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah.Dari beberapa definisi dari stigma tersebut,definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi ketika individu memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara keseluruhan.

Mekanisme Stigma

Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :

1. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung

Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik. Stigma dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempat kerja, setting pendidikan, pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major & O’Brien, 2005).

2. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy

Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.

3. Munculnya stereotip secara otomatis

Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivitas stereotip otomatis secara negatif pada suatu kelompok.

4. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu

Tipe Stigma

Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) terdapat 3 tipe stigma sebagai berikut :

  • Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh seseorang.
  • Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain sebagainya.
  • Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.

Dimensi Stigma

Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010), komponen-komponen dari stigma adalah sebagai berikut :

  1. Labeling

    Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu dipahami sebagai komponen penting dari stigma.Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu.

  2. Stereotip

    Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013) stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik tertentu dari anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

  3. Separation

    Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatka stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).

  4. Diskriminasi

    Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu.

Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi dari stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu:

  1. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik dari individu lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut. Individu yang mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya sering melakukan stigma tersebut.

  2. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu yang mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang lebih negatif dari orang lain.

  3. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain kepada individu yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi interaksi interpersonal.

  4. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau menyenangkan.

  5. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan stigma.

  6. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain. Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada bahaya fisik atau perasaan yang tidak nyaman.

Proses Stigma

Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu :

  • Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut
  • Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan menimbulkan stereotip.
  • Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda sehingga terjadi separation.
  • Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami diskriminasi.

Menurut Green (dalam Hermawati, 2005:23), alasan terjadinya stigma diantaranya:

  • Ketakutan, semua tahu HIV atau AIDS adalah penyakit infeksi yang sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya.
  • Ketidak acuhan oleh media masa, adanya pemikiran dan ketakutan serta pikiran moril pembaca tentang HIV atau AIDS.

Simanjuntak (dalam Hermawati, 2005:19) proses pemberian stigma yang dilakukan masyarakat terjadi melalui tiga tahap yaitu:

  1. Proses interpretasi, pelanggaran norma yang terjadi dalam masyarakat tidak semuanya mendapatkan stigma dari masyarakat, tetapi hanya pelangggaran norma yang diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan stigma.

  2. Proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang, setelah pada tahap pertama dilakukan dimana terjadinya interpretasi terhadap perilaku yang menyimpang, maka selanjutnya adalah proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku mennyimpang oleh masyarakat.

  3. Perilaku diskriminasi, tahap selanjutnya setelah proses kedua dilakukan, maka masyarakat memberikan perlakuan yang bersifat membedakan.

Parker dan Aggleton (2003) menekankan ada 4 tingkat bagaimana stigmatisasi terjadi pada berbagai tingkatan, yaitu

  1. Diri: berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang disebut stigmatisasi diri
  2. Masyarakat: gosip, pelanggaran dan pengasingan di tingkat budaya dan masyarakat
  3. Lembaga: perlakuan preferensial atau diskriminasi dalam lembaga- lembaga
  4. Struktur: lembaga-lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme, serta kolonialisme yang terus-menerus mendiskriminasi suatu kelompok tertentu.

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya (KBBI). Menurut Castro dan Farmer (2005) stigma ini dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedian layanan kesehatan, teman sekerja, para teman dan keluarga.

Goffman (1963) membuat konsep tentang stigma yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan secara signifikan. Goffman juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas tersebut (Goffman,1963).

Dalam teori Erving Goffman, Goffman menjelaskan keterkaitan antara self dan identity yang dimulai atas dirinya sendiri pada konsep self, melalui proses interaksi suatu individu dengan lingkungan disekitarnya. Kemudian yang berasal dari orang lain terdapat pembentukkan identitas. Identitas menurut setting sosialnya dibagi menjadi dua yaitu: virtual identity dan actual identity, dimana virtual identity diibaratkan sebagai panggung dalam sedangkan actual identity sebagai panggung luarnya.

