Apa yang dimaksud dengan sosialisme?

Sosialisme

Sosialisme adalah paham dimana kekayaan dan kemakmuran suatu sistem sosial (negara) dapat dikontrol secara bersama dan bukan oleh pribadi atau suatu kelompok saja. Sistem sosialis berseberangan dengan sistem kapitalisme.

Sosialisme adalah salah satu ideologi yang berpengaruh besar dalam dunia politik internasional di sekitar abad ke-19. Menguraikan sosialisme ini bukanlah perkara yang mudah. Ian Adams, dalam bukunya yang berjudul Ideologi Politik Mutakhir, menuliskan bahwa dari semua ideologi, sosialisme mungkin yang paling sulit untuk diuraikan (Adams, 1993). Kesulitan tersebut muncul karena sulitnya menentukan sosialisme yang ‘sejati’ karena pada perkembangannya ada banyak ragam sosialisme, termasuk di dalamnya sosialisme Marx-ian yang memiliki pengaruh sangat besar, bahkan hingga saat ini (Adams, 1993).

Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang ideologi ini, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian sosialisme dari tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang etimologis, historis, dan terminologis. Dari ketiga sudut pandang tersebut, peneliti selanjutnya akan berusaha untuk menggali corak umum dari variasivariasi sosialisme tersebut, sehingga didapatkan ciri-ciri pemikiran sosialisme yang selanjutnya akan dijadikan sebagai objek utama analisis dalam penelitian ini.

Etimologi


Secara etimologi, istilah sosialisme atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah socialism berasal dari bahasa Perancis, yaitu “sosial” yang berarti “kemasyarakatan”. Secara historis, istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar tahun 1830. Umumnya sebutan itu dikenakan bagi aliran atau pandangan yang masing-masing hendak mewujudkan masyarakat yang berdasarkan pada hak milik bersama terhadap alat-alat produksi, dengan maksud agar produksi tidak lagi diselenggarakan oleh orang-orang atau lembaga perorangan atau swasta yang hanya memperoleh laba, semata-mata untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Terminologi


Secara terminologi, istilah sosialisme dipahami secara bermacam-macam oleh para tokoh. Franz Magnis-Suseno misalnya, menulis bahwa sosialisme merupakan, (1) ajaran dan gerakan yang menganut nya bahwa keadaan sosial tercapai melalui penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi, (2) Keadaan masyarakat di mana hak milik pribadi atas alat-alat produksi telah dihapus (Franz Magnis Suseno, 2001).Selain itu ada juga Sosialisme Ilmiah yang diklaim oleh Karl Marx. Marx mengklaim bahwa sosialismenya adalah sosialisme ilmiah. Sosialisme ilmiah, sosialisme (dalam arti (1) yang mau memperlihatkan dengan meniliti hukum-hukum perkembangan masyarakat bahwa sosialisme (dalam arti (2)) pasti akan datang (Magnis Suseno, 2001).

Sosialisme, di dalam Encyclopedia of Social History di definisikan sebagai “sebuah istilah yang mengacu pada sebuah pergerakan atau sebuah teori organisasi sosial yang menginginkan kepemilikan atau pengontrolan secara bersama-sama terhadap produksi dan distribusi. Sosialisme, pertama kali muncul sebagai reaksi atas berkembangnya industrialisme dan kapitalisme pada abad 19-20. Kebanyakan dari teoritisi sosialisme menyarankan pentingnya kerjasama, perencanaan, dan kepemilikan publik, untuk melawan kompetisi dan pencarian laba individual sebagaimana digagas oleh kapitalisme (N. Stearns, 1994). Definisi lain tentang sosialisme dapat juga dilihat dalam Kamus Filsafat karya Lorens Bagus, yang menyatakan bahwa istilah sosialisme menunjuk pada “asosiasi apapun, bisa pribadi (swasta) atau umum (pemerintah)”. Salah satu ciri khas dari pemikiran sosialisme adalah pengendalian harta dan produksi serta kekayaan oleh kelompok (Bagus, 2002).

Historis


Secara historis atau dari segi sejarahnya, istilah sosialisme bukanlah istilah yang mudah untuk dilacak dalam sejarah. Ebenstein, dalam bukunya Today’s Isms, Communism, Fascism, Socialism, Capitalism, menulis bahwa sebenarnya sulit untuk menentukan waktu yang tepat, kapan ide atau gagasan tentang sosialisme tersebut muncul. Ada yang menganggap bahwa ide tentang sosialisme sebenarnya sudah muncul dalam gagasan Plato sebagaimana tertulis dalam Republic; dan ada juga yang mengatakan bahwa ide sosialisme sebenarnya berasal dari Bibel, khususnya dari Kitab Perjanjian Lama. Cita-cita yang sekarang disebut dengan “sosialisme” itu sudah ditemukan dalam budaya Yunani kuno.

