Apa yang dimaksud dengan Sosiologi politik atau Politics Sociology?

Sosiologi politik

Sosiologi politik adalah bagian dari sosiologi yang menganalisis proses-proses politik dalam rangka dasar sosiologi menitikberatkan pada dinamika tingkah laku politik, sebagaimana tingkah laku itu dipengaruhi oleh berbagai proses sosial, seperti kerja sama, persaingan, konflik, dan lain-lain. Isjwara (1982)

Politik adalah suatu proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan kekuasaan, khususnya Negara.
Menurut Aristoteles politik adalah usaha yang di tempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Pengertian sosilogi politik menurut para ahli adalah sebagai berikut :

  • Secara umum sosiologi politik adalah cabang ilmu pengetahuan sosiologi yang memperhatikan sebab dan akibat dari distribusi kekuatan di dalam masyarakat, dan dengan konflik-konflik social dan politik yang berakibat pada perubahan terhadap alokasi perubahan tersebut.

  • Gordon Marshal sosiologi politik adalah focus terhadap deskripsi, analisis, dan penjelasan tentang suatu Negara, suatu lembaga yang mengklaim monopoli terhadap legitimasi pengunaan kekuatan terhadap suatu wilayah di masyarakat. Sementara ilmu politik terutama membahas dengan mesin pemerintahan, mekanisme adminitrasi public, dan bidang politik formal pada pemilihan umum, opini public dan perilaku politik.

  • Genealogy of morality sosiologi politik adalah upaya untuk memahami dan campur tangan ke dalam hubungan yang selalu berubah antara social dan politik.

Kesimpulannya adalah sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando di dalam semua masyarakat, dan membedakan antara penguasa dan yang di atur dalam masyarakat.

Hubungan Sosiologi dan Politik


Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari seluruh seluk beluk yang berhubungan dengan sosial. Banyak aspek yang dipelajari dalam ilmu sosiologi dimana berkait dengan kehidupan sosial, hubungan antar sesama, kekeluargaan, kasta, rumpun, bangsa, agama dan asosiasi kebudayaan, ekonomi dan organisasi politik.

Pada dasarnya ilmu sosiologi sangat berkaitan erat dengan ilmu politik karena pada dasarnya perlu dipahami mengenai ruang lingkup penelaahan masing-masing ilmu. Misal: ilmu sosiologi mempelajari proses proses yang terjadi di antara masyarakat. Sedangkan ilmu politik berhubungan dengan pembentukan kekuasaan dan alokasi kekuatan. Dari situ bisa bisa didapat gambaran bahwa kedua ilmu tsb saling berkait. Misal, dalam sosiologi ada penelaahan tentang profil sosial, nah hal itu digunakan dalam ilmu politik untuk menelaah misalnya: kelompok sosial yag bersifat apatis terhadap politik, anomie terhadap politik, kecenderungan suatu kelompok sosial untuk bereaksi terhadap suatu keputusan politik.

Sosiologi politik pada dasarnya merupakan suatu kajian yang mencoba menghubungkan antara ilmu sosiologi dengan ilmu politik. Misalnya, secara teori maupun konsep dalam ilmu sosiologi menekankan pada aspek struktur dan hubungan sosial, dan dalam ilmu politik menekankan pada aspek kekuasaan, maka sosiologi politik mencoba menghubungkan kedua aspek tersebut ke dalam suatu kajian.

Menurut Bottommore (1983), sosiologi politik menaruh perhatian terhadap masalah kekuasaan. Adapun objek utama sosiologi politik adalah dan seharusnya, sebagai berikut :

  • Fenomena kekuasaan di tingkat masyarakat yang inklusif (baik masyarakat itu merupakan suku, negara, kerajaan, ataupun jenis lainnya);

  • Hubungan-hubungan di antara masyarakat-masyarakat tersebut;

  • Gerakan sosial, organisasi, dan lembaga yang secara langsung terlibat dalam penentuan kekuasaan tersebut.

