Apa yang dimaksud dengan soft power?

soft power

Konsep soft power pertama kali dikenalkan oleh Joseph Nye dalam artikelnya yang muncul dalam jurnal Foreign Policy pada 1990an.

Apa yang dimaksud dengan soft power?

Soft power


Konsep soft power diperkenalkan oleh Joseph S. Nye pada tahun 1990. Joseph S. Nye menggolongkan soft power termasuk dalam golongan prilaku yang bersifat co-optive power atau kemampuan untuk dapat memengaruhi dan membentuk hasil yang diinginkan dengan cara memunculkan ketertarikan dibandingkan dengan melakukan tindak pemaksaan.

Konsep soft power pertama kali dikenalkan oleh Joseph Nye dalam artikelnya yang muncul dalam jurnal Foreign Policy pada 1990an. Konsepnya tentang soft power kemudian dituangkan lebih mendalam dalam bukunya yang berjudul Soft power : The Means to Successin World Politics (2004), dan The Paradox of American Power (2002).

Untuk saat ini beberapa negara lebih cenderung menggunakan soft power karena lebih efisien. Ketika menggunakan soft power , negara dapat memanfaatkan daya tarik ( attraction ) negaranya dengan menggunakan tiga sumber utama yaitu kebudayaan, nilai-nilai politis, serta kebijakan domestiknya dan kebijakan luar negerinya. Menurut Joseph S. Nye, soft power dalam penyebarannya lebih diutamakan untuk menyebar secara luas dibandingkan secara mendalam.

Soft power merupakan kemampuan untuk mengubah persepsi atau pandangan pihak lain. Saat ini, kemampuan tersebut cenderung lebih mengarah pada penggunaan sumber daya seperti budaya. Hal ini agar soft power dapat digunakan untuk membuat semakin banyak perubahan terhadap cara pandang masyarakat luas terhadap negara yang menggunakan soft power . Ketika masyarakat luas memiliki pandangan yang baik pada suatu negara yang menggunakan soft power tersebut maka akan memudahkan negara untuk menjalankan kepentingannya di negara lain karena telah tercipta nilai yang positif di mata masyarakat negara tersebut.

Soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan melalui atraksi dari pada paksaan atau pembayaran. Ia muncul dari daya tarik negara budaya, cita-cita politik, dan kebijakan. Ketika kebijakan kami dilihat sebagai sah di mata orang lain, soft power kita ditingkatkan. " Soft power termasuk propaganda, tetapi jauh lebih luas. Hal ini jauh lebih dari “citra, hubungan masyarakat dan popularitas singkat.” Ini merupakan kekuatan yang sangat nyata - kemampuan untuk mendapatkan tujuan. Ungkap Joseph Nye dalam bukunya yang berjudul The paradox of Power America .

Soft power dapat mempengaruhi secara halus dan tidak langsung yang tanpa disadari oleh subjeknya, maka dari itu diplomasi merupakan salah satu cara yang tepat untuk melakukan soft power ke negara lain dengan mengandalkan identitas nasional Bangsa. Tanpa mengandalkan kekerasan atau perang, cara yang paling efektif adalah dengan soft power karena soft power sangat selaras dengan pemikiran Studi Hubungan Internasional, yaitu interaksi dalam lingkup global yang tetap mengutamakan perdamaian sekalipun terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Dalam studi hubungan internasional , adanya hubungan antar negara yang meminimalisir atau bahkan menghindari terjadinya konflik untuk terjadinya perdamaian, sedangkan masing-masing negara memiliki kepentingan yang berbeda- beda, oleh sebab itu diplomasi budaya merupakan salah satu cara yang tepat dalam meningkatkan interaksi dengan negara lain yang juga disertai dengan soft power .

Diplomasi budaya , merupakan salah satu cara untuk mempengaruhi negara lain dalam mengenal budaya yang kita miliki. Budaya batik, merupakan budaya unik dan banyak menarik minat mancanegara yang dengan sendirinya, dengan adanya soft power , kemudian banyak negara lain yang dengan sendirinya mencari tahu bahkan menyebarluaskan budaya batik Indonesia. Sehingga batik Indonesia dikenal menjadi mode tersendiri bagi mereka. Budaya yang masuk akan dengan mudah mempengaruhi orang yang terobsesi tersebut.