Kasta para filosof yang menurut Plato harus memimpin negara, tidak boleh mempunyai hak milik pribadi dan tidak berkeluarga, memiliki segalanya bersama dan hidup menurut aturan yang sama. Namun sosialisme ini terbatas pada kasta calon pemimpin. Masyarakat sendiri tertata secara hierarkis dan tentu saja bebas mempunyai hak milik (Magnis Suseno, 2001). Selain itu contoh masyarakat dalam kepemilikan bersama sudah dilakukan pada masa awal penganut Kristen, sistem seperti itu disebut “komunisme purba”. Hingga abad pertengahan para teolog Kristen pun sependapat bahwa pemilikan bersama merupakan cara hidup yang paling baik. Mulai dari zaman Stoa hingga abad pertengahan pemilikan bersama merupakan suatu kodrat dan keadaan alamiah, sedangkan pemilikan pribadi dianggap kemerosotan kehidupan manusia karena menurut filosof stoa, pada zaman emas semula hanya ada milik bersama.

Pada awalnya munculnya motif kaum sosialis di abad pertengahan sangat berkaitan dengan religiusitas. Paham religius tidak dapat dipisahkan dari motif munculnya kaum sosialis abad pertengahan karena berkaitan erat dengan pertimbangan bahwa untuk menyambut kerajaan Allah, manusia harus bebas dari segala keterikatan. Motif tersebut mulai mengalami pergeseran saat memasuki zaman Renaissance. Pergeseran itu diawali dengan munculnya tulisan yang disebut “utopi” atau “utopis”.

Kemunculan sosialisme yang baru tersebut diasosiasikan dengan karya Thomas Moore, Utopia yang diterbitkan pada tahun 1516 di masa *Renaissans (*Ebenstein, 1965). Gagasan Thomas Moore tersebut belakangan disebut dengan sosialisme klasik karena memang memiliki corak yang berbeda dengan sosialisme modern yang berkembang belakangan. Karl Marx, belakangan menyebut sosialisme ini dengan sosialisme utopis, yang dilawankan dengan gagasan sosialismenya sendiri, yang ia sebut dengan sosialisme ilmiah. Motivasi dasar di belakang cita-cita utopis itu bersifat sosial, dan tidak lagi religius: ada kesadaran akan keadaan buruk kelas-kelas bawah, keyakinan bahwa konflik-konflik sosial, ketidaksamaan dan penindasan bertentangan dengan kodrat manusia dan karena itu dengan kehendak Allah maupun dengan tatanan alam, dan bahwa semuanya itu adalah akibat hak milik pribadi. Hak milik pribadi membuat manusia egois dan menghancurkan keselarasan masyarakat yang alami. Cita-cita kaum utopis seperti penghapusan hak milik pribadi, kewajiban setiap orang untuk bekerja, penyamaan pendapatan dan hak semua orang, pengorganisasian produksi oleh negara sebagai saran untuk menghapus kemiskinan dan penghisapan orang kecil tersebut selanjutnya akan menjadi cita-cita utama sosialisme modern (Magnis Suseno, 2001).

Berbeda dengan sosialisme klasik, sosialisme modern muncul sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme liberal yang tamak. Sosialisme modern berkembang pada awal abad ke-19 sebagai respon terhadap pengaruh sosial industrialisasi yang terjadi di daratan Eropa. Bertolak belakang dengan perkembangan industri yang sangat pesat, kesejahteraan kaum pekerja justru menurun (Adams, 1993). Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan, dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi. Orang pertama yang menyuarakan cita-cita masyarakat tersebut, yang akan menjadi acuan kaum sosialis aliran keras adalah Francois Noel Babeuf. Babeuf memaklumkan “perang kaum miskin melawan kaum kaya”. Nilai tertinggi Babouvisme, atau gerakan para pengikut Babeuf, adalah kesamaan. Merekalah yang pertama kalinya menyuarakan tuntutan-tuntutan inti komunisme di kemudian hari, seperti sosialisasi alatalat produksi dan kediktaktoran ploretariat (Magnis Suseno, 2001).

Meski ide-ide masyarakat sosialis sudah muncul sejak era Renaissans, abad pertengahan, dan bahkan sejak masa Yunani Kuno, namun demikian Robert Marcus Owen, adalah orang pertama yang menggunakan kata sosialisme. Dia dikenal sebagai pelopor sosialisme di Inggris. Dia adalah seorang pengusaha kapas yang kaya raya yang mengawali kariernya dengan menjadi seorang penjaga toko. Owen mengusulkan kepada pemerintah untuk mengganti kompensasi mereka kepada para buruh miskin dengan membangunkan sebuah perkampungan yang layak yang dilengkapi dengan unit industri yang bisa mereka gunakan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari mereka. Unit kerja ini berguna untuk melatih para buruh lebih mandiri dan tidak bergantung pada kaum kapitalis yang menguasai perindustrian.

