Apa yang dimaksud dengan Identitas Sosial atau Social Identity Theory?

Social Identity Theory menurut Tajfel & Turner (1979) adalah individu cenderung melakukan kategorisasi sosial dan mengidentifikasikan diri mereka ke dalam kategori tertentu yang memiliki karakterisitik yang sama dengan yang ada pada diri mereka. hmm menurut kalian kategori apa aja sih yang dimaksud pada teori tersebut ?

Social Identity Theory menjelaskan bahwa individu cenderung melakukan kategorisasi sosial dan mengidentifikasikan diri mereka ke dalam kategori tertentu yang memiliki karakterisitik yang sama dengan yang ada pada diri mereka (Tajfel & Turner, 1979).

Dalam Social Identity Theory, Tajfel (1974) mengemukakan bahwa ada empat hal yang perlu dibahas, yaitu:

  1. Kategorisasi sosial, yakni proses menggabungkan objek atau peristiwa sosial yang setara dalam hal perilaku, intensi, sikap, dan sistem keyakinan ke dalam kategori tertentu.

  2. Identitas sosial, yakni bagian dari konsep diri individu yang diperoleh dari pengetahuannya mengenai kelompok serta kelekatan emosional individu dengan kelompoknya tersebut

  3. Perbandingan sosial, yakni upaya individu untuk mengevaluasi identitas sosialnya dengan membandingkannya dengan identitias sosial anggota kelompok lain.

  4. Kekhasan psikologis (psychological distinctiveness), yakni aspek psikologis yang membedakan individu dalam suatu kelompok dengan individu dalam kelompok lain.

Berdasarkan keempat hal tersebut, Tajfel dan Turner (1979) merangkum tiga prinsip teoretis dari Social Identity Theory sebagai berikut:

  1. Individu cenderung berusaha untuk mencapai atau mempertahankan identitas sosial yang positif. Hal ini muncul dari asumsi dasar yang menganggap bahwa setiap individu memiliki kecenderungan untuk mempertahankan atau meningkatkan konsep diri positif mereka.

  2. Identitas sosial yang positif dapat diperoleh dengan adanya perbandingan yang positif antara ingroup dan outgroup. Dengan demikian, individu akan memiliki identitas sosial yang positif jika kelompoknya dievaluasi lebih positif dibandingkan kelompok lain. Proses perbandingan sosial ini sejalan dengan studi Festinger (1954) yang menemukan bahwa individu akan membandingkan diri mereka dengan individu lain untuk memperoleh evaluasi mengenai diri mereka.

  3. Ketika identitas sosial yang dimiliki individu tidak memuaskan, individu akan berusaha meninggalkan kelompok tersebut dan mencari kelompok lain atau berusaha membuat kelompoknya terlihat lebih positif dibandingkan kelompok lain. Upaya membuat kelompok terlihat lebih positif ini kemudian melahirkan intergroup bias.

Dimensi dalam mengkonseptualisasikan identitas sosial


Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada empat dimensi dalam mengkonseptualisasikan identitas sosial, yaitu:

  • Persepsi dalam konteks antar kelompok
    Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status dan gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi setiap individu didalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu untuk memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya maupun kelompok yang lain.

  • Daya tarik in-group
    Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering menimbulkan “in group bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri. Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982) in group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group.

  • Keyakinan saling terkait
    Identitas Sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok.

  • Depersonalisasi
    Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam sebuah kelompok, maka individu tersebut akan cenderung mengurangi nilainilai yang ada dalam dirinya, sesuai dengan nilai yang ada dalam kelompoknya tersebut. Namun, hal ini juga dapat disebabkan oleh perasaan takut tidak ‘dianggap’ dalam kelompoknya karena telah mengabaikan nilai ataupun kekhasan yang ada dalam kelompok tersebut. Keempat dimensi tersebut cenderung muncul ketika individu berada ditengah-tengah kelompok dan ketika berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya.

Motivasi Melakukan Identitas Sosial


Robert A.Baron dan Don Byrne (2003), Identitas sosial tidak datang dengan sendirinya. Dalam pembentukan suatu identitas ada proses motivasi-motivasi. Hogg (2004), memberikan penjelasan bahwa dalam proses pembentukan identitas, individu memiliki motivasi. Adapun motivasi-motivasi tersebut adalah:

  • Peningkatan diri (Self-enhancement) dan Pemikiran positif
    Pemikiran yang Positif mencakup keyakinan bahwa ”kelompok kita” lebih baik dibandingkan “kelompok mereka”. Kelompok dan anggota yang berada di dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan pemikiran yang positif tersebut karena hal itu menyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan kelompoknya. Pemikiran yang positif seringkali dimotivasi oleh harga diri anggota kelompok. Ini berarti bahwa harga diri yang rendah akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri pun akan mengalami peningkatan. Peningkatan diri tak dapat disangkal juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk melakukan identitas sosial adalah untuk memberikan aspek positif bagi dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan self enhancement (peningkatan diri).