Soft power menjadi hal yang penting karena negara melalui beberapa aktivitasnya melibatkan beberapa aktor yang memiliki dampak terhadap publik secara internasional, salah satunya adalah pemerintah dan masyarakat negara itu sendiri serta juga media (internet), industri hiburan (industri drama, televisi, musik, film, animasi, serta games), dan industri produk komersialnya (MNC). Aktor-aktor ini dapat bekerja secara sinergi membentuk persepsi pihak lain agar dapat mengagumi attraction yang digunakan sebagai sumber utama dalam soft power .

Aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan soft power ini diistilahkan sebagai “ referees ” dan “ receiverssoft power . “ Refereessoft power merupakan pihak yang menjadi sumber rujukan yang menggunakan soft power sedangkan “ receiverssoft power adalah target yang dituju sebagai sasaran penerima soft power . Hubungan antara sumber soft power dengan “ referees ” dan “ receiverssoft power dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
image

Soft power lebih cenderung berhubungan dengan co-optive power . Soft power yang berhubungan dengan co-optive power berarti soft power memiliki kemampuan untuk memengaruhi dan membentuk hal yang pihak atau aktor lain inginkan. Co-optive power dapat diperoleh melalui agenda setting dan attraction . Jika agenda setting adalah suatu tahap yang dibuat untuk menjadi langkah awal dari keseluruhan tahapan dalam kebijakan untuk kepentingan suatu negara, sedangkan attraction adalah daya tarik yang dimiliki suatu negara. Ketika negara menggunakan soft power , negara akan lebih menggunakan ketertarikan yang ada di negaranya dan menggunakan sumber kekuatan seperti budaya, ideologi serta kebijakan sebagai kemampuan untuk memengaruhi atau membentuk hal yang pihak atau aktor lain inginkan.

Konsep soft power pertama kali diperkenalkan oleh Joseph S. Nye di tahun 1990. Konsep power sendiri menurut Nye adalah kemampuan dalam hal mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Terdapat tiga cara dalam mengeksekusi power , yaitu: memaksa lewat ancaman, membujuk dengan memberikan bayaran, atau yang terakhir dengan menarik perhatian atau memikat hati. Dua yang pertama dinamakan hard power , yakni ditandai dengan penggunaan kekuatan militer maupun ekonomi, sedangkan yang ketiga disebut dengan soft power . Nye mendefinisikan soft power sebagai kemampuan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dari orang lain dengan cara memunculkan ketertarikan ( attraction ) dibandingkan melakukan paksaan ( coercion ) atau bayaran ( payments ). Soft power ini terletak pada kemampuan suatu pihak dalam membentuk preferensi pihak lain.

Soft power yang dimiliki oleh suatu negara, pada dasarnya, bergantung pada tiga sumber utama, yakni: budaya (di mana orang merasa tertarik terhadapnya), nilai- nilai politis/ political values (ketika orang merasakannya, baik itu di dalam maupun luar negeri), dan terakhir kebijakan luar negeri (ketika orang melihatnya sebagai suatu legitimasi dan mempunyai otoritas moral). Budaya adalah kumpulan nilai- nilai dan kebiasaan (praktek) yang mempunyai arti bagi sebuah masyarakat. Budaya memiliki banyak manifestasi, dan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu high culture , seperti sastra, seni, dan edukasi yang biasa ditujukan bagi kalangan elit; dan popular culture yang diperuntukkan bagi masyarakat secara umum (massal). Apabila budaya suatu negara memiliki nilai universal serta mempromosikan values dan interest yang di- share bersama, maka budaya tersebut dapat meningkatkan desired outcomes -nya karena daya tarik yang tercipta.

Kebijakan pemerintah baik di dalam maupun luar negerinya juga potensial dalam mempengaruhi soft power suatu negara. Contohnya pemberlakuan hukuman mati dan kontrol yang lemah terhadap kepemilikan senjata telah melemahkan soft power Amerika Serikat di Eropa. Sama halnya saat Amerika melancarkan Perang Iraq pada 2003, yang membuatnya menjadi kurang populer di mata internasional. Namun ketika kebijakan ini berubah, Amerika Serikat dapat memulihkan dan membangun kembali soft power nya.

