Bagaimana pendpat anda tentang “kemenangan abadi” demokrasi-liberal dari Fukuyama?

Demokrasi liberal saat ini seakan-akan merupakan ideologi yangpaling banyak digunakan oleh banyak negara, terutama negara maju. Benarkah bahwa ideologi ini akan mendpatkan “kemenangan abadi” dibandingkan ideologi-ideologi lainnya ?

Sebagian besar rezim tersebut telah tumbang, terutama dalam pertarungan politik dengan kekuatan kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS) di era Perang Dingin . Sejak memasuki 1990, setelah runtuhnya tembok Berlin, banyak yang beranggapan bahwa komunisme sudah menjadi “akhir dari sejarah”. Kekalahan kubu komunis itu dianggap oleh banyak orang sebagai kemenangan abadi kapitalisme . Namun belakangan, bersamaan dengan munculnya kecenderungan baru dalam gejala sosial-politik dunia, buku Fukuyama , The End of History, sebagai tulisan provokatif yang banyak dipercayai oleh pada akademisi, politisi, bahkan sebagian aktivis (tentang ‘akhir dari sejarah’) kini tampaknya perlu dievaluasi. Setidaknya, tesis intelektual Washington ini telah terbantahkan oleh banyak fakta dan kejadian politik global.

Ramalan Fukuyama yang dilontarkan sejak 20 tahun lalu itu adalah kisah tentang “kemenangan abadi” demokrasi-liberal (kapitalisme neoliberal) berangkat dari fakta bahwa ekonomi-politik free market telah diterima secara meluas oleh mayoritas pemerintahan di dunia waktu itu. Artikel Fukuyama yang diterbitkan pada musim panas 1989 itu menelaah kemungkinan-kemungkinan yang optimis dari tesisnya itu. Fukuyama mengatakan bahwa kemenangan ekonomi politik liberalisme dari semua pesaingnya tidak hanya berarti telah mengakhiri perang dingin, atau melewati periode sejarah tertentu, tapi juga akhir dari sejarah, yaitu titik akhir evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk final dari pengaturan manusia.

Kata Fukuyama,

“… the unbashed victory of economic and political liberalism not just the end of the cold war, or the passing of a particular period of history, but the end of history as such: that is, the end-point of mankind’s ideological evolution and the universalisation of Western liberal democracy as the fi nal form of human government.”

Sebenarnya, sanggahan terhadap tesis utopis itu bukan hanya terbantahkan dengan fakta sejarah. Secara teoretis dan akademis, juga telah banyak yang melontarkan kritik dan “kutukan”. Misalnya, dalam sebuah esai dalam bukunya Specters of Marx (1994), “Conjuring- Marxism”, bahkan intelektual Prancis, Jacques Derrida , merontokkan buku Fukuyama dengan penuh semangat, mendakwanya penuh dengan berbagai kekeliruan, mulai dari kenaifan filsafat hingga niat durjana Fukuyama dalam End of History. Kritik yang terpenting adalah bahwa Fukuyama menyamaratakan perbedaan besar antara yang ideal dan yang riil dalam kaitannya dengan demokrasi liberal. Pernyataan yang gegabah Fukuyama dalam pengantar bukunya yang terkenal itu berbunyi, “Sementara, sejumlah negara saat ini mungkin gagal menciptakan demokrasi liberal yang stabil, dan negara-negara lain mungkin justru merosot ke dalam bentuk-bentuk pemerintahan yang lain yang lebih primitif, seperti teokrasi atau kediktatoran militer, sedangkan idealitas dari demokrasi liberal tak dapat lebih disempurnakan lagi.”

Jika kita menyaksikan dan meneliti gerakan penulis kiri dewasa ini, sebenarnya kita akan mengetahui bahwa perlawanan (atau ‘pengepungan’) terhadap liberalisme-kapitalisme (neoliberalisme) menyuburkan benih-benih “sosialisme ” sebagai sistem alternatif serta “dunia lain yang mungkin” selain liberalisme—Another World is Possible. Sedangkan Derrida berkeyakinan melalui tulisannya, “Apakah mereka mengharapkannya atau mengetahuinya atau tidak, semua kaum laki-laki dan perempuan, di seluruh penjuru bumi, hingga taraf tertentu saat ini adalah pewaris Marx dan marxisme … kita tak mungkin bukan pewarisnya.”

Menurutnya, baik spirit maupun hantu, Marx akan tetap ada, tak peduli apa pun pernyataan yang dikemukakan Fukuyama dan para pengikutnya mengenai keruntuhan politik komunisme . Bukannya mengalami akhir dari sejarah, kita justru agaknya mendapatkan tempat yang lebih baik untuk menggoyahkan cita-cita demokrasi liberal yang membutakan mata (hati) begitu banyak orang akan kenyataan yang sekarang ini tengah terjadi. Pandangan Derrida, meskipun sulit untuk memastikan “Internasional Baru” menjadi perencanaan yang berhasil, lebih dari himbauan seperti dalam Specters of Marx, dapat dikatakan sebagai cerminan dukungannya akan kemanusiaan. Ia seakan menyuarakan lagi dengan nada yang kuat bahwa pesan-pesan Marxis —hantu-hantu dan lain sebagainya itu—tetap memiliki relevansi politik masa kini.

Lalu, atas dasar apa Fukuyama mengatakan bahwa kapitalisme tak akan terkalahkan dalam situasi kemacetan tenaga produksi semacam itu? Nyatanya, globalisasi kapitalisme telah meninggalkan praktik ekonomi Keynesian yang tidak mampu menanggulangi krisis yang diderita sistem borjuasi ini. Sogokan yang diberikan imperialis terhadap kelas pekerja di negara-negara maju telah diganti dengan kebijakan yang menghilangkan kesejahteraan publik. Negara telah digantikan oleh keutamaan pasar. Artinya, revisi-revisi kaum borjuis untuk mengatasi krisisnya sudah berkali-kali dilakukan. Kini, kita tiba di era perdagangan bebas, suatu epos yang dulu pernah terjadi ketika Marx masih hidup dan dapat menyaksikannya—lalu diganti dengan berbagai revisi lain. Krisisnya masih sama dalam sendi-sendi sistem ekonomi yang rapuh ini.