  • Reduksi yang tidak menentu (Uncertainty Reduction)
    Motif identitas sosial yang lain adalah reduksi yang tidak menentu. Motif ini secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial. Individu berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia sosial. Individu suka untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain tersebut berperilaku. Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction karena memberikan kelompok prototipe yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk dirinya) dalam berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam reduksi yang tidak menentu anggota kelompok terkadang langsung menyetujui status keanggotaan mereka karena menentang status kelompok berarti meningkatkan ketidakpastian konsep dirinya. Individu yang memiliki ketidakpastian konsep diri akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah memiliki kepastian konsep diri akan dimotivasi oleh self-enhancement (peningkatan diri) untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap kelompoknya.

  • Optimalisasi Ciri Khas
    Motivasi ketiga menyatakan bahwa orang termotivasi untuk mengidentifikasi dengan kelompok-kelompok yang memberikan mereka dengan identitas sosial yang berbeda positif dan yang memenuhi kebutuhan mereka pada kepastian. Salah satu hasil dari proses ini adalah self-stereotipe, dimana orang mengganti identitas pribadi mereka dengan identitas kelompok. Salah satu kelemahan dari hipotesis diri stereotip adalah bahwa orang memiliki kebutuhan dan mengalami diri mereka sebagai individu yang unik yang berbeda dari orang lain (Brewer, 1991, Brewer & Pickett, 1999). Marilyn Brewer (1991) karena itu disarankan modifikasi teori self-kategorisasi yang dia sebut teori optimalisasi ciri khas.

Komponen Identitas Sosial


Tajfel (1978) mengembangkan teori identitas sosial sehingga terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif (kategorisasi diri), komponen evaluatif (group self esteem), dan komponen emosional (komponen afektif) yaitu:

  • Komponen Kongnitif
    Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self categorization (kategorisasi diri). Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999). Komponen ini juga berhubungan dengan stereotip diri yang menghasilkan identitas pada satu kelompok dengannya. Stereotip diri dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 2001).

  • Komponen Evaluatif
    Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem (harga diri atau kebangaan kelompok). Komponen Evaluatif (evaluative component) ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).

  • Komponen Emosional
    Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti komitmen afektif. Komponen Emosional ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap kelompoknya. Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap identitas sosial yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif (dalam Ellemers, 1999).

Terbentuknya Identitas Sosial

Robert A Baron dan Don Byrne (2003), Identitas sosial tidak datang dengan sendirinya. Dalam pembentukan suatu identitas ada proses motivasi- motivasi. Hogg (2004), memberikan penjelasan bahwa dalam proses pembentukan identitas, individu memiliki dua motivasi.

  • Self Enchancemen ini oleh individu dimanfaatkan untuk memajukan atau menjaga status kelompok mereka terhadap kelompok lain yang berada diluar dirinnya. Selain itu juga berfungsi untuk mengevaluasi identitas kolektif. Dalam konteks kelompok yang lebih menonjol, Self dalam pembahasan Hogg dapat dimaknai sebagai Collective Self atau identitas sosial.

  • Uncertainty Reduction dilakukan untuk mengetahui posisi kondisi sosial dimana ia berada. Tanpa motivasi ini individu tidak akan tahu dirinya sendiri, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana mereka harus melakukannya. Sekaligus berfungsi untuk pembentukan protoype identitas sosial.

Dalam Michael A Hogg (2004), proses identitas sosial melalui 3 tahapan yaitu Social Categorization , Prototype , dan Depersonalization . Untuk memahami apa yang dimaksud oleh Hogg diatas peneliti akan menjelaskan tiap tahapan, sebagai berikut:

  • Kategori Sosial
    Kategorisasi sosial berdampak pada definisi diri, perilaku, persepsi pada prototype yang menjelaskan dan menentukan perilaku. Ketika ketidakmenentuan identitas ini terjadi, maka konsepsi tentang diri dan sosialnya juga tidak jelas. Prototype juga bisa menjadi sebuah momok bagi kelompok sosial. Dengan memberikan prototype yang berlebihan pada kelompoknya, maka penilaian yang dilakukan kepada kelompok lain adalah jelek. Sterotype akan muncul pada kondisi seperti ini. Pada dasarnya stereotype muncul dari kognisi individu dalam sebuah kelompok. Stereotype juga bisa muncul dari kelomopok satu terhadap kelompok lain yang berada diluar dirinya.