Gagasan tersebut muncul karena adanya pandangan yang ‘khas’ tentang negara. Menurut mereka negara merupakan bentuk perpanjangan tangan dari kelas atas untuk menindas kelas bawah, sehingga negara secara hakiki merupakan negara kelas artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas yang menguasai bidang ekonomi. Negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka (Magnis Suseno, 2001). Pada perkembangan berikutnya, gagasan tentang kejahatan kapitalisme, penderitaan kaum pekerja, negara, masyarakat tanpa kelas, dan berbagai gagasan sosialisme lainnya menginspirasi tokoh-tokoh sosialisme berikutnya. Tokoh sosialisme terbesar yang kemudian memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sejarah ideologi adalah Karl Marx dengan rekannya, Frederick Engels, yang “menyarankan” perlunya revolusi untuk mewujudkan cita-cita sosialisme tersebut. Sejak kemunculan Marx, gagasan sosialisme berkembang menjadi komunisme. Meskipun komunisme sebenarnya hanya berbeda beberapa ‘derajat’ dengan sosialisme, namun demikian, pada penelitian ini batasan sosialisme merujuk pada sosialisme klasik dan modern non-Marxian. Hal ini dilakukan bukan untuk menutup perdebatan, namun menurut peneliti, komunisme sudah ada di wilayah ideologi lain di luar sosialisme, yaitu ideologi komunisme itu sendiri.

Pandangan-Pandangan Sosialisme


Pandangan Sosialisme tentang Sifat Kodrati Manusia


Satu pertanyaan lain, yang dapat digunakan untuk menggali landasan ontologis sosialisme adalah pertanyaan tentang sifat kodrati manusia. Pertanyaannya adalah: apakah manusia pada dasarnya bersifat individual ataukah sosial? Jika manusia diasumsikan bersifat individual, maka akan lebih tepat jika sebuah negara menganut ideologi yang mengembangkan nilai-nilai individualistik. Sebaliknya, jika manusia diasumsikan bersifat sosial, maka akan lebih tepat jika sebuah negara menganut ideologi yang menjaga sosialitas manusia tersebut.

Pertanyaan tentang sifat kodrati manusia ini sebenarnya bukan pertanyaan yang baru, khususnya dalam kajian filsafat. Ribuan tahun yang lalu, filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, sudah mengkaji pertanyaan tersebut ketika ia mengutarakan pemikirannya tentang negara. Bagi Aristoteles, manusia adalah zoon politicon atau ‘hewan yang bermasyarakat’, yang secara tidak langsung mengandung makna bahwa manusia pada dasarnya harus bersosialisasi atau bermasyarakat dengan manusia yang lain. Alasan klasik tentang hal ini adalah bahwa manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa menjalin relasi dengan manusia-manusia yang lain.

Asumsi yang sama juga dapat dijumpai dalam sosialisme. Sosialisme, dengan kata lain juga berpijak pada asumsi ontologis bahwa manusia pada hakikatnya bersifat sosial. Manusia, dalam kehidupan sehari-harinya selalu bergaul dengan sesama manusia. Dalam kehidupannya di dunia, ia berbagi bumi yang sama, tanah yang sama, air yang sama, dan sebagainya. Asumsi ini memiliki implikasi yang sangat luas di bidang ekonomi karena ketika ‘kesamaan’ dijadikan sebagai satu nilai utama, tidak alasan individu atau perseorangan untuk menguasai faktor-faktor produksi. Sedapat mungkin, sebanyak mungkin, berbagai faktor produksi tersebut dikelola secara bersama-sama, untuk kemanfaatan bersama, dalam prinsip keadilan ekonomi.

Sosialisme beranggapan bahwa pemilikan bersama merupakan cara hidup yang paling baik, dengan sedikit hak milik atau tidak ada hak milik sama sekali. Hak milik pribadi oleh karenanya menjadi satu hal yang terlarang, karena hak milik pribadi membuat manusia egois dan menghancurkan keselarasan masyarakat yang alami. Oleh karena manusia adalah makhluk sosial, maka eksistensinya akan sangat tergantung pada eksistensi orang lain. Kondisi ini harus disadari betul oleh setiap orang sehingga pada akhirnya setiap manusia akan mendapat perlakuan yang sama, dalam segala hal. Sosialisme menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan, dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran.