Orang boleh meragukan “ramalan” Marx itu dan menuduhnya sebagai suatu analisis yang berlebihan atau utopis. Kejatuhan sistem kapitalis secara global memang belum pernah terbukti meskipun “sosialisme ” pernah dan masih terjadi di sedikit negara. Bahkan, salah satu negeri (Amerika Latin), Kuba, terus bertahan sebagai negara sosialis meskipun negara AS yang mengembargonya telah berganti presiden sepuluh kali. Hal ini karena Marx pernah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa pemerintahan sosialis yang mengarah pada hilangnya kelas pernah terjadi, yaitu Komune Paris 1871 (negara kaum pekerja pertama di dunia tempat negara sempat melenyap dan kelas sosial hilang meskipun hanya berlangsung selama 3 bulan—sebelum dihancurkan oleh persekutuan kekuasaan penindas fasis-kapitalis).

Secara umum, kita akan melihat potensi kehancuran kapitalisme dan bangkitnya gerakan kelas pekerja di era globalisasi sekarang ini. Polarisasi kelas telah tercipta di tingkatan hubungan global sejak neoliberalisme dan globalisasi lahir. Globalisasi dengan perkembangan produktifnya telah membukakan kesadaran baru. Ideologi hegemoni yang telah diterapkan oleh kapitalis global (developmentalisme) pada pemecahan krisisnya sejak 1945, semakin tersibak oleh kesadaran dan cara pandang baru di kalangan banyak intelektual, mahasiswa, aktivis buruh , dan aktivis lingkungan yang semakin bertebaran. Fasilitas globalisasi berupa revolusi komunikasi yang menimbulkan perasaan satu dunia di kalangan kelas-kelas, memudahkan solidaritas perlawanan juga terjadi. Mungkin inilah mendukung keyakinan bahwa semakin matang kemacetan evolusi tenaga produksi (IPTEK) kapitalis, semakin ia mendekati kebusukannya, bagai buah jelek yang rontok dari ranting-ranting pepohonan.

Pada saat tenaga produksinya macet, kelas pekerja dan rakyat juga terus saja melakukan konsolidasi gerakan melawan ketidakadilan dan penindasan. Hal ini sesuai dengan studi William Robinson yang mengatakan bahwa “the communications revolution has facilitated global elite coordination but it can assist global coordination among popular classes. A class-conscious transnational elite is already a political actor on the world stage—a “class-for-itself”. Akan tetapi, apakah kelas yang tertindas dan tersubordinasi menjadi “ter-transnasionalisasi”, bukan hanya secara struktural, melainkan juga semakin besarnya kesadaran kelas sebagai tokoh politik global? Apakah hal itu akan menimbulkan kesadaran kelas bagi kelas pekerja secara global?— Robinson membuktikan, “There are some signs in the early 1990’s that this was beginning to occur. Popular political parties and social movements in the South began to establish diverse cross-national linkages and general awareness of the need for concerted transnational action.”

Jika kita jeli membaca situasi perekonomian global, krisis yang terjadi dalam kapitalisme global tak bisa dielakkan. Fakta-fakta secara global menunjukkan hal itu, terutama di negara-negara imperialis utama. Boom ekonomi yang telah terhenti, sampai dengan bursa saham IT tahun 2000, selain karena faktor spekulasi belaka, tetapi juga didorong oleh ekspansi semu kredit sektor konsumsi. Gelembung perekonomian kapitalis pecah dengan diawali dengan keruntuhan lembaga-lembaga kapital finansial yang mengelola pasar-pasar modal (yang tumbuh marak sejak boom ekonomi tahun 1990-an) semacam Nasdaq, Atriax (pasar modal milik Citybank), JP Morgan-Chase, Deucshe Bank, yang mengarah pada kebangkrutan bahkan sebelumnya Bondbook telah ditutup. Padahal, menurut hukum kapitalisme modern, setelah terbentuknya bursa saham, seharusnya bursa saham merupakan wadah, saluran bagi kapital yang tak bisa ditanamkan lagi pada sektor riil karena kapasitas produksi sektor riil sengaja dihentikan/diperlambat dengan adanya ekses supply (barang-barang tak menemukan pembelinya karena tidak berdaya beli).

Di Amerika, ekspansi kredit konsumsi telah mendorong hutang rumah tangga meningkat hingga 107%; di Jerman, 115%; di Jepang, 132%; dan di Inggris, 118% dibandingkan pendapatan setelah dipotong pajak. Menurut Boris Kagarlitsky, ekonom dari Rusia, pertumbuhan utang tersebut bisa dilihat, misalnya, di Amerika saja utang beragunan di tahun 2000 telah mencapai US$6,8 triliun, dan total utang negara/swasta sebesar US$13,5 triliun.

Sekalipun terjadi pertumbuhan sektor non-pertanian sebesar 2—2,5% di AS, tidak mengubah kenyataan bahwa kondisi tingkat laba perusahaan-perusahaannya terus menurun. Bahkan, untuk menghentikan penurunan tingkat laba korporat, AS dengan sengaja melemahkan nilai dolarnya agar di tengah hasrat berinvestasi di AS yang semakin merosot, harga barang dan jasanya menjadi murah/ kompetitif. Krisis berlebihan produksi (over-produksi) melanda industri baja, tekstil, dan kayu yang mendorong perang tarif AS mendorong protes karena memproteksi industri baja domestiknya sebesar 30%.

Situasi ini juga melanda industri telekomunikasi, gelembung investasinya mulai pecah. Over-kapasitasnya bisa dilihat dari tingkat produktivitas industri telekomunikasi yang mampu menyediakan kebutuhan untuk 7 tahun dalam waktu 1 tahun. Akibatnya, ironis: berbagai industri telekomunikasi mengalami kerugian besar, menyebabkan PHK besar-besaran pada buruhnya. Misalnya saja, Worldcom, perusahaan telekomunikasi terbesar di AS, menderita kerugian US$680 juta; Siemens AG telah mem- PHK 10.000 buruhnya tahun 2001, dan akan mem-PHK lagi 6.500 buruhnya; industri penyedia peralatan Nortel dan Lucent mem-PHK 5 ribu buruhnya; demikian pula MNC telekomunikasi NTT DoCoMo, yang beroperasi di berbagai negara, telah rugi sebesar 6 miliar. Selain itu, di AS juga dilakukan upaya pemangkasan terhadap kapasitas produksi walaupun telah menggelembungkan jumlah pengangguran hingga 6%. Tingkat pengangguran negerinegeri imperialis utama lainnya pun tak lebih baik, di Jerman telah mencapai angka 9,6%; di Belgia, 10,5%; di Spanyol, 12,9%; dan di Inggris, 5,2%.