    Secara kognitif, orang akan merepresentasikan kelompok-kelompoknya dalam bentuk prototype-prototype . Selain itu atribut-atribut yang menggambarkan kesamaan dan hubungan struktur dalam kelompok. Hal ini dilakukan untuk membedakan dan menentukan keanggotaan kelompok.

  • Prototype
    Prototype adalah konstruksi sosial yang terbentuk secara kognitif yang disesuaikan dengan pemaksimalan perbedaan yang dimiliki oleh kelompok dengan kelompok lainnya. Hal ini dilakukan untuk menonjolkan keunggulan kelompoknya. Kepentingan dari kelompok untuk membentuk prototype adalah untuk merepresentasikan kelompoknya di wilayah sosial yang lebih luas. Biasanya prototype itu berdiri sendiri. Dia tidak semata-mata ditopang atau didapat dari adanya perbandingan antar kelompok sosial. Dengan demikian proses yang terjadi dalam kelompok sosial tidak mungkin keluar dari kelompok ini. Perlu diketahui bahwa prototype itu senantiasa berkembang dari waktu kewaktu.

    Prototype juga bisa dianggap sebagai representasi kognitif dari norma kelompok. Dimana norma kelompok tersebut dibentuk atas regulasi sosial yang hanya dibatasi oleh anggota kelompok. Hal yang paling penting dalam hal ini adalah penjelasan perilaku dan penegasan posisi bahwa dia adalah kelompok sosial tertentu. Norma sosial merupakan aturan yang dibuat atas kesepakatan anggota kelompoknya.Norma sosial menjadi landasan dalam berfikir dan bergerak kelompok. Dengan demikian norma sosial tidak menjadi penjelasan keadaan sosial. Norma sosial ini mengatur tentang bagaimana individu dalam kelompok harus bersikap dan berperilaku.

  • Depersonalisasi
    Depersonalisasi adalah proses dimana individu menginternalisasikan bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya atau memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik.

Teori social identity (identitas sosial) dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1982), social identity (identitas sosial) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Social identity berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu.

Hogg dan Abram (1990) menjelaskan social identity sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat.

Menurut William James (dalam Walgito, 2002), social identity lebih diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, dimana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman–temannya, milikinya, uangnya dan lain–lain. Sementara Fiske dan Taylor (1991) menekankan nilai positif atau negatif dari keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.

Untuk menjelaskan identitas sosial, terdapat konsep penting yang berkaitan, yaitu kategori sosial. Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk., (2002) mengungkapkan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih yang mempersepsikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama. Seorang individu pada saat yang sama merupakan anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial (Hogg dan Abrams, 1990).

Kategorisasi adalah suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna (Turner dan Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993). Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka. Kita adalah in group, sedangkan mereka adalah out group.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian social identity, maka dapat disimpulkan bahwa social identity adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial tertentu, yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi, tingkat keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya dalam kelompok tersebut.

Dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity


Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada empat dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity, yaitu:

  1. Persepsi dalam konteks antar kelompok
    Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status dan gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi setiap individu didalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu untuk memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya maupun kelompok yang lain.

  2. Daya tarik in-group
    Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok dimana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan "in group” sering menimbulkan “in group bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri.

    Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982) in group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain.

    Berdasarkan Social Identity Theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982) mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group.

    Berdasarkan teori tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga diri kita, yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas sosial (social identity) yang berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan individu lain.

  3. Keyakinan saling terkait
    Social identity merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri.

    Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat.

  4. Depersonalisasi
    Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam sebuah kelompok, maka individu tersebut akan cenderung mengurangi nilai-nilai yang ada dalam dirinya, sesuai dengan nilai yang ada dalam kelompoknya tersebut. Namun, hal ini juga dapat disebabkan oleh perasaan takut tidak ‘dianggap’ dalam kelompoknya karena telah mengabaikan nilai ataupun kekhasan yang ada dalam kelompok tersebut.

Komponen Identitas Sosial


Tajfel (1978) mengembangkan social identity theory sehingga terdiri dari tiga komponen yaitu cognitive component (self categorization), evaluative component (group self esteem), dan emotional component (affective component) yaitu:

  1. Cognitive component
    Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999). Komponen ini juga berhubungan dengan self stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 2001).