Argumen lain yang juga dapat digunakan untuk memperkuat temuan bahwa sosialisme menganggap manusia sebagai makhluk sosial adalah dari perlunya individual bergaul dengan komunitas. Ide ini tampak misalnya dalam pemikiran sosialisme modern yang mengemukakan pentingnya revolusi untuk merubah tatanan sosial akibat adanya kapitalisme. Tanpa persekutuan, mustahil revolusi akan terjadi. Individu mendapatkan artinya dengan bersatu dengan kelompok, sebaliknya kelompok menjadi solid dan kuat karena dukungan dan kepentingan yang sama dari individu-individu yang ada di dalamnya. Inilah landasan ontologis kedua dari sosialisme, yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat sosial.

Pandangan Sosialisme tentang Harmoni Tatanan Masyarakat


Hal lain yang penting terkait dengan landasan ontologis sosialisme adalah pandangannya tentang tatanan masyarakat. Sebuah ideologi politik diterapkan tentu untuk menata masyarakat, atau untuk menjaga kelestarian tatanan masyarakat. Mengetahui tatanan masyarakat secara tepat akan sangat menentukan tepat dan tidaknya penerapan ideologi kepada masyarakat tersebut. Kapitalisme misalnya, menganggap bahwa tatanan masyarakat pada dasarnya digerakkan oleh kompetisi sehingga sedapat mungkin individu diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan potensinya guna mencapai kondisi semaksimal yang ia bisa di dalam kompetisi yang ada.

Sebagai sebuah ideologi yang memiliki corak yang berbeda, sosialisme memandang masyarakat dalam perspektif berbeda. Para pemikir sosialisme, khususnya sosialisme klasik, menganggap bahwa di dalam masyarakat sesungguhnya telah ada keselarasan yang alami. Artinya, di dalam masyarakat sebetulnya telah ada keharmonisan alami yang sebenarnya hanya perlu dijaga saja, supaya keadaan ini berubah menjadi kekacauan. Asumsi ontologis tentang harmonitas tatanan masyarakat ini dapat dilihat dari pandangan sosialisme yang mengatakan bahwa hak milik hanya akan menimbulkan egoisme, yang pada akhirnya hanya akan merusak tatanan alami masyarakat.

Bertolak dari pandangan di atas, bahaya terbesar yang dapat mengancam tatanan alami masyarakat adalah egoisme individual. Namun demikian, perlu diingat bahwa bagi sosialisme, egoisme individual tersebut bukan muncul karena dorongan internal diri manusia. Sistem kapitalismelah yang telah mengubah manusia menjadi egois. Sistem kapitalis cenderung membuat orang berlaku kompetitif, tamak, egois, dan kejam yang pada gilirannya akan merusak kondisi kodrat manusia yang baik dan bersifat sosial, menjadi jahat, licik, egois, dan individual. Inilah asumsi ontologis sosialisme tentang keselarasan tatanan masyarakat.

Kesimpulan


Kesimpulannya adalah pertama, sosialisme beranggapan bahwa pemilikan bersama merupakan cara hidup yang paling baik, dengan sedikit hak milik atau tidak ada hak milik sama sekali. Sosialisme tidak menyukai adanya hak milik pribadi karena hak milik pribadi membuat manusia egois dan menghancurkan keselarasan masyarakat yang alami. Sosialisme menginginkan pengorganisasian produksi oleh negara sebagai saran untuk menghapus kemiskinan dan penghisapan orang kecil. Sosialisme menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan, dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Sosialisme menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi.

Tugas negara adalah mengamankan sebanyak mungkin faktor produksi untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan bukan terpusat pada kesejahteraan pribadi. Sosialisme menganggap bahwa negara adalah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih.

Sosialisme menganggap bahwa kapitalisme memiliki sifat yang jahat, yaitu: kapitalisme menghasilkan sistem kelas; kapitalisme adalah sistem yang tidak efisien; dan kapitalisme merusak sifat manusia karena cenderung membuat orang berlaku kompetitif, tamak, egois, dan kejam.

Nilai-nilai utama dalam sosialisme adalah kesamaan, kerja sama, dan kasih sayang. Produksi dilakukan atas dasar kegunaan dan bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Persaingan yang kompetitif digantikan dengan perencanaan. Setiap orang bekerja demi komunitas dan memberi kontribusi pada kebaikan bersama sehingga muncul kepedulian terhadap orang lain. Kedua, landasan ontologis yang mendasari sosialisme berkaitan dengan kodrat etis manusia; sifat kodrati manusia; dan harmoni tatanan masyarakat. Sosialisme berpendapat bahwa kodrat etis manusia adalah baik; sifat kodratinya adalah bersifat sosial; dan menganggap bahwa ada harmonitas atau keselarasan dalam tatanan masyarakat.

menurut saya sosialisme lebih cocok kontra liberalisme sedangkan kapitalisme lebih cocok kontra komunisme. karena kapitalisme dan komunisme tidak akan bisa digabungkan dengan demokrasi sedangkan sosialisme dan liberalisme masih bisa