Bahkan, upaya menolong korporat swasta dengan proyekproyek dari negara akan mendorong dunia ke dalam situasi yang berbahaya memberikan proyek pertahanan udara kepada sejumlah industri dirgantara AS (yang hampir bangkrut), senilai US$200 miliar, untuk proyek generasi terbaru pesawat tempur. Lalu, untuk mendorong pertumbuhan pasar bersenjata dan sekaligus untuk tujuan ideologis, dikemaslah propaganda “perang melawan terorisme”, yang tentu saja bertujuan untuk menghancurkan musuh-musuh politik AS, dan juga memaksakan praktik-praktik ekonomi-politik neoliberal di bawah AS.

Letupan-letupan krisis terus melanda perekonomian negerinegeri imperialis utama. Kasus Enron telah mendorong keraguan publik atas kondisi riil korporat-korporat AS; dengan kata lain orang semakin hati-hati berspekulasi dalam bursa saham, dan harga saham cenderung merosot. Para investor melepas saham-saham perusahaan energi, termasuk perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab memasok listrik di California itulah penyebab kekacauan listrik di California. Nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut merosot drastis hingga 20—60%, dibandingkan nilainya pada Mei 2001.

Krisis itu tidak lepas dari guncangan masa-masa sebelumnya. Pada September 1998, AS sebagai pusat perekonomian kapitalis dunia mengalami guncangan. Terdapat suatu peristiwa ketika Wallstreet mengalami kekacauan, defi sit perdagangan meningkat, angka pengangguran naik, bahkan indeks konsumen pun melemah. Beberapa pengamat menyebutnya sebagai suatu titik balik ekonomi yang sepenuhnya murni; setelah hampir tujuh tahun ekspansi, ekonomi AS mengalami penurunan tajam bahkan disebut sebagai mengalami resesi. Mungkin karena itulah, suatu tulisan dalam Newsweek (12 Oktober 1998) mengungkit kembali paragraf yang ditulis Karl Marx dan Frederich Engels 150 tahun yang lalu, “Globalisasi ekonomi adalah prelude untuk revolusi dan kaum borjuis -kapitalis global hanya akan menghasilkan kuburan bagi mereka sendiri.”

Kondisi Jepang tak lebih baik, utang luar negeri mencapai 157% dari GDP di tahun 2002 (pertengahan tahun diperkirakan mencapai 175%). Bahkan, Moody’s, lembaga rating kredit internasional telah menyejajarkan tingkat risiko kredit Jepang dengan negeri-negeri, seperti Chili, Botswana, Estonia, dan Hungaria. Tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tak bisa dicapai karena pertumbuhan sektor konsumsi justru merosot sehingga mengakibatkan defl asi yang lebih berbahaya dibanding infl asi karena mencerminkan kemerosotan daya beli masyarakat. Sementara itu, dalam perekonomian Jepang, upaya mendorong ekspor juga tak banyak membantu, hanya menyumbang 10% terhadap GDP.

Kekacauan-kekacauan ekonomi dalam negara-negara imperialis utama membawa konsekuensi-konsekuensi ekonomi dan politik secara global.

  • Pertama, kemerosotan ekonomi domestik diatasi dengan pemotongan kapasitas produksi yang mendorong PHK-PHK massal; privatisasi di negara-negara imperialis utama telah membawa kekacauan energi listrik di California, meningkatnya kecelakaan kereta api di Inggris; dan penurunan subsidi pendidikan dan kesehatan di berbagai negara imperialis utama tersebut.

  • Kedua, untuk meredam keresahan rakyat pekerja, para politisi borjuis mendorong mood politik massa ke Kanan. Misalnya, kampanye anti-imigran sebagai kambing hitam kesulitan ekonomi, juga sentimen anti- Islam/Asia. Ini adalah latar belakang kekuatan-kekuatan fasis di Eropa, Amerika, dan Australia. Pembunuhan Pim Fortuyn di Belanda telah mengangkat solidaritas kanan.

Demikian juga meningkatnya popularitas Le Penn dijadikan pembenaran kebijakan neoliberalisme -nya Chiraq. Ketiga, walaupun belum pada tingkat yang berbahaya, persaingan di antara negeri-negeri imperialis utama terus meningkat. Hal ini bisa dilihat, misalnya dalam kejadian-kejadian, seperti perang tarif baja, tekstil, hasil pertanian, kayu, dan lain-lain antar-negeri imperialis utama. Keempat, melalui lembaga-lembaga keuangan internasional, mendorong implementasi kebijakankebijakan neo-liberal di negara-negara terbelakang.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan pasar-pasar baru walaupun tanpa demokrasi sekalipun—agak berbeda dengan kampanye liberalisasi modal di awal 1980-an, yang masih banyak membawa isu demokratisasi, penegakan HAM, dan sebagainya dengan cara yang moderat; dan untuk melunakkan/memoderatkan gerakan, mereka masih menggunakan politik merendahkan intensitas konflik (low intensity conflict), yakni dengan mendukung banyak dana bagi kegiatan LSMLSM di berbagai negeri Dunia Ketiga. Pergeseran ke kanan tampak jelas dalam kasus naiknya Musharaf di Pakistan, dukungan AS atas kudeta di Venezuela, dan sebagainya.

Pertanyaannya: apakah dengan upaya yang menghalalkan segala cara dari memangkas kesejahteraan rakyat di negeri-negeri imperialis utama dan negeri-negeri berkembang, hingga aksi-aksi militer dan perang mampu menyelesaikan krisis kapitalisme di tingkatan dunia? Ternyata, tidak seperti yang diharapkan. Upaya imperialis, dari cara damai hingga aksi-aksi militer, mendapat tantangan kuat di mana-mana, tak hanya negeri berkembang dan terbelakang yang menderita efek imperialisme yang paling parah, tetapi juga rakyat di negeri-negeri imperialis tersebut. Sekali lagi, Karl Marx , dalam Manifesto Komunis, meramalkan bahwa upaya borjuis -kapitalis untuk mengatasi krisis-krisis akan menimbulkan krisis-krisis baru,

“Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru, dan menyulap pasar-pasar lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, membukakan jalan bagi krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis….”

Perlawanan kaum pekerja secara global mulai mengemuka sejak demonstrasi anti-globalisasi kapitalis di Seattle, tahun 1999, dan Genoa tahun 2001, yang terus berlanjut dengan pemogokan nasional yang melibatkan hampir 13 juta kaum buruh di Italia pada April 2002, jutaan buruh di Spanyol, dan gelombang pemberontakan di Argentina—yang semuanya itu menunjukkan gelombang baru kelas pekerja di dunia.