  2. Evaluative component
    Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem. Evaluative component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).

  3. Emotional component
    Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti affective commitment. Emotional component ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap kelompoknya (affective commitment). Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap social identity yang positif.

    Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif (dalam Ellemers, 1999).

Karakter Identitas Sosial


Hogg & Vaughan (2002) menyatakan bahwa identitas sosial diasosiasikan dengan tingkah laku kelompok, yang mempunyai karakteristik umum; ethnocentrism, in-group favoritsm, intergroup differentiation, conformity to ingroup norms, dan group stereotype.

  1. Ethnocentrism
    Ethnocentrism adalah sifat khas daripada individu yang menganggap kelompoknya lebih superior. Sehingga menumbuhkan kecenderungan penilaian memandang in-group secara moral lebih baik dan lebih berharga daripada out-group.
  2. In-group favoritsm

In-group favoritsm adalah perilaku yang menyukai dan menilai apa yang ada pada kelompoknya (in-group) melebihi kelompok lain (out-group). Individu umumnya kan menilai anggota in-group lebih positif. Dengan adanya in-group favoritsm, individu akan mempunyai solidaritas yang kuat dalam kelompoknya.

  1. Intergroup differentiation
    Tingkah laku yang menekankan perbedaan antar kelompok yang dimilikinya (in-group) dan kelompok lain (out-group). Perbedaan antar kelompok akan mempengaruhi persepsi sesorang tentang kelompoknya sendiri dan tentang kelompok lainnya. Menurut Tajfel (dalam Hogg & Vaugha, 2002), kelompok dengan kekuasaan yang lebih kecil lebih menyadari perbedaan kekuatannya dan statusnya.

  2. Conformity to in-group norms
    Konformitas merupakan kecenderungan untuk memperbolehkan suatu perilaku untuk dilakukan individu sesuai dengan norma yang ada di dalam kelompok (in group) nya. Konformitas merupakan kecenderungan seseorang untuk mengikuti aturan dan tekanan in-group walaupun tidak ada permintaan langsung dari kelompok tersebut agar individu merasa diterima oleh kelompoknya.

  3. Group stereotype
    Stereotype kelompok merupakan kepercayaan tentang karakteristik kelompok tertentu. Stereotype kelompok bisa positif, bisa negatif. Stereotype merupakan persepsi terhadap suatu kelompok yang kaku (tidak dapat diubah), dan uniform (seragam, sama-sama dimiliki oleh kelompok sejenis).

Referensi

Identitas sosial memiliki pengertian yang luas dan beragam. Afif (2015) menjelaskan bahwa identitas sosial adalah kumpulan dari deskripsi diri individu yang menampilkan dimensi-dimensi sosial, sehingga mencerminkan karakteristik dari kelompok yang diikuti individu tersebut. Menurut Baron dan Bryne (2004) menambahkan bahwa identitas sosial adalah pendefinisian dari individu itu sendiri termasuk didalamnya atribut pribadi dan atribut yang didalamnya sama dengan kelompoknya.

Berdasarkan teori identitas sosial dijelaskan ada dua proses penting yang mempengaruhi perilaku kelompok yaitu proses kognitif dan proses motivasional. Ketika individu melakukan kategorisasi pada stimulus yang ia hadapi termasuk pada kelompok yang ditemui, serta memandang orang lain dari anggota in-group atau out-group maka masuk dalam proses kognitif individu. Sedangkan pada proses motivasional mengarah pada bagaimana individu menampilkan perilaku yang sesuai dengan kelompoknya untuk meningkatkan harga diri dan identitas sosial (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Hal yang demikian itu dipersepsikan oleh individu berdasarkan dari pengetahuannya tentang keanggotaan dalam suatu kelompok dengan melibatkan nilai-nilai dan emosional dari keanggotaan (Tafjel, 1972).

Menurut Brown (2000) teori identitas sosial mengasumsikan bahwa individu yang tergabung suatu kelompok akan menyusun kategori identitas terkait hubungan interpersonal atau intrapersonal dan akan memunculkan self-image yang positif terlebih ketika berhadapan dengan individu / kelompok lain. Semakin banyak kategori yang menyusun identitas sosial terkait hubungan interpersonal maka mengindikasikan persamaan dalam suatu kelompok dan perbedaan dengan kelompok lainnya (Baron dan Bryne, 2004). Meskipun demikian, Identitas sosial suatu kelompok dapat dilemahkan oleh batasan kelompok, kestabilan dalam kelompok, dan kebijakan-kebijakan yang diputuskan dalam kelompok untuk melakukan suatu tindakan (Ellemers dalam Kawakami dan Dion, 1995).