Karena dalam suasana inilah kekuasaan nampak dalam bentuknya yang paling murni dan jelas, dan hanya dari sudut pandang inilah segala manifestasinya dalam berbagai bentuk dapat dipahami secara optimal.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Duverger (1993) mengemukakan bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsepsi ini berasal dari perbedaan antara yang memerintah ( governants ) dan yang diperintah ( governes ). Setiap kelompok masyarakat dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang sifatnya cuma sekejap mata saja sampai kepada yang paling stabil, ada orang yang memerintah dan mereka mematuhinya, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang mentaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut.

Apa persamaan dan perbedaan antara ilmu politik dengan sosiologi politik?

Menurut Bandix dan Lipset dalam Sulistyo (1990), jika dilakukan perbandingan, maka akan terlihat:

  • Keduanya membahas distribusi dan olahan ( exersice ) kekuasaan di masyarakat;

  • Ilmu politik melakukan pemilihan kelembagaan bagi distribusi dan olahan kekuasaan, sedangkan sosiologi politik tidak. Sosiologi politik menganggap hal ini sebagai sesuatu yang memang sudah ada ( given state );

  • Pembahasan dalam ilmu politik mulai dengan negara dan menguji bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat, sedangkan sosiologi politik beranjak dari titik pijak sebaliknya, yaitu mulai dengan masyarakat dan menguji pengaruhnya terhadap negara (pemerintah).

Dari gambaran yang dikemukakan Bandix dan Lipset tersebut, Sulistyo mengemukakan bahwa rumusan pembahasan sosiologi politik adalah mengkaji hubungan kekuasaan dan struktur masyarakat. Kemudian fokus kajian sosiologi politik mulai memperoleh penajaman, dengan telaahan tentang bagaimana persoalan sosial mempengaruhi proses politik, atau melihat persoalan-persoalan politik dengan sudut pandang masyarakat.

Selanjutnya, pada bagian lain Sulistyo mengemukakan bahwa untuk kepentingan pengajaran, ada beberapa topik yang relatif selalu muncul di berbagai buku teks sosiologi politik berdasarkan beberapa kesamaan yang relatif sama, yaitu; demokrasi, bentuk kekuasaan (oligarki), struktur kekuasaan-masyarakat industri, partisipasi politik , dan struktur kekuasaan- masyarakat berkembang.

  • Pertama, Demokrasi. Pembahasan tentang demokrasi agaknya tak banyak berbeda dengan yang pada umumnya dilakukan dalam kajian ilmu politik. Tetapi, sosiologi politik menekankan pembahasannya pada keterkaitan antara bentuk-bentuk dan tipe demokrasi dengan masyarakat atau komunitas yang menyelenggarakannya . Dengan demikian, pembahasan ditelusuri melalui sejarah pemikiran sejak “demokrasi Yunani yang ditetapkan di Athena pada sekitar abad ke-5 SM, sampai penafsirannya pada masa modern. Karena kajian terkait pada struktur masyarakat yang menerapkan “konsep demokrasi” tersebut, maka pembahasan sosiologi politik berkepentingan, misalnya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana penafsiran tentang “demokrasi” oleh suatu masyarakat? mengapa konsep yang relatif berhasil di suatu masyarakat, sementara di masyarakat yang lain mengalami kegagalan? apakah terdapat struktur tertentu yang membedakan tingkat keberhasilan demokrasi? dan sebagainya.

  • Kedua, Oligarki. Ini merupakan tipe klasik suatu bentuk kekuasaan. dalam konteks negara modern, tipe klasik atau pengertian-pengertian dasar dari bentuk-bentuk kekuasaan seperti tirani dan oligarki, sudah tidak ada lagi. Penyebabnya, pada sistem pemerintahan negara modern telah ada peluang bagi sedikit orang untuk memberontaknya. Namun, topik mengenai oligarki dan kaitannya dengan struktur masyarakat yang membentuknya akan dapat membantu pemahaman atas perbedaan tipe-tipe pemerintahan lainnya maupun demokrasi yang dijalankan oleh masyarakat tersebut.

