Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan khalifah?

Sistem pemerintahan khalifah amat jauh sekali jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan demokrasi yang dijalankan dan telah jelas bahwa dalam khilafah tidak ada individu, dinasti, atau kelas yang bisa disebut khalifah, kecuali dengan persyaratan bahwa wewenang khilafah dipegang oleh seluruh rakyat yang bersedia memenuhi persyaratan ‘perwakilan’ (khilafah) setelah mereka menerima prinsip-prinsip Tauhid dan Risalah.

Masyarakat seperti ini secara keseluruhan memikul tanggung jawab khilafah dan setiap inidividu memiliki hak dan tanggungjawab sebagai khalifah Tuhan. Setiap orang dalam masyarakat ini sederajat kedudukannya, tidak ada yang dapat merampas hak-hak dan kekuasaan itu. Lembaga dan wewenang negara merupakan extension (pelimpahan) dari wewenang individu-individu masyarakat. Siapapun yang memperoleh kepercayaan masyarakat atau dibaiat masyarakat akan menjadi pelaksana kewajiban-kewajiban kekhalifahan atas nama rakyat.

Dalam hal ini Islam sangat ‘demokratis’, bahkan kekhalifahan itu lebih sempurna dari demokrasi. Hukum-hukumnya jelas berasal dari Tuhan, bukan akal manusia. Perbedaan lainnya dengan Demokrasi Barat ialah kedaulatan demokrasi ada di tangan rakyat, sedangkan kedaulatan dalam khilafah hanya berada pada tangan Allah dan manusia hanya perwakilannya di bumi. Dalam Demokrasi, hukum-hukum diciptakan oleh manusia itu sendiri sedangkan dalam khilafah masyarakat harus tunduk pada hukum-hukum Allah (syari’at) yang disampaikan melalui Rasulullah.

Sistem-Pemerintahan-Khilafah-Jauh-Dari-Perdamaian-300x191

Dalam Demokrasi Barat, pemerintah memenuhi kehendak rakyat; sedangkan kekhalifahan, pemerintah dan rakyat yang membentuk pemerintahan dimana tujuannya memenuhi kehendak dan tujuan Tuhan. Singkatnya Demokrasi Barat adalah semacam wewenang mutlak untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan cara bebas dan tak terkontrol.

Dalam kekhalifahan adalah kepatuhan kepada hukum Tuhan dan melaksananakannya dalam wewenang sesuai perintah Tuhan dan dalam batas-batas yang digariskan oleh-Nya.

”Hendaklah kamu menetapkan hukum diantara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah” (QS. Al Maidah [5]: 49)

sumber referensi: Ahmad Anshorimuslim Syuhada. 2014. Sistem Pemerintahan Islam (KHILAFAH)

Kata khilafah dalam grametika bahasa Arab merupakan bentuk kata benda verbal yang mensyaratkan adanya subjek atau pelaku yang aktif yang disebut khalifah. Kata khilafah dengan demikian menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut khalifah. Oleh karena itu tidak akan ada suatu khilafah tanpa adanya seorang khalifah (Shitu-Agbetola, 1991). Sedangkan menutut Muhammad al-Khudhari Bek, secara teknis, khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Khilafah merupakan medium untuk menegakkan agama dan memajukan syariah. Dari pandangan yang demikian, muncullah suatu konsep yang menyatakan bahwa Islam meliputi di wa ad-daulah (agama dan negara).

Kata khilafah seakar dengan kata khalifah (mufrad), khalaif (jama’). Semua padanan kata tersebut berasal dari kata dasar ( fi’il madi), kholafa (ﺧﻠﻒ). Kata khalifah , dengan segala padanannya, telah mengalami perkembangan arti, baik arti khusus maupun umum. Dalam Firs Encylopedia of Islam, khalifah berarti “wakil”, “pengganti”, ”penguasa”, gelar bagi pemimpin tertinggi dalam komunitas muslim, dan bermakna “pengganti Rasulullah”. Makna terakhir senada dengan Al Maududi bahwa khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasul.

Kajian secara sematik, dapat ditemukan pula dalam beberapa ayat Al- Qur’an mengenai makna khalifah. Kata khalifah ( ﺧﻠﯿﻔﺔ ) dalam bentuk tunggal ( mufrad ) terdapat dua kata yang di ulang dalam Al-Qur’an:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,.” ( QS. Al-Baqarah {2}: 30).

"Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,…”. (QS. Shaad {38}: 26).

Istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khilafah. Dalam sejarah, khilafah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti khilafah Abu Bakar, khilafah Umar bin Khattab, dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini,

kata khilafat bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan atau institusi pemerintahan dalam sejarah Islam. Kata Khilafat analog pula dengan kata Imamat yang berarti keimaman, kepemimpinan, pemerintahan, dan dengan kata Imarat yang berarti keamiran, pemerintahan (Hasim, 1987). Menurut Lois Ma’luf, Al-Munjid fil al-Lughat wa al-A’lam (Beirut:Daar al-masyriq, 1973), imarat sebutan untuk jabatan amir dalam suatu negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Analogi ketiga kata tersebut tampak pula dalam penggunaannya di dalam kitab-kitab fiqih siyasah .

Dasar Hukum Wajibnya Khilafah


Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’i dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahwa menegakkan daulah khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’i yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang- orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur {24}: 55).

“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nantik ada banyak khalifah”. ( HR. al-Bukhari dan Muslim).

“ Di tengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu dia mengangkat masa itu ketika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah”. (HR. Ahmad).

Sistem Khalifah dalam Perspektif

Istilah khilafah memiliki beberapa pengertian yaitu perwakilan, pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti dan penguasa, ada juga yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f” dalam berbagai bentuknya mengandung makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang kemudian melahirkan kata khilafah dan khalifah.8

Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam mengurusi bidang keNegaraan.

Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu consensus atau kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah agar berpegang teguh kepada syariah.

Menurut Dawam Raharjo, khalifah yakni kepala Negara dalam pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Quran. Tetapi dalam al- Quran istilah ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya kata- kata yang mengandung istilah pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khilafah atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah suatu fungsi yang di emban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah SWT. Amanat ini pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.

Abu A’-la Al-Maududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam Islam memandang kekhilafahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi (manusia) dengan yang member (Tuhan).

Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah SWT menjadi sistem yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah pemberontakan atau kudeta melawan sang pencipta.

Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus kenamaan mendefinisikan Khalifah, Imamah, dan imarah sebagai tiga kalimat yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan NegaraIslam yang meliputi kemaslahatan dunia dan agama.11

Letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang satu dan yang lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang akan menjelaskan suatu karakter pemerintahan. Undang-undang adalah ruh bagi setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensi. Sebagai contoh suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki tabiat natural yakni insting, yakni kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi arogan dan despotis. Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah pemerintahan yang otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi pemerintahan itu dapat menghasilkan suatu kondisi perpecahan dan kehancuran suatu Negara.

Jika suatu perundang-undangan diputuskan oleh para intelektual dan pembesar Negara, kebijakan politiknya disebut rasional: dan jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya, maka orientasi politiknya adalah religious, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan, penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti ini tidaklah terpuji.

Mengenai keimamhan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang demikian itu adalah pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai undang-undang, yaitu prinsip-prinsip bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah. Selain itu hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang kepada empat sumber hukum: al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dengan demikian menurut Dhiauddin Ra’is, di dalam undang-undang Islam tersebut, terhimpun hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan Ilahi.

Menurut Ibnu Khaldun, untuk menciptakan suatu Negara yang bisa tegak dan kuat, maka dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa diterima dan diikuti oleh rakyat. Namun, hukum tersebut tidak semata didasarkan kepada akal, sebagaimana hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana, cerdik, pandai melainkan ditentukan oleh Allah melalui perantara Rasul, maka pemerintahan yang demikian disebut berdasarkan agama. Dalam hal ini Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religious memandang pentingnya sebuah pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan akhirat.Menurutnya manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja yang penuh dengan kehampaan dan kejahatan yang akhirnya hanyalah mati dan kesirnaan belaka. Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami menjadikan kamu dengan sia-sia.”

Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya untuk mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi. Sedangkan hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala hal, ibadah mereka, tata cara hidup mereka, dan juga berhubungan dengan Negara. Maka tidaklah dibenarkan suatu Negara yang didasarkan kepada penaklukan dan paksaan pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan perbuatan tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan kebijaksanaan politik.