Mempromosikan image positif suatu negara bukanlah sesuatu yang baru. Namun di era sekarang, kondisi untuk merancang sebuah soft power telah mengalami transformasi, begitu juga dengan konteks internasional yang telah berubah dengan revolusi informasi dan globalisasinya. Di sisi lain, hal ini juga meningkatkan kemampuan Amerika dalam merancang soft power nya. Amerika Serikat adalah negara yang dikaruniai banyak soft power yang potensial. Dan salah tugas diplomasi publik adalah mendayagunakan potensi tersebut dengan merancangnya agar dapat membantu Amerika Serikat dalam mencapai kepentingan nasionalnya ( national interest ). Nye berargumen bahwa konteks sangat menentukan dampak dan hasil suatu soft power , terlepas dari sumber mana soft power tersebut berasal. Dan memang dibandingkan dengan hard power , soft power lebih banyak bergantung pada konteks, dan terhadap adanya kemauan dari sang penerima ( receiver ). Oleh karenanya, soft power tidaklah konstan, namun sesuatu yang dapat berubah-ubah berdasarkan waktu, tempat, dan kondisi.

Nye mendefinisikan soft power sebagai “the ability to get what you want through attraction rather than through coercion or payments” (Nye, 2004, x). Soft power berdasarkan pada kemampuan membentuk preferensi orang lain (Nye, 2004).

Dalam membuat keputusan, kita harus membuat peraturan yang ramah dan menarik sehingga masyarakat mau membantu kita untuk mencapai tujuan bersama. Kemampuan untuk membentuk preferensi orang lain ini cenderung dikaitkan dengan aset-aset yang tak terlihat, seperti kepribadian yang menarik, budaya, nilai dan institusi politis, dan kebijakan-kebijakan yang terlihat didasarkan pada hukum yang benar dan memiliki otoritas moral.

Jika seorang pemimpin mewakili nilai-nilai yang dianut masyarakat yang dipimpinnya, maka akan lebih mudah baginya untuk memimpin mereka. Soft power tidak sama dengan pengaruh (influence). Influence bisa didapat dari ancaman dan pembayaran.

Soft power juga tidak hanya berupa kemampuan untuk berargumentasi sehingga orang lain setuju dengan pendapat kita, tetapi juga kemampuan untuk menarik (to attract). Ketertarikan dapat membuat seseorang meniru orang lain. Jika kita memengaruhi orang lain tanpa ada ancaman atau syarat pertukaran di dalamnya, maka kita sedang menggunakan soft power.

Soft power bekerja dengan alat yang berbeda (bukan kekuatan atau uang) untuk menghasilkan kerja sama, yaitu daya tarik dalam nilai yang dianut bersama dan keadilan, serta kewajiban untuk berkontribusi dalam pencapaian nilai-nilai tersebut.

Hard power dan soft power saling terkait, karena keduanya merupakan cara untuk mencapai tujuan dengan cara memengaruhi perilaku pihak lain. Perbedaannya terletak pada sifat dari perilaku dan terlihat-tidaknya sumber power.

Command power (power yang didapat dengan memerintah) dihasilkan oleh koersi dan induksi, sedangkan co-optive power (power yang didapat dengan bekerja sama) dihasilkan oleh daya tarik terhadap budaya dan nilai suatu bangsa atau kemampuan untuk memanipulasi agenda politik dengan cara membuat pihak lain gagal mengutarakan preferensinya karena mereka terlihat tidak realistis. Rentang tipe perilaku kedua jenis power terbentang dari koersi, hingga induksi ekonomi, hingga pengaturan agenda, hingga daya tarik murni (Nye, 2004).

Dalam politik internasional, sumber penghasil soft power sebagian besar berupa nilai-nilai yang dianut dan diperlihatkan oleh organisasi dan negara dalam budayanya, dalam praktek dan kebijakannya, dan dalam berhubungan dengan negara lain. Sumber yang sama dapat menghasilkan perilaku yang berbeda dalam spektrum.

Sebuah negara yang memiliki militer yang kuat dapat memiliki daya tarik berupa citra tak terkalahkan. Citra ini, kemudian, akan menghasilkan kekaguman negara lain yang akhirnya memilih untuk berpihak pada negara tersebut. Namun, ini tidak berarti soft power bergantung pada hard power. Peningkatan sumber hard power, seperti penambahan jumlah tank dan pertumbuhan ekonomi, tidak selalu berarti peningkatan soft power.

Misalnya, saat Soviet menduduki Hungaria dan Cekoslowakia. Soft power Soviet menurun meskipun sumber ekonomi dan militernya meningkat. Institusi dapat meningkatkan soft power suatu negara. Melalui institusi, sebuah negara dapat membuat power-nya terlegitimasi, dengan memperlihatkan daya tarik budaya dan ideologinya.

Dengan demikian, negara tersebut akan menghadapi sedikit perlawanan dari pihak lain, yang akan dengan senang hati mengikuti negara tersebut. Dengan membentuk peraturan internasional yang sesuai dengan interest dan nilai-nilainya, sebuah negara akan terlihat dapat dipercaya di mata pihak lain.