  • Ketiga, Struktur kekuasaan-masyarakat industri. Di lihat dari lokus (tempat)-nya, struktur kekuasaan pada masyarakat industri dapat dihampiri dengan dua pendekatan, yaitu: (a) pendekatan elitis , yang berasumsi bahwa locus kekuasaan sesungguhnya di tangan kaum elite masyarakat; (b) pendekatan pluralis, yang beranggapan bahwa locus tersebut ada di masyarakat . Hal ini dapat diukur antara lain dari derajat pengaruh dan tingkat kepolitikannya.

  • Keempat, Partisipasi. Jika pengertian partisipasi politik semata-mata ditekankan pada aspek-aspek keikutsertaan dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan, maka jenis dan sifat partisipasi menjadi kurang penting untuk menjadi kategori pembeda. Dengan kata lain, suatu partisipasi politik tidak selalu harus dilihat sebagai keikutsertaan secara positif. Berbagai tindakan yang bersifat pasif - seperti kasus Golput (Golongan putih) yang muncul sebagai fenomena penolakan untuk ikut pemilu sejak tahun 1971 dan seterusnya - juga dianggap sebagai bagian dari partisipasi politik. Bahkan tindakan-tindakan yang destruktif, seperti teror, juga dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik, selama tindakan tersebut dinilai berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusan.

  • Kelima, Struktur kekuasaan-masyarakat berkembang. Struktur kekuasaan di negara berkembang, dan kaitannya dengan struktur masyarakat yang membentuknya, harus dihampiri melalui pemahaman atas asal, sifat, dan konsep kekuasaan itu sendiri, serta pelaksanaan yang sesungguhnya. Berbagai pendekatan kultural maupun struktural dapat dan sering dipergunakan untuk menyusun tipologi kekuasaan. Misalnya, yang secara luas dikenal dalam pengajaran sosiologi ialah tipologi kepemimpinan yang disusun oleh Weber. Jika di Indonesia dipakai sebagai bahan rujukan, dan kesamaan tipe yang ditemui pada berbagai sistem politik di negara berkembang lainnya, cukup banyak kepustakaan mengenai hal ini. Termasuk di dalamnya apa yang disebut sebagai “sosiologi militer” yang memfokuskan kajian pada keterlibatan militer dalam politik.

Sosiologi politik berasal dari dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai disiplin ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Istilah sosiologi pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosophie Positive, jilid IV (Duverger, 2005). Secara sederhana sosiologi berarti studi tentang masyarakat, tetapi dalam praktiknya sosiologi berarti studi tentang masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Comte dan juga Spencer (1820-1903) seorang pendiri lainnya (Rush & Althoff, 2005), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analis sosiologis, sedangkan bermacam-macam lembaga, seperti keluarga, dan lembaga-lembaga politik, ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara lembaga-lembaga tersebut merupakan sub-unit dari analisis. Para sosiolog modern mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial” (Johnson, 1961, dalam Rush, 2005) dan “studi mengenai interaksi-interaksi manusia dan interelasinya” (Ginsburg, 1934, dalam Rush 2005). Dari sudut pandang ini sosiologi memberikan pusat perhatian pada tingkah laku manusia. Tingkah laku yang dimaksud bukan tingkah laku individual dan tingkah laku kolektifnya secara terpisah dari masyarakat karena hal ini merupakan bidang kajian psikiatri dan psikologi, melainkan tingkah laku manusia, baik individu maupun kolektif, dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian, menurut pandangan sosiologi modern, sosiologi adalah studi mengenai tingkah laku manusia dalam konteks sosial.

Dari uraian di atas, dapat kita ikhtisarkan beberapa pengertian sosiologi sebagai berikut.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, dan

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, baik individu maupun kelompok dan relasinya dengan masyarakat, atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial.