Gelombang tersebut menunjukkan ketidakpercayaan kelas terhadap globalisasi dan kebijakan neo-liberalisme yang sedang melanda dunia. Telah muncul kesadaran baru perlawanan kaum kelas pekerja, saat kaum buruh , kaum tani, bersama mahasiswa, melakukan perlawanan dengan melakukan demonstrasi memboikot pertemuan WTO di Seattle pada November 1999. Kesadaran baru itu tidak lepas dari kondisi material objektif sejarah, muncul akibat praktik-praktik neo-liberalisme.

Dalam L.A. Weekly, melalui tulisannya yang berjudul Less Bank—More World: First Seattle, Th en A16, 20 April 2000, Marc Cooper mencatat bahwa “awaresome student-worker-environmentalist alliance—that marriage of Teamsters and Turtles” telah membantu Pertempuran “Battle of Seattle” pada 1999 sebagai titik balik oposisi di AS terhadap globalisasi. Akan tetapi, Jessica Woodroff e dan Mark Ellis-Jones, dalam tulisannya “States of Unrest: A World Development Movement Report”, Januari 2001 (dalam harian yang sama), mengemukakan bahwa gerakan Seattle tersebut adalah suatu hal yang baru dan permulaan, yang merupakan “the tip of the iceberg”; karena “in the global south, a far deeper and wide-ranging movement has been developing for years.”

Pada 1990-an, jatuhnya popularitas pemerintahan konservatif di Eropa telah membawa kemenangan suara partai-partai Kiri dan Kiri tengah, yang mayoritas suaranya berasal dari kelas pekerja. Walaupun demikian, pemerintahan yang terbentuk pada akhirnya tidak berbeda jauh—juga menjalankan agenda-agenda neoliberal. Hanya saja, mereka menerapkan “standar minimum” pada fleksibilitas pasar, seperti yang diungkapkan dalam sebuah dokumen Partai Buruh Inggris pada 1996.

Di abad baru ini, perubahan itu menunjukkan gelombang perubahan ketiga politik kaum sosial-demokrasi, tidak hanya di Eropa, tetapi juga hampir di seluruh dunia. Pertama, terjadi pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia I , saat sosial demokrasi mengubah dirinya dari gerakan revolusioner menjadi gerakan yang bersifat reformis. Sosialisme ala Eduard Benstein di Jerman, dan kaum Fabian di Inggris, bisa dicapai dengan cara bertahap, gradual, dan dengan reformasi damai. Sedangkan, perubahan atau kemunduran yang kedua, terjadi sekitar tahun 1950-an, saat sebagian besar partai kaum kiri utama telah menanggalkan ide “pemilikan negara” sebagai basis menuju sosialisme . Ini merupakan perubahan besar karena para reformisme tradisional memandang negara hanya sebagai “organisator” bertahap menuju sosialisme.

Perubahanperubahan tersebut, misalnya dipimpin oleh politisi-politisi, seperti Hugh Gaits-kell di Inggris, dan Willy Brandt di Jerman. Yang dramatis adalah tahun 1959: sosialisme telah dihapuskan sebagai tujuan dalam program Partai Sosial Demokratik Jerman. Dalam hal ini, negara dianggap bukan lagi sebagai alat pengatur pemilikan sosial alat produksi, melainkan pengatur kapitalisme , sebagai negara welfare-state—yang, tentu saja, dipengaruhi ideologi Keynesian. Pemelintiran terhadap paham sosialisme tersebut bisa diwakili oleh pernyataan seorang Ketua Serikat Buruh Masinis, sekaligus pimpinan buruh yang cukup terkenal di Amerika pada 1980-an, yang menyebut dirinya sosialis, “Penulis menghendaki sosialisme yang membuat kapitalisme tetap berjalan.”

Negara kesejahteraan hanya bisa bertahan sampai dengan 1970- an, justru saat boom panjang ekspansi kapital telah berhasil mengeruk laba yang tidak sedikit, terutama dari eksploitasi negeri-negeri terbelakang. Sesudah masa keemasan itu berlalu, berlalu juga sogokan peredam radikalisasi rakyat. Tunjangan untuk pengangguran telah dipangkas, subsidi untuk orang miskin dipangkas, tunjangan untuk hari tua juga demikian, upah buruh dikurangi, PHK terjadi di manamana, dan kesempatan kerja semakin terbatas.

Untuk mengantisipasi kondisi ini, kaum neo-liberalis-kapitalis menyerang gerakan buruh yang terorganisasi dalam serikat buruh untuk meredam protesprotesnya akibat proses pelenyapan konsesi ekonomi yang telah diberikan pada kaum buruh di negeri-negeri kapitalis maju ini. Para korporasi bisnis menuntut revisi hukum perburuhan yang antiserikat buruh. Di AS, hak pemogokan mulai dibatasi, pemogokan di sektor strategis, seperti pelabuhan udara dibatasi, bahkan dilarang. Di Inggris pada 1980-an, pemerintahan neo-liberalis Thatcher memberlakukan Undang-Undang Serikat Buruh yang membatasi aktivitas serikat buruh. Berbagai gambaran tentang watak reformis dan aristokrat gerakan buruh tampak di mana-mana.

Akan tetapi, sejak terjadinya gelombang aksi di Seattle dan kemudian di tempat-tempat lainnya, juga karena serangan masif terhadap praktik-praktik neoliberalisme, telah terjadi perubahan dalam tubuh serikat-serikat buruh . Para pemimpin serikat buruh yang moderat dan terhegemoni oleh negara-negara neoliberal tak lagi mampu mengendalikan para anggotanya. Terjadi tingkat radikalisasi massa buruh. Di Inggris, bermunculan organisasi-organisasi tak resmi serikat buruh, juga terbitan-terbitan yang dipublikasikannya. Selain itu, bermunculan pula upaya agar massa buruh bisa mengontrol serikat pekerja mereka. Para pimpinan cabang serikat buruh berkumpul untuk menyusun taktik perlawanan berikutnya.

Di London, pimpinan buruh tingkat lokal mulai membentuk satu grup yang bernama Aliansi Sektor Publik London. Gelombang arus Kiri dalam serikat buruh ini juga tampak dalam pemilihan pimpinan serikat buruh. Beberapa kelompok Kiri berhasil memenangkan kepemimpinan dalam serikat buruh Inggris. Kumpulan-kumpulan dan kepemimpinan yang berasal dari massa buruh itulah yang mendorong semakin masifnya gelombang perlawanan kaum buruh, yang ditandai dengan rangkaian pemogokan umum serikat-serikat buruh dalam menentang privatisasi perusahaan negara dan fasilitas umum.