Konsep pembentukan identitas ini merupakan konsep utama lahirnya pemikiran tentang Stigma (Ayunani, 2016) berikut dibawah ini merupakan penjelasan konsep-konsep Stigma dari Erving Goffman:

1. Self

Self disini berhubungan dengan diri individu, bagaimana individu itu sendiri melihat atau memaknai dirinya sendri, dan juga terbentuk bagaimana orang lain memandang diri kita sendiri. Hal ini terbentuk oleh proses interaksi yang dilakukan atau dialami oleh individu dengan orang lain dalam kehidupan sosial sehari-hari. Sehingga terjadi saling mempengaruhi atau pengkontruksian dari orang lain yang akan membentuk konsep diri dari individu itu sendiri dalam memandang dan memaknai dirinya. (Ayunani : 2016).

2. Identity

Goffman membagi identitas berdasarkan dua pandangan yang kemudian diberi istilah virtual social identity dan actual social identity . Virtual social identity merupakan identitas yang terbentuk dari karakter-karakter yang kita asumsikan atau kita pikirkan terhadap seseorang yang disebut dengan karakterisasi. Sedangkan actual social identity adalah identitas yang terbentuk dari karakter-karakter yang telah terbukti (Goffman, 1963 dalam Kurniawati ; 2016). Setiap orang yang mempunyai celah diantara dua identitas tersebut, kemudian distigmatisasi. Virtual identity dan actual identity merupakan dua hal yang berbeda. Bila perbedaan di antara itu diketahui oleh publik, orang yang terstigmatisasi akan merasa terkucil.

Selain itu Goffman juga mengajukan 2 konsep tentang Identitas diantaranya Personal Identity dan Self Identity .

  • Personal Identity biasanya terdapat pada pembingkaian tentang pengalaman individu oleh orang lain dan bukan oleh individu itu sendiri, tetapi pada bagaimana ia diidentifikasi oleh orang lain. Personal identity menurut Goffman mengarah pada berbagai karakteristik dan berbagai fakta yang diletakkan atau dipasangkan pada pikiran individu oleh orang lain.

    Goffman dalam hal ini memberi contoh bagaimana foto dari seorang individu dapat menampilkan image tertentu dalam pemikiran orang lain, kemudian seorang individu yang memiliki pengetahuan akan mendapatkan tempat yang istimewa dalam lingkungan pertemanannya karena ia dinilai oleh orang di lingkungannya sebagai orang yang berpengetahuan dan layak mendapat tempat istimewa (Goffman, 1963, dalam Pratikno, 2010).

  • Self Identity atau ego Identity yakni perasaan subyektif seseorang atau situasi yang dialami dan kelangsungan serta karakternya sendiri terpisah dari Personal Identity . Self Identity dari individu dapat dikatakan ber-relasi erat dengan berbagai pengalaman sosial yang mereka alami. Menurut Goffman, individu mengkonstruksikan sebuah image atas dirinya seperti apa yang dikonstruksi dan diidentifikasi oleh orang lain, walaupun ia memiliki kebebasan pada bagaimana ia mengidentifikasi dirinya dalam kesehariannya (Pratikno, 2010).

3. Stigma

Menurut Erving Goffman menyebutkan apabila seseorang mempunyai atribut yang membuatnya berbeda dari orang- orang yang berada dalam kategori yang sama dengan dia (seperti menjadi lebih buruk, berbahaya atau lemah), maka dia akan diasumsikan sebagai orang yang ternodai. Atribut inilah yang disebut dengan stigma. Jadi istilah stigma itu mengacu kepada atribut-atribut yang sangat memperburuk citra seseorang.

Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasai orang itu dari penerimaan seseorang. (Goffman, 1963 dalam Santoso ; 2016). Goffman membedakan Stigma menjadi tiga jenis yaitu :

  • Abominations of the body (ketimpangan fisik). Stigma yang berhubungan dengan cacat fisik seseorang, seperti : pincang, tuli dan bisu.
  • Blemishes of Individual Character. Stigma yang berhubungan dengan kerusakan karakter individu, seperti : homoseksualitas, pemabuk, pemerkosa, pecandu.
  • Tribal Stigma. Stigma yang berhubungan dengan suku, agama dan bangsa. (Goffman, 1963 dalam Santoso ; 2016).