Setelah Anda memahami apa itu sosiologi selanjutnya Anda perlu memahami apa itu politik . Banyak batasan mengenai apa itu politik. Beragamnya batasan ini sangat tergantung dari sudut pandang para pembuat batasan itu masing-masing. Para pembuat batasan hanya meneropong satu aspek atau unsur saja dari politik. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan kita untuk memahami apa itu politik. Namun demikian, untuk memberikan gambaran kepada Anda mengenai apa itu politik, berikut akan diuraikan konsep-konsep pokok yang mendasari perumusan batasan mengenai politik.

Miriam Budiardjo (2003) mengemukakan bahwa konsep-konsep pokok mengenai politik adalah negara ( state ), kekuasaan ( power ), pengambilan keputusan ( decision making ), kebijakan ( policys belied ) dan pembagian ( distribution ) atau alokasi ( allocation ). Secara terurai Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan. Dalam melaksanakan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum ( public policies ) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu perlu dimiliki kekuasaan ( power ) dan kewenangan ( authority ) yang akan dipakai baik, untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.

Penjelasan yang lebih kurang sama dikemukakan oleh Rush dan Althoff (2005) mengenai esensi dari politik. Menurutnya batasan mengenai politik bermacam-macam. Politik bisa diartikan sebagai proses penyelesaian dari konflik-konflik manusia atau proses dengan mana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu; atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai tertentu; atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.

Namun demikian, menurut Rush dan Althoff meskipun politik itu memiliki batasan yang bermacam-macam, akan sangat membantu apabila menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi politik. Batasan ini juga disepakati oleh Duverger (2005), dan beberapa pakar lainnya. Dengan demikian, tampaknya kita menyepakati bahwa politik dibatasi sebagai masalah kekuasaan, dan tentunya kita pun sepakat pula membatasi ilmu sebagai ilmu politik sebagai ilmu tentang kekuasaan.

Dua pengertian, yaitu sosiologi dan politik atau ilmu politik telah Anda pahami dengan baik. Selanjutnya, Anda perlu memahami apa itu sosiologi politik, bagaimana konsepsi dasarnya. Apakah pengertiannya merupakan gabungan dari pengertian sosiologi dan pengertian politik atau memiliki pengertian tersendiri. Uraian berikut akan memberikan pemahaman kepada Anda.

Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu Negara


Menurut Duverger (2005) konsep ini mempergunakan kata politik dalam

konotasi yang berhubungan dengan negara. Kata negara di sini dimaksudkan untuk mengartikan kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Pertama negara bangsa (nation-state) dan kedua negara pemerintah (government-state) . Negara bangsa menunjukkan masyarakat nasional, yaitu komunitas yang muncul pada akhir Zaman Pertengahan dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi. Negara Pemerintah menunjukkan pada penguasa dan pemimpin dan masyarakat nasional ini. Mendefinisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dalam pengertian ini berada dalam kategori yang berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi kota, sosiologi agama, sosiologi etnik atau kelompok-kelompok minoritas.

Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu tentang Kekuasaan


Konsep yang diuraikan di atas merupakan konsep tua dari sosiologi

politik, demikian Duverger (2005) mengatakan. Selanjutnya dia mengatakan, konsep yang lebih modern menganggap bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando di dalam semua masyarakat manusia, bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsepsi ini berasal dari Leon Duguit ahli hukum Prancis, yang dinamakan perbedaan antara yang memerintah ( gouverments ) dan yang diperintah ( gouvernes ) (Duverger, 2005). Dia percaya bahwa dalam setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka yang diperintah, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang mentaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada dalam setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.

Pandangan ini menempatkan sosiologi politik di dalam klasifikasi yang lain dari pengertian yang pertama, yaitu yang didasarkan bukan pada hakikat masyarakat yang dipelajari, tetapi pada jenis fenomena tertentu yang senantiasa muncul kembali pada setiap masyarakat. Dengan demikian, sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda dengan sosiologi ekonomi, sosiologi agama. Dari sudut pandang ini sosiologi politik diartikan sebagai ilmu tentang kekuasaan dalam masyarakat.