Gerakan perlawanan anti-globalisasi memang benar-benar mulai semarak setelah pertengahan tahun 1990-an ketika jumlah besar pekerja (buruh , petani, dan masyarakat lainnya melakukan protes terhadap globalisasi dan neoliberalisme di Asia, Amerika Latin, dan Afrika). Lebih dari 130.000 buruh di Filipina melakukan demonstrasi menentang rapat APEC di Manila. Pada 1997 dan 1998, ribuan kaum miskin di Th ailand memprotes kerusakan masyarakat pertanian dan pemiskinan yang terus-menerus dihasilkan oleh reformasi ekonomi gaya Barat.

Pengunduran diri Thaksin Sinawatra dari jabatan kepresidenan Th ailand adalah catatan keberhasilan dari gerakan massa di tahun 2006 ini. Demo anti-Th aksin berawal sejak pemerintah mengumumkan penjualan 49,6 persen saham Shin Corp, perusahaan milik keluarga Th aksin ke Temasek Holding, Singapura, senilai USD 1,9 miliar.

Berbagai tuduhan pun dilancarkan kelompok oposisi. Diduga kuat, Th aksin sengaja menyalahgunakan jabatan dengan merevisi aturan kepemilikan saham asing di Th ailand demi keuntungan keluarga. Dia juga dinilai tidak nasionalis karena menjual aset negara kepada pihak asing. Artinya, proyek privatisasi yang hingga saat ini terus dilakukan seperti di Indonesia terus menghadapi perlawanan rakyat tanpa henti.

Lebih jauh lagi, keberhasilan itu—selain dapat dikatakan memberikan inspirasi bagi gerakan lain di berbagai negara (Asia)— juga bersamaan dengan semaraknya gerakan massa di berbagai belahan dunia. Di Indonesia gerakan buruh menolak revisi UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan juga melibatkan puluhan ribu massa dan aksi buruh tersebut memuncak dalam peringatan Hari Buruh International (May Day) pada 1 Mei 2006 lalu, juga tahun 2007 ini. Menjelang Hari Buruh Dunia 1 Mei 2006 lalu, seruan “Mogok Nasional” dan “Tolak Penjajahan Asing” adalah tema utama gerakan buruh yang semarak sejak awal April 2006. Tanggal 1 Mei sebagai “Hari Buruh Internasional” tentunya juga menandai gerakan kelas pekerja karena dirayakan di berbagai penjuru jagat.

Sebelumnya, di awal Juli tahun 2005, gerakan rakyat menuntut pengunduran diri terhadap kepala pemerintahan juga terjadi di Filipina, yaitu gerakan rakyat dalam jumlah besar untuk menuntut Presiden Gloria Macapagal Arroyo (GMA) atas kecurangannya dalam pemilu dan kasus perjudian ilegal yang dilakukan oleh keluarganya. Gerakan rakyat juga tiba-tiba membesar lagi di Maret 2006. Kali ini bukan hanya rakyat yang bangkit melawan rezim, melainkan juga usaha kudeta oleh pemberontakan (baca: kudeta) militer pada saat situasi politik memanas waktu itu. Hal ini mengingatkan bahwa setidaknya ada dua belas kali usaha kudeta di Filipina dalam 20 tahun belakangan ini. Karena sejarah negara Filipina yang selalu menunjukkan kecenderungan people power, seorang kolumnis Amando Doronila dari Manila mencatat bahwa “kamus perubahan politik Filipina hanya didefi nisikan dalam dua kata: Kudeta atau people power.

Di Indonesia kita juga melihat bahwa gerakan rakyat dan radikalisasi massa kian hari juga kian semarak. Neo-liberalisme yang berimbas pada kebijakan ekonomi-politik elite-elite kita, dan kebijakan itu berimbas pada nasib rakyat, jelas akan mendapatkan reaksi dari berbagai macam kekuatan politik dan (khususnya) gerakan rakyat yang manifes dalam berbagai aksi massa dan demonstrasi. Meskipun aksi-aksi yang terjadi belum dapat disambungkan dengan kontradiksi pokok globalisasi , hal ini harus dilihat bahwa tindakan apa pun dari rakyat selalu disebabkan oleh suatu kondisi ketidakpuasan mereka atas apa yang dilakukan oleh para pemimpinnya.

Jadi, sejarah tidak akan pernah berakhir karena manusia selalu menghadapi wilayah konkret yang berkaitan dengan tatanan material—ekonomi politik yang terjadi dan didominasi oleh aktor-aktor yang menguasai kebijakan. Kasus busung lapar dan kurang gizi, watak dan tindakan koruptif dan pengusutannya yang berbelit-belit, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), harga-harga yang mahal, dan lain sebagainya adalah bagian dari sejarah yang terus berjalan. Jika kecenderungan ini terus berjalan, perlawanan akan menjadi gejala yang mendominasi perkembangan masyarakat akibat globalisasi neoliberal.

Di kawasan lain, gerakan perlawanan juga memiliki sejarah yang panjang. Pada 1998, lebih dari 200.000 petani India berdemonstrasi di jalan-jalan Hyderabad menentang WTO. Juga, pada 1998, puluhan ribu anggota serikat buruh Korea Selatan menentang apa yang mereka caci secara pedas sebagai “global rule of capital”. Pada tahun-tahun sebelumnya, kesadaran anti-globalisasi kapitalis juga sudah dimiliki oleh rakyat di bagian planet ini.

Demikian juga di Afrika, menjelang tahun 1999—2000, ratusan ribu rakyat Nigeria melaksanakan aksi massa dan pemogokan di seluruh negara itu untuk menentang paksaan privatisasi dari IMF atas perusahaan-perusahaan publik, pengurangan anggaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan, juga kenaikan harga BBM. Sebagaimana milenium berakhir, aksi massa melawan “reformasi struktural” dari lembaga keuangan internasional juga terjadi di Kenya, Malawi, Afrika Selatan, Tanzania, dan Zambia. Aktivis anti-globalisasi Afrika Selatan Trevor Ngwane menjelaskan,

“Kita bisa lepas dari rezim apartheid. Tetapi, sekarang kebebasan kami terbelenggu oleh rezim neo-liberal…yang mengabaikan kebebasan kami.”

Di negara yang terpencil, seperti Nepal, Asia Selatan, perlawanan terhadap globalisasi kapitalis juga mendekati kemenangannya. Kelompok Marxis -Maois telah berhasil berkuasa di negeri itu.