Postmes dkk (2005) memberikan gambaran arah terbentuknya identitas sosial, yaitu :

  • Pertama adalah model induksi (bottom-up) dengan asumsi bahwa individu yang memiliki persepsi sama akan berkumpul dan membentuk suatu kelompok untuk mencapai suatu kesepakatan bersama.

  • Kedua, model deduksi (top-down) dengan asumsi bahwa kelompok sebagai sumber identitas sosial, sehingga individu yang berada dalam kelompok tersebut harus mampu menyesuaikan atribut ataupun nilai-nilai yang telah terbentuk.

Burke dan Stets (2009) menambahkan bahwa identitas tertentu dapat menjadi aktif atau menonjol sebagai fungsi interaksi antara karakteristik penginderaan (aksebilitas) dan situasi. Aksebilitas adalah kesiapan suatu kategori tertentu yang terekam secara sadar, sedangkan situasi adalah kesesuaian antara identitas dengan rangsangan yang hadir.

Namun demikian Hogg dan Abrams (1988) memberikan pandangan lain bahwa individu tidak selalu dipaksa untuk berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya, hanya perlu mengidentifikasi kelompok maka dapat dikatakan cukup untuk mengaktifkan kesamaan dalam persepsi dan perilaku antara anggota kelompok.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa identitas sosial adalah suatu persepsi individu terhadap kelompoknya berdasarkan proses pengamatan dan juga emosi melalui interaksi yang dibangun didalam kelompok, sehingga individu akan berperilaku yang mencerminkan identitas kelompoknya dengan tujuan untuk membedakan dengan kelompok yang lain.

Aspek-aspek identitas sosial


Brewer dan Gardner (dalam Hong, dkk, 2003) menyebutkan ada tiga dimensi atau aspek dari identitas sosial, yaitu :

  • Individual self
    Definisi tentang diri sendiri yang dianggap berbeda dengan orang lain ataupun kelompok lain. Hal ini berupa persepsi yang dimiliki individu terhadap lingkungan sekitarnya, dan individu tersebut akan menganggap bahwa dirinya tidak dapat disamakan dengan orang lain atau kelompok lain.

  • Relation self
    Definisi tentang diri berdasarkan hubungan interpersonal yang dimiliki dengan orang lain baik sesama anggota kelompok ataupun orang lain yang berasal dari luar kelompok. Hal ini juga kemudian mampu meningkatkan identitas sosial yang dimiliki individu terhadap kelompoknya.

  • Collective self
    Definisi tentang diri berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok. Dalam hal ini individu mempersepsikan kesesuaian kelompok dengan tujuan yang ingin dicapai olehnya, sehingga mampu mempengaruhi kelekatan antara individu dengan kelompoknya.

Sedangkan menurut Cameroon (2004) identitas sosial memiliki tiga aspek, yaitu :

  • Cognitive centrality
    Yaitu persepsi yang muncul dari individu berdasarkan pengamatan dari hubungan interpersonal didalam kelompoknya. Singkatnya bahwa sentralitas mempersepsikan nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku kelompok ke dalam dirinya untuk mencapai kepentingan yang dikehendaki. Sehingga individu mampu menampilkan perilaku yang mewakili kelompoknya pada siatuasi tertentu.

  • Ingroup affect
    Yaitu pengaruh yang datang antar anggota kelompok dengan melibatkan emosi sebagai bentuk evaluatif terhadap kelompoknya berdasarkan perbandingan sosial dengan kelompok lain. Individu yang berada dalam kelompok tersebut kemudian akan mengevalusi seberapa jauh keterlibatan dirinya, sehingga individu kemudian mampu memutuskan strategi lain yang akan dipakai untuk mencapai tujuan yang akan dicapai bersama kelompoknya.

  • Ingroup ties
    Yaitu kedekatan hubungan antara anggota kelompok yang kemudian akan memperkuat persepsi individu terhadap kelompoknya, misalnya individu merasa nyaman dalam kelompok tersebut atau bahkan sebaliknya. Dengan demikian ketika kelompok akan melakukan suatu aksi yang telah disepakati bersama-sama, belum tentu semua anggota kelompok mampu akan menampilkan tindakan yang sama seperti anggota lainnya. Hal ini tergantung pada rasa lekat yang dimiliki individu terhadap kelompoknya.