Pertanyaannya kemudian adalah kekuasaan dalam masyarakat yang bagaimanakah yang menjadi cakupan sosiologi politik? Apa dalam setiap lapisan masyarakat atau dalam lingkup masyarakat tertentu. Menjawab pertanyaan ini Duverger (2005) memberikan dua penjelasan. Penjelasan pertama dilihat dari ukuran dan kompleksitas kelompok-kelompok sosial dan kedua dilihat dari hakikat ikatan-ikatan organisatorisnya.

Menurut Duverger (2005) dilihat dari ukuran (size) dan kompleksitasnya ada dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok elementer atau kelompok kecil dan kelompok kompleks. Kekuasaan dalam kelompok yang lebih besar inilah yang ada sangkut pautnya dengan sosiologi politik, sedangkan pada kelompok-kelompok yang kecil menjadi wilayah kajian psikologi sosial. Namun, pembedaan ini dianggap kurang akurat karena teramat sulit membedakan antara kelompok-kelompok elementer dengan kelompok-kelompok kompleks. Pada kelompok-kelompok elementer pun terdapat kompleksitas tersendiri. Sebaliknya, dalam kelompok sekecil apa pun menunjukkan adanya proses diferensiasi yang menghasilkan klik, koalisi-koalisi, dan groups yang melibatkan peranan atau menggunakan kekuasaan. Berdasarkan ukuran ( size ) ini maka kajian sosiologi politik mencakup “makropolitik” yang berada dalam komunitas-komunitas yang besar dan “mikropolitik” yang berada pada kelompok-kelompok kecil.

Sementara itu, dilihat dari ikatan-ikatan organisatorisnya, masyarakat dapat dibedakan dalam masyarakat “swasta” dan masyarakat “universal”. Masyarakat swasta adalah kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan khusus dan rasa solidaritas terbatas yang masing-masing kelompok sesuai dengan kategori tertentu dari aktivitas manusia. Termasuk dalam kategori masyarakat ini, misalnya serikat buruh, organisasi olahraga, organisasi kesenian, perusahaan komersial, organisasi-organisasi profesi dan organisasi-organisasi sosial lainnya.

Masyarakat universal adalah masyarakat yang meliputi dan melebihi semua masyarakat-masyarakat swasta ini. Masyarakat universal adalah masyarakat yang memiliki kategori umum tertentu, tidak hanya didasarkan kegiatan atau aktivitas tertentu saja. Rasa solidaritas lebih besar, lebih dalam dan lebih mesra daripada masyarakat-masyarakat swasta.

Bagi sebagian penulis, kekuasaan dalam masyarakat universal merupakan objek analisis sosiologi politik bukan kekuasaan di dalam masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di dalam masyarakat swasta otoritas atau kekuasaan dianggap hanya memiliki hakikat teknis tidak mempersoalkan masalah ketergantungan individu-individu dalam hubungan dengan yang lain, suatu hal yang justru merupakan dasar dari kekuasaan.

Secara sekilas pembedaan ini tampak sesuai dengan arti populer dari “politik”. Misalnya, apabila kita membicarakan pemimpin-pemimpin politik dan pemerintah berarti membicarakan otoritas dalam masyarakat universal. Namun, apabila dikaji secara mendalam perbedaan antara masyarakat universal dan masyarakat swasta tidak bisa menjadi dasar bagi definisi sosiologi politik. Pertama , pembedaan tersebut samar-samar sifatnya. Misalnya, apakah keluarga merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta. Demikian juga apakah masyarakat agama merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta. Bagi kepala keluarga, keluarga dipandang sebagai masyarakat universal. Begitu juga bagi pemimpin agama masyarakat agama adalah masyarakat universal, namun, bagi yang lain belum tentu dipandang demikian. Kedua , ada dua paham mengenai masyarakat universal.

Paham pertama didefinisikan oleh perasaan memiliki (sense of belonging), rasa kekariban (sense of fellowship) yang mempengaruhi totalitas kegiatan manusia. Paham kedua adalah konsep lebih bersifat formal dan yuridis, yakni menganggap masyarakat universal pada masa kini sebagai nation state (negara bangsa). Sementara pada zaman lain, bisa kota, suku dan lainnya. Jika paham kedua yang dipakai maka akibatnya akan terjebak pada teori yang menyamakan sosiologi politik dengan negara.

