Sosiologi Sastra berkembang sebagai inovasi dari pendekatan Strukturalisme yang dianggap telah mengabaikan relevansi masyarakat sebagai asal-usul dari suatu karya sastra (Ratna, 2004). Pendekatan sosiologi sastra menganggap bahwa sastra harus difungsikan sama dengan aspek kebudayaan yang lain. Selain itu, sastra juga harus dikembalikan kepada masyarakat pemiliknya, sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dengan sistem secara keseluruhan. Dalam Sosiologi Sastra karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosial budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu (Junus, 1986). Menurut Teeuw (2003), bahwa peran pembaca dalam hubungannya dengan kedudukan sosialnya perlu untuk diperhatikan.
Dalam konteks itu, Damono (2003) menyatakan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 2003).
Lebih lanjut Pradopo (1993) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra yang banyak dilakukan saat ini memfokuskan perhatiannya pada aspek dokumenter sastra yang berlandaskan gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Artinya, sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh fiktif dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Merujuk pada teori Abrams (1981) mengenai empat pendekatan dalam analisis sastra yakni ekspresif, mimetik, pragmatik (reseptif), dan objektif, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada mimetic (kesemestaan), namun dapat juga bertolak pada orientasi pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang memiliki hubungan referensial dengan karya sastra.
Rene Wellek dan dan Austin Warren (1989) membagi telaah sosiologi sastra menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan- nya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Senada dengan di atas, menurut Watt (2001) kajian sosiologi sastra mencakup tiga hal, yakni:
- konteks sosial pengarang
- sastra sebagai cermin masyarakat
- fungsi sosial sastra
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor- faktor sosial yang dapat mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Dengan mempertimbangkan bahwa Sosiologi Sastra adalah analisis karya sastra kaitannya dengan masyarakatnya, menurut Ratna (2004), model analisis yang dapat dilakukan dalam pendekatan ini meliputi tiga macam bentuk, yaitu:
-
Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan.
-
Sama dengan analisis di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarunsurnya.
-
Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh berbagai informasi, yang dilakukan dengan disiplin tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra. Adapun tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Sosiologi sastra berangkat dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang dirasakan pengarang dan yang terdapat di lingkungan sosialnya. Karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan, masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan terpengaruh oleh lingkungan sosial yang membentuk dan membesarkannya.