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya (KBBI). Menurut Castro dan Farmer (2005) stigma ini dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedian layanan kesehatan, teman sekerja, teman dan keluarga. Stigma membuat pembatasan pada pendidikan, pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.

Stigma dapat dialami sebagai rasa malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan perencanaan masa depan (UNAIDS, 2013). Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).

Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa, 2010) menyatakan stigma adalah kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah.

Definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi ketika individu memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara keseluruhan.

Mekanisme Stigma


Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :

  1. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung
    Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik. Stigma dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempat kerja, setting pendidikan, pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major & O’Brien, 2005).

  2. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy
    Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.

  3. Munculnya stereotip secara otomatis
    Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivitas stereotip otomatis secara negatif pada suatu kelompok.

  4. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu.

Tipe Stigma


Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) mendefinisikan 3 tipe stigma sebagai berikut :

  1. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh seseorang.
  2. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain sebagainya.
  3. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.

Dimensi Stigma


Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu pada pemikiran Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma sebagai berikut :

  1. Labeling
    Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarakat tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu dipahami sebagai komponen penting dari stigma. Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu.

  2. Stereotip
    Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013) stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik tertentu dari anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

  3. Separation
    Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).

  4. Diskriminasi
    Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu.

Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi dari stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu:

  1. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik dari individu lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut. Individu yang mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya sering melakukan stigma tersebut.

  2. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu yang mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang lebih negatif dari orang lain.

  3. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain kepada individu yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi interaksi interpersonal.

  4. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau menyenangkan.

  5. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan stigma.

  6. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain. Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada bahaya fisik atau perasaan yang tidak nyaman.

Proses Stigma


Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu :

  1. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut.

  2. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan menimbulkan stereotip.

  3. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda sehingga terjadi separation.

  4. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami diskriminasi. Menurut Green (dalam Hermawati, 2005), alasan terjadinya stigma diantaranya:

  • Ketakutan, semua tahu HIV atau AIDS adalah penyakit infeksi yang sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya.
  • Ketidak acuhan oleh media masa, adanya pemikiran dan ketakutan serta pikiran moril pembaca tentang HIV atau AIDS.

Simanjuntak (dalam Hermawati, 2005) proses pemberian stigma yang dilakukan masyarakat terjadi melalui tiga tahap yaitu:

  1. Proses interpretasi, pelanggaran norma yang terjadi dalam masyarakat tidak semuanya mendapatkan stigma dari masyarakat, tetapi hanya pelangggaran norma yang diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai suatu penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan stigma.

  2. Proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku menyimpang, setelah pada tahap pertama dilakukan dimana terjadinya interpretasi terhadap perilaku yang menyimpang, maka selanjutnya adalah proses pendefinisian orang yang dianggap berperilaku mennyimpang oleh masyarakat.

  3. Perilaku diskriminasi, tahap selanjutnya setelah proses kedua dilakukan, maka masyarakat memberikan perlakuan yang bersifat membedakan.

Parker dan Aggleton (2003) menekankan ada 4 tingkat bagaimana stigmatisasi terjadi pada berbagai tingkatan, yaitu

  1. Diri: berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang disebut stigmatisasi diri.
  2. Masyarakat: gosip, pelanggaran dan pengasingan di tingkat budaya dan masyarakat.
  3. Lembaga: perlakuan preferensial atau diskriminasi dalam lembaga-lembaga.
  4. Struktur: lembaga-lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme, serta kolonialisme yang terus-menerus mendiskriminasi suatu kelompok tertentu.
Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/66581/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y

A post was merged into an existing topic: Bagaimana stigma masyarakat terhadap penderita AIDS?