Bukan hanya di negara-negara kecil, terpencil, dan terbelakang seperti Nepal saja perlawanan terhadap globalisasi meningkat. Di negara maju, seperti Prancis, misalnya, sejak tahun 1995, terjadi pemogokan massal para buruh sektor publik, dan perlawanannya semakin meningkat. Aktivitas-aktivitas serikat buruh Prancis tersebut, menariknya, diorganisasi oleh kelas buruh sendiri dan terlepas dari pengaruh birokrat serikat buruhnya. Sebagai gambaran menarik adalah pembentukan serikat buruh baru yang bernama SUD (Solidarity Unity Democracy) pada 1989—yang dibentuk oleh kaum buruh dan para aktivis Kiri Prancis. Kemudian, SUD dan aktivis Kiri Prancis membentuk aliansi anti-kapitalis yang diberi nama ATTAC, yang memulai gerakan anti-kapitalisme dan anti-rasisme di Prancis pada 1995. ATTAC terlibat sangat aktif dalam aksi-aksi perlawanan terhadap globalisasi di benua Eropa.

Di tahun 2006, dalam kurun waktu sejak Maret hingga Mei, lagi-lagi Prancis diguncang oleh aksi protes jutaan orang yang turun ke jalan. Aksi ini merupakan penolakan terhadap undang-undang baru “kontrak tahun pertama” (CPE) yang memperbolehkan perusahaan untuk mem-PHK buruh yang berusia di bawah 26 tahun tanpa alasan apa pun dalam dua tahun pertama masa kerjanya.

Kondisi ekonomi Prancis mengalami penurunan sejak diberlakukan privatisasi terhadap sarana transportasi kereta api, pemangkasan kesejahteraan, dan tingginya angka penggangguran dari negara-negara di antara negara-negara Uni Eropa (di atas 9%). Maksud pemerintah Prancis, UU tersebut ditujukan untuk mengatasi tingkat pengangguran di negara ini—seperti alasan SBY-Kalla. Secara nasional, pengangguran di usia 26 tahun ke bawah mencapai 22,2 persen, padahal sebelumnya 9,6 persen di akhir tahun 2005 dan 10,2 persen pada akhir tahun 2004.

Tingginya angka pengangguran di Prancis oleh berbagai pihak, selain karena melambatnya pertumbuhan ekonomi, juga dipicu oleh membanjirnya tenaga kerja murah berusia muda non-Prancis yang kebanyakan berasal dari Eropa Timur dan Tengah. Pemerintah Prancis menyatakan CPE adalah jalan keluar untuk mengatasi penggangguran di Prancis.

Untuk tidak dikatakan sebagai sebab konflik rasial yang memicu persatuan antar-buruh (tenaga kerja), penolakan rakyat Prancis atas UU Ketenagakerjaan tersebut dapat diartikan sebagai penolakan terhadap masuknya tenaga-tenaga kerja murah yang lebih disukai oleh perusahaan dan kapitalis. UU dimaksudkan untuk memungkinkan perusahaan merekrut tenaga kerja asing dan gampang memecatnya pada masa kontrak 2 tahun, sebagaimana hal ini sulit dilakukan pada rakyat Prancis.

Gerakan rakyat Prancis terhadap UU tersebut juga menohok pada akar liberalisasi Uni Eropa karena konsitusi itu dimaksudkan untuk penyesuaian atas tuntutan Uni Eropa. Aksi penolakan terhadap undang-undang baru mulai digelar pada awal Februari ketika Perdana Menteri Prancis Dominique de Villepin mengumumkan dikeluarkan undang-undang CPE awal Februari 2006. Dimulai dari awal Februari, keterlibatan massa meluas dari ribuan menjadi jutaan. Protes penolakan CPE melibatkan kerja aliansi yang luas, mulai dari serikat-serikat buruh dari berbagai tempat kerja, pabrik, hotel, rumah sakit, bank, juga pelajar dan mahasiswa, organisasi-organisasi dan partai-partai kiri.

Tanggal 7 Maret 2006, sesaat ketika Presiden Chiraq mengumumkan diberlakukannya Undang-Undang Perburuhan tersebut. Sama seperti Presiden SBY-Kalla (di Indonesia) yang proneoliberalisme menyatakan bahwa undang-undang ini diperlukan untuk menyerap tenaga kerja. Para demonstran yang semula memadati Place de la Bastille mulai menggalang rally ke setiap sudut Prancis dan jumlah massa yang terlibat semakin membesar. Aksi-aksi meluas hingga di daerah lain, seperti di Kota Midi Prenes. Para pelajar kelas menengah menduduki sekolah. Para pelajar yang menyatakan dirinya sebagai calon buruh tidak hanya terlibat aksi, tapi juga melakukan pendudukan sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Sekitar 50 universitas ditutup dan diduduki oleh para mahasiswa.

Aksi terbesar terjadi pada 28 Maret 2006, yang melibatkan sekitar 10 juta orang dari setiap sudut-sudut Prancis. Aksi 28 Maret juga didukung oleh dua juta kaum petani. Maraknya aksi unjuk rasa yang terus bergulir memaksa Chiraq mencari jalan tengah untuk masalah ini. Chiraq meminta pemerintah tidak memberlakukan undang-undang ini terlebih dahulu tanpa merevisi dua hal yang dianggap krusial. Ia menyatakan bahwa akan mengurangi masa percobaan dua tahun menjadi satu tahun, dan menyatakan akan mengeluarkan undang-undang yang mengatur mekanisme alasan bagi perusahaan yang mem-PHK para pekerja muda tersebut.

Namun, serikat buruh , partai politik Kiri, organisasi-organisi pelajar dan mahasiswa, juga organisasi Kiri menyatakan menolak bernegosiasi dengan Chiraq dan memegang teguh tuntutan mereka atas pencabutan undang-undang CPE tersebut. Setelah mengeluarkan kebijakan individual contract, yang sepenuhnya meliberalkan tenaga kerja pada pasar, Pemerintah Howard mengumumkan akan dilaksanakannya undang-undang baru “Work Choice”. Kebijakan baru Howard akan lebih melegalkan sistem PHK dan kontrak kepada buruh-buruh Australia. Kebijakan ini mendapatkan berbagai penolakan dari buruh-buruh Australia di berbagai kota dan industriindustri. Serikat-serikat buruh Australia sedang mempersiapkan pemogokan nasional yang dimulai 28 Juni mendatang.