Masyarakat mana yang menjadi kajian sosiologi politik. Apakah masyarakat universal?


Menurut Duverger (2005) hal tersebut sulit diterima jika sosiologi politik didefinisikan sebagai “ilmu tentang kekuasaan di dalam masyarakat universal” tidak lebih baik daripada didefinisikan sebagai “ilmu tentang kekuasaan di dalam negara”. Sering kali kedua ungkapan tersebut dianggap sinonim oleh yang mempergunakannya.

Agar dapat keluar dari kesulitan itu, Duverger (2005) menyarankan lebih baik melihatnya dari segi “hubungan-hubungan otoritas” (authority relationships) yang berjenis-jenis di dalam semua masyarakat, baik itu kecil atau besar sederhana atau kompleks swasta atau universal. Hubungan otoritas yang dimaksudkan adalah setiap hubungan yang tidak sama di mana seseorang atau beberapa individu menguasai yang lain dan mengarahkannya menurut kehendaknya sendiri. Pada umumnya hubungan manusia memang demikian. Dalam kenyataan sangat sedikit yang benar-benar egalitarian (sama sederajat).

Persoalannya sekarang adalah hubungan otoritas yang bagaimana yang melibatkan “kekuasaan” dalam arti yang tepat. Untuk menjelaskan masalah ini. Duverger membedakan hubungan-hubungan yang bersifat luas, yakni hubungan yang bersifat “institusional” dan hubungan dalam arti sempit yang bersifat “personal”. Kekuasaan dari sudut pandang ini adalah terdiri atas seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas yang berarti adanya dominasi beberapa orang terhadap yang lainnya. Ia bukan hubungan-hubungan sederhana yang tidak sama yang tidak memiliki sifat institusional dan tidak berasal dari institusi. Ada dua kriteria untuk membedakan institusi dengan hubungan yang bersifat sempit, pertama yang bersifat fisikal dan kedua sikap kolektif dan keyakinan. Secara fisikal hubungan yang bersifat sempit adalah hubungan manusia yang tidak terikat kepada model-model yang sudah ada terdahulu biasanya berlangsung tidak permanen, sporadis , sekejap, dan tidak stabil. Sedangkan institusi adalah model hubungan yang berlaku sebagai pola hubungan yang konkret bersifat stabil, berlangsung lama dan kohesif. Model-model institusional relatif sama dengan pengertian “struktur” dalam sosiologi modern. Struktur adalah sistem hubungan-hubungan yang tidak akan terlepas dari hubungan itu sendiri dan keasliannya ditentukan oleh hubungannya dengan model struktural. Dalam arti ini maka parlemen, menteri-menteri kabinet, kepala-kepala negara dan pemilihan umum adalah institusi.

Atas dasar keyakinan manusia, kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan oleh mereka yang mentaatinya dan mereka yang menggunakannya. Bagi mereka, hal tersebut bukan hanya fenomena fisik sebuah dominasi, melainkan juga fenomena psikologis. Dalam hal ini masalah ”legitimasi” (keabsahan atau penerimaan masyarakat) menjadi penting. Kekuasaan selalu dianggap sebagai sesuatu yang “legitimate” (sah untuk diterima) sampai tingkat tertentu. Oleh karena kita menerima kekuasaan tersebut maka sangatlah wajar bila kita mentaatinya. Kekuasaan ditaati karena kita pikir kita harus berbuat demikian karena kita percaya bahwa kekuasaannya “sah” adanya untuk ditaati. Selama ada kekohesivan stabilitas fisikal, dan adanya panutan terhadap suatu model struktural, keabsahan ini yang membedakan kekuasaan dari sekadar hubungan otoritas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah ilmu tentang hubungan kekuasaan yang legitimate dalam institusi sosial . Dalam konteks ini sosiologi politik tidak mengkaji hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat personal.