Soft power bersumber pada budaya, nilai, dan kebijakan. Budaya adalah “the set of values and practices that create meaning for a society” (Nye, 2004). Budaya dalam konteks ini tidak selalu high culture yang menarik untuk kalangan elit, tetapi juga budaya populer yang lebih berupa hiburan.

Ketika budaya suatu negara mengandung nilai-nilai universal dan kebijakannya memperlihatkan nilainilai dan kepentingan-kepentingan yang juga dimiliki pihak lain, negara tersebut dapat meningkatkan kemungkinan untuk bisa didapatkannya hasil yang diinginkannya karena hubungan antara daya tarik dan kewajiban yang diciptakannya.

Banyak yang menyimpulkan bahwa budaya pop pasti menghasilkan soft power, meskipun tidak selalu demikian. Budaya pop dapat menghasilkan soft power pada konteks yang tepat, sepertinya halnya sumber power yang lain. Misalnya, film Amerika berhasil membawa citra baik bagi negara tersebut di daerah Asia, tetapi tidak di Saudi Arabia ataupun Pakistan (Nye, 2004).

Sumber kedua soft power adalah kebijakan pemerintah baik untuk masalah dalam negeri ataupun internasional. Kebijakan luar negeri suatu negara amat memengaruhi soft power-nya. Kebijakan yang diambil memperlihatkan nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara, sehingga jika kebijakan yang dibuat dinilai baik, maka suatu negara dapat dilihat baik di dunia internasional. Kebijakan Amerika untuk melancarkan perang di negara-negara timur tengah amat memengaruhi soft power-nya di dunia internasional. Kebijakan dapat berdampak panjang dalam menghasilkan dan mempertahankan soft power, juga berdampak pendek, tergantung konteks.

Sumber ketiga adalah nilai yang dianut pemerintah dalam perilaku tiap hari, dalam organisasi internasional, dan dalam pengambilan kebijakan internasional, amat memengaruhi preferensi pihak lain. Pemerintah dapat menarik pihak lain untuk mencontohnya, atau sebaliknya. Akan tetapi, soft power tidak selalu berada di bawah pengaruh pemerintah seperti hard power.

Beberapa sumber hard power, seperti pasukan militer, dikendalikan pemerintah, meskipun ada juga yang merupakan hak kekayaan nasional seperti sumber daya alam dan berbagai sumber lain yang dapat berada di bawah kontrol kolektif (Nye, 2004). Soft power juga memiliki batasan, yaitu sebagai berikut:

  1. Adanya imitasi yang dapat mengurangi efek soft power.
  2. Ketergantungan soft power pada konteks lebih besar daripada hard power.
  3. Daya tarik memiliki efek yang lebih tersebar, sehingga sulit untuk melakukan pengukuran dengan pasti.
  4. Soft power akan menjadi sesuatu yang kurang penting jika power hanya dikonsentrasikan pada satu negara.
  5. Soft power lebih sering memberikan efek pada tujuan umum suatu negara, meski sering juga berdampak pada tujuan khususnya.
  6. Pemerintah tidak memiliki kontrol penuh atas daya tarik.
  7. Pengukurannya tidak dapat dilakukan dengan sempurna.

Adanya imitasi yang dilakukan oleh negara lain, di lain sisi, dapat berdampak buruk bagi soft power suatu negara. Misalnya, dengan adanya imitasi berbagai produknya di pasar, Jepang mengalami penurunan dalam penjualan produk-produknya.

Batasan kedua, ketergantungan soft power pada konteks yang jauh lebih besar daripada hard power, karena soft power bergantung pada “the existence of willing interpreters and receivers” (Nye, 2004, 16). Efek daya tarik sulit untuk diukur dan diamati dengan pasti, karena efek daya tarik biasanya menyebar, bukan terpusat. Efeknya yang menyebar ini, menyebabkan soft power menjadi lebih penting ketika power disebarkan, bukan dikonsentrasikan.

Karena efeknya yang menyebar ini juga, soft power memberikan lebih banyak kontribusi pada tujuan umum negara yang menyebarnya, daripada pada tujuan khususnya. Penelitian tidak dapat dilakukan dengan sempurna, karena pendapat dapat berubah. Jika dilakukan penelitian terhadap efek soft power, waktu penelitian terbatas, sehingga tidak dapat memperlihatkan efek soft power secara utuh.