Aksi-aksi di Prancis dan Australia, di Inggris dua bulan yang lalu, di Korea Selatan menunjukkan sistem neolibealisme yang diusung oleh pemerintah-pemerintah negara maju telah gagal mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi dan gagal menyejahterakan rakyatnya. Pola neoliberalisme yang diterapkan secara seragam baik di negara-negara maju dan berkembang, liberalisasi, privatisasi, dan pemotongan subsidi telah menghancurkan sendi perekonomian negara, menghancurkan industri, dan seluruh sektor-sektor rakyat.

Kebijakan-kebijakan perburuhan yang mengadopsi kelenturan pasar tenaga kerja (labor market fl exibility) diterapkan baik di negaranegara maju dan juga negara berkembang seperti Indonesia esensinya adalah pemotongan biaya produksi dengan cara memangkas kesejahteraan buruh untuk mensubsidi sistem neoliberal yang mengalami krisis. Dengan alasan yang sama untuk meningkatkan pasar kerja, menunjukkan bahwa sistem ekonomi neoliberalisme bukan sekadar gagal menyejahterakan rakyat, melainkan juga gagal menciptakan lapangan pekerjaan. Penerapan sistem kelenturan pasar tenaga kerja sesungguhnya sama sekali tidak menciptakan lapangan pekerjaan, tapi menggilir orang yang akan di-PHK. Lapangan kerja yang tersedia tidak bertambah dalam jumlah yang berarti.

CPE di Prancis serupa dengan revisi UU No 13/2003 (di Indonesia) yang intinya adalah meliberalkan pasar tenaga kerja. Dengan demikian, ternyata kecenderungan neoliberalisme di mana pun menghasilkan ekses-ekses yang sama. Jalan keluar yang hendak ditempuh oleh neoliberalisme sebagai tatanan yang bangkrut, baik secara ilmiah maupun ekses ketidakmanusiaannya, akan dijawab dengan jalan memaksakan kehendaknya untuk menyuruh pemerintahan (baik di negara maju maupun di Negara Ketiga, seperti Indonesia) untuk membuat undang-undang dan kebijakan yang anti-buruh dan anti-rakyat.

Epos berlawan semacam ini terjadi seiring dengan krisis kapitalisme global (neoliberalisme) yang melanda hampir di semua benua. Terjadi sejak lama, dan akan terus terjadi hingga menemukan muaranya. Di Eropa, pada Mei 1998, 20.000 orang menentang rapat G8 di Birmingham. Pada Juni 1999, protes-protes diselenggarakan di beberapa kota di Eropa dan Amerika Utara untuk menolak rapat G8 di Cologne, Jerman. Sepuluh ribu demonstran turun ke jalanjalan, terutama di London.

Demikian pula yang terjadi di AS pasca-aksi Seattle. Perlawanan kaum buruh semakin aktif dan masif sehingga mendorong AFLCIO (Federasi Serikat Buruh Amerika), yang sebelumnya moderat, sedikit mengubah sikapnya untuk meradikalisasi perlawanan. Meskipun peristiwa pemboman Gedung WTC di New York sempat mengalihkan perhatian dan sedikit meredam perlawanan kaum buruh di AS, akibat invasi dan pemboman yang membabi buta terhadap Afghanistan, kaum buruh telah terbuka matanya bahwa kampanye perang dan anti-teroris AS hanyalah kamufl ase belaka imperialis untuk menyelamatkan krisis kapitalisme dan mendorong mood politik kelas buruh ke kanan dengan menciptakan hantu “terorisme”.

Berbagai demonstrasi anti-perang dan perlawanan terhadap keterlibatan pemerintah AS di Dunia Ketiga, terutama yang melibatkan CIA, pun juga dilancarkan oleh kelas buruh. Ratusan ribu massa, yang terdiri dari buruh dan aktivis mahasiswa, terlibat aksi menentang perang kapitalis dan pembantaian rakyat Palestina oleh sekutu imperialis Amerika Serikat, Israel. Ketika terjadi kudeta yang gagal atas pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela, yang melibatkan keterlibatan AS, CIA, dan AFL-CIO, ribuan massa buruh melakukan protes di depan kantor mereka di New York.

Patut dicatat bahwa aksi-aksi menentang globalisasi di Seattle, Genoa (yang juga monumental), Spanyol, Ottawa, dan Melbourne tidak hanya melibatkan kaum buruh di satu negeri, namun juga buruh dari negara-negara lain (termasuk dari Indonesia). ini merupakan kenyataan bahwa watak internasionalis perlawanan terhadap globalisasi, terutama dari buruh dan kelas pekerja lain, tidak terelakkan. Hampir setiap hari terjadi aksi menentang globalisasi kapitalis dan praktik-praktik kebijakan neo-liberal di atas planet ini.

Di Afrika Selatan, perlawanan kaum buruh dimotori oleh perlawanan rakyat melawan rezim apartheid. Cosatu (Confederasi Serikat Buruh Afrika Selatan), yang bergabung bersama Partai Komunis Afrika Selatan dan African National Congress (ANC), bersama-sama melawan rezim apartheid hingga berhasil menumbangkannya. Namun, setelah aliansi tersebut berkuasa karena pengaruh kaum usaha nasional yang ada dalam ANC dan penulis reformis dalam Partai Komunis Afrika Selatan, mereka pada akhirnya menjadi pembela program neo-liberal. Hal itu justru menimbulkan munculnya perlawanan massa buruh yang tergabung dalam COSATU. Serangkaian pemogokan umum melawan privatisasi dilakukan. Namun, yang menjadi persoalan: COSATU masih tetap ragu untuk memisahkan diri dari aliansi dengan kaum pengusaha dan politisi pengkhianat tersebut.

Perlawanan juga sering terjadi di Asia, terutama Korea Selatan. Di akhir tahun 1980-an, kaum buruh Korea Selatan, bersama-sama dengan aktivis pro-demokrasi, melakukan perlawanan terhadap rezim militer dan berhasil menggulingkannya. Yang terbentuk adalah rezim liberal, dan yang dijalankan pada akhirnya adalah kebijakan neo-liberal yang anti-demokrasi. Perlawanan kaum buruh terhadap rezim militer berhasil memunculkan banyak serikat buruh independen yang militan dan radikal. Serikat buruh tersebut bergabung dalam federasi yang bernama KCTU (Konfederasi Serikat Buruh Korea Selatan). Kekuatan KCTU telah teruji dalam pemogokan umum tahun 1996—1997, saat menentang revisi Undang-Undang Perburuhan. Barisan massa buruh dan pimpinan KCTU kemudian membentuk Power of Working Class (PWC) setelah kekalahan perlawanan melawan negara yang kurang efektif. Hingga saat ini, perlawanan kaum buruh Korea Selatan semakin masif: melancarkan gelombang pemogokan umum yang panjang, bertahan berbulan-bulan dengan melibatkan jutaan buruh.

Di negara kita, Indonesia, perlawanan terhadap globalisasi juga semakin hari semakin meningkat. Demonstrasi menentang kenaikan BBM—yang merupakan imbas kebijakan neo-liberalisme —di awal tahun 2003 diikuti oleh mayoritas massa rakyat buruh , tani, dan kaum miskin kota, bukan hanya mahasiswa, LSM, dan partai politik. Berbagai NGO yang anti-globalisasi juga semakin intensif dalam melakukan konsolidasi bagi gerakannya melalui pendidikan, riset, dan yang lebih penting adalah pengorganisasian massa rakyat yang menekankan pada aksi massa.

Terlalu banyak data-data perlawanan anti-globalisasi kapitalis untuk disebutkan di sini, bahkan akan memakan beratus-ratus halaman. Yang disebutkan di atas adalah gerakan yang fenomenal dan mampu diekspos media—karena aksi-aksi perlawanan sering dipelintir oleh media borjuasi yang baik secara langsung maupun tidak berkaitan dengan kepentingan kapitalistis. Setidaknya, pelembagaan perlawanan sudah terjadi, misalnya di Porto Alegre dengan World Social Forum (WEF)-nya yang dapat dilaksanakan setiap tahun. Slogan “Onother World is Possible” merupakan simbol bahwa rakyat internasional menghendaki sistem sosial lain kapitalisme (kebijakan neo-liberal, dan globalisasi yang dibimbing korporasi bisnis).

Sementara, aksi menentang perang AS dan sekutunya terhadap Irak pada 2003 membuktikan bahwa perang itu bukanlah perang apa pun kecuali dengan motif ekonomi. Para aktivis anti-perang dan massa internasional sebagian dapat memahami bahwa perang itu adalah bentuk lain dari neo-liberalisme dan globalisasi . Perang Irak bukan hanya sekadar perang untuk minyak, tetapi juga “the politics of armed globalization”, suatu tahapan untuk mempersenjatai globalisasi dan pelanggengan kapitalisme global—seterusnya adalah benih-benih sejarah perjuangan rakyat untuk menentangnya. Ideologi Kiri, dengan aktivis-aktivisnya yang begitu rajinnya mengorganisasi massa di berbagai wilayah planet ini telah mampu memberikan penjelasan tentang realitas globalisasi itu yang sebenarnya. Hal ini sekaligus menyalahkan secara telak tesis Fukuyama yang provokatif.

Dari kubu Kiri sendiri tesis Fukuyama dibantah:

  • Pertama, tentang keandalan empiris. Argumen Fukuyama. F. Halliday dalam tulisannya “An Encounter with Fukuyama” di New Left Review bahkan menunjukkan bahwa Fukuyama tidak dapat menunjukkan buktibukti dan fakta dari apa yang dikatakannya tentang kemakmuran universal dari kapitalisme —dalam hal ini Fukuyama berbohong tentang ungkapannya itu. Juga, apa pun hambatan internal dalam proses akumulasi, terdapat faktor-faktor terkait: batas ekologi tingkat konsumsi dan rintangan negara-bangsa untuk untuk menciptakan keadilan ekonomi internasional. Bukti terpenuhinya thymos dalam demokrasi liberal juga masih sedikit. Hanya 50 persen pemilih di Amerika Serikat yang berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hubungan antara penyebaran kemakmuran kapitalis dan demokrasi juga tidak terbukti sebagaimana banyak negara, khususnya di Asia Tenggara dan Amerika Latin, yang kapitalis dan otoriter (bahkan diktator ). Fukuyama sangat melebih-lebihkan ekspansi global demokrasi liberal sebab faktanya hanya 24 dari 180 negara merdeka yang mengklaim sebagai negara demokrasi liberal. Sementara itu, masalah-masalah manusia yang disoroti Hegel—perang, kemiskinan , dan tidak adanya komunitas—masih banyak terjadi.

  • Kedua, Fukuyama lemah secara konseptual. Dalam melihat ilmu (sebagai hasil keinginan untuk memenuhi kebutuhan material) dan keinginan akan pengakuan sebagai kekuatan kembar dalam sejarah, secara filsufis Fukuyama menjadi idealis. Ia mengabaikan dinamika yang muncul akibat aksi politik kolektif oleh kelas, bangsa, dan negara. Pandangannya tentang hakikat manusia beserta gagasannya tentang thymos, juga bersifat ahistoris—dan sifat ini memang menjadi watak fi lsafat idealisme Hegel. Akibatnya, Fukuyama buta akan makna-makna khusus yang terbentuk secara historis mempunyai fungsi ideologis dalam melayani kepentingan kelas penguasa.

  • Ketiga, pandangan Fukuyama tidak koheren. Ia tidak mengakui instabilitas potensial dalam hubungan antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Niat partai-partai sosialis yang terpilih sebagai mayoritas untuk mengubah kapitalisme segera tersingkir dari sistem demokrasi parlementer sebagaimana terjadi di Chili pada 1973. secara lebih konseptual, terdapat ketegangan antara individualisme yang dikembangkan dalam kapitalisme dan syarat-syarat moral demokrasi yang menuntut refleksi etis terhadap pilihan-pilihan sosial. Fukuyama mengetahui bahwa kontraaktualisme dan kapitalisme liberal dapat mengikis pemahaman akan komunitas (sense of community) yang sangat penting untuk memenuhi keinginan akan pengakuan. Fukuyama pun tidak mempertimbangkan adanya kemungkinan logis bahwa keinginan akan pengakuan bias menimbulkan tuntutan egalitarian yang radikal.

  • Keempat, Fukuyama gagal mempertimbangkan secara serius kemungkinan alternatif sosialis bagi kapitalisme liberal. Ia salah saat beranggapan bahwa sumber-sumber sosialisme telah lama hilang. Syarat-syarat terjadinya sosialisme internasional justru diciptakan melalui saling ketergantungan global yang meningkat akibat perkembangan korporasi multinasional. Singkatnya, Fukuyama—karena tidak pernah melihat dan mengamati secara serius perkembangan ketidakpuasan masyarakat pada kapitalisme dan ekses-eksesnya (mungkin karena Fukuyama hanya berkutat dalam gedung-gedung seminar untuk menunjukkan tesisnya pada kaum kapitalis global)—lupa bahwa perlawanan terhadap globalisasi dan kapitalisme semakin